Sabtu, 13 April 2013

Ayatrohaedi: PABILA DAN DI MANA


Data Kumpulan Puisi

Judul : Pabila dan di Mana
Penulis : Ayatrohaedi 
Cetakan : -
Penerbit : PT. Dunia Pustaka Jaya, Jakarta
Tebal : 80 halaman (59 puisi)
Gambar jilid : A. Wakidjan
Dicetak oleh : PN Percetakan Negara RI, Jakarta

Beberapa pilihan puisi Ayatrohaedi dalam Pabila dan di Mana

Leuwimunding

Jalannya penuh berdebu
antara sawah dan kali
antara gunung dan tegal
di bawah kilat belati
anak pulang dari kota
mengaca mayat sendiri.

Dan rindu makin menggunung
antara mata dan hati
rindu kampung kelahiran
di bawah kilat belati
melurus jalan ke makam
bawa cinta sampai mati

1958


Nyanyian Keabadian

Hujan jatuh di luar musim
menghijaukan rumput di jalan

Hujan jatuh bersama angin
melambaikan daun di dahan

Hujan jatuh membawa dingin
menyejukkan rindu di badan

Cinta yang tumbuh setiap musim
adalah cintaku pada keabadian

1958



Rajagaluh*

Sebuah hutan memucuk
lewat kampung Rajagaluh
gelagah lebat memanjang
tertutup jalan ke kota
biji tarum bunga kembang
burung ngisap benangsari

Dekat tidak tentram hati
tapi besok lain lagi
rindu kampung cinta dara
tak bakal sesayang bunda
habislah tahun dan bulan
tak kujelang Rajagaluh

1958
*(dari lagu rakyat Sunda)


Perempuan Malam

Dia berdiri di tikungan
karena tuntutan penghidupan
adalah bagian dari kehidupan

Dia berjalan pelan-pelan
karena kehidupan
melemparkannya ke jalan

Disapanya setiap lelaki
tidak dengan hati
dibuahkannya senyuman
lantaran keadaan

Pandangnya membayangkan
napas penderitaan

Suram lampu jalan
suram hidupnya  yang akan datang

1963


Situ Gintung

Di danau ini
anak-anak alam
beterjunan
dan berkejaran
sepuas hati

Di danau ini
gerak-gerak alam
berkejaran
dan bersahutan
seindah puisi

Di danau ini
gema suara alam
bersahutan
dan bersalaman
dalam hatiku

1967


Situ Patenggang

Bulan tanggal duapuluh-tiga
malam ini terlambat tiba
Dari balik awan mengintip ragu:
Apakah aku akan mampu
menembus tebalnya kabut
untuk menyampaikan amanat
di tengah gerimis hujan?

Air yang kemilau ditimpa cahya
memisahkan kedua ujung telaga.
Bulan yang ragu,
apakah jarak yang jauh
tak mungkin jadi dekat
jika padamu kutitipkan rindu?

Dari Situ Patenggang
terpandang jalan panjang
yang mungkin terlalu jauh
untuk bisa selesai kutempuh

Tapi di Situ Patenggang
semuanya jelas terbayang:
bayang-bayang
yang membayang
bagai bayangan
yang terbayang
bergoyang

1973


Suruttutur

Selamat tinggal, duhai, setiap kenangan!
Keharuan, kemanisan masa kanak
adalah mimpi yang tak bisa dilupakan

Adalah pagi-pagi, punggung kerbau
selalu jadi tunggangan. Musim bersawah
kesibukan kampung di sana tertumpah.
Menggema lagu gembala, lagu setiap gembala:

            Darah yang turun-temurun
            tetes bunda penuai padi
            keringat bapa pembajak
            lewat nini lewat aki
            lewat jantung yang berdetak
            semenjak kampung terhuni.

            Angkatan demi angkatan
            dan jauh sebelum itu.

            Kerbauku sayang, kambing tercinta,
            rumput terhampar di bumi ini
            kalian cuma yang punya.

Selamat tinggal, duhai, setiap kenangan!
Keharuan, kemanisan masa kanak
adalah mimpi yang selalu dimimpikan

Adalah ketika senja, kereta tebu
selalu jadi incaran. Musim memotong
setiap anak pun berkumpul di sana.
Menggema lagu gembala, lagu setiap gembala:

            Cinta yang turun-temurun
            cinta bersemi di hati
            cinta ladang dan tanaman
            lewat bunda cinta padi
            lewat bapa cinta tanah
            tak pernah menjadi kering.

            Angkatan demi angkatan
            dan jauh sebelum itu.

            Tanahku sayang, ladang tercinta
            keringat ngucur di badan
            adalah cuma untukmu.

Selamat tinggal, duhai, setiap kenangan!
Perpisahan antara kita adalah mimpi
yang tak pernah kumimpikan

1964


Tanah Sunda Senjahari

Di barat langit terbakar
matahari yang tenggelam.
Dan senja yang pijar
bersiap menyambut malam.

Pucuk-pucuk gunung
merenung.
Dan hidup sehabis senja
'kan masuk dunia lain
di bawah temaram lilin.

Pucuk-pucuk rindu
dicumbu
angin yang berkelana.
dan lambaian daunan
'kan menggugah kesadaran:
kalulah tanah kelahiran!

Di barat langit memerah
pada kutub siang.
Dan gairah bangkit
di bukit-bukit
dan lembah-lembah
tanah tersayang.

1966


Das kalte Herz

Kabut pegunungan
menutup lembah
suram cahya matari
di danau bawah

Kabut pegunungan
menutup lembah
dingin hati
mengetuk pintu

Hati dingin, hati
yang dingin,
bagai kabut pegunungan
menghadang matari.

Hati dingin, hati
yang dingin,
bagai pintu
berpalang besi.

Kabut pegunungan
menutup danau di bawah
hati 'kan tetap hati
walau pun sedingin besi.

1963


Surat Akhir Tahun

Tetap kucinta'
gunung-gunung gundul
karena keyakinan
tiba saatnya
'kan kembali menghijau

Unggas yang terbang itu
'kan pulang ke sarang
bertelur dan mengeram
dalam kedamaian.

Pohon di kejauhan itu
selalu melambaikan tangan
bagi yang mengerti
arti harapan.

Ikan di kali
adalah kemerdekaan.

1961


Jatiluhur

Impian abadi leluhur
menemu bentuk. Tanah-tanah gersang
menjadi subur. Bagai disihir
air pun mengalir
lewat padang-padang hijau
menghimbau.

Sangkuriang nanar memandang:
Kerja yang terbengkalai
akhirnya selesai.
Tubuh-tubuh baja, lengan-lengan perkasa
menyusun batu demi batu
dinding telaga raksasa.
Membendung
napsu angkara manusia
yang berpusat pada: Aku,
Sangkuriang kesiangan.

Dayangsumbi membuahkan senyum
ke bumi: Inilah cintaku
pada turunan, anak-cucu
yang datang kemudian.
Tubuh-tubuh semampai, tangan-tangan gemulai
menanam benih demi benih
padang kencana.
Perwujudan ikrar
ketika menyingsing fajar.
Cintaku pada turunan
yang datang kemudian.

Impian abadi leluhur
menemu bentuk. Tanah-tanah subur
bukan lagi impian.
Tapi: kenyataan.

1969


Alma mater

Aku melangkah ke luar gapura
dan tertegun di bawahnya: Gerbang
yang pernah menerima kedatanganku,
kini hendak kutinggalkan. Alangkah
kecil diriku, memandang keluasan
dunia di luar lingkungan kampus.

Sekian tahun yang lalu, aku melangkah
memasuki gapura ini, dan tertegun di bawahnya:
Di dalam, telah siap api menyala
untuk menggodogku. Alangkah bangga
hatiku, menjadi anak-didiknya.

Dan tahun-tahun berlalu, sekian kali telah berlalu.
Kemudian tibalah ketika, aku harus melangkahkan kaki
ke luar gapura. Dengan bekal yang kubawa:
sedikit pengetahuan, sesusun pengalaman,
dan yang terpenting, seberkas nasihat:
"Anakku, kulepas kau pergi, adalah dengan keyakinan
telah bisa berdiri sendiri. Kurelakan kau berjalan,
dan yang selalu musti kauingat,
sekolahmu belum lagi selesai, tapi malah baru mulai.
Karena di luar lingkungan Alma matermu ini,
gerbang sekolah paling besar terbuka:
masyarakat, lingkungan yang harus kaumasuki,
dunia yang wajib kaudatangi,
di mana kau musti hidup dan menghidupinya.
Ia telah siap menerima kedatanganmu.
Ia menagih janjimu, menuntut bakti
dari segala yang pernah kautuntut di sini.
Pergilah kau, berjalanlah dengan tabah, anakku."

Dan aku pun melangkah ke luar gapura.
Tak kurasa, aku pun memalingkan muka.
Memandangnya untuk kali yang penghabisan,
dan kurasa, meneteslah airmata.
Aku tak bisa bicara, dalam hati cuma:
"Selamat tinggal, aku tak akan bisa melupakanmu,
Alma materku tercinta, karena kau bagiku
adalah tempat kelahiran yang kedua."

1965


Tentang Ayatrohaedi
Ayatrohaedi lahir 5 Desember 1939 di Jatiwangi (Cirebon). Ia sarjana arkeologi lulusan Universitas Indonesia (1964). Tahun 1971-1973 memperdalam bidang linguistik dan filologi di Universitas Leiden, Belanda dan tahun 1975-1976, memperdalam dialektologi di Univ. Grenoble III, Perancis. Riwayat pekerjaan, staf Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional (1965-1966), mengajar di Fakultas Sastra Univ. Pajajaran (1966-1972) dan mengajar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (sejak 1972). Buku yang sudah diterbitkannya: Warisan (1965), Yang Tersisih (1965), Panji Segala Raja (cerita anak, 1974), Puisi Negero (terjemahan puisi, 1976), Senandung Ombak (terjemahan roman Yukio Mishima, 1976). Buku dalam bahasa Sunda: Hujan Munggaran (kumpulan cerpen, 1960), Kabogoh Tere (roman pendek (1967), dan Pamapag (kumpulan sajak, 1972).

Catatan Lain
Pabila dan Di Mana, menurut kata penerbit di cover belakang buku, adalah kumpulan sajak-sajaknya yang merupakan sebuah cermin kepenyairan yang memantulkan sikap akrab terhadap alam, keluarga, daerah kelahiran dan lingkungannya. Pengambilan jarak yang akrab itulah yang membuat nuansa-nuansa khas, namun dapat tercerna dalam harmoni antara isi dan bentuk pengucapannya. Buku ini terbagi tiga bagian, Waktu Terjadi Gerhana (30 puisi), Tanah Sunda Senjahari (20 puisi), Surat Akhir Tahun (9 puisi).
            Saya bolak-balik mencari kapan buku ini diterbitkan, tak ketemu juga. Tak tercatat. Namun jika melihat sajak-sajaknya yang bertitiwangsa, setidaknya puisi paling baru adalah yang tercipta tahun 1974. Ada delapan puisi yang diciptakan tahun 1974, dan puisi paling awal tahun 1958. Saya mengenal penyair ini mungkin sejak SMP lewat buku sekolah. Ada satu puisinya yang saya catat di buku puisi saya, yaitu yang berjudul Situ Gintung, yang beberapa tahun kemudian, jebol. Namun rasanya, penulisannya dipisah menjadi seperti ini: Ayat Rohaedi. Makanya saya agak sedikit heran jika semua penulisan nama penyair di buku ini semuanya disambung. Dan kalau tidak salah ingat, penyair ini adalah saudara kandung penyair Ajip Rosidi.












Tidak ada komentar:

Posting Komentar