Data buku kumpulan
puisi
Judul : Suluk Bagimu Negeri
Penulis : Aprinus Salam
Cetakan : I, April 2017
Penerbit : Gambang Buku Budaya, Yogyakarta.
Tebal : ix + 79 halaman (64 puisi)
ISBN : 978-602-6776-41-9
Desain isi : Kun Andyan Anindito
Desain sampul : Yopi Setia Umbara
Lukisan sampul : “Suluk Sampan” karya Danang Indra
Prayudha
Suluk Bagimu Negeri terdiri atas 4
bagian, yaitu Pada Mulanya (16 puisi); Ketika, Menjadi (18
puisi); Para Pribadi (16 puisi) dan Tak Pernah Akhir (14 puisi)
Sepilihan puisi Aprinus
Salam dalam Suluk Bagimu Negeri
SEORANG GURU DI PELOSOK
Hidupku kecil, ruang
gerakku kecil, sekolahku kecil,
kelasku kecil, tubuhku
kecil, muridku kecil-kecil,
pada sebuah desa terpencil.
Jika malam, kehidupan lilin
berapi kecil, kubuka
buku pelajaran untuk
persiapan kecil-kecilan.
Tidak larut tidurku, takut
tubuhku kurus mengecil.
Aku masak nasi pada sebuah
periuk kecil, kupanaskan
sayur dalam panci kecil.
Segera aku melangkah cepat
dalam langkah-langkah
kecil ke sekolahku yang
kecil. Kusapa muridku yang kecil-
kecil.
Kubuka pelajaran sejarah.
Aku pun berkisah tentang
sebuah bangsa besar yang
dijajah negara kecil.
Muridku yang kecil-kecil
menggangguk kecil.
Selesai sekolah, aku
bergegas pulang, dengan langkah
yang kecil-kecil, menuju
rumahku yang kecil.
Siang menjelang sore, aku
membersihkan rumah dan
mengerjakan pekerjaan
lainnya yang kecil-kecil. Sore,
aku mandi dalam sebuah
kamar mandi kecil.
Kembali malam, kulakukan
refleksi kecil. Kusadari nyaliku
yang kecil. Juga sisa
hidupku yang mengecil.
Kini umurku tak lagi kecil,
tapi hidupku kecil, ruang
gerakku kecil. Kalau nanti
aku mati, aku membutuhkan
sebidang tanah yang kecil.
SULUK BATIK
Warnaku cuma satu, kupecah
sejumlah
Hingga kabur mataku, lahir
dirimu
Garisku cuma satu
Kupatah dan kubengkokkan
Kembali kuluruskan
Jadilah gambarmu
Jadilah rupamu
Bukan aku tak butuh mori
dalam keseimbangan bandul
dan dingklik untuk dudukku
serta tarian canting yang
meleleh
dibakar anglo dan jari
tangan lincah
dalam sebuah wajan
Seperti lingga dan yoni,
cantingku
seperti ganggang dan
nyamplung
melebur pada malam yang
melekat
dan membasahi warnaku yang
satu
dari garisku yang tak terputus
dari garisku yang tak terputus
Polaku cuma satu, motifku cuma
satu
Kucacah beribu, kugaris dan
kuwarnai
Hingga namaku beribu-ribu
Aku percayakan diriku
padamu
pada tubuh dan jiwa yang
membawa
doa dan harapan atas namaku
agar aku menjadi batikmu
Aku tak berpola
Aku tak bermotif
Aku tak merupa
Aku tak bergambar
SULUK CACING
Entah siapa yang berkenan
jadi cacing
aku mau, dalam geliat
tubuhku
aku rupa yang bejat
tak bermata dan bertelinga
Telah lebur apa pun dalam
diriku
karena padaku kusimpan malu
Mengunyah sepanjang hayat
mengolah keras jadi
kelembutan
Aku bisu di kebusukan dan
lorong-lorong
juga perut dan kepala batu,
dan darah
Aku bisa terbang ke mulutmu
Akulah dirimu yang licin
dalam lendir pasrah, untuk
subur bumi
untuk jalan yang kau tempuh
PUISI ITU ADALAH AKU (3)
Banyak mulut bicara
Tapi tak berkata
Kata-kata telah keluar
dari dirinya
tinggal suara bising
yang menjengkelkan
Kuambil kata dalam mulutmu
Kujadikan tulisan, agar
menjadi catatan kasihku
Banyak kata ditulis
tapi tak jadi kehendak
Kata telah keluar dari
hatinya
Mana pangkal mana ujung
Tak bisa kuurut
Kuambil kata dari baca mu
Kujadikan puisi, agar
Menjadi jalan moksa ku
SULUK NUSANTARA (3)
Apa yang tersebar di
pulau-pulau, selain peta
Seperti mutu manikam,
terhampar di pinggir pantai
Serta lamunan masa lalu
yang samar
Telah berabad-abad, kau
tulis kisah hidupku
Tentang kampung dan desa
yang gemah
Kota-kota yang tumbuh, atau
tentang
kabut yang bercokol di
kepalamu
Di sini, aku berdiri
menyediakan jejak-jejakku
Pada bata merah dan tulisan
di batu yang tertimbun
Serta kolam pemandian yang
airnya tak lagi bening
Tapi aku hanya gugusan
kenangan
Rumah yang dulu pernah aku
bangun,
kini entah kemana
Tinggal puing yang
beserakan
Satu per satu luruh. Bukan
saja dalam ingatan
Pun dalam buku-buku catatan
Tak ada yang merangkulku,
seperti tidur anak-anak
yang kehilangan pangkuan,
aku pasrah melebur
berterbangan menuju gerbang
istanamu
Kini, aku hanya bisa
menungu
Masa-masa keabadian itu
SULUK DESA-DESA
Karena titahmu, aku lahir
di malam hari
Bersama tiang listrik,
jalan, dan aspal
Lampu-lampu membesar ketika
aku
belajar naik motor di kebun
belakang
Tubuhku semakin berisi,
tanganku panjang
Perutku buncit berlepotan,
aku mengeluarkan
kotoran yang kau pajang di
museum
menjadi tontonan
Begitulah nasib, lahir
karena gembira
berkepanjangan dan tak
henti-henti
aku mempesolek diri, entah untuk
siapa
Ketika aku berkaca pada
siang hari, kutemukan
diriku tersungkur lusuh,
lelah menahan pelototan
matamu berbinar kecewa
Berharap selalu malam,
bersembunyi
dari pandangan siang. Tak
hendak aku menjadi
kota, aku ingin kau
mematikan lampu di jalan
agar aku selalu menjadi
desamu. Desaku yang
permai…
SULUK RUMAH
Tanah kosong, dan kayu-kayu
yang lelah
Kau pernah di situ bersama
atap dan paku
Juga dinding-dinding yang
terhapus
Kemudian, bersamamu aku
pindah
Berpindah rumah ke segala
tanah kosong
Kini kau tak bisa
pindah-pindah lagi
Karena semua rumah adalah
aku
SULUK PENGGALI KUBUR
Entah berapa ribu orang
yang telah aku kubur.
Tak tahu aku. Aku tak
pernah menghitung. Aku juga
tak tahu, siapa dan dari
mana saja mereka.
Tapi, coba kau lihat kuburanku.
Sudah berapa
orang yang aku kubur.
Ribuan. Dari awal, aku sudah
di sini bersama bapakku.
Orang memanggilku Pak
Kubur. Iya, namaku Sakubur.
Tidak nyombong, aku
terkenal di kampungku. Tidak
ada orang yang tidak kenal
Pak Kubur. Semua orang
di kampung, berurusan
denganku.
Iya, telah kukubur ribuan
orang, entah siapa mereka.
Kugali kubur. Kugali kubur,
kugali dua meter. Kugali lima
meter. Kugali ribuan meter.
Kugali jutaan meter.
Rumahku di kuburanku. Ada
banyak yang menemuiku.
Mereka memperkenalkan diri
mengatakan aku yang
membuat kuburan mereka. Ada
yang ganteng dan
wangi. Ada yang buruk rupa
dan busuk.
Ada-ada saja yang
menemuiku. Akupun pura-pura kenal
Karena mereka semua akan
menjadi tetanggaku.
Setiap hari aku menggali
kuburan. Ada permintaan atau
tidak, setiap hari aku menggali
kuburan.
Kuburku sendiri telah
kugali.
Iya, aku penggali kubur.
Entah berapa ratus ribu orang
yang sudah aku kubur, aku
tak pernah menghitung.
SULUK IKAN
Jika aku berenang tak
henti-henti
Akan kemanakah sampai
Jika laut dan air rumahku
Saat itu pun telah
ditentukan
Di keteduhan, Yunus
menungguku
Ngajak jalan menuju rumahmu
SULUK SAMPAN
Aku ukir diriku hingga
mengapung
Bersama nyanyian biduk, aku
bergegas
hingga tepi airmu
Tak kan ke mana pantai
pergi
Karena ikan-ikan pun tak
pernah
menjauh
Aku pun terus mengayuh
mencari
pusaran tempat aku berlabuh
pada
masa penantian
Menujumu, aku tak perlu
layar
Cukuplah bagiku, sebilah
kata yang
kau tulis di dinding hatiku
Aku terus berlayar, bersama
angina
Yang berhembus hingga ke
relung
Terdalam
SULUK SIBUTA-BISU
saat kau padamkan suaraku
aku hanya menyebut namamu
saat aku tak mendengar
aku mendengar suaramu
saat kau tutup mataku
aku melihatmu
ketika padam suaraku
ketika aku tak mendengar
ketika kau tutup mataku
aku menjadi dirimu
SULUK POHON-POHON
Dari tanah kembali ke Tuhan
Tapi aku kayu
Melalui diam, dan bersama dedaunan
Kulahirkan daun dan ranting
Kau bertengger bak mahkota
Yang kau pasang di kepala
Atas tubuhku, akulah meja dan kursi
rumah-rumah dengan dinding yang menjamur
dan tiang-tiang yang goyang dicumbu rengat
Di dapurmu, dihimpitan batu dan tembikar
Mengabu diriku memasak makanan
Tak mau aku menjadi hangus
Pada hutan-hutan yang terbakar
Bersama tegak, diriku tak bernama
Buah-buah pun bergelantungan
mencari jalannya sendiri
sebab tubuhmu menerimaku dengan cepat
Mengantarkan aku pulang kepada-Nya
Pun ketika kau istirah, kau duduk bersama
teduh pepohonan, pagar menyangsikan
perasaan dan batas yang membuat jalan
Jalan semua orang
Tapi aku kayu
Menjadi pohon tak berhingga
Biarlah Tuhan menamai
diriku
SULUK NYIUR MELAMBAI
Pohon-pohon lahir karena
air, bersama daun
berguguran ke tanah,
dipoles matahari. Di mataku,
pohon bertelur, bersama
ranting-ranting
Tak ada lambai yang
mengemas diriku
Pucuk-pucuk tumbuh begitu
saja. Menggapai awan
riang berlari karena hasrat
yang tertahan
hingga bulan menghampiri,
siluet pun terbayang
Tak ada yang memintaku
menjadi lancip
menyuruh menjadi akar,
pohon-pohon hadir
mengasah hari dari
kesunyian dan desau angin
Di kejauhan, di kedekatan,
akulah nyiur itu. Suara
melodi, mengetuk detak
jantung dan langkah kaki.
Menjadi tubuhmu, dalam
lambaimu
SULUK MALAM
Keremangan apa yang
menghisap sore
Ketika suara burung
tiba-tiba terdiam
Menyelinap ke sangkarnya
tergesa-gesa
Suara apa yang lebih syahdu
daripada malam
Ketika jangrik dan
orong-orong berpuisi
Menghibur kesendirianmu
yang berani
Dalam batas keraguan, kau
pun bersiap-siap
Kau buka jendela, pintu,
dan matamu
Agar aku tak pernah merasa
kegelapan
SULUK ANJING (1)
Kukibaskan ekorku untuk
menghamba
Kujulurkan lidahku untuk
memujamu
Aku makan sampah dan
kotoran
Menggonggong dan membuatmu
heran
Sambil berdoa ke langit
Tak apa kau lempar aku
Tak apa kau siram gelegak air,
aku tetap anjing
Yang kau pakai mengumpat
Aku anjing yang mengantar
dan menunggu
berdoa untukmu sampai kau
hujat
Dari luar pintu gua, aku
menatapmu
Entah kapan engkau keluar
Kutunggu engkau hingga
ratusan tahun
Menuju matiku
SULUK BURUNG-BURUNG
Jadilah, maka jadilah
sayap, seekor burung
terusir terbang tak
sampai-sampai
Sebagai burung, kau lihat
hidungku
Kau jadikan diriku boneka
bersayap
Terbang rendah menyusup
rumahmu
Maka jadilah terbang,
seekor burung melayang
Menuju langit kematian
Jauh di pucuk, sayapku
mendekap awan
Menuju kotamu yang kau
bangun
Berabad-abad yang lampau
Dalam sayap-sayap diriku,
aku mencarimu
Tentang Aprinus Salam
Aprinus
Salam mengajar di Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya UGM. Waktu kuliah mengambil
skripsi (1992) dan tesis (2002) tentang puisi. Sedang disertasi dokternya
(2010) tentang novel. Tahun 2012-2016 menjadi anggota Senat Akademik UGM.
Menjadi kepala pusat Studi Kebudayaan UGM sejak 2013. Kumpulan puisinya yang
pertama adalah Mantra Bumi ini, disusul Suluk Bagimu Negeri
(2017). Kumpulan esainya Biarkan Dia Mati (2003) dan Politik dan
Budaya Kejahatan (2015).
Catatan Lain
Di
sampul belakang ada puisi Suluk Sampan. Lengkap. Pengantarnya dikasih
judul Suluk Pengantar. Tulisnya di paragraf 3: “Berbeda ketika aku
menulis Mantra Bumi (2016). Waktu itu, aku bisa menulis dengan cepat,
dan tidak berpikir panjang, karena kuniati menulis mantra atau doa. Menulis
puisi dalam Suluk Bagimu Negeri, aku harus bekerja keras.//Berdasarkan
pengalamanku kali ini, tidak ada pekerjaan yang lebih melelahkan daripada
membuat puisi. Tidak ada pekerjaan lain yang lebih menuntut konsentrasi tinggi
daripada membuat puisi.” (hlm. v). Begitu.
puisinya menghipnotis..suka..
BalasHapus