Data buku kumpulan puisi
Judul : Peneguk Sunyi, Sajak-sajak
2006-2009
Penulis : Soni Farid Maulana
Cetakan :
I, April 2009
Penerbit :
PT. Kiblat Buku Utama, Bandung
Tebal :
74 halaman (42 judul puisi)
ISBN :
978-979-3631-85-1
Lukisan sampul : “Lirik Keheningan 2” karya
Soni Farid Maulana
Beberapa pilihan puisi Soni Farid Maulana dalam
Peneguk Sunyi
SALJU
- untuk Beni Setia
derai salju seluas pandang
dingin angin subuh menyilet tulang
detik jam seakan maut di urat darah
nyawa menggigil di cangkang daging
2007
SONET HUJAN
- untuk
Leila S. Chudori
tetapi leila apakah malam ini milik kita?
di langit hanya semata kabut, dan hujan
yang turun kali ini, hujan yang lain
kau dengar risik angin di rumpun ilalang
kau dengar langkah sang ajal di detik jam
kau dengar degup rinduku padamu
ditelan gelombang lautan maha dalam?
di sini malam seperti tilam hitam
membentang entah ke mana, dan hujan
kembali bicara menyapa sunyi pepohonan
menyapu kau dan aku di kabut malam
o angin menyeruak dari arah kuburan
o kebahagiaan hidup yang luput kudekap
bawa aku ke maha sumber cahaya
2008
LORONG
aku bercakap dengan bayang-bayang wayang
serupa amba. Tabuhan gamelan serupa risik
angin
di tangkai pohonan. Suara-suara serangga
malam
terdengar juga dari arah samping halaman
rumahmu
yang kelam oleh kabut dukacita. Lalu
kata-kata
menyusun dirinya dalam larik-larik puisi
orang sufi
yang dari lembah ke lembah kehidupan tiada
lelah
mencari kekasih idaman. Di cermin,
rambutku
putih sudah. Malam kelam di buritan, dan
kau
serupa amis gula, cintaku, terpisah
dari sepah tebu
di lidahku. Dan kini segala yang aku
teguk tawar
sudah. "Mengapa semua ini harus
terjadi, selagi
segalanya belum genap melunas
rindu?" tanya
tanpa jawab. Menggema di lorong jiwaku
2008
TAMASYA
-
untuk Rendra
di pantai laut merah di tepi kota Jeddah
tak kutemukan jejak musa selain deretan cafe
dan wajah para pelancong yang lelah
yang datang dari negeri jauh, yang
menyandarkan
tubuhnya di kursi kayu, melepas pandang
matanya
ke luas biru laut bertilam lembut
angin panas
dengan ombak yang tenang
pemandangan seperti ini pernah aku
lihat
dalam sebuah lukisan di sebuah galeri kota
paris
ketika musim dingin menggigilkan daging
dan tulang
dan kau tak ada di sampingku. Hanya pekik
burung
yang aku dengar sore itu, sebagaimana aku
dengar
siang ini di tepi pantai laut merah di
tepi kota Jeddah
dan kau tak ada di sampingku
kini aku terperangah mendapatkan kaligrafi
usiaku
memutih di tujuh helai rambutku, yang
disingkap
lembut angin laut musim panas. ”Yang Maha Hakim
jangan sampai hamba karam ke dasar palung
hitam
bagai
fir'aun, yang lalai mengingatMu,” suara itu
aku dengar di tempat ini, bikin ruhku
gemetar,
o menggelepar, layak seekor ikan di paruh
burung itu. Di paruh burung itu
2008
RENUNGAN JANTE ARKIDAM DI USIA 70 TAHUN
- untukAjip Rosidi
malam belum begitu gelap
ketika anjing melolong panjang
di bawah remang cahaya bulan
"ternyata hidup butuh agama!"
ujar Jante Arkidam seperti gumam
ketika maut menaksir detik jam
dalam detak jantungnya
kini kesepian
menampakkan dirinya
di hadapan Jante
yang dilanda batuk
dan sakit kepala
"ke mana nyi ronggeng
yang dulu hadir dalam hidupku,
yang dari meja ke meja perjudian
aku rajai dunia malam," tanya
Jante.
sesekali didengarnya
bunyi tiang listrik dipukul orang
juga lolong anjing tengah malam
sehabis mupukembang
lalu angin dingin kembali meraja
menghajar raga Jante dekat jendela
di sebuah rumah
pinggir kota
yang dulu dijadikan
tempat sembunyi
dari kejaran lelaki
satu kampung
dan kini di mana lebat
kebun tebu
setelah dengus zaman
menyulapnya jadi
perumahan
yang dibuat asal jadi?
“betapa tanganku
berlumur darah,
Betapa hidupku salah
arah. Mengapa
cahayaMu terlambat aku
kenal?”
batin Jante. Detik jam
bergeser lagi
sesaat, Jante menarik
napas
dalam-dalam. Lalu
dihembuskannya
pelan-pelan. Dari hari
ke hari
ia buron sudah diburu
bayang-bayang hidup
yang kelam, yang ingin
dihapusnya
seperti menghapus
sebuah tulisan
di papan tulisMu yang
kekal
“masihkah terbuka
celah ke Baitullah?”
tanya Jante saat ia
berkaca
melihat wajahnya
sendiri dalam cermin
seperti batu retak di
dasar sumur tua
yang absen disapa
timba
tanpa ikan dan lumutan
siit incuing ngear di batin Jante
“beri aku kesempatan
meneguk
anggur cintaMu!”
tangis Jante
di atas sajadah yang
basah
oleh airmata
2007
Lanskap
aku berkaca di alir
sungai Seine
ada wajahmu di situ
yang dulu berkata,
“sayangku!”
pekik burung gagak dan
merpati laut
mengguncang dinding
hatiku sehijau
lumut waktu. Kau?
Entah di mana
2007
Bintang
Pagi
tiga jam ke arah
utara,
kota tua, kabut
mengendap
di bukit dan lembah
raja
cahaya lembut bintang
pagi
di atas pucuk cemara.
“itu bintangku!”
katamu,
yang tiada bosan
menarik tubuhku
ke dalam pelukanmu,
sehabis bencana
dan kerusuhan melanda
kalbuku
dan kau bertanya,
kembali bertanya:
adakah esok hari,
kebahagiaan hidup
tersaji senikmat hari
ini?
jam digital berdenyut
lagi
maut bergeser dari
tempat duduknya
di ruang tunggu yang
lengang,
yang gaib dari
pandangan matamu
dan mataku, seperti
pisau sepi
yang selalu menikam
kalbu kau dan aku
yang tak pernah
terlihat wujudnya
serupa apa. “Itu
bintangku,
dan aku milikmu.
Reguklah sedap
madu dari puting
kalbuku,” bisikmu.
Langitmu dan langitku
bersatu lagi
di kota tua, tiga jam
ke arah utara.
“aku milikmu, paku aku
cintaku
di kayu nasibmu,
jangan ragu.”
2006
Taharah
sebelum sampai ke
Raudhah, ingin kupotong
kegelapan di kalbuku:
seperti memotong hewan
kurban. Hati yang
karam ke dasar malam
betapa sulit
dijangkau. Tinggal kilau mata pisau
di tanganku yang
gemetar menujuMu
2008
Tentang Soni Farid Maulana
Soni Farid Maulana,
lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, 19 Februari 1962. SD, SMP, SMA di tempuh di
kota kelahiran. Tahun 1985 menyelesaikan kuliah di Bandung di jurusan Teater,
Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI), sekarang Sekolah Tinggi Seni Indonesia
(STSI) Bandung. Bekerja sebagai jurnalis di HU Pikiran Rakyat Bandung. Aktif
menulis sejak tahun 1976. Antologi puisinya Variasi
Parijs van Java (Kiblat Buku Utama, 2004), Secangkir Teh (Grasindo, 2005), Sehampar
Kabut (Ultimus, 2006), Angsana
(Ultimus, 2007), Opera Malam (Kiblat
Buku Utama, 2008), Pemetik Bintang
(kiblat Buku Utama, 2008). Juga menulis puisi berbahasa sunda, terkumpul dalam Kalakay Mega (Geger Sunten, 2007) dan
telah memasuki cetakan ke 3. kumpulan cerpennya Orang Malam (Q-Press, 2005). Kumpulan esai Menulis Puisi Satu Sisi (Pustaka Latifah, 2004), Selintas Pintas Puisi Indonesia
(Grafindo, Jilid 1 2004, Jilid 2 2007).
Catatan
Lain
Buku Peneguk Sunyi oleh Soni Farid Maulana ini
terdiri dari dua bagian, yaitu Setapak Jalan (sepilihan puisi 2006-2008, 21
puisi) dan Remang Miang (sepilihan puisi 2008-2009, 21 puisi). Bagian prolog
dihantar sendiri oleh penulis dan dijuduli Kisah
Sunyi, bagian epilog ditutup dengan Sekitar Proses Kreatif penulis. Yang
menarik, ada sederetan puisi yang ditulis seputar perjalanan ziarah di tanah
suci, mengingatkan saya pada Andi Amrullah yang juga merekam jejak perjalanan
berhaji ke dalam beberapa puisi. Buku ini seharga Rp. 20.000,- Saya beli di TB.
Indrian Koto pada 23 Juni 2011. Sip!
bhuaguz bgt dech. sangat menggema d'hati
BalasHapussip!!
HapusAda makna puisinya gak??
BalasHapus