Data
buku kumpulan puisi
Judul
: Upacara Bulan
Penulis : Korrie Layun
Rampan
Cetakan
: I, 2007
Penerbit
: bukupop, Jakarta.
Tebal
: xviii + 127 halaman (101 judul puisi)
ISBN : 978-979-1012-17-1
Beberapa
pilihan puisi Korrie Layun Rampan dalam Upacara Bulan
Aku Memilih
Aku memilih tanah
Tapi ayahku berang
Ia memberiku
sungai,
“Datangi sumbernya
di udik sana,
Yang mancur di
antara akar dan batu-batu.”
Aku memilih arus
Tapi abang
memberiku air
“Ikuti arusnya
sampai muara,”
Suaranya
menghentak jiwa.
Aku ragu saat
kudengar suara ibu
Yang mana harus
kupilih
Muara atau
sumbernya.
“Kau harus pilih
kehidupan,”
ibuku tersenyum
sambil meraba cahaya harapan
Aku gagu melangkah
di antara tasik dan pegunungan
Di manakah
kehidupan?
Adikku berseru,
“Kau harus pilih hati dan cinta
Sumber segala
cahaya.”
Di antara enggan
dan keinginan
Aku bertanya rumah
cinta
Di mana?
“Yang bersih hanya
kasih,”
Kakekku berkata
menunjukkan benih
Aku tengadahkan
dada
“Di sini?” aku
menunjukkan kepala
“Bahagia selalu
ada di dalam sepi dan ramai,”
Nenekku menimpali
sambil membersihkan kuali
Adakah kehidupan
berbiak di antara tungku
Di dasar nyala
api?
Aku menyusuri
segala mula jadi
Fajar di kaki: di
mataku jalan panjang sekali!
Serulingmukah
Menghanyutkan Tongkang
Serulingmukah
menghanyutkan tongkang
Menggapai sungai
Menambur di arus
deras
Menghamburkan lagu
ke cakrawala bebas
Segala perih dini
hari
Membersihkan
beranda
Tanpa restu
Bayang wajahmu
yang menunggu
Kelap-kelip mimpi
yang diburu
Seperti penantian
Seperti perkawinan
Rahasia kado
kehidupan
Waktu pun memuja
Sunyi yang tua
Segalanya padang
rawa
Kematian tanpa
kata-kata
Perpisahan tiada
Perih nadi, arus,
dan air
Lidah yang dahaga
Duka anyir
Serulingmukah
mengalun dalam tongkang
Mendarah luka
Segala fana
menderai sungai
Menunjuk-nunjuk
pelayaran muara
Upacara Bulan
Upacara bulan di
ranting-ranting jiwa
Memelihara serangga
Lalu matahari esok hari
Mendirikan kemah-kemah
semut api
Para bidadari menarikan
birahi
Di gerbang-gerbang
kehidupan
Kaudengar ketukan demi
ketukan
Di pintu-pintu hati
kita?
Yang diserukan sauh pada
lautan
Kapal dermaga kita
Yang diserukan mercusuar
Nyawa cinta yang
gemetar!
Adakah kaudengar telepon
hati
Yang berbicara tentang
kejujuran budi
Dunia kita
Tentang sakit dan
derita?
Upacara matahari di
pusaran waktu
Memelihara padi
Di ladang-ladang
berdarah
Di kota-kota kesangsian
Kecemasan purba melekat
di dahi dan ubun kita
Tanda di pundak-pundak
sejarah
Kaulihat langit merendah
Menyerbumu dengan
kesangsian derita!
Roh Angin
Roh angin mencari
akar pohon
Yang tertanam di
pusat bumi
Sementara
pohon-pohon hilang dari rimba
Meninggalkan luka
zaman
Musik tanah
menangisi kuburan
Menangisi gurun
padang kesuburan
Kesetiaan diuji
dunia yang tuli dan buta
Lewat derita dan
kematian
Roh malam memburu
sayap rindu
Mengejar kereta
pulang
Sayup lagu “gugur
bunga”
Tak alang kepalang
Tangkai-tangkai
rahasia
Menulisi kegelapan
tebing
Di nisan-nisan di
batu-batu
Mengurai kecewa
Di halaman yang
beku oleh derita
Roh pagi bangkit
bersama cinta
Memanggilmu dalam
doa
Mengubur luka
Roh segala roh
bersatu dalam jiwa
Berenang bersama
anak-anak bulan
Melepas lambaian
keranda ke wilayah gulita
Mengusap tolakan
gerimis keabadian!
Kuala Lumpur
Suara seperti
kehilangan suara
Antara lidah
melayu dan logat eropa
Lift dan tandas
Banjir ilusi:
hujan kota menderas!
Antara gedung dan
oto menderu
Antara rumah dan
sungai itu
Suara pesawat dan
kereta api lalu
: Kita bertemu
Panjangnya garis
sejarah
Memintas masa
silam
Musim demi musim
yang runcing
: Patah di tengah
Kini banjir
kenangan
Negeri kuyub waktu
Seribu tamu para
antrean
: Mengetuk pintu!
Manila
Batu tengah kota
Air melimpah
Merembes tanah
Luka di dada
Gunung api
Pelabuhan sepi
Franky*
Rayap di tengah
buku
-------
* Sastrawan F.
Sionil Jose
Epitaf
kepada (alm)
soesilo murti
Serasa masih ada
yang berkata-kata
Menyeru seperti
lagu
Seperti sosok
wajah tertawa
Bayang-bayang yang
berlalu di pintu
Datang pada hidup
dan pergi
Meninggalkan meja
ruang hampa
Luruh bunga tak
kembali
Pada rumah dan
kawan sekerja
Lugas dalam tugas
pekerjaan
Perihnya membenih
dan menanam
Sumringah dalam
laku kehidupan
Biru langit dan matahari
terbenam
Ada kata-kata ada
suara tersimpan
Ada kenangan ada
gairah kerja menanti
Ada sepi ada duka
tak terucapkan
Yang luruh
diam-diam pada dataran hati
Yang berdiri depan
pintu mengucapkan salam
Yang duduk di
kursi melukiskan kata diam
Yang melangkah
sendiri di jalan pulang
Yang menanam bunga
kuntum-kuntum kasih sayang
Segala silam dalam
cinta
: Indahnya kehidupan
Di atas jalan tak
bertabur bunga
Katekisasi
Hatiku yang hitam
telah memetik bedil
Dengan tangan
kekasih
Di ujung pelarian
aku masih coba memandang: nihil
Terlihat dalam
diriku pertempuran kaum salih
Dengan hati merah
aku membakar matahari
Menggulir
bola-bola nestapa
Tuhan terus
memetik kecapi di hutan-hutan sunyi
Membungkas jiwa
yang diam, o, sang pertapa
Kekasih terus
bertanya tentang harga kesetiaan
Tentang kejauhan
arasy-Mu
Aku menunjuk ke
puncak terus ke bawah ke dataran
Kepada hidup dan
jawaban yang tersimpan dalam kalbu
Kita berhenti pada
luka
Tepi hari-hari
mati
Kupersembahkan
hati, jiwa semesta
Ayat-ayat fana,
jantung tertidur pagi hari
Letupan Bambu,
Tambur Upacara
Letupan bambu,
tambur upacara
Menyala di air
Kaki-kaki
telanjang
Giring-giring
Malam menari
Bulan
Bulan di
langit-langit
Lou
Seribu ancak
Lilin
Pisang dan ubi
Balai-balai
permandian
Daun lenjuang
Getang
Tarian malam
Mengupas malam
“Yang sakit bawa
ke sini
Yang muntah dan
mandul
Yang pekung dan
lepra
Bawa ke sini
Yang kehilangan …
Seribu satu
penyakit badan dan jiwa!”
Tambur mengeras
Dalam malam keras,
“Segala penyakit
pergi
Encok, koreng
gatal
Lumpuh dan
penyakit mata
Jantung demam kura
Pergi semua
Ke hutan-hutan tak
bertuan!”
Sepuluh penari
Sepuluh mangkuk
lilin
Menari dalam gelap
Beras kuning
Terbang ke udara
Beras putih-hitam
Terbang ke udara
Sukma pulang ke
sukma
Ancak piring upacara
Tambur leluhur
Lemang ketupat
tumpi
Dibagi baki
Panggang ayam
panggang babi
Salawat api
Yang merecik di
dapur dupa
Akar wangi
Yang menutup
serapah upacara
Balian mulut
waktu,
“Pulang semua
pulang
Yang tinggal
punggawa
Penjaga badan
jiwa!”
Malam mengucapkan
tanah
“Hari! Hari!”
Ada
Ada belantara
dalam diri kita
Durinya amat lebat
Ada laut dalam
diri kita
Derunya tak kenal
waktu
Ada api dalam diri
kita
Nyalanya membakar
segala
Ada dengki dan
cemburu dalam diri kita
Perihnya mengiris
dinding hati
Ada cinta dalam
diri kita
Tumbuh dalam taman
bunga-bunga terlarang
Ada yang tak
terkatakan dalam diri kita
Ada: …!
Kubiarkan
Kubiarkan
tulang-belulangku
Mengadu kepada langit
Kubiarkan kuku dan
rambutku
Mengadu kepada bulan
Kubiarkan mataku
Mengadu kepada matahari
Kubiarkan darahku
Mengadu kepada bumi
Kubiarkan! (adikku
terus menari!)
Segala mengadu
kepada tiada
Celaka!
Gerak batin dan
jiwa
Mengadu kepada
cuaca
Segala mengadu
kepada keabadian
Kubiarkan! (hanya
secercah isyarat dian!)
Segala gerhana di
mulut
Segala gempa di
telinga
Segala
kerongkongan dahaga
Kubiarkan segala!
Kota-kota tak
henti berjudi
Perawan kehilangan
angin
Lalu matahari
membela hawa
Terbakar jurang
kehidupan!
Siapa namamu?
Kesunyian?
Siapa namamu?
Kematian?
Serempak segala
mengadu pada darah
Siapkah?
Ibu atau wanita
pujaan dunia?
Siapkah?
Kubiarkan!
Kau atau aku?
Sisi Malam
Sisi malam seperti
belati
Seperti rampok
Mabuk kelaparan
Gadis yang ngidam
tanpa suami
Perempuan yang
memahat-mahat bahagia
Mengasah rahasia
bunga
Menertawakan
kesedihan
Di pintu
marabencana
Sisi kehidupan
yang tajam
Setajam pasar dan
rupiah
Roh layang-layang
kehidupan
Kecambah puisi
para bedebah!
Lagu kabut derita
yang padat
Mempermalam kota
Rahasia hitam di
lorong-lorong
Menanak kengerian
di ruang-ruang jiwa
Lalu cakrawala dan
bintang kejora
Lalu lautan dan
gelombang dunia
Tumpah di
ladang-ladang minyak terbakar
Tahun-tahun tanpa
akar
Sisi hari yang
tajam
Lumpur gerak
cahaya
Perjalanan di atas
duri
Gadis yang ngidam
tanpa suami
Mantra Perkawinan
Anyeq Haling Ubung Do dengan Wau Nuking Ung*
Inilah adat aveq, upacara perkawinan
Anyeq Haling Ubung
Do dengan Wau Nuking Ung
Putra yang
diturunkan Tamai Tingai Buring Aring
Dengan putri
kayangan
Yang menjelja jadi
manusia
Seperti kita.
Tamai Tingai
Buring Aring
Dan semua arwah
leluhur seperti kakek dan nenek
Datuk dan buyut
kita
Sampai ke atas ke
silsilah ketujuh belas
Yang memandang
dari kejauhan
Ini kami menyapa
dengan beras
Nyawa yang
menjelma dari alam raya
Sumber kekuatan di
dalam kehidupan
Beras yang berasal
darimu
Kami hitung sampai
delapan
Dengan daun savang akan menghilangkan
Dengan daun ureu akan melenyapkan
Noda dan beban
yang melekat
Daki yang
mengotori
Badan dan
pernikahan agung
Anyeq Haling Ubung
Do dengan Wau Nuking Ung
Segala kesialan
dan derita,
Segala sakit
penyakit dan malapetaka
Lepas dan
lenyaplah bersama mendung hilang,
Seiring
terbenamnya matahari
Yang pergi ke
balik bumi
Kami dipulihkan
menjadi putih bersih
Murni kembali
seperti sediakala
Ini saya mengait
dengan kawit aveng
Saya kait dengan kawit deset
Harap kami pada
Tamai Tingai Buring Aring
Nasib dan
kehidupan baik
Kelayakan sempurna
dalam kehidupan
Anyeq Haling Ubung
Do dan Wau Nuking Ung
Kekal
selama-lamanya
******
Minumlah dari
tuwung bambu
Air yang
diciptakan Tamai Tingai Buring Aring
Air yang
menyejukkan badan
Air yang memberi
kehidupan
Air yang sejuk dan
dingin
Yang mendinginkan
sendi-sendi kehidupan
Agar Anyeq Haling
Ubung Do dan Wau Nuking Ung
Damai bahagia
selama-lamanya
Bersama damai bumi
yang setia
Menerima segala
tiba
******
Kini saatnya
mengikat gelang manic
Pada pergelangan
tangan pengantin
Ini ikatan nasib
mujur kebaikan
Mengikat suasana
kekeluargaan
Semuanya menyatu
dalam kehidupan
Kukuh kuat tegar
Seperti manik yang
indah
Melingkar di
pergelangan tangan
Pengantin
kehidupan
Tiba masa
pengantin untuk menyantap
Nasi dan garam
Nasi yang memberi
napas
Garam yang
mengawetkan
Sehingga hidup
jadi kekal kebajikan
Karena terlepas
dari ketidakpastian
Semua keturunan
lebih berarti
Laksana cahaya
suar di gelap malam
Tak akan pudar
Seperti cahaya
lentera damar api
Abadi
Selama-lamanya
*****
Inilah waktu
kehadiran yang ditunggu
Bagi keluarga
Anyeq Haling Ubung Do
Dengan Wau Nuking
Ung
Menginjakkan telur
Menginjakkan dupa
wangi
Menginjakkan kaki
di tanah leluhur
Yang penuh rezeki
Gembur subur
Manusia dan tanah
menyatu
Dalam kehidupan
Seperti tapak kaki
Menandai kehadiran
Di muka bumi
pemberian para dewa
Bersatu untuk
menerima berkat
Yang ditarik dari
darat
Yang dihela dari
sungai kita
Dari huma leluhur
semua
Untuk kebaikan
kehidupan
Seperti doa yang
manjur
Kami sampaikan
nasar
Demi umur
Bersama kehadiran
Tamai Tingai Buring Aring
Pengantin menerima
kemaslahatan
Yang abadi
Tanah ini adalah
tanah janjian
Yang mengalirkan
harapan
Kebajikan
Pengantin telah
menyatu
Dalam kehidupan
Seperti awan
menyatu dengan lautan
Seperti asap
menyatu dengan api
Semuanya senasib
sepenanggungan
Bersama berkat
yang berlimpah
Tumpah ruah
Di dalam kehidupan
Anyeq Haling Ubung
Do dan Wau Nuking Ung
Hadir kesejukan
abadi
Seperti aliran
sungai kekal
Dalam kerukunan
dan kedamaian
Yang terikat di
bumi
Dan di langit
keabadian
Tuhan.
*Anyeq Haling
Ubung Do dan Wau Nuking Ung diyakini merupakan cikal bakal suku Dayak Bahau
yang kini mendiami pehuluan Sungai Mahakam, Kutai Barat, Kaltim.
Tentang Korrie
Layun Rampan
Biodata penyair ini saya kutip sebagian besarnya dari
laman ini (http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/tokoh/438/Korrie%20Layun%20Rampan). Korrie
Layun Rampan dilahirkan di Samarinda, Kalimantan Timur, 17 Agustus 1953. Ayahnya
bernama Paulus Rampan dan ibunya bernama Martha Renihay- Edau Rampan. Korrie
telah menikah dengan Hernawati K.L. Rampan, S.Pd. Dari pernikahannya itu Korrie
dikarunia enam orang anak.
Semasa
muda, Korrie lama tinggal di Yogyakarta. Di kota itu pula ia berkuliah. Sambil
kuliah, ia aktif dalam kegiatan sastra. Ia bergabung dengan Persada Studi
Klub-- sebuah klub sastra-- yang diasuh penyair Umbu Landu Paranggi. Di dalam
grup ini telah lahir sejumlah sastrawan ternama, seperti Emha Ainun Nadjib,
Linus Suryadi A.G., Achmad Munif, Arwan Tuti Artha, Suyono Achmad Suhadi, R.S.
Rudhatan, Ragil Suwarna Pragolapati, Teguh Ranusastra Asmara, Iman Budhi
Santosa, Suminto A. Sayuti, Naning Indratni, Sri Setya Rahayu Suhardi, Slamet
Riyadi, Sutirman Eka Ardhana, B. Priyono Sudiono, Saiff Bakham, Agus Dermawan
T., Slamet Kuntohaditomo, Yudhistira A.N.M. Massardi, Darwis Khudori, Jabrohim,
Sujarwanto, Gunoto Saparie, dan Joko S, Passandaran.
Pengalaman
bekerja Korrie dimulai ketika pada 1978 ia bekerja di Jakarta sebagai wartawan
dan editor buku untuk sejumlah penerbit. Kemudian, ia menjadi penyiar di RRI
dan TVRI Studio Pusat, Jakarta, mengajar, dan menjabat Direktur Keuangan
merangkap Redaktur Pelaksana Majalah Sarinah, Jakarta. Sejak Maret 2001 menjadi
Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Koran Sentawar Pos yang terbit di Barong
Tongkok, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur. Di samping itu, ia juga
mengajar di Universitas Sendawar, Melak, Kutai Barat, Kalimantan Timur. Juga pernah menjadi anggota DPRD Kabupaten Kutai Barat periode 2004-2009. Di
legeslatif itu Korrie menjabat sebagai Ketua Komisi I.
Sebagai sastrawan, Korrie
dikenal sebagai sastrawan yang kreatif. Berbagai karya telah ditulisnya,
seperti novel, cerpen, puisi, cerita anak, dan esai. Ia juga menerjemahkan
sekitar seratus judul buku cerita anak dan puluhan judul cerita pendek dari
para cerpenis dunia, seperti Leo Tolstoy, Knut Hamsun, Anton Chekov, O'Henry,
dan Luigi Pirandello.
Novelnya, antara lain, Upacara dan Api Awan Asap meraih hadiah Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta, 1976 dan 1998. Beberapa cerpen, esai, resensi buku, cerita film, dan karya jurnalistiknya mendapat hadiah dari berbagai sayembara. Beberapa cerita anak yang ditulisnya ada yang mendapat hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu Cuaca di Atas Gunung dan Lembah (1985) dan Manusia Langit (1997).
Novelnya, antara lain, Upacara dan Api Awan Asap meraih hadiah Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta, 1976 dan 1998. Beberapa cerpen, esai, resensi buku, cerita film, dan karya jurnalistiknya mendapat hadiah dari berbagai sayembara. Beberapa cerita anak yang ditulisnya ada yang mendapat hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu Cuaca di Atas Gunung dan Lembah (1985) dan Manusia Langit (1997).
Beberapa novelnya Upacara (Pustaka Jaya, 1976); Api Awan Asap (Grasindo, 1999), Wanita di Jantung Jakarta (Grasindo,2000), Perawan (Balai Pustaka, 2000), Bunga
(Grasindo,
2002), Lingkaran Kabut (Grasindo, 2002), Sendawar (diterbitkan sebagai
cerber di Tabloid Nova, 2003).
Kumpulan cerpennya tercatat di laman ini ada 31 buku, beberapa di
antaranya adalah Malam Putih (PD Mataram, 1978, Balai
Pustaka, 1981), Kekasih (Nusa Indah, 1982), Perjalanan Guru Sejarah (Bahtera, 1983), Hitam (Balai
Pustaka, 1993), Rawa (Indonesia Tera, 2000),
Tarian Gantar (Indonesia Tera, 2002), Tamiang Layang, Lagu dari Negeri Cahaya (Balai Pustaka, 2002), Teluk Wengkay (Kompas, 2003), Percintaan Angin (Gramedia, 2003),
Kayu Naga (Grasindo, 2005), Daun-Daun Bulan Mei (Kompas).
Kumpulan puisinya antara lain Matahari Pingsan di Ubun-Ubun (Walikota Samarinda, 1974), Putih! Putih! Putih! (bersama Gunoto Saparie, Yogyakarta, 1976), Sawan
(Yayasan Indonesia, 1978), Suara Kesunyian (Budaya Jaya, 1981), Nyanyian Kekasih (Nur Cahaya, 1981), Nyanyian Ibadah (PD Lukman, 1985), Undangan Sahabat Rohani ( Yogya, 1991), Mata Kekasih (bukupop).
Korrie Layun Rampan juga banyak menulis buku esai dan kritik sastra,
buku teks dan kamus, dan cerita anak-anak.
Catatan Lain:
Korrie
Layun Rampan membuka kumpulan ini dengan tulisan Jejak tak Bertapak di Dalam Puisi Indonesia. Di antaranya ia
menulis: “Sampai sekarang saya sendiri
tak tahu pasti berapa jumlah puisi sudah saya tulis. Seingat saya puisi pertama
yang dipublikasi berjudul “Solitude”, dibacakan oleh Hamdi AK, BA di RRI
Samarinda pada tahun 1964 saat saya berusia sebelas tahun dan duduk di kelas
satu menengah pertama.” Penyair ini telah menulis sejumlah puisi, cerita
pendek dan drama saat masih SD. Berlanjut hingga sekolah di Samarinda dan saat
mukim di Yogyakarta tahun 1971.
Korrie melanjutkan tulisannya: “Pada
awal saya terjun ke dunia kepengarangan saya lebih banyak menulis puisi. Salah
satu pengalaman yang memacu keberanian saya mengirim tulisan ke media massa
bergengsi saat itu adalah dorongan seorang teman sesama mahasiswa, Arwan Tuti
Artha. Mungkin sengaja memanas-manasi saya atau tidak, ia menunjukkan kepada
saya amplop tebal puisi-puisinya yang diretour
majalah sastra Horison.” Sejak itu penyair yang tak pernah punya nyali
mengirimkan karya-karyanya itu ngebut mengetik sejumlah puisi dan tulisan
lainnya.
Korrie berkata lagi: “Menulis puisi
bagi saya adalah sebuah tantangan dan pertaruhan. Meskipun sejumlah puisi saya
ada yang dipilih untuk beberapa antologi bergengsi seperti yang dilakukan oleh
Linus Suryadi AG dalam Tongggak 4, dan beberapa antologi lainnya namun saya
tetap menganggap saya bukanlah penyair, sehingga saya merasa saya telah
melakukan langkah tak bertapak di dalam perpuisian Indonesia modern. Saya
menulis puisi karena kebutuhan jiwa untuk berkomunikasi dengan cara yang
sederhana, efisien, namun estetis. Bagi saya, puisi sebenarnya bukanlah hanya
kata-kata, ia sesungguhnya roh kata-kata, sehingga puisi memungkinkan
penyairnya menyampaikan gagasan, kritik, anekdot, analisis, cercaan, pembelaan,
curahan perasaan, dan sebagainya secara kritis, padat, indah, dan tajam dengan
keunggulan estetika.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar