Data Buku Kumpulan Sajak
Judul : Luka
Mata
Penulis : Hasan Aspahani
Cetakan : I,
Juli 2010
Penerbit :
Koekoesan, Depok
Tebal : xxvi +
83 halaman (97 puisi)
Perancang
sampul : MN Jihad
Tata Letak :
Hari Ambari
ISBN :
978-979-1442-35-0
Prolog :
Damhuri Muhammad
Beberapa
pilihan puisi Hasan Aspahani dalam Luka Mata
Kuberi Tahu Engkau Bagaimana Cara Kami Menapaikan Ketan
: untuk mamaku Siti Mariyam, juru tapai paling hebat sedunia
ENGKAU harus
yakin telah memilih beras ketan baru, yang seputih
santan, yang
berbulir lencir, lalu kau tampi lagi, agar terbang segala
dedak debu.
Telah selesai tugas kulit padi. Menjaga bulir yang setetes
demi setetes
terisi, membernas di runduk malai, di petak-petak
sawahmu.
Sementara itu
engkau siapkan tungku, dandang pengukusan,
dan kayu
secukupnya kayu. Api harus tetap menjaga nyala,
menembuskan
panas ke dinding dandang, sementara di dalam
dandang itu
nanti gelegak air menguji seberapa lekat ketan yang
telah kau
pilih, kau bersihkan, dan kelak hendak kau tapaikan.
Engkau mestinya
sudah menyiapkan perasan daun pandan yang
kau petik di
sumur tempat engkau mandi hari raya, sebelum salat
Idulfitri,
pandan yang berumpun subur, hijau dan wangi yang kelak
menyeimbangi
aroma fermentasi.
Di nyiru, yang
tadi kau pakai menampi, kini seharusnya sudah
engkau lapisi
helai daun pisang, jangan terbalik membentang, sisi
atas yang
hijaunya sedap dipandang, di situlah engkau hamparkan
nasi ketan yang
mengepulkan uap yang baru engkau kaut dari
dandang, lalu
biarkan hingga suhu kamar, sambil engkau percikkan
padanya harum
dan hijau perasan air pandan.
Aku beri tahu
rahasia satu: agar tak lekat tanganmu, celupkan
keduanya dalam
air remasan pucuk katu, kami percaya ini akan
banyak
membantu, ragi yang kelak ditugaskan berfermentasi, dia
bekerja tidak
sendiri.
Rahasia yang
paling rahasia sebenarnya adalah saat kau menaburkan
ragi (dan
menebarkan ragu, "maniskah kelak tapaiku? Maniskah?"),
pastikanlah
bahwa saat itu suhu ketan yang tentu telah menghijau
itu tak lebih
panas dari suhu udara di dapurmu. Jika segumpal
saja ada yang
masih menyimpan lebih suhu, oh, kau sudah
menggagalkan
seluruh ritual penapaianmu. Yang segumpal itu akan
memerah dan
memasamkan seluruh manis tapaimu!
Saatnya, engkau
menunggu, setelah menyimpan bakal tapaimu
dalam wadah
tertutup, sebab ragimu, ragi tapaimu, adalah dia yang
bekerja dalam
ruang tak berpintu. Kelak, akan terkabarkan padamu,
wangi manis
tapaimu, di pagi hari rayamu.
Marsya Timothy di Kentucky Fried Chicken
AKU kira bukan
hanya ujung hidung dan pelipismu yang berpeluh,
ketika kau
kunyah renyah dada berbubuk merica, semulut penuh.
"Ini menu
baru," seperti begitu, sabda Kolonel Sanders dalam teks
promosi itu,
"Kami tambahkan sesuatu, pada 13 rahasia bumbu!"
Dan kami antre
di depan kasirmu, seperti barisan umat minta berkat,
atau para duafa
berbaris di balai kota, minta sedekah dari penguasa.
Di kerumunan
itu, tentu saja tak ada engkau, Marsya, tentu saja tak ada.
Lalu di layar
besar itu kau berlalu, setelah mengibas palma tanganmu,
menyeret gaun
saos tomatmu, dan aku tak mau menebak arti ajakan itu.
Nah, Nietzsche
IA sentuh
ubun-ubun engkau dengan kecup embun,
menuntun aku
tentang tabiat Kasih dan Kasihan.
Ia belum mati,
Ia belum mati, Puan Kasih! Kasihkan!
Bahkan bila ia
berkenan, aku mohon nabi permpuan:
Ia utus kau
padaku, satu-satunya pembenarmu.
Kekal cium pada
engkau, Puan, di punggung lengan.
Semak, Marx!
MALAM itu,
engkau seperti orator ulung,
tubuhku mimbar,
sarung tilam bergulung
"Bersatulah
orang jatuh cinta sedunia!"
Udara kamar
sesak, segala sudut bergetar
Menunggu tiap
akhir kalimatmu lalu hingar,
tepuk &
teriak, bagai ribuan rakyat lapar!
*
Malam itu,
engkau juru kampanye partai besar
aku tak lagi
mau peduli pada apa ideologi
"Bersatulah
orang-orang tolol sedunia!"
Kusut remang
kamar, segala mengerang,
segala pangkal
dan asal tak lagi terlacak
Alamak! Aku
terjebak, semak janggut Marx!
Lukamata
AKU akan jadi
tua
tebu terunduk,
seseruas batang
memanjang,
sebelum datang
seorang penebang,
dengan parang
tak berlidah,
tak kenal manis
atau hambar sepah.
Pada mata luka
di ruas usia
ada kusimpan
sesisa nanah
dan bau segenggam tanah
seperti rekening
di bank syariah,
umur akan
selesai kucicil,
setoran tak
berbunga.
Siapa itu menyelumur
bagai lepas
daun tebu,
mengering tanpa
mengerang
jatuh tanpa
teraduh-aduh
lalu batal
niat-gatal
si tepung-pupur
jamur?
*
YA, aku akan
jadi tua
duduk, tunduk,
mengenang pokok
tebu
seruas dulu
kutanam
jadi serumpun
kini memagar lingkar sumur.
Lalu lepas
sesarang lebah,
kudengar
dengung ramai bagai seregu barongsai,
mencuri nektar
dari malai.
Manis. Madu.
Menangis. Merdu.
Manis. Madu. Menangis. Merdu.
Manis. Madu. Menangis.
Merdu.
Lagu tabah ratu
lebahkah sampai pada dengarku?
*
AKU akan jadi
tua
dan menggali
sendiri lubang panjang membujur,
yang bukan
sumur.
Ketika itu
lidahku akar tebu
mampu sudah
mengecap manis dari sesisa air
yang mengalir
dari tipis pelipis
dari alur alis
dari damai dahi
dan tepi pipi.
Dari luka mata.
Mataku sendiri
Balada Siapa Saja
IA bernapas
dengan harmonika, gamang membayangkan
syair, sajak
penyair terakhir, tentang maut & lahir.
Ini seperti
balada tentang siapa saja, seperti
petualang
menemukan peta pantai hilang, lalu ia
berikrar akan
jadi tua, meninggal nama, di sana.
Sebuah lagu
akan rampung dihirup-hembuskan, ia
mengecupi
harmonika seperti bibir kekasihnya.
Selalu itu
membuatnya lebih dalam mematakan pejam.
Ini seperti
balada tentang siapa saja, dan itu
berarti yang
paling mungkin (dan paling mustahil)
ia akan
bernyanyi tak henti tentang Cinta & Sunyi.
Cinta sebab ia
telah pernah berani memimpikan mimpi.
Sunyi karena ia
tahu akan kembali menjadi sendiri.
Keduanya
melahirkan lagu nafasnya pada harmonika,
pada kecup
dalam dan lama di lapar bibir kekasihnya.
Apakah Penguasa di Kotamu Suka
Memperdagangkan Kekuasaannya?
DI kotaku mula-mula mereka adalah pendusta. Dan
dusta mula-mula memang terasa murah dan mudah. Tapi, dusta adalah semacam hewan
karnivora , memakan daging sendiri dan itu ongkosnya mahal sekali.
Mereka tak bisa berhenti. Dusta harus dibenarkan
dengan dusta. Begitu seterusnya, mereka pun harus terus berdusta. Dari mana
mereka menambal ongkosnya? Mula-mula dari harta rakyat yang diamanahkan pada
mereka. Nanti, harta itupun tak akan cukup dan mulailah mereka berdagang.
Mereka tak bisa berdagang sebenarnya. Mereka miskin, tak punya barang dan jasa,
kecuali kekuasaan, dan mulailah mereka memperdagangkan apa yang mereka punya
itu.
Mereka berlagak melayani rakyat. Mereka berlakon
peduli pada rakyat. Mereka bertopeng senyum palsu, senyum yang paling ramah di
khalayak rakyat. Padahal mereka sedang mengincar apa lagi yang tersisa pada
rakyat yang bisa mereka minta, atau ambil dengan paksa.
Untuk semua itu, mereka membayarnya dengan dusta.
Itulah satu-satunya yang paling lihai mereka perankan, sejak mereka mulai
menipu kami, meminta agar kekuasaan dari kami diamanahkan pada mereka,
kekuasaan yang kemudian mereka perdagangkan untuk mengongkosi dusta-dusta
mereka, dan untuk mengatur strategi berdusta yang baru.
Ah, apakah kamu juga seperti kami? Kami, rakyat
yang terlalu sering didustai.
Seorang Tubuhku
JAUH sekali
tubuhku, membawaku sampai padamu
Tubuhku adalah
sebuah alamat, bertahun-tahun
dihuni orang
yang salah, dia yang tak pernah
tahu, selalu
kembali semua surat yang ia poskan,
dengan catatan:
si penerima tak mengenal Anda!
*
Ingin sekali
tubuhku, membawamu sampai padaku
Tubuhku adalah
sebuah rumah, dengan selipat
sajadah. Di
ruang paling bimbang, aku seperti
sedang
menunggu, seseorang yang mungkin datang
lalu mengajak
sembahyang. Aku, bayang-bayang,
sedih paling
seduh, dan pedih yang tak juga sudah:
kami adalah
barisan makmum menunggu, saf yang
semakin rapat,
semakin lurus, dan semakin makin.
*
Letih sekali
tubuhku mengengkaukan aku padamu.
Tubuhku adalah
jalan panjang. Waktu melintas
di situ. Pada
setiap ubah-arah, ia buat tanda:
di mata ia
kecupkan lebat tangisan; di telapak
tangan ia
telusuri garis kecemasan; di leher
ia kenali bau
tanah hutan sehabis kebakaran; di
bibir ia
rasakan sisa getar doa yang kupinta ketika
munajah seperti
sepertiga malam, malam semalam.
Sebelum Pesawat Mendarat
KITA
mendengarkan, pemberitahuan yang rutin itu: ketinggian
jelajah,
kecepatan tempuh, tabiat cuaca, jangkau jarak pandang,
sabuk pengaman
yang harus diketatkan, dan waktu yang harus atau
tak harus
disesuaikan.
Kita
menenteramkan, cemas yang rutin itu: bagaimana kita akan
saling menyapa
dan bertanya soal kabar, peluk rapuh di ruang
kedatangan,
salat yang amat terlambat di musala bandara, dan tiket
kepulangan yang
sudah harus dipastikan lagi.
Yang Mengapung dan Tenggelam di Matamu
: pada peta bundar Singapore Flyer
KAMU tidak
bergegas, ini kali, agar kamera
sempat membuka
mata lensa, mempermainkan rana,
menangkap lekas
dan lengkap, lingkar lanskap.
Tunggu, apa
yang mengapung di matamu itu?
Dari tinggian
yang sebentar yang sementara,
semua dapat
kaubaca: apa ada yang tak bisa?
Republik ini
sebuah plaza, tempat pedagang
menggelar
sembarang barang dan jual jasa,
seperti dulu
dirancang lelaki Inggris Raya,
namanya
tertinggal di jalan dan pusat kota.
Kamu siapa
nama? Kamu tanya dua lelaki muda,
sepasang gay
melancong jauh dari Polandia.
Kauarahkan zoom
ke telungkup tempurung raksasa,
itukah taman
pesiar terbuka? Beretalase talam
talas,
mempertunjukkan suara sara sandiwara?
Ini bukan
disney-dream-land atau lakon bangsawan.
Lagi pula buat
apa juga dibedakan? Ini panggung
permainan tak
akan bisa lagi dihentikan. Lari.
Lari. Kejar.
Kejar. Beli. Beli. Bayar. Bayar.
Tunggu, apa
yang tenggelam di matamu?
Sajak Sakit: Pilek
LUAS napas
ternyata hanya selapang sepasang lubang,
mudah sekali
mengingatkan aku pada mati yang pasti.
Nyawa itu,
mungkin seringan bersin tiga kali, terbang,
dan lalu jadi
asing pada tubuh yang selama ini ia huni.
Sajak Sakit: Radang
AKU tak juga
kenal ini lorong tenggorokan,
pun saat radang
mendemamkan badan sebadan.
Di situkah
nanti batas akhir Ruh bertahan?
Waktu sakit,
aku mengawasi tepian ranjang,
jaga ubun-ubun,
di situ nanti malaikat turun?
Lembut
mencabut, tak tersibak sehelai pun rambut.
Bagai kecup
ibu. Aku tertidur, peluh mengembun.
Indeks Baris Pertama Puisi yang Panjang dalam Buku Puisi yang Belum Ingin
Kuterbitkan
1. HAI, engkau!
Rasa sakit itu. Masihkah kau kenal dengan
tubuhku? Tubuh yang belum selesai menjahit
koyak jerit sendiri?
2. TUBUHKU
adalah sawah yang mencintai musim hujan. Engkau
pematang liar, beralur licin, melingkar.
3. "MAUKAH
kau menanamku?" tanya rasa sakit itu. Ah, aku
sudah menyemai benihnya, sebelum nanti rasa
itu menyemak
menggulma.
4. MAAFKAN aku
hujan. Maafkan aku katak. Maafkan aku
bangau. Aku tak bisa bermain dengan kalian.
Aku sedang dirawat
oleh rasa sakitku.
5. PETANI itu
pernah datang sekali. Berdiri di ambang subuh,
nyaris rubuh. Lalu pergi, dan selalu
tergoda -- tapi menolak -- untuk
lagi kembali.
6. TAK ada jejak di pematang. Tapi, semalam ada
yang datang.
Ke sawah ini. Seperti buru-buru, ia tanam
sesuatu yang tak ia
harapkan akan tumbuh.
7.
"SEANDAINYA, setiap butirku adalah benih yang tumbuh
padamu," kata hujan, kepada sawah.
Sawah, sering sudah, ia
mendengar pertanyaan itu. Ia tahu, hujan
tahu jawaban apa yang
ia senantiasakan.
8. MUNGKIN
akulah petani itu. Petani yang ingin menanam diri
sendiri, di sawah sendiri. Memanen luka:
luka sendiri.
Di Tempat Pemungutan Sunyi
SUNYI sekali di
sini. Aku tak mendengar Engkau. Engkau masih
betah diam? Aku
datang, cuma untuk memungut suaraku sendiri.
Engkau, kapan
akan memungut aku? Memungut sunyiku?
Sunyi sekali di
sini. Aku dan sunyi saling mendengarkan. Aku
menyimak lagi
sunyi, tapi yang terdengar nyaring justru diriku
sendiri. Aku
tak bisa juga memungut sunyiku sendiri.
Suaraku, kenapa
tak berbunyi? Sunyiku, kenapa lebih nyaring
daripada diam
Engkau? Ah, aku mungkin harus lebih tekun
mendengarkan
Engkau. Mendengarkan sunyi dan bunyi Engkau.
Tentang Hasan Aspahani
Hasan
Aspahani berprofesi sebagai wartawan. Tinggal di Batam. mengelola blog http://sejuta-puisi.blogspot.com.
Buku puisinya: Orgasmaya (Yayasan Sagang, Pekanbaru, 2007), Telimpuh (Koekoesan,
Depok, 2009). Beberapa sajaknya digubah oleh Ananda Sukarlan. (Tak ada
informasi TTL di dalam Luka Mata, jadi saya membuka Buku Kalimantan
dalam Puisi Indonesia, editor Korrie Layun Rampan). Hasan Aspahani lahir di
Sungai Raden, Kabupaten Kutai Kertanegara, Kaltim, pada 9 Maret 1971.
Menyelesaikan pendidikan di Institut Pertanian Bogor (IPB).
Catatan Lain
Kumpulan
sajak Luka Mata karya Hasan Aspahani ini terbagi atas 7 bagian, yaitu Pembuka
(1 sajak), Klinik Sakit Hati (19 sajak), Sesayup Saujana (18
sajak), Senota Cerita (23 sajak), Kita Hanya Ingin Menyeberang (14
sajak), Apa Kabar, Jantungmu? (22 sajak) dan Penutup (1 sajak).
Total 97 sajak. Penulisan sajak dalam buku ini saling sambung menyambung,
sehingga memungkinkan satu halaman ada lebih dari satu sajak. Hal unik lain,
kecuali 6 sajak, semua sajak di buku ini, kata pertamanya selalu ditulis dengan
huruf Kapital. Hasan Aspahani juga membuat Deklarasi Perpuisian dan
Kepenyairan yang dirumuskan dari naskah-naskah telaah puisi A Teeuw,
Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, Subagio Sastrowardoyo, Rainer
Maria Rilke, dll. Deklarasi tersebut berisi 13 pasal, dimulai dengan menimbang,
mengingat, memutuskan dan Bab 1 hingga 11. Bab 1. Ketentuan Umum, Bab 2. Antara
Cara Ungkap dan Makna, Bab 3. Hak Puisi dan Tanggung Jawab Pembaca, Bab 4.
Kebulatan dan Kutuhan Puisi, Bab 5. Peran dan Tantangan Penyair, Bab 6. Penyair
dan Kehidupan, Bab 7. sumber Ilham, Bab 8. Pembaca, dan Memaknai Sajak, Bab 9.
Bahasa dan Kata dalam Sajak, Bab 10. Sajak Gagal, Bab 11. Penutup.
Dalam
pengantarnya, Damhuri Muhammad, membukanya dengan ungkapan begini: "Puisi,
sejak dari riwayatnya yang paling usang, adalah dunia tersingkir, dunia
tercibir. Dunia yang dipandang sebelah mata. Di mata Plato misalnya, penyair
tak lebih dari seorang penutur di jalan sesat. Lelaku kepenyairan sekedar
peniruan tak bulat dari dunia senyatanya. dst..." Damhuri di bagian lain
juga menulis: Puisi, apapun bentuk dan alirannya, akan selalu bersarang dalam
liang keasingan. Dunia lain yang bisa saja terbangun dari hal-ihwal remeh.
Namun, di tangan penyair, ia tersingkap dalam rupa yang lain, tak lazim dan
sukar digapai oleh kesadaran non-puitik.
Kemudian
dicatatnya, bahwa sajak-sajak Hasan Aspahani, tidaklah berangkat dari gagasan
besar, tapi dari persoalan remeh dan sepele, yang tanpa dipuisikan pun tetap
terpahami. Namun, katanya lagi, persoalannya bukan remeh atau tak remeh, tapi
sejauh mana kesadaran penyair dapat menggapai keasingan yang tak tersentuh itu.
Ia juga menekankan, pada di titik ini, bukan lagi esensi atau subtansi yang
hendak direngkuh, tapi situasi keterhubungan (relasionalitas) yang tak pernah
padam antara pembaca dengan sajak. Itu karena cara sebuah sajak menyingkapkan
dirinya selalu berbeda pada setiap subyek pembaca. Kira-kira demikian, inti
sebagian tulisan Damhuri Muhammad dalam prolog yang dijudulinya Puisi, Dunia
Asing, dan Rasa Sakit.
Oya, buku
ini barusan saya beli ketika ada kesempatan ke Jogja, sekitar tanggal 13 Maret
2013 yang lalu. Saya tidak tahu harganya, karena saya beli buku borongan. Saya
datang sendirian ke wilayah Sapen, belakang UIN Sunan Kalijaga, dan
membongkar-bongkar koleksi Indrian Koto, saat yang bersangkutan sedang meradang
karena sakit gigi. Hehe.
Kalau
ditanya apa kesan saya terhadap sajak Hasan Aspahani, saya katakan, asyik,
kalau bisa saya ingin menaruh sebanyak-banyaknya sajaknya di sini. Ia terampil
mendayagunakan bunyi dan makna kata. Memasang-masangkan, membolak-balik
kata-kata. Saya jalan-jalan ke blog sejuta puisi kala penyair ini sedang
getol-getolnya membahas puisi-puisi Sapardi Djoko Damono. Akibatnya, hingga
saat ini, saya selalu menghubungkan penyair ini dengan penyair Hujan Bulan
Juni itu. Ah, pembaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar