Data buku kumpulan puisi
Judul : Percakapan Hawa dan Maria
Penulis : Rayani Sriwidodo
Cetakan :
I, Desember 1988
Penerbit :
Pustaka Karya Grafika, Jakarta
Tebal :
61 halaman (1 puisi panjang)
Desain kulit :
Sriwidodo
Tinjauan : A.A. Navis
(Hawa dan Maria dalam Lumpur Kebudayaan Patriarki), Dick Hartoko (Eva menjadi
Ave), Wilson Nadeak (Hawa dan Maria Dipandang dari Segi Teologi dan Peranannya
dalam Hidup Manusia)
Petikan puisi Rayani Sriwidodo dalam Percakapan
Hawa dan Maria
Percakapan Hawa dan Maria
Tangkaplah cahaya dari Timur
yang tak hanya menerangi sekelompok gua
perkampungan orang-orang tertutup
Tangkaplah cahaya dari Timur
saat sebelum meleleh jadi kurun-kurun peradaban
yang telah membelukar dengan kegelapan
yang ditimbulkan bayang-bayangnya sendiri
dalam satu perut kemanusiawian yang rakus
Bukan kabar gembira, hanya cahaya
menerobos kata sejuta ayat dari sekian Alkitab
saat lebur kita
dalam cipta tunggal-Nya
: Sang Manusia
dengan
piramid naluriahnya :
demi .........
benci cinta |
kafilah dari seperjalanan abadi di pusar hasrat
sang pendaki piramid yang terjerat
Sementara bumi berbungkus kelam kabut
pada hari pertama penciptaan
sebelum menggeriapi jagad
yang dalam jebak rajutan dosa awal
yang memberi sandang
dari ketelanjangan hampa arti
dari sekedar anak bawang surgawi
Saat sang akan yang liat
belum menggeliat
miripkah itu malam larut jam nol
panah waktu tersesat ke planit asing
tak lagi hadir di tik-tak jam
Hawa dan Maria
dua nama utama bunda Sang Manusia
“Kalau saja ditanya oleh penguji 'bebas G30S'
+ Agama apa, saudari Hawa ?
- Lho, bahkan dengan Tuhan ku
sudah bertatap muka
saling sapa
dulu (suaranya menajam)
di sorga (desis seseorang yang
terkenang)
Lain Maria yang akan lembut menyahut :
- Kuikuti Yesus, kucemaskan
Meskipun dibiarkannya aku di
luar menunggu *1
menyebut murid-muridnya
sebagai saudara dan ibu
oh, agamaku?
Ketika di Antiochia orang menyebutnya
‘Kristen’
aku
entah di mana *2
Jam nol pun membeku
bagai bola salju
Bergelung dalam selimut pukau
lipurkan tidur semesta yang risau
sementara Hawa, bagai memburu kupu-kupu
meloncati gugus demi gugus batu
mendaki ria
melipat kening Maria
Adegan berikut:
tiba-tiba Hawa seperti tersandung
bertumpu pada akar mencuat
ditunggunya belukar di depan terkuak
bukan semilir angin tapi sepasang mata lapar
Dengan ketenangan yang agung
Hawa membelainya, lewat ucapan :
“Serigala buta
tak kau lihatkah bahwa
aku kini
bukan lagi sepotong tulang?”
Seakan ganti berujar:
“Dibanding dengan ular
serigala tak lebih layak jadi aktor
dalam drama maha agung itu,"
mata itu mengecil
mengibas-ngibaskan ekor, pergi
mengelak ruji
Sungguh, teruskan tidur
teruskan!
Bila jutaan resah hening dalam seuntai doa
sementara di rel yang basah
ada leher diletakkan
Bila berlangsung cinta berkeringat ‘aduh’
di belakang dinding kelam
sementara si pungguk menikam dada Venus penuh dendam
Bila di bawah ranjang Mao
dokumen diselundupkan Chiang Ching
sementara dalam baju kabung
diselipkan keris Mpu Gandring
Ketika Adam agaknya takkan kunjung kembali
bila memburu sang ular yang terluput
karena begitu bergegas cuci tangan
di air dosa ‘perempuan yang telah *3
Tuhan karuniakan kepadaku itu
yang memberikan daku
buah pohon itu’
- perempuan yang ketika sepi
begitu ia dambakan
sebagai ‘seorang penolong yang sejodoh’ *4
Maka
Hawa sedang tegak nun di puncak bukit itu
memilih bahasa keanggunan
menatap tajam Maria yang kini nengadah depan pondoknya
siap menadah butir-butir kata terlontar
menyambut percakapan yang kekal terbengkalai
Hawa: Aku
titik mekar
bunga-bunga, putik lalu buah
buah-buah, sampai kelak pun bibit menebar di
tanah
aneka nama ketika firman kusimak
bagai menghirup udara
pada paru hampa
Bibit itu, kiranya, sebentuk jantung
kamar ganda dalam ruang tunggal
sang buruk dan sang baik
: Maria
bunda si patron kasih, alangkah anggun
engkau
bagai menara yang cuat di sela rimbun
cinta, namun langkah insani semua kurun
memperdengarkan denyut nadi serupa
kaya nuansa, hanya
Maria
siapakah yang membasuh cermin
lewat kainku - yang dalam cengkeraman
cakar
cemburu
memperkenalkan darah
sebagai bahasa gugah
lewat habelku - si layu bunga plastik
di atas bara
demi sang buruk dan sang baik
Betapa tidak, Maria
isa telah membunuh rasa benci
kasihnya berlumur darah kain-kainku
Dapatkah engkau jadi penimba yang
mampir
memisah air hulu dalam air hilir?
Maria: Dalam tanyamu, tanyaku juga
dalam tanya kita, tanya mereka iuga
sepasang ibu: andai bersalin dari satu rahim
jam nol
jangan menyiratkan ingatan tentang
yang tersisih dan yang terkasih, bundaku
Hawa
jangan mempertanyakan yang korban
: sekedar uri-uri mengiringkan kelahiran
Ketika rusuk Adam membelah
menjelmalah Hawa
karena menyaratkan keadaman menjelma
untuk apa sang ular akan melingkarkan peran
untuk siapa buah terlarang akan membibitkan
ajaran
tentang ketidak-abadian manusia
demi bagaimana keabadian-Nya
sebab apa firdaus tersebut ada begitu saja
bagai ada-Nya
bila bukan untuk bermulanya
sepasang mahluk ke dunia
untuk ada begitu urut dengan kurnia
Atau bila katamu:
tegaklah lurus di luar piguramu
ku tegak lurus di luar bingkaiku
ambilkan pena dengan tinta darah
mari mengukur panjang bayang-bayang
Kataku:
bagaimana mungkin kita pastikan
sedang kita berada dalam kegelapan
hanya tampak ketika beban telah diemban?
Bola mulus itu telah menggelinding
tanpa lekuk rahasia
maka sekian bocah kita
yang adam hingga yang muhammad,
bagaimana gerangan
mencari, apa lagi menentukan, jejak masuknya
ke dalam
sementara tetap berdenyut juga jantung
sang kamar ganda dalam ruang tunggal
tik-tak
bukan ruh, yang lugu
tapi kehendaklah yang dipertanyakan itu
penebusan yang kehilangan tidak, dan sebaliknya
menjelmakan ruang-ruang di dunia kata
: boks untuk bayi-bayi kita
(Hawa dan Maria
bunda yang kain dan yang isa
dua jendela pemandangan
ke arah hutan bumerang
kelemahan manusiawi
cuaca di sana dalam kendali
kutub membenci dan mengasihi
kepamrihan saling tumpah isi
Seekor merpati putih
melayap dari pucuk ke pucuk
di hutan itu
ia datang sesewaktu
dari yang tinggi
tak pernah luka
tak patah sayap
dilanda badai
tak basah
dilimbur ombak
itukah apa dipupur duga
semak yang bersengkarut
paut yang liar larut
di hutan itu
menyembunyikan rapat
yang bermula menjerat
Sementara gema
di rongga- rongga bukit batu
disela-sela jerami
bagai gumpal awan yang sesewaktu terlupa
menggelantung di angkasa
angkasa purba
ah, angkasa maha raya
entah kapan Newton mampu menyingkap appel
karisma
bertebaran di kebun-kebun penghuni gua
apakah menurut-Nya:
daripada membusuk di sorga)
*1 Kitab Matius 12:
49
*2 Kisah rasul-Rasul
11:26
*3 Kitab Kejadian 3:
12
*4 Kitab Kejadian 2:
20
Tentang Rayani Sriwidodo
Rayani Sriwidodo lahir
6 November 1946 di Kotanopan, Tapanuli Selatan dari pasangan Hajjah Siti Ebah
Nasution dan Baginda Mulih Kadir Lubis. Menikah dengan pe;ukis Sriwidodo.
Kumpulan puisinya: Pada Sebuah Lorong
(1968) bersama T. Mulya Lubis, Pokok
Murbei (1977), Percakapan Rumput
(1983), Tragedi Sang Laron. Kumpulan
cerpennya, Obsessi Manusiawi dan Bukan
Arca. Juga menulis 21 novel anak/remaja. Juga melakukan
penerjemahan-penerjemahan.
Catatan
Lain
Ini buku yang saya
beli di boulevard UGM semasa kuliah dulu, tepatnya di depan gelanggang
mahasiswa, pada sebuah mobil pickup
yang waktu itu suka menggelar dagangan buku-buku di sana, di bawah pohon pinus.
Tak ingat saya harganya, juga kapan persisnya beli itu buku. Ada sebuah tulisan
kabur yang mengabarkan bahwa buku itu dibeli seharga Rp. 5.000,- atau Rp. 3000,- Buku Percakapan Hawa dan Maria memuat
satu puisi tunggal yang terdiri dari 3 bagian, yaitu Percakapan Hawa dan
Maria, Penjara Cermin dan Tarian Ular.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar