Data buku kumpulan puisi
Judul : Upacara-upacara
Penulis : GM. Sukawidana
Cetakan : I, Januari
2015
Penerbit : AKAR
Indonesia, Yogyakarta
bekerjasama dengan
Bali Mangsi Foundation, Denpasar, Bali
Tebal : xiv + 114
halaman (63 puisi)
ISBN : 978-602-71421-1-4
Penyelia akhir :
Raudal Tanjung Banua
Desain isi :
Frame-art
Perwajahan : Alit
Widusaka
Lukisan cover :
Nyoman Wirata
Pengantar :
Syahruwardi Abbas, Nyoman Darma Putra
Upacara-upacara terdiri atas 2 bagian, yaitu Upacara Tengah Hari (26
puisi) dan Upacara Senja Upacara Tanah Moyang (37 puisi).
Sepilihan puisi GM. Sukawidana dalam Upacara-upacara
Upacara Senja
Upacara Tanah Moyang
: “kau tahu?
dengan
air mata ibu
kubasuh
nanah luka tanah moyang”
(1)
usai tubuh tubuh legam
menggaru tanah perunggu
tumbuh kanak-kanak kekasih
di batu batu karang
menjauhlah burung burung senja
bawa tembuninya ke sarang sarang matahari
ke balik kabut pepohonan
agar tak terjamah tangan tangan sihir
orang orang hitam
(2)
para inang pengasuh
rambutnya hitam sebatas pinggul
berbaris berjajar menjaga bulan
agar tak pudar warna cahaya
di wajah kanak kanak
(3)
lembu lembu perkasa
kereta perang sepasang anak kembar
melecut angin ke penjuru membawa duka
: “siapa maya denawa sekarang?”
sama rupa sama bayang
merengkuh tanah moyangnya sendiri
jadi padang padang sengketa!
(4)
wahai burung burung senja
bawalah tembuninya menjauh
cari inang pengasuh
agar disatukan kembali saudara kembarnya
agar dikenal tanah yang memeram akar darah
dagingnya sendiri
(5)
: “kau tahu?
ibuku meneteskan air matanya
membasuh mimpi buruk anak cucunya!”
Upacara Tengah Hari
(1)
: “berilah jampijampi
sebelum berangkat menyongsong kalangan
maka pekembar brumbun
dengan tajian temberang
‘kan menyadap darah tujuh pecundang!”
serupa itulah aku menabuh
kembara matahari
sambil menghitung-hitng
berapa purnama beranjak
dari
kaki langit
(2)
para moyang
dengan gelang benang tridatu dan medali
taring
buaya
merajah jemari tanganku
buat mengayuh sampan
pada batas pasang air payau
(3)
bersama kanak kanak pesisir
aku mencari cari kulit lokan
buat menatah lekuk semenanjung persinggahan
para moyang
sebelum pawang hujan
mendatangkan angin badai
: “kayuhlah sampan! kayuhlah kanak kanak!”
di tengah laut
aku mencari moyang
buat lakon terakhir
aku menari sendiri!
Sajak Mengayuh Sampan
bagi:
rwa
pada purnama keempat
aku mengayuh sampan
mencari cari muara bianglala
: “sihirlah ombak
mengalir ke dalam kanal
sumsumku!”
agar laut
kehilangan gairah
memecah keheningan tapaku!
para pawang di pesisir
dengan sisik kulit buaya
meracik tetabuh arak berem
buat upacara meminang anak matahari
: “dulangdulanglah purnama di tempayan
selagi orang
mabuk tuak!”
selepas bayang matahari senjakala
kanak kanak begitu rupa menabur nabur mimpi
di ladang ladang garam!
rekah bunga bakau
menyentuh permukaan payau
: “duhai anak kembar berambut ombak
beginilah aku menari dalam
lingkaran api
menurut titah para moyang!”
dengan sampan yang semakin oleng
oleh susuran angin
dan tangan
yang kecapaian mengayuh ngayuh sampan
aku menggiring kabut ke pesisir
menguak jalan matahari
bermusim musim!
Rumah Kesunyian
:
mencari ibu
sudah kuminta restu
dari para tetua
: aku mesti menari
di api!
rinduku pada rumah kesunyian rinduku pada ibu
kubasuh telapak kaki telapak tangan
bulan berbinar dalam perigi
ke mana anak anak pemburu
mencari inang?
alang alang di kening
matahari sejak lahir
kujamah sepanjang waktu
sia sia kukenali bayang sendiri
kabut makin mengental dalam genggaman
perjaka peladang garam
menyuling air payau
dalam tungku tungku perapian
punah sihir hitam dukun hitam
atas restu para tetua
jalan setapak rumpun alang alang
kukayuh senja mencari rumah ibu
Sajak Bermain
Layang Layang
simpanlah tangis
karena telah kubuat layang layang
dari sepasang tulang rusuk sendiri
di tanah lapang yang luas
kanak kanak melepasnya begitu saja
lihat!
ia seperti punya sayap
terbang jauh menuju langit biru
dendangnya sunyi
memanggil manggil angin
: “layang layangku sepasang tulang
rusuk
carilah peri di langit
bawa pulang ke pangkuan ibu
agar petang nanti
diceritakan tentang dewa dan dewi
yang merajut tali kasih benang bianglala!”
di langit biru
layang layangku mengembara tanpa kendali
meloncat dari awan ke awan
menoreh sebagian sisi lambungku
: “kau tahu apa kanak kanak?
layang layang yang kau mainkan
menyimpan perih luka mimpi masa laluku!”
di sunyi senja tanah lapang
aku menatap matahari tenggelam
sambil menunggu layang layangku yang tak kembali
Catatan Tentang Ubud
:
aku teringat isma savitri
di ubud sekarang ada pasar bertingkat
pada lantai atas dijual suvenir untuk para turis
sedang pada lantai bawah yang becek dan kotor
ibuku menawarkan air mata kepedihannya
di ubud sekarang
sawah ladang bahkan sampai tebing tebing
telah digarap dan tumbuh subur hotel hotel megah
siapa yang mencari mimpi di sini? (tidak aku!)
kanak kanak tidak lagi mengembalakan ternaknya
dan musim panen tak pula tergantung pada hari baik
di sepanjang jalan menuju ubud
bahkan sampai lorong lorong sempit
art shop art shop memajang karya seni
yang dijual dengan harga melangit
tetapi tidak dinikmati oleh para senimannya
: calo calo di sini
berwajah manis
tetapi hatinya selicik
serigala!
di ubud ketika malam turun
restoran restoran yang menyediakan berbagai masakan
menangkar kunang kunang dalam lampion lampion bambu
agar tercipta suasana romantis alam pedesaan
dan para turis yang membayar mahal
dapat makan dan minum dengan tenang
di ubud
odalan di pura pura
upacara upacara kematian
jadi tontonan yang menarik
; “aku sedih dan menangis jadi tontonan!”
sementara sebagian telah tergadaikan
masihkah i made teruna menabuh gambelan
mengiringi ni nyoman bajang menari rejang
di pelataran agung pura dalem puri?
Upacara ke Hulu
kepada:
warih wisatsana
melihat aku bersampan sendiri ke hulu
kau mesti menjaga kanak
kanak
yang tengah mencoba mengeja langkah
: ini hari baik untuk perhitungan nasib
jangan sampai terpukau
silau senja
yang sebentar lagi ‘kan
bergulir pudar
pelan pelan
sampan yang kukayuh merambah rawa
memantulkan kecipak suara air
suara suara yang hilang di perjalanan setiap aku melintas
– adakah kau menangkap getarnya? –
ke hulu
ke ladang ladang sunyi
aku bersampan
merambah rawa merambah
bayangku
dengan mata air
yang kusadap dari kedalaman cekung mata sendiri
kubasuh setiap petak ladang
di musim yang salah
kusemai benih kerinduan kanak kanak
(kau tahu itu!)
tetapi semusim ini
biarlah aku bersampan sendiri ke hulu
mencari sunyi
mencari kebeningan bayangku
dan kau
mesti menjaga kanak kanak
agar mengerti bahasa musim
Pura Sakenan
Pesisir Serangan
melintasi hutan bakau pesisir badung
aku menjamah suara igau burung burung
yang mencari tanah pijakan
laut terasa semakin dingin
mengair ke sumsumsumsum
senja
batu granit pura sakenan
moyangku menatahnya berabad lampau
dengan kuku kuku jemarinya yang legam
saat galungan
saat kuningan
saat orang orang pesisir mengupacarai para dewa
beribu sampan anak cucu bermuara
ke dalam kabut persinggahan
: “mengapa tak nampak i
made teruna
ke mana perginya ni nyoman
bajang?”
duh!
kamben songket saput kuning udeng putih
tergeletak di bale dangin!
pura sakenan pesisir serangan
gairah ombak begitu liar
mengikis pucuk padmasana
surut
tinggal hanya sebatas mata kaki
: “aku menjamah suara igau
mimpi buruk orang orang pesisir serangan
yang tercerabut dari tanah leluhurnya!”
Sajak Megibung (2)
ada jalan menembus pekat langit
berpasang pasang rembulan
melingkarkan cahaya tembaga
menjaring purnama
lalu mengendap ke dasar payau
akar akar bakau
memanjang sampai ke batas igau
orang orang bersorak mencaci maki
: “siapa memanggil nama sita
ketika rama memburu kijang mas?”
jangan berkhianat
aku masih punya kata
buat menyebut nama-mu
tapi sedikit gagap
: “ini purnama menempel di kening
buat memburu kijang persembahan!”
penari penari
lepas dari lingkaran
dan tinggal aku sendiri dalam kalangan
tak berdaya
melintasi batas perjalanan
Di Batan Moning
Aku Teringat “Tan Lioe le”
dari sebatang pohon keteduhan
menjelma rumah rumah bertingkat
dan matahari mata api
leleh di ubun ubun kaum urban
lorong sempit
permukiman semakin padat dan kumuh
orang orang berebut menadahkan tangan
di emper emper toko
di simpang simpang jalan
mewartakan nasib buruknya
di sebelah timur
tukad badung airnya menggenang coklat
geliatnya renta terbatuk batuk
menahan igau
(di sini aku teringat: tan lioe ie,
masihkah ia menulis sajak tentang cinta
yang melulurkan airmata
setelah cinta menangkar dan memabukkannya
dalam bumbung bumbung kehangatan?
atau ia akan merasa kehilangan
seperti pan ranggen kusir dokar
yang tergusur dari pangkalannya?)
di batan moning
rumah rumah bertingkat
meningkap bayang lukisan masa silamku
dalam lorong lorong sempit
Upacara Memanggil Angin
(1)
diam diam
pada
upacara melabuh sajen
orang orang suku pedalaman
dengan bahasa angin dan sekeping
mata
uang perunggu
memanggil manggil arwah para moyangnya
:
“wahai turunlah!
masuki
rumah rumah kesunyian!”
si altar
secawan air kembang
dan sekapur sirih
jampi jampi penolak bala
melingkari empat belas anak perawan
yang menanti pinangan para dewa!
(di sini selalu begitu mimpi
takut keluar dari lingkaran warna kulit!)
(2)
orang orang hitam
badannya
penuh rajah
dengan sihir
dikayau rembulan
lalu
diarak
dan dihanyutkan ke sungai sungai ke muara!
: “jaelangkung!
reguk
dara empat belas anak perawan
sampai
sumsumnya!”
diam diam
pada pesta bulan mati
para dukun merajah kulit biawak
jimat penangkal sihir orang orang hitam!
: “datanglah angin! datanglah arwah para moyang!
beri jimat di kedua belah tanganku
anak cucu melepas masa lajang!”
(3)
orang orang suku pedalaman
mengusung
rumah rumah kesunyian
ke pesisir ke sumber sumber mata air
sementara kanak kanak
dengan menunggang kuda lumping
memutar arah mata angin
di atas bara api matahari!
Sajak Penebang Kayu Hutan
(1) matahari setengah jadi
beranjak meninggalkan sarang luka
di
rahim bumi
tetes embun
mengalir ke empang empang
ke payau payau
kanak kanak berkalung bianglala
bersampan ke hulu
mencari cari suara suara burung
yang
hilang pagi hari
(2) para
penebang kayu hutan.
dengan sihir kata dan mata
membuat gantangan asap di tengah rawa
bau harum kulit kayu
memabukkan peri peri hitam
penguasa rimba
ayunan garang kapak baja
kambium terkelupas
percikan lidah api
melelehkan tebing tebing batu
: “duhai para penebang kayu hutan
telah kau siapkan pesta sunyi burung
gagak!”
(3) matahari
setengah jadi
beranjak digiring angin
ke
padang padang
lalu tersangkut ranting bianglala
kanak kanak telanjang bulat
rambutnya basah
menepuk bulan di empang empang
di
rawa rawa
suara denting kapak batu
pepohonan tumbang
kupu kupu patah sayap
belantara jadi senyap
Di Ladang Puisi
bersama sthiraprana
sebagai peladang
tak kutabur benih
tetapi benih yang telah tumbuh
kusemai dengan ketulusan hati
: jadilah pohon pohon puisi!
kupu kupu
menikmati pesta madu bunga raya
di musim petik
aku tak menuainya
dan memang aku tak pernah ingin
jika nanti orang orang bertanya
siapa pemilik?
kukatakan
aku tak pernah merasa punya
: jadilah milik semesta
tanpa pewaris!
karena tak kumau sengketa
di ladang ladang kerinduan
Sajak Kelahiran
itu matahari
menanjak sampai ke puncak meru
di padang kuru
lahir bayang anak lanangku
nunggang kuda dewa
menembang puisi
sendiri
Pasar Burung Satria
dari dalam sangkar
burung burung dewa
yang jadi budak belian
jangan kau tatap curiga mataku
karena pemburu berjubah
masih menyimpan anak panahnya
dalam ayat ayat suci
untuk kemudian menikam aku juga
tak ada mantra
yang mampu memunahkan pihaknya
selain tawar menawar
untuk memperpanjang kontrak hidup ini
untuk itu jangan ada dendam
dan juga hiba
kau dan aku ada
dalam penantian yang sama
menanti pembeli
yang kemudian memutuskan nasib kita
dari satu penangkaran
ke penangkaran yang lain
sampai berakhir
Upacara Si Kuda Kayu
mengikuti umbu landu paranggi dari kejauhan
membaca warna musim di gugur daun daun cemara
aku menangkap ringkih lirih si kuda kayu
ini hari sudah senja
matahari tinggal sepenggal di kaki langit
saatnya anak anak burung kembali ke sarang ibu
hening padang padang terbuka
suara kecapi di kejauhan
orang orang pribumi memetiknya
dalam lingkar api persembahan
di teragtag rumah panggung
anak perawan menyulam mimpi baju pengantin
menunggu perjakanya pulang mengayau
: “mengapa tak juga rindu pulang si anak karang?
ranum susu ibu dikecap kering angin kemarau ini!”
di batu batu kapur di padang padang sabana
dibuat rumah pengantin
: “kuda kayu! kuda kayu!
mencari bayang dalam kabut
berapa musim mesti kau jelajah?”
ringkikmu letih menyumbat detak nadi
ceruk di mata
laing sejati
jati rahasiamu!
Ritus Tanah Bali
: kepada ia made teruna dan ni nyoman bajang
yang mengupacarai tanah moyangnya
geseklah!
maka bergesek padang nyawaku rindu
carilah!
maka kucari tanah tembuni
lekuk semenanjung uluwatu
semampai tanah bali
wangi dupa
wangi tubuh tubuh perawan
mantram para pendeta
para sulinggih
restu hyang widhi
hening meru
hening padmasana
rasuki semesta
sihir angin
gelisah laut
lepas nyusup alir getar jantungku
maka marilah ni nyoman bajang
mari marilah made teruna
saatnya telah tiba
– kembali ikuti garis rajah telapak tangan
rerajah tetua
petuah lontar bale gedong
keris pusaka ki pasung gerigis
pratima ratu gede
hembuskan hening
aksara hening ang! ung! mang!
besakih trimurti
siwa pralina di tengah
genggam delapan arah mataangin
api dahsyat matahari
terlontar ke pucuk meru
gemuruh langit didih ombak tanah lot
tepis tenung hitam sihir hitam
ni dirah rangreng
tunjung biru tunjung bang
angsa putih saraswati dewi
nyanyi suci puja tri sandhya
kesetiaan nenek moyang
menembang hidup
sepanjang waktu
maka
marilah ni nyoman bajang
marilah made teruna
letakkan sesegeh putih kuning
di gerbang gerbang pura
sanggah cucuk bara api
caru jagat manca warna
racikan arak berem
tabuh rah di pelataran pura
brumbun biru lekong sandeh godeg arang
tajian temberang hidup pakembar
tetabuh lesung
tetabuh kulkul
suara genta ida pedande
kitari karang desa
hentakkan kala rau
kasmaran ratih
bulan gerhana
mati sepotong
mengambang di pekat air payau
kanak kanak pesisir
menjaring dengan kedua telapak tangannya
yang luka
panggillah peri!
panggillah pawang!
turunkan roh roh leluhur
dari bilik gedong sanggah kemulan
minta jimat bekal hidup
penangkal hitam bala hitam
benang tridatu di pergelangan
pawang hujan balian kusamba
ide ratu gede macaling
sang hyang jaran sang hyang dedari
perang pandan orang orang tenganan pagringsingan
tolak petaka
tolak tenung
balian kiwa
balian batur
langit merah terbakar
tanah pecah tembikar
sesal pribumi duka berkepanjangan
apa mesti terjadi di tanah perunggu ini?
duh ni nyoman bajang! duh made teruna!
akankah saat melasti tawur agung kesanga nanti
tanpa pesisir?
seratus kunang kunang berwarna warna
mewarnai kamben songket para dayang
lihat!
lenggang lenggok pinggulnya bergoyang
goyang
mengundang leleh birahi
para punggawa
punakawan tak berkawan
merambah wilayah pemukiman senjakala
bawa titah
tolak pinangan
pekasih para dukun tak bertuah
sengketa jadi dendam warisan warna kulit
mari bajang teruna!
saatnya telah tiba
tinggalkan bayang sengketa
orang orang sesat
mari tinggalkan perbedaan warna kulit
di hadapan hyang widhi
kau dan aku sama
anak agung wong jero
silsilah masa lalu
sengketa masa kini
satu insan sang manu
satu asal usul
tanah moyang
tanah anak cucu
maka marilah bajang teruna!
rembug adat para tetua di bale banjar
masumpah dewa di pura dalem
labuh geni satia nirmala
tanah moyang tanah tembuni
akar jantung hidup mati
bagi kau dan aku
maka kibarkan lelontek maruti di langit meru
umbul umbul tedung agung di pura pura
pakelem danau batur
keseimbangan jagat bali
canang sari daksina pati
pejati sujati
restukan pinangan para dewa
menjaga tanah bali
suci hening nirmala
anak cucu mengurat langit
mengakar bumi
jadikan batu karang dahsyat bertahan
puputan badung puputan klungkung
ki barak panji sakti
kesetiaan akan janji para ksatria
kekasih para dewa
menjaga tanah bali dwipa
sepanjang hidup
Tentang GM. Sukawidana
GM. Sukawidana mengajar di sebuah SMP di Denpasar. Mulai
serius menulis puisi sejak belajar di Sekolah Pendidikan Guru Negeri, Denpasar,
tahun 1979. Mengasuh sanggar Cipta Budaya SMP Negeri 1 Denpasar, di samping
kelayapan di Sanggar Minum Kopi dan Kampung Puisi Bali. Puisinya tersebar di
berbagai media massa dan antologi puisi bersama. Upacara-upacara
merupakan antologi pertamanya, menghimpun dua kumpulan manuskrip.
Catatan Lain
Upacara-upacara
merupakan antologi pertamanya, dari dua kumpulan manuskrip “Upacara Tengah
Hari” dan “Upacara Senja Upacara Tanah Moyang”, demikian bunyi tulisan di
paragraf akhir biodata penulis di sampul belakang buku. Tapi di halaman viii
ada tambahannya: “Semestinya ada satu bagian manuskrip lagi yang ingin saya masukkan
ke dalam Upacara-upacara, yaitu Upacara Terakhir. Tetapi karena
suatu pertimbangan, manuskrip terakhir itu tidak saya gabung. Semoga pada
tahun-tahun mendatang dapat dibukukan menjadi antologi tersendiri.” Kira-kira
demikian secomot kata yang saya ambil dari pengantar penyair yang dijuduli Dari
Keheningan Saya Kembalikan Semua (hlm. vii-ix).
Di pengantar itu juga,
penyair menceritakan keterlibatannya dalam Sanggar Cipta Budaya, yang
mendokumentasikan karya “adik-adik”-nya sejak 1983 lewat antologi puisi Doa
Bali Tercinta. Dilanjutkan Rindu Anak Mendulang Kasih (1985), yang
ternyata, diminta oleh Mendikbud Fuad Hassan untuk diterbitkan Balai Pustaka,
Jakarta, hingga cetakan ketiga. Selanjutnya ada Benang-benang Bianglala
(1994) dan Semuanya Harus Dicatat Semuanya Dapat Tempat (2000).
Saya
mendapatkan buku Rindu Anak Mendulang Kasih di perpustakaan sekolah saat
masih SMP dulu, antara tahun 1992-1995. Waktu itu masih rajin-rajinnya mencatat
puisi. Nah berikut foto tulisan tangan saya mencatat puisi dalam antologi Rindu
Anak Mendulang Kasih.
Wah, baru baca ini. Terimaa kasih. "Peladang Kata (Sebuah Reuni Puisi) Sanggar Cipta Budaya akan segera terbit akhir Desember ini atau Januari 2019, berisikan 7 naskah penyair yang sampai saat ini masih eksis. meski profesi mereka tidak ada kaitannya dengan dunia saastra.
BalasHapusSalam takzim, Pak Guru yang Penyair. Terima kasih.
BalasHapus