Jumat, 08 Desember 2017

Ulfatin Ch: NYANYIAN ALAMANDA


Data buku kumpulan puisi

Judul : Nyanyian Alamanda
Penulis : Ulfatin Ch
Cetakan : I, Oktober 2003
Penerbit : Bentang Budaya, Yogyakarta.
Tebal : xvi + 102 halaman (99 puisi)
ISBN : 979-3062-73-8
Perancang sampul : Buldanul Khuri
Gambar Sampul : Yunizar
Pemeriksa Aksara : Yayan R. Harari
Penata Aksara : Ari Y.A.
Pengantar : Taufiq Ismail

Beberapa pilihan puisi Ulfatin Ch dalam Nyanyian Alamanda

Aku Kota Sunyi

Karena dilahirkan sebagai perempuan
aku memilih sendiri
dan mencangkul kota sunyi para nabi.
Rumah tanpa pintu
yang berlumut malam
menyeruak bagai batu bata
yang hilang laburnya.
Namun, kini aku tak sendiri
anak anak yang lahir dari bumi
mengibas mantra
membuka beton dan dinding kelam
hingga tampak mutiara
yang menjunjung martabat
ke langit cahaya paling tinggi.
Karena di lahirkan sebagai perempuan
aku kota sunyi
yang dibalut rantai purba
dan kini tak tampak lagi

1999



Sebab Aku Kehilangan

Sebab aku kehilangan pagi
engkau mencaciku bagai burung
mencaci langit.
Dan cuaca seperti mencakar bahu
suara angin bagai tiupan nafiri

Sebab aku kehilangan pagi
dinding gelap
jam mematuk-matuk dirinya
hingga pecah.
Seperti perahu Nuh
berlayar tak sampai-sampai

1997


Di Taman X

Seperti tahun lalu
aku ingin berjalan ke arah selatan
menyusuri taman
dimana bunga-bunga menghias jalan
menggoyang suara angin
aku berdiri menatapnya.
10 tahun yang lalu
sebelum matahari meninggi
aku datang menyaksikan kupu-kupu
dan capung berkejaran
menyaksikan taman dengan bunga
menggelantung seperti air terjun.
Kemudian aku pergi
hingga suatu hari
aku melihat bangunan-bangunan kaca
yang menutup taman
yang menenggelamkan bunga.
Sementara orang-orang berteriak
bunga!

1997


Dua Sajak Burung

1
Seekor burung telah jauh
menerbangkan pikiranku.
Aku sendiri
di sini
dalam tempayan kecil
yang dibakar nyala api

2
Dan begitulah
burung-burung pergi
tanpa sayap.
Perempuan-perempuan
pengantar minum
dalam gelap.
Sementara angin
hanya berkisar
di pusaran senyap

2000


Aku Ingin Hanya Dengan Puisi

Sejak kita tahu
malam bukan sahabat
kita pun ingin ke pantai
menemukan pasir dan gelombang
yang tak pernah kembali
pada lautnya.
Sementara camar terus mengintai
isi perut
dan berhenti di awang
sebagai bintang

Sejak kita tahu
bulan hanya singgah semalam
kita pun tak ingin menunggu
dalam dingin angin malam.
Hujan biarkan sendiri

Sejak kita tahu
sepucuk surat dan kata-kata
hanyalah angin
yang tak pernah sampai,
sajak-sajak gugur
dalam ngungun matahari
dan kita pun telah terpisah
sejak lama
aku ingin hanya dengan puisi

2000


Aku Mendaki

Aku mendaki tak sampai-sampai
seperti ketam merangkak
tak sampai pantai.
Di jendela yang terlihat
cuma angin
tak seperti bayangku pada pelangi

Aku mendaki tak sampai
dzikirku melambai
menaiki bukit dan lembah terbakar
asapnya mengeras di lembar
sajadah tak sampai

2000


Di Rumah Kerang
                -Mathori

Sedang apa kau. Mencari apa
diam di rumah kerang
berlutut dan bertasbih malam

Pergi. Cambuklah puisi
sekalipun dalam kolam yang kering

Kalaulah ia mutiara
akan tampak juga nantinya.
Atau kau ingin kembali
sebagai pengembara dan bermimpi

2002


Pohon Paku

Melihat pohon paku
aku teringat ibu.
Ada yang terasa haru
kala menatapnya.
Pada daunnya yang ramping
atau pada ibuku yang setia

2001


Bunga Sipres

Bunga Sipres jatuh
keluhnya terdengar di pangkuan jauh.
Dan engkau menyaksikan dari benua lain
yang tak pernah kaubayangkan:
Sebuah perjumpaan yang menjelma telaga
di dalam tidurmu

2001


Sajak Berbingkai
                Ayah

Untukmu kutulis sajak
berbingkai daun dan bunga.
Di atas meja kutempatkan ia
agar dapat kaupandang
saat datang bulan bercahaya.
Kau tahu. Betapa rindu
anak-anak pada mega
yang seakan memberi kedamaian
meski angin sentiasa kencang
menampar.
Betapa rindu cinta
pada lenggok samudera
meski kelak membadai juga
dan anak-anak yang lahir
dari keramahan
akan menjelma mutiara
menjelma di dada

1999


Mencemaskan Matahari

Mestinya tak kucemaskan matahari
yang diam-diam mengait malam.
Sebab Engkau masih di sini
dalam genangan rindu, Subuh
berlalu.
Dengan jendela terbuka
kutatap Engkau, kekasih
hingga pucat rautku
membelah mimpi.
Haruskah kupeluk lebih lama lagi
sedang kita terasa
tak berjarak sudah.
dan air mata yang mengalir
dalam sajadah
kubiarkan menjadi sungai
menjadi muara

1999


Jangan Katakan Hari Gelap

Jangan katakan hari ini gelap
sebab matahari telah menjanjikan terang
padaku. Butir-butir embun yang bagai mutiara
menggelantung di leher mawar
juga telah kupinang ke dalam jiwa.
Akankah tetap engkau jadikan ia air mata.
Jejak perjalanan malam
biarlah dihembus badai.
Kita lewatkan sungai, batu-batu
dan gelombang.
Kita lepaskan jangkar, perahu
dan anak-anak yang hendak dewasa.
Kita mesti meninggalkan pongah
yang dimiliki rumput dan benalu.

1997


Dialog Embun

Jangan katakan hari akan gelap
sebab matahari menjanjikan terang
padaku. Butir-butir embun menggelantung
bagai mutiara di leher mawar
juga telah kupinang ke dalam jiwa.
Haruskah ia kaujadikan air mata.
Jejak malam biarlah
menjadi bola yang terlempar
atau buih yang menghempas gelombang
Kita lewatkan sungai berbatu
kita lepaskan jangkar perahu
dan kita mesti tinggalkan pongah
milik rumput dan benalu

2000


Hujan Siang

Hujan siang
memanah jendela di mataku.
Pada bibir dan tangan
kulihat bayangmu menyala
seperti kilat.
Angin kali mengisi bangku-bangku
dengan kisah air mata.
Dan dari persembunyian yang jauh
kulihat bunga dimainkan cuaca.
Dan kecipak katak melambai
di atas kolam
bagai meyiratkan padamu;
jangan masuk!

2000


Nyanyian Alamanda

Alamanda di taman menjuntai.
Kami menyaksikan dari jendela
di balik korden terlepas.
Tak ada cahaya seperi kilat hujan saat itu.
Kami tak punya waktu bercanda
Semua berakhir dalam lelap, dalam bising
genderang jathilan yang menderu
serta tarian alamanda

Taman dan alamanda
menyatu
bagai angin dan topan
dan hidup kami
seperti tak terpisahkan
dari sunyi

2000


Catatan Kecil Reformasi I

Jalanan sepi. Angin pun mlengos
terbentur batu-batu.
Kami berjalan berpapasan kereta manusia
yang pulang dan pergi, menghilang
dalam kelokan entah. Seperti peluit samar
terkantuk malam bersapa hujan

Jalanan sepi
mungkin suara sepatu itu
yang menggaduhkan
dan asap pembakaran siang tadi.
Jalanan sepi. Siapa lagi
terkapar hari ini

2000


Catatan Kecil Reformasi II

Barangkali mereka para pemburu
yang biasa ke luar masuk hutan
dan pergi membawa senapan.
Barangkali gerimis kecil pagi hari
yang mengajak mereka turun ke jalan
memasuki rumah mewah dan toko
swalayan yang selama ini membikin buta
matanya.
Jangan bilang mereka senang
air matanya pun mengalir
memenuhi sungai negeri ini.
Jangan bilang mereka senang
karena darah pun menghitam
melukai setiap pori-pori kulitnya.
Barangkali mereka tak sempat bicara padamu
tapi peluru yang menembus jantungnya
telah bicara padamu

2000


Duka Legian
                Sindu Putra

Mungkin kau menyaksikan bunga api
dari percikan amunisi yang sengaja ditanam
pada peludah. Agar mudah dicari
kambing yang menyusup di dalam semak.
Mungkin kau mencium anyir bunga merah
yang terbakar di dada busung penuh luka.
Seperti dalam legenda
Bunga api besar membakar kotamu
Ah. mungkin kau entah berada di mana
di dalam meditasimu
yang menyaksikan bunga-bunga kamboja
menukik dari angkasa bagai bunga api
di masa kecilku.
Atau mungkin kau tengah bermimpi
menuang anggur di café Legian
dan mencoba membayangkan sebuah danau
yang ternyata air mata di Kuta
aku turut berduka

2002


Serupa Embun

Bintang-bintang tak menyatukan kami
pada sekuntum bunga pagi hari.
Serupa embun, vas bunga itu pun
hanya menyimpan perasaan kami
yang patah

2000


Tentang Ulfatin Ch
Ulfatin Ch lahir di Pati, Jawa Tengah, pada 1967. Studi di IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Aktif di Teater Eska, kala itu. Puisinya tersebar di berbagai media massa dan lebih dari 20 antologi puisi bersama. Seorang ibu rumah tangga. Kumpulan Puisinya: Konser Sunyi (1993), Selembar Daun Jati (1996) dan Nyanyian Alamanda (2003).


Catatan Lain

Taufiq Ismail menulis pengantar berjudul “Penyair yang Tak Habis Merumuskan Sunyi”, di halaman v-xii. Kata Taufik; “Baris puisi Ulfatin pendek-pendek, lariknya pun tak banyak-banyak. Dia tak bercerita panjang, dan karena itu kata-katanya sedikit. Dia memilih diksi dengan teliti. Yang disampaikannya adalah kilasan-kilasan perasaan alit yang dicatatnya dengan cermat.” (hlm. 5). Begitu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar