Data Kumpulan Puisi
Judul : Pabila dan di Mana
Penulis :
Ayatrohaedi
Cetakan : -
Penerbit : PT. Dunia Pustaka Jaya, Jakarta
Tebal : 80 halaman (59 puisi)
Gambar jilid : A. Wakidjan
Dicetak oleh : PN Percetakan Negara RI, Jakarta
Beberapa pilihan puisi Ayatrohaedi dalam Pabila dan di
Mana
Leuwimunding
Jalannya penuh berdebu
antara sawah dan kali
antara gunung dan tegal
di bawah kilat belati
anak pulang dari kota
mengaca mayat sendiri.
Dan rindu makin menggunung
antara mata dan hati
rindu kampung kelahiran
di bawah kilat belati
melurus jalan ke makam
bawa cinta sampai mati
1958
Nyanyian Keabadian
Hujan jatuh di luar musim
menghijaukan rumput di jalan
Hujan jatuh bersama angin
melambaikan daun di dahan
Hujan jatuh membawa dingin
menyejukkan rindu di badan
Cinta yang tumbuh setiap musim
adalah cintaku pada keabadian
1958
Rajagaluh*
Sebuah hutan memucuk
lewat kampung Rajagaluh
gelagah lebat memanjang
tertutup jalan ke kota
biji tarum bunga kembang
burung ngisap benangsari
Dekat tidak tentram hati
tapi besok lain lagi
rindu kampung cinta dara
tak bakal sesayang bunda
habislah tahun dan bulan
tak kujelang Rajagaluh
1958
*(dari lagu rakyat Sunda)
Perempuan Malam
Dia berdiri di tikungan
karena tuntutan penghidupan
adalah bagian dari kehidupan
Dia berjalan pelan-pelan
karena kehidupan
melemparkannya ke jalan
Disapanya setiap lelaki
tidak dengan hati
dibuahkannya senyuman
lantaran keadaan
Pandangnya membayangkan
napas penderitaan
Suram lampu jalan
suram hidupnya
yang akan datang
1963
Situ Gintung
Di danau ini
anak-anak alam
beterjunan
dan berkejaran
sepuas hati
Di danau ini
gerak-gerak alam
berkejaran
dan bersahutan
seindah puisi
Di danau ini
gema suara alam
bersahutan
dan bersalaman
dalam hatiku
1967
Situ Patenggang
Bulan tanggal duapuluh-tiga
malam ini terlambat tiba
Dari balik awan mengintip ragu:
Apakah aku akan mampu
menembus tebalnya kabut
untuk menyampaikan amanat
di tengah gerimis hujan?
Air yang kemilau ditimpa cahya
memisahkan kedua ujung telaga.
Bulan yang ragu,
apakah jarak yang jauh
tak mungkin jadi dekat
jika padamu kutitipkan rindu?
Dari Situ Patenggang
terpandang jalan panjang
yang mungkin terlalu jauh
untuk bisa selesai kutempuh
Tapi di Situ Patenggang
semuanya jelas terbayang:
bayang-bayang
yang membayang
bagai bayangan
yang terbayang
bergoyang
1973
Suruttutur
Selamat tinggal, duhai, setiap kenangan!
Keharuan, kemanisan masa kanak
adalah mimpi yang tak bisa dilupakan
Adalah pagi-pagi, punggung kerbau
selalu jadi tunggangan. Musim bersawah
kesibukan kampung di sana tertumpah.
Menggema lagu gembala, lagu setiap gembala:
Darah
yang turun-temurun
tetes
bunda penuai padi
keringat
bapa pembajak
lewat
nini lewat aki
lewat
jantung yang berdetak
semenjak
kampung terhuni.
Angkatan
demi angkatan
dan jauh
sebelum itu.
Kerbauku
sayang, kambing tercinta,
rumput
terhampar di bumi ini
kalian
cuma yang punya.
Selamat tinggal, duhai, setiap kenangan!
Keharuan, kemanisan masa kanak
adalah mimpi yang selalu dimimpikan
Adalah ketika senja, kereta tebu
selalu jadi incaran. Musim memotong
setiap anak pun berkumpul di sana.
Menggema lagu gembala, lagu setiap gembala:
Cinta
yang turun-temurun
cinta
bersemi di hati
cinta
ladang dan tanaman
lewat
bunda cinta padi
lewat
bapa cinta tanah
tak
pernah menjadi kering.
Angkatan
demi angkatan
dan jauh
sebelum itu.
Tanahku
sayang, ladang tercinta
keringat
ngucur di badan
adalah
cuma untukmu.
Selamat tinggal, duhai, setiap kenangan!
Perpisahan antara kita adalah mimpi
yang tak pernah kumimpikan
1964
Tanah Sunda Senjahari
Di barat langit terbakar
matahari yang tenggelam.
Dan senja yang pijar
bersiap menyambut malam.
Pucuk-pucuk gunung
merenung.
Dan hidup sehabis senja
'kan masuk dunia lain
di bawah temaram lilin.
Pucuk-pucuk rindu
dicumbu
angin yang berkelana.
dan lambaian daunan
'kan menggugah kesadaran:
kalulah tanah kelahiran!
Di barat langit memerah
pada kutub siang.
Dan gairah bangkit
di bukit-bukit
dan lembah-lembah
tanah tersayang.
1966
Das kalte Herz
Kabut pegunungan
menutup lembah
suram cahya matari
di danau bawah
Kabut pegunungan
menutup lembah
dingin hati
mengetuk pintu
Hati dingin, hati
yang dingin,
bagai kabut pegunungan
menghadang matari.
Hati dingin, hati
yang dingin,
bagai pintu
berpalang besi.
Kabut pegunungan
menutup danau di bawah
hati 'kan tetap hati
walau pun sedingin besi.
1963
Surat Akhir Tahun
Tetap kucinta'
gunung-gunung gundul
karena keyakinan
tiba saatnya
'kan kembali menghijau
Unggas yang terbang itu
'kan pulang ke sarang
bertelur dan mengeram
dalam kedamaian.
Pohon di kejauhan itu
selalu melambaikan tangan
bagi yang mengerti
arti harapan.
Ikan di kali
adalah kemerdekaan.
1961
Jatiluhur
Impian abadi leluhur
menemu bentuk. Tanah-tanah gersang
menjadi subur. Bagai disihir
air pun mengalir
lewat padang-padang hijau
menghimbau.
Sangkuriang nanar memandang:
Kerja yang terbengkalai
akhirnya selesai.
Tubuh-tubuh baja, lengan-lengan perkasa
menyusun batu demi batu
dinding telaga raksasa.
Membendung
napsu angkara manusia
yang berpusat pada: Aku,
Sangkuriang kesiangan.
Dayangsumbi membuahkan senyum
ke bumi: Inilah cintaku
pada turunan, anak-cucu
yang datang kemudian.
Tubuh-tubuh semampai, tangan-tangan gemulai
menanam benih demi benih
padang kencana.
Perwujudan ikrar
ketika menyingsing fajar.
Cintaku pada turunan
yang datang kemudian.
Impian abadi leluhur
menemu bentuk. Tanah-tanah subur
bukan lagi impian.
Tapi: kenyataan.
1969
Alma mater
Aku melangkah ke luar gapura
dan tertegun di bawahnya: Gerbang
yang pernah menerima kedatanganku,
kini hendak kutinggalkan. Alangkah
kecil diriku, memandang keluasan
dunia di luar lingkungan kampus.
Sekian tahun yang lalu, aku melangkah
memasuki gapura ini, dan tertegun di bawahnya:
Di dalam, telah siap api menyala
untuk menggodogku. Alangkah bangga
hatiku, menjadi anak-didiknya.
Dan tahun-tahun berlalu, sekian kali telah berlalu.
Kemudian tibalah ketika, aku harus melangkahkan kaki
ke luar gapura. Dengan bekal yang kubawa:
sedikit pengetahuan, sesusun pengalaman,
dan yang terpenting, seberkas nasihat:
"Anakku, kulepas kau pergi, adalah dengan keyakinan
telah bisa berdiri sendiri. Kurelakan kau berjalan,
dan yang selalu musti kauingat,
sekolahmu belum lagi selesai, tapi malah baru mulai.
Karena di luar lingkungan Alma matermu ini,
gerbang sekolah paling besar terbuka:
masyarakat, lingkungan yang harus kaumasuki,
dunia yang wajib kaudatangi,
di mana kau musti hidup dan menghidupinya.
Ia telah siap menerima kedatanganmu.
Ia menagih janjimu, menuntut bakti
dari segala yang pernah kautuntut di sini.
Pergilah kau, berjalanlah dengan tabah, anakku."
Dan aku pun melangkah ke luar gapura.
Tak kurasa, aku pun memalingkan muka.
Memandangnya untuk kali yang penghabisan,
dan kurasa, meneteslah airmata.
Aku tak bisa bicara, dalam hati cuma:
"Selamat tinggal, aku tak akan bisa melupakanmu,
Alma materku tercinta, karena kau bagiku
adalah tempat kelahiran yang kedua."
1965
Tentang Ayatrohaedi
Ayatrohaedi
lahir 5 Desember 1939 di Jatiwangi (Cirebon). Ia sarjana arkeologi lulusan
Universitas Indonesia (1964). Tahun 1971-1973 memperdalam bidang linguistik dan
filologi di Universitas Leiden, Belanda dan tahun 1975-1976, memperdalam dialektologi
di Univ. Grenoble III, Perancis. Riwayat pekerjaan, staf Lembaga Purbakala dan
Peninggalan Nasional (1965-1966), mengajar di Fakultas Sastra Univ. Pajajaran
(1966-1972) dan mengajar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (sejak 1972).
Buku yang sudah diterbitkannya: Warisan (1965), Yang Tersisih
(1965), Panji Segala Raja (cerita anak, 1974), Puisi Negero
(terjemahan puisi, 1976), Senandung Ombak (terjemahan roman Yukio
Mishima, 1976). Buku dalam bahasa Sunda: Hujan Munggaran (kumpulan
cerpen, 1960), Kabogoh Tere (roman pendek (1967), dan Pamapag
(kumpulan sajak, 1972).
Catatan Lain
Pabila dan Di Mana, menurut kata
penerbit di cover belakang buku, adalah kumpulan sajak-sajaknya yang merupakan
sebuah cermin kepenyairan yang memantulkan sikap akrab terhadap alam, keluarga,
daerah kelahiran dan lingkungannya. Pengambilan jarak yang akrab itulah yang
membuat nuansa-nuansa khas, namun dapat tercerna dalam harmoni antara isi dan
bentuk pengucapannya. Buku ini terbagi tiga bagian, Waktu Terjadi Gerhana (30
puisi), Tanah Sunda Senjahari (20 puisi), Surat Akhir Tahun (9
puisi).
Saya bolak-balik mencari kapan buku
ini diterbitkan, tak ketemu juga. Tak tercatat. Namun jika melihat
sajak-sajaknya yang bertitiwangsa, setidaknya puisi paling baru adalah yang
tercipta tahun 1974. Ada delapan puisi yang diciptakan tahun 1974, dan puisi
paling awal tahun 1958. Saya mengenal penyair ini mungkin sejak SMP lewat buku
sekolah. Ada satu puisinya yang saya catat di buku puisi saya, yaitu yang
berjudul Situ Gintung, yang beberapa tahun kemudian, jebol. Namun
rasanya, penulisannya dipisah menjadi seperti ini: Ayat Rohaedi. Makanya saya
agak sedikit heran jika semua penulisan nama penyair di buku ini semuanya
disambung. Dan kalau tidak salah ingat, penyair ini adalah saudara kandung
penyair Ajip Rosidi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar