Kamis, 01 Desember 2011

PERCAKAPAN HAWA DAN MARIA


Data buku kumpulan puisi

Judul : Percakapan Hawa dan Maria
Penulis : Rayani Sriwidodo
Cetakan : I, Desember 1988
Penerbit : Pustaka Karya Grafika, Jakarta
Tebal : 61 halaman (1 puisi panjang)
Desain kulit : Sriwidodo
Tinjauan : A.A. Navis (Hawa dan Maria dalam Lumpur Kebudayaan Patriarki), Dick Hartoko (Eva menjadi Ave), Wilson Nadeak (Hawa dan Maria Dipandang dari Segi Teologi dan Peranannya dalam Hidup Manusia)

Petikan puisi Rayani Sriwidodo dalam  Percakapan Hawa dan Maria

Percakapan Hawa dan Maria

Tangkaplah cahaya dari Timur
yang tak hanya menerangi sekelompok gua
perkampungan orang-orang tertutup

Tangkaplah cahaya dari Timur
saat sebelum meleleh jadi kurun-kurun peradaban
yang telah membelukar dengan kegelapan
yang ditimbulkan bayang-bayangnya sendiri
dalam satu perut kemanusiawian yang rakus

Bukan kabar gembira, hanya cahaya
menerobos kata sejuta ayat dari sekian Alkitab
saat lebur kita
dalam cipta tunggal-Nya
: Sang Manusia
  dengan piramid naluriahnya :
                
               demi .........
benci                                                                  cinta




       





      


kafilah dari seperjalanan abadi di pusar hasrat
sang pendaki piramid yang terjerat

Sementara bumi berbungkus kelam kabut
pada hari pertama penciptaan
sebelum menggeriapi jagad
yang dalam jebak rajutan dosa awal
yang memberi sandang
dari ketelanjangan hampa arti
dari sekedar anak bawang surgawi


Saat sang akan yang liat
belum menggeliat
miripkah itu malam larut jam nol
panah waktu tersesat ke planit asing
tak lagi hadir di tik-tak jam

Hawa dan Maria
dua nama utama bunda Sang Manusia

“Kalau saja ditanya oleh penguji 'bebas G30S'
+ Agama apa, saudari Hawa ?
-  Lho, bahkan dengan Tuhan ku sudah bertatap muka
   saling sapa
   dulu (suaranya menajam)
   di sorga (desis seseorang yang terkenang)

Lain Maria yang akan lembut menyahut :
- Kuikuti Yesus, kucemaskan
   Meskipun dibiarkannya aku di luar menunggu *1
   menyebut murid-muridnya sebagai saudara dan ibu
   oh, agamaku?
   Ketika di Antiochia orang menyebutnya ‘Kristen’
   aku entah di mana *2

Jam nol pun membeku
bagai bola salju

Bergelung dalam selimut pukau
lipurkan tidur semesta yang risau
sementara Hawa, bagai memburu kupu-kupu
meloncati gugus demi gugus batu
mendaki ria
melipat kening Maria

Adegan berikut:
tiba-tiba Hawa seperti tersandung
bertumpu pada akar mencuat
ditunggunya belukar di depan terkuak
bukan semilir angin tapi sepasang mata lapar

Dengan ketenangan yang agung
Hawa membelainya, lewat ucapan :
            “Serigala buta
            tak kau lihatkah bahwa aku kini
bukan lagi sepotong tulang?”

Seakan ganti berujar:
“Dibanding dengan ular
serigala tak lebih layak jadi aktor
dalam drama maha agung itu,"

mata itu mengecil
mengibas-ngibaskan ekor, pergi
mengelak ruji

Sungguh, teruskan tidur
teruskan!

Bila jutaan resah hening dalam seuntai doa
sementara di rel yang basah
ada leher diletakkan

Bila berlangsung cinta berkeringat ‘aduh’
di belakang dinding kelam
sementara si pungguk menikam dada Venus penuh dendam

Bila di bawah ranjang Mao
dokumen diselundupkan Chiang Ching
sementara dalam baju kabung
diselipkan keris Mpu Gandring

Ketika Adam agaknya takkan kunjung kembali
bila memburu sang ular yang terluput
karena begitu bergegas cuci tangan
di air dosa ‘perempuan yang telah *3
Tuhan karuniakan kepadaku itu
yang memberikan daku
buah pohon itu’
- perempuan yang ketika sepi
begitu ia dambakan
sebagai ‘seorang penolong yang sejodoh’ *4

Maka
Hawa sedang tegak nun di puncak bukit itu
memilih bahasa keanggunan
menatap tajam Maria yang kini nengadah depan pondoknya
siap menadah butir-butir kata terlontar
menyambut percakapan yang kekal terbengkalai

Hawa:  Aku
titik mekar
bunga-bunga, putik lalu buah
buah-buah, sampai kelak pun bibit menebar di tanah
aneka nama ketika firman kusimak
bagai menghirup udara
pada paru hampa

Bibit itu, kiranya, sebentuk jantung
kamar ganda dalam ruang tunggal
sang buruk dan sang baik
: Maria
bunda si patron kasih, alangkah anggun engkau
bagai menara yang cuat di sela rimbun
cinta, namun langkah insani semua kurun
memperdengarkan denyut nadi serupa
kaya nuansa, hanya

Maria
siapakah yang membasuh cermin
lewat kainku - yang dalam cengkeraman
cakar cemburu
memperkenalkan darah
sebagai bahasa gugah

lewat habelku - si layu bunga plastik
di atas bara
demi sang buruk dan sang baik
Betapa tidak, Maria
isa telah membunuh rasa benci
kasihnya berlumur darah kain-kainku
Dapatkah engkau jadi penimba yang mampir
memisah air hulu dalam air hilir?

Maria: Dalam tanyamu, tanyaku juga
dalam tanya kita, tanya mereka iuga
sepasang ibu: andai bersalin dari satu rahim jam nol
jangan menyiratkan ingatan tentang
yang tersisih dan yang terkasih, bundaku Hawa
jangan mempertanyakan yang korban
: sekedar uri-uri mengiringkan kelahiran

Ketika rusuk Adam membelah
menjelmalah Hawa
karena menyaratkan keadaman menjelma
untuk apa sang ular akan melingkarkan peran
untuk siapa buah terlarang akan membibitkan ajaran
tentang ketidak-abadian manusia
demi bagaimana keabadian-Nya
sebab apa firdaus tersebut ada begitu saja
bagai ada-Nya

bila bukan untuk bermulanya
sepasang mahluk ke dunia
untuk ada begitu urut dengan kurnia

Atau bila katamu:
tegaklah lurus di luar piguramu
ku tegak lurus di luar bingkaiku
ambilkan pena dengan tinta darah
mari mengukur panjang bayang-bayang

Kataku:
bagaimana mungkin kita pastikan
sedang kita berada dalam kegelapan
hanya tampak ketika beban telah diemban?

Bola mulus itu telah menggelinding
tanpa lekuk rahasia
maka sekian bocah kita
yang adam hingga yang muhammad,
bagaimana gerangan
mencari, apa lagi menentukan, jejak masuknya
ke dalam
sementara tetap berdenyut juga jantung
sang kamar ganda dalam ruang tunggal
tik-tak
bukan ruh, yang lugu
tapi kehendaklah yang dipertanyakan itu
penebusan yang kehilangan tidak, dan sebaliknya
menjelmakan ruang-ruang di dunia kata
: boks untuk bayi-bayi kita

(Hawa dan Maria
bunda yang kain dan yang isa
dua jendela pemandangan
ke arah hutan bumerang
kelemahan manusiawi
cuaca di sana dalam kendali
kutub membenci dan mengasihi
kepamrihan saling tumpah isi

Seekor merpati putih
melayap dari pucuk ke pucuk
di hutan itu
ia datang sesewaktu
dari yang tinggi
tak pernah luka
tak patah sayap
dilanda badai
tak basah
dilimbur ombak
itukah apa dipupur duga

semak yang bersengkarut
paut yang liar larut
di hutan itu
menyembunyikan rapat
yang bermula menjerat

Sementara gema
di rongga- rongga bukit batu
disela-sela jerami

bagai gumpal awan yang sesewaktu terlupa
menggelantung di angkasa
angkasa purba
ah, angkasa maha raya
entah kapan Newton mampu menyingkap appel
karisma
bertebaran di kebun-kebun penghuni gua
apakah menurut-Nya:
daripada membusuk di sorga)


*1 Kitab Matius 12: 49
*2 Kisah rasul-Rasul 11:26
*3 Kitab Kejadian 3: 12
*4 Kitab Kejadian 2: 20


Tentang Rayani Sriwidodo
Rayani Sriwidodo lahir 6 November 1946 di Kotanopan, Tapanuli Selatan dari pasangan Hajjah Siti Ebah Nasution dan Baginda Mulih Kadir Lubis. Menikah dengan pe;ukis Sriwidodo. Kumpulan puisinya: Pada Sebuah Lorong (1968) bersama T. Mulya Lubis, Pokok Murbei (1977), Percakapan Rumput (1983), Tragedi Sang Laron. Kumpulan cerpennya,  Obsessi Manusiawi dan Bukan Arca. Juga menulis 21 novel anak/remaja. Juga melakukan penerjemahan-penerjemahan.

Catatan Lain
Ini buku yang saya beli di boulevard UGM semasa kuliah dulu, tepatnya di depan gelanggang mahasiswa, pada sebuah mobil pickup yang waktu itu suka menggelar dagangan buku-buku di sana, di bawah pohon pinus. Tak ingat saya harganya, juga kapan persisnya beli itu buku. Ada sebuah tulisan kabur yang mengabarkan bahwa buku itu dibeli seharga Rp. 5.000,-  atau Rp. 3000,- Buku Percakapan Hawa dan Maria memuat  satu puisi tunggal yang terdiri dari 3 bagian, yaitu Percakapan Hawa dan Maria, Penjara Cermin dan Tarian Ular.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar