Data
buku kumpulan puisi
Judul
: Percakapan Lilin
Penulis : Riki Dhamparan Putra
Cetakan
: I, Juni 2004
Penerbit
: AKY (Akademi Kebudayaan Yogyakarta) Press, Yogyakarta.
Tebal
: ix + 81 halaman ( 53 judul
puisi)
ISBN : 979-98626-0-4
Tata letak : Sazhs
Desain dan Ilustrasi sampul :
Windutampan
Pengantar (kata kawan) :
Puthut EA
Beberapa
pilihan puisi Riki Dhamparan Putra dalam Percakapan Lilin
Nyepi
Kukuuuruuyuuuuuuk
1998
Pantai demi Pantai
lapak-lapak
rinduku
buyar
di tepi kanal
ketika di bawah
debur lampu
aku melihatmu
pamit
dari pucuk-pucuk
kirkit
yang melambai
dengan penuh sesal
seperti engkaulah
pantai
dan keriuhan itu
tamasya-tamasya
kosong
yang mencengangkan
darimana
dongong-dongeng
lahir
membukakan pintu-
pintu malam
angin laut yang
jahat
dan bidari-bidari
yang menyulut sumbu
kiamat
hamba menyerah,
tuanku
dari pantai yang
tak kunjung
kukenal
di mana aku
memeliharamu
pada serunai kapal
di kejauhan
mungkin tak kan ada yang tiba
hingga waktupun
berhenti
dan aku istirah
memejam mata
di karang yang
selalu basah
di antara batu-
batu yang tertidur
memeluk surga
1999
Ngaben
Api yang tak mati.
Sudahkah kau basuh
tangan yang
menyulutnya
seterik ini?
Barangkali di
celah jari itu masih
ada sisa daging
Dan kukumu mungkin
retak
Hingga tangismu
yang suci sia-sia
dihapus peluh
orang banyak
Sebuah kereta tiba
dengan pintu terbuka
Orang-orang lalu
menyerbunya. Kau lihat?
Mereka tak ubahnya
kanak-kanak
yang tak sabar
di hari tamasya
Karena itu ikutlah
agar jalan-jalan
kembali hening
dan masa lalu bisa
dibagi seindah kembang coklat
yang mekar
di pucuk-pucuk
daging
Para leluhur mungkin
tak pernah mengenalnya
Tapi hari ini orang-orang itu
datang untuk
mencecap manisnya, lalu menghabiskannya.
mencecap manisnya, lalu menghabiskannya.
Tidakkah kau lihat?
Burung-burung kayu itu terbang
Dan naga-naga itu menyala
laksana
benteng api
(Seorang sahabat telah dimusnahkan
Dan abunya menjelma kupu-kupu yang lepas
di sungai-sungai
tanpa malam)
Sesekali ia pulang
Bertanya tentang kerlap
lampu-lampu
di sanggah halaman
Ya, ia tak kan ke mana-mana
selama kartu-kartu di meja itu
masih terbuka
dan perjudian ini masih tetap
suci
untuk disajikan di altar hampa
bunga-bunga
Ia masih di sini selama
sayap-sayap
masih menitik darah
dan taji-taji masih tajam
menoreh gelap warna tanah. Ia
tak mati
Apakah yang mati? Api?
Api tak pernah mati. Saat ini
bahkan
ia sedang menggila melalap
kayangan
beranak-pinak seperti jamur
yang tumbuh liar
di hutan-hutan
Dusun-dusun terik. Gurun-gurun
kering kerisik
Anak-anak bermain gasing di
padang-padang gatal.
Mereka seperti orang asing!
Orang asing yang nakal!
Turun dari planet-planet tak
dikenal
Sementara lidahmu
masih pahit oleh rumput. Dan
matamu makin buram
oleh dongeng-dongeng indah
tentang kabut
Betapa ketinggalan. Sialan!
Tapi lihatlah kereta itu
sudah berangkat sebelum kita
gerah
pada debu
yang mengusung jasad
Tugu-tugu meninggalkan batu.
Hidup adalah rahasia
yang tampak megah
dalam pesta kematianmu
2004
Orang Pulang
Seperti ikan
Aku pulang membawa
tulang dan insang
Hanya tulang dan
insang
Dengan sepasang
mata es yang kehausan
Ambillah wahai
Ibuku
Inilah yang paling
indah yang bisa kubawa
untukmu
sebab ikan-ikan
adalah binatang ajaib
ketika semua
cermin pecah
oleh mereka yang
pergi mengadu nasib
2000
Tak Jadi Hujan di
Singaraja
Aku tau kau tak
ingin pulang
tanpa hujan
Burung-burung
sudah jauh. Peluit kapal
terdengar senja di
daratan
Oktober penuh teka
teki. Bunga bunga mekar
tak ingin membagi
wangi
Aku terluka. Tanah
hitam purbanimu mengerjarku
bagai akar akar
anggur penuh doa
; mungkin
sebentang layar. layar? bukan!
hanya angin puyuh
seribu tangan batu
yang sunyi tiba-tiba meronta
ingin tumbuh!
tiang tiang patah
kendi kendi penuh
dongeng berjatuhan
di pucuk pucuk
tanah
bagai serpihan kaca benggala
lapar dagingku tak puas mengunyahnya
Saat itulah aku ingin melupakan
segala yang pernah kuketuk di tubuhmu
; desa desa menuju malam. menuju lampu!
kutu kutu tanpa pohon
mengendap di dasar senyap impianku;
buah-buahan yang tak pernah matang
gugusan arca dan aroma cengkeh di bukit
adalah ombak yang ingin tidur
di hamparan pasir penuh bulan
Engkau ingin menyepuhnya untukku. Untukku?
Jangan, Kekasih! Biarkan saja begitu.
Bukankah engkau ingin menjadi hujan
yang tak pernah turun
di altar cemas musim tanamku?
Cuaca begitu liar
Dan di bawah bintang jatuh
doa doa hanyalah gumpalan angin garam
yang gampang terbakar
Padam bersama waktu
Kembang kembang api di laut
adalah tangan lembut bidadari yang ingin kau sentuh
dengan hati kanak-kanakmu
2003
Sajak Pendek
tentang Kepala
Apakah indahnya kepala?
Sebuah tong sampah
Sepotong kepala anjing menyembul
meleler ludah
Aku harus bertahan
bertahan!
2004
Sahabat yang
Membaca Puisi
: Puthut ea
Tanyakanlah padaku
Setinggi apakah burung-burung
akan
terbang?
Setinggi pucuk-pucuk bukit
Sesunyi menara-menara batu yang gemetar
menembus tabir langit
Burung-burung itu jiwaku
Dan menara-menara itu adalah ingatan
yang akan lenyap
bersama hutan-hutan api di darahku
Darah yang mengalir sungsang
Darah kupu-kupu
Sungai-sungai belerang dan kabut
bercampur wangi
di
tambang-tambang waktu
Darah itupun milikmu wahai tangan
yang mengulur buram warna pagi
Tangan sahabat yang menggigil meracik remang
kata
puisi
Begitu berarti bagimu. Bagiku
Bagi kita sahabat!
Bagi siapa saja yang melindungi diri
Dengan surat-surat kilat
tanpa
alamat
Maka tanyakanlah padaku
Ke mana burung-burung itu pergi
Mengapa setiap jiwa harus terbang
dengan kesemuan-kesemuan
yang mereka miliki
Bahkan dengan kekonyolan-kekonyolan kecil
yang mereka dustakan
sepanjang pagi
Tanyakanlah terus. Terus!
Karena dengan pertanyaan-pertanyaan semacam itulah
aku akan bertanya pada diriku sendiri
2004
Tasbih, Sebuah
Prolog
Aku meninggalkan jalan penuh pasir. Kadang berkelebat
seperti bayangan, kadang dingin, kadang haru seperti
gerak lilin. Kadang hanya aku. Pucat seperti tepi langit
yang berdiri tanpa kaki dan kepala. Dan kalau kudapatkan
kembali kaki dan kepalaku, bumi berubah lengkung seperti
huruf U. Bagaimana aku akan berdiri tenang di situ?
Matahari seperti penyakit. Dedaun seperti teduh yang
bermusim dipingit. Kau apa, adakah kau Nama yang hidup
dalam panggilanku? Adakah Kau Kata yang membasahi
gurun pasir kering dalam perjalanan nasibku? Adakah kau
Huruf yang menyusun ingatan dan tulang-tulangku? Ada
nggak Kau bagiku?
Aku tak pernah ingin meragukan Adaku. Aku hanya
rindu. Tapi ketika kau tak muncul muncul juga dalam
gamang sembahyangku, berkeluh kesahlah aku. Dan ketika
semua Tanya berakhir pada batu, menjadi hampalah semua
bagiku.
Jalan-jalan berujung pada kelahiran baru. Kelahiran menjadi
pintu bagi penderitaan baru. Penderitaan member
persimpangan atas dua pengetahuan. Yaitu kesiaan dan
pencapaian. Aku inginkan pencapaian. Aku daki Kau pada
jalan yang berputar-putar seperti lingkaran aksara pada biji
tasbih. Hingga akupun merasa ditinggalkan oleh semua
keinginan itu. Oleh Kau yang tetap menjadi rahasia dalam
semesta istighfarku.
Di kota-kota aku terluntas seperti angin. Rambutku
berombak, sepasang mataku adalah layar yang ujungnya
samar. Dan tanganku melambai seperti garis yang dungu,
terputus-putus dengan kaku. Tak ada awal, tak ada
akhir. Tak ada perjalanan yang terlalu istimewa untuk dipuja
sebagai takdir.
Tak ada dalam perjalanan ini. Apakah artinya Kau bagiku?
Malam menjelma kotak yang makin sempit. Cinta menjelma
lorong-lorong. Dan ingatan merapuh seperti ludah laba-laba
yang terayun di karang-karang purba kegelapan. Garis-garis
menjelma aksara yang nista, tak ada ujung pangkalnya.
Aku tak pernah ingin meragukanmu Adaku. Aku hanya
ingin mengalirkan. Karena akata-kata adalah air yang
harus dialirkan. Dan seluruh pengetahuanku adalah
bendungannya. Namun mengalirkannya tidak mudah. Ia
memerlukan pengetahuan dan keyakinan, nyawanya
adalah keikhlasan.
Pengetahuan seperti bintang-bintang yang bertebar di
langit malam, dan keyakinan adalah gunung gunung batu
yang bersila meneguhkan isi alam. Keikhlasan adalah
pintunya. Darimana seorang kekasih dipanggil untuk lenyap
bersama cahaya yang menggantikan fana jasadnya.
Sementara bumi dan penghuninya akan terus membusuk.
Mereka yang tak terbebas, akan lahir kembali untuk
membersihkan seluruh masa lalunya. Tulang dan kayu kayu
lahir menjadi energi materi, dan sebagiannya lahir menjadi
pepohonan. Begitu terus, hingga suatu hari lingkaran itu
terputus, dan bola bola tasbih yang mengepungnya
menggelinding menjadi gelembung gelembung cahaya
yang kudus.
Serasa dekat dengan Budha, aku pun bersila. Karena semua
yang bersila dengan istighfar adalah tubuh bagi sang
Budha. Semua yang terbebaskan dan tercerahkan adalah
ruh bagi Budha. Rinduku adalah jalan. Engkau yang maha
hidup adalah sumber tenaga bagi semua kendaraan.
Kemudian aku menunggang kendaraan itu dengan
penyesalan dan ketakberdayaanku. Pergi dengan dentang
lonceng yang mendengung jauh di ubun dan urat
jantungku.
Hingga di sebuah kapal aku dilemparkan ke laut lepas dan
menjadi mangsa Ikan Nun. Dan selama bertahun-tahun
selimutku adalah hawa dingin, duniaku adalah kegelapan
yang membentuk labirin. Akupun menyalakan lilin. Selama
bertahun-tahun pula lilin itu menyala dari penyesalan dari
ketakberdayaanku. Bila Ikan itu merasa panas, diapun
memuntahkan aku ke sebuah pantai senja.
Bumi terus berguncang. Negeri-negeri tak pernah aman.
Aku yang membisu, belajar menjadi saksi bagi setiap
kejadian yang hendak menunjukkan keberadaan dan
kuasaMu. Kejadian-kejadian yang kusut. Dan aku terus
mengurainya dengan tangan yang gemetaran. Sehelai
demi sehelai, aku memilahnya. Menariknya lurus ke arah
kebenaran dan keindahanMu.
Tapi benang ini terlalu panjang untuk direntang lurus. Dan
juga terlalu panjang untuk kembali digulung dengan
tanganku yang lemas dan kurus. Bagaimana kau berdiam,
bagaimana kau bersemayam? Adakah kau yang berdetak
setiap kali aku sunyi memandangi lampu lampu malam?
Mereka seperti pepohonan dengan buahnya yang menyala.
Tapi di kejauhan, aku tak melihat tampuknya.
Aku inginkan itu wahai Kau yang menjadi tampuk
semua buah rindu. Aku inginkan itu, …
2003
Pantai Lingga
Agar-agar langit
Agar-agar
langit
Tunjukkan kapan dingin
menjadi
tulang
Pantai terlalu licin
untuk kutempuh sendirian
Kadangkadang dengan angin
Kadangkadang saja bergembira
Kadangkadang
kurasakan
laut ini
tengah
membuang dirinya
Menghempaskan aku
ke dalam sujud
yang
tak ada batasnya
1995
Migrasi Sebuah
Zaman
kepada Afrizal
Malna
Sejarah yang adil
Telah memberi amanah kepada benda-
benda
Yaitu kehidupan
Hingga tak ada lagi benda mati
Semua bergerak mencipta zaman
Aku kehilangan sahabat
tak sanggup mengucap diri
dalam benda-benda
Karena kupikir benda-benda mengalami
kiamat
Aku terdakwanya
Aku benar-benar membenci cinta
hari ini
Ketika pada hari yang lain
Tak ada tampak yang kekal
untuk dikasihi
Keinginanku yang terbesar adalah membunuh
Sebagaimana benda-benda itu menang
dengan gemilang menang
dengan gemilang
Tapi sejarahlah yang paling gemilang
Ia hendak mengadili diriku dalam
dirimu
Ketika migrasi besar-besaran
Terjadi ke dalam benda-
benda itu
2001
Tulamben*
Sekarang kau mengerti sahabatku
Surga bukan untuk orang miskin
Bukan juga untuk daun-daun lontar
yang bernafas lemah pada tanah hampa
di helai rambut sanyasin
Kita akan melupakannya pelan-pelan
Seperti laut timur
menyembunyikan diri di kedalaman
Karang-karang akan tetap basah
Hamparan kaktus dan ilalang
akan tetap tumbuh sebagai nyanyian hidup
paling nyata yang pernah ada
yang pernah kita punya
dan telah menemani kita pada sempitnya jalan setapak
yang panjang ini
Ke perbukitan bisu
kita mencari teguh janji waktu
seteguh gunung Agung
sesunyi batu-batu yang melepaskan seribu masa silam
dari pintu matanya yang murung
Laut akan tetap asin
Hamparan kaktus dan ilalang
Akan tumbuh kelak
sebagai hujan yang mengairi sungai sungai
di mana cinta mengalir
dan kata-kata dipanen seperti nyala bunga
yang menyatu dengan bening
mata air
Di keningmu cahayanya
Di dadaku matur burung tekukur siap membubung
bersamanya
ke perbukitan paling bisu
ke pucuk-pucuk tanah dan air yang tak letih-letih
menawan rindu jalan jalanmu
Juni, 2003
* Nama sebuah
kecamatan di daerah Buleleng
Percakapan Lilin
(1)
Kau kira mereka peduli bagaimana
kau
takut?
Menyalaklah terus
dan jilat ludahmu
Mereka akan mengingatnya sebagai nyeri
yang harus dibalaskan
sewaktu-waktu
Seperi lilin
Mereka adalah sayap
di
utus malam
Dan nafas mereka adalah tangan-tangan gandum
yang hancur
tergilas musim
Menapak dalam gemasku
Langit memendam jejak
Tanah menggumpal waktu
Sepasang
nenek yang tak sabar
telah membuangmu
di luar pintu
Kanal-kanal
lelah
Burung-burung
adalah ribuan kantong mayat
yang ditimbun
di kudung senja sendiri
Api
dinyalakan
Roket-roket
menari di jauhan
seperti taburan
kembang
seperti sunyi
yang terlepas dari gagang
jutaan bintang
terlupakan
Tuhan, ini
untukMu! Kata mereka
Untukmu?
Engkau mencoba menirunya
Suara-suara
lalu menjelma tambur yang nestapa
memantul
ke kemah-kemah pengungsi yang gaduh
mencabik
dingin
menitik
serupa air batu yang terbelah
di pangkal
daging
Akarmu
Apakah
tanahnya serupa mayat kita?
Mestinya
dia menjadi cermin
yang dapat
memantulkan cacat di wajah kita
rambut
yang kering
dan
airmata
gugusan
tulang
terhampar
seperti bukit-bukit pasir
yang
bersembunyi
sejuta
laba-laba mendaki
sejuta laba-laba
membangun sarang di atasnya
Sementara
itu sesuatu yang seperti gunung berapi
terus meledak
Sesaat seperti apiMu. Sebatang lilin
Tapi
mengapa semua masih begitu gelap?
Padahal
kami belum begitu tua
(2)
Kita
sesunyi air
Sebelum
asap membubung hitam
dan
bayangan kita bangkit
seperti
hantu malam yang mengepung
pabrik dan
taman-taman
kota
Kita
selurus batang batang pinang awalnya
yang
melindungi tebing
dan batu
batu menjaga sungai
ke hilir
di laut
menjelma ikan-ikan segar
teluk
teluk karang
dan rumah
burung
Kita sembahyang
Karena
kata-kata adalah tanah yang harus dibagi
dengan rumput
dan pohonan
Tapi kita
juga babi! Serumu
Karena itu
aku awasi sepasang cangis di mulutmu
Bulan
menjadi musuh
Daratan
menjadi Ibu yang mengejarku ke tampat-tempat
jauh
(3)
Kamu diam
Padahal
kamu bukan mayat
Tapi
sepotong duri yang suci
yang
terbang
bubuh
di
dagingku
Dan
menyatu itu waktu, bisikmu
Ya, waktu.
Kejarlah!
Tapi aku
muntah
Semua
terasa semu
Tulang-tulangku
berderak seperti
Sepotong
gunting kayu yang melulur angin
di celah pintu
Seekor
lalat jatuh
Telingaku
menjelma dinding
yang tiba-tiba
mengaduh
Apa kamu
juga merasa mual?
Buanglah!
Ludah!
Sebab
sebelum kita seseorang juga
pernah bunting
dan meludah
Kamu
mengiranya lilin
; seuntai
rambut palsu
melilit seperti
jembut sore
yang menjalar lembab
di punggung kebunmu
Siramlah!
Buka untukku!
(4)
Selembar
peta, kulupakan
Karena
kupikir seseorang tak perlu petunjuk
untuk meneruskan
perjalanan
Aku memegang
kemudi
menaikkan
layar
dan
menjadi angin bagi kapalku sendiri
lautan
terbentang
pulau-pulau
menunggu pasang
tanpa
batas waktu
kecuali
gunung-gunung pasir meletus
di pantai kanak-kanakku
Aku
menjadi pacar bagi birahi
dan
kerinduanku sendiri
memangsa
lapar dan puasa
dari
hausku sendiri
terbang
bersama duri-duri yang kukepakkan
di sayap
dan awanku
sendiri
Aku tak
menunggu waktu
atau apapun
dari waktu
Waktu juga
tak menunggu apapun dari perjalananku
Semua
memiliki perhentian
Dan setiap
perhentian adalah pohon
bagi mereka
yang memiliki teduh
dedauanan
Tak padam
denganmu
Peta peta
kulupakan
Jalan-jalan
dicaru
dengan
membunuh seribu ekor anjing
dari
seribu masa lalu
melolong
padaku
(5)
Apa
sayangku
Masih
cemaskah kau pada dagingmu?
Kadang kita
memang seperti cahaya lilin
yang
saling membelit
kesepian
keringatmu
mengucur
dan aku
terhempas
bersama
gugusan tahun yang telah memberi kita jalan
seperti
daun
terjun
dari pucuk pepohonan
Dan kau
pun terlihat iba
tersedu pada
nasib yang melantarkanku di bayang
hijau rerumputan
kota
Tapi kita
akan tetap bersama
Karena itu
jangan sekali sekali berpaling
Karena
kamu tidak bisa menutup waktu
Karena
waktu adalah lukisan ikan di kaleng sarden
Rasa lapar
yang tenang
pintu
keheningan
sedang
airmatamu adalah teduh
yang
menungguku di bawah
gugusan
panjang
hujan
Maka ikuti
saja sayangku
sedih yang
membangunkanmu malam malam
masuklah
aku ada di
dalam
Dan bila
kita menyala
Tak
seorang bisa memadamkannya
2003
Tentang Riki Dhamparan
Putra
Riki
Dhamparan Putra lahir di sebuah dusun di kaki gunung Talamau, Sumatra Barat
pada 1 Juli 1975. Mulai menulis kreatif semenjak di bangku SMA tahun 1991.
Dimuat antara lain di Koran Semangat,
Singgalang dan Canang yang terbit di Padang. Tahun 1992, mendirikan komunitas
sastra Elindra yang berlokasi di daerah tambang batubara Lumpo, Sumbar, bersama
Raudal Tanjung Banua dan teman-teman seangkatan. Pada tahun itu juga ia diskor
sekolah karena dituduh sebagai pembangkang kesenian. Ia memutuskan berhenti
dari SMA dan mulai berladang. Menanam kayu manis, jeruk, cabe di tanah ibunya
di Pesisir Selatan. Tapi itu semua ditinggalkan sebelum tumbuh besar. Ia
merantau ke Bali, tahun 1994. Di sana ia pernah menjadi loper koran, buruh
instalasi pipa air, tukang pukul di sebuah panti pijat, tukang parkir, pelayan
rumah makan, dan berbagai pekerjaan serabutan lain demi bertahan hidup. Ia juga
berkenalan dengan seniman Bali yang berada di Sanggar Minum Kopi. Juga memiliki
masa belajar yang cukup panjang dengan Umbu Landu Paranggi. Tahun 1997,
mendirikan komunitas apresiasi Selakunda di Tabanan.
Catatan
Lain
Puthut EA menyumbang sebuah tulisan di bagian
awal dengan judul Puisi-puisi Penyair
Riki. Pada paragraph ketiga dia menulis ini:”Sejujurnya, saya bukan seorang
pembaca yang baik dalam arti dua hal. Saya termasuk jarang membaca media,
terlebih yang berkaitan dengan puisi dan prosa, dan arti yang kedua saya merasa
bahwa di dalam membaca karya satra saya
hanya sekedar menikmatinya saja, bukan seorang pembaca yang tanggung dan
mumpuni. Beberapa saat yang lewat, saya memang sempat terprovokasi untuk
membaca karya sastra seperti yang dilakukan oleh banyak penulis, membaca dengan
teliti, membandingkannya dengan karya lain, mencari kelebihan dan
kekurangannya, serta memposisikan diri bagaimana seandainya jika saya yang
menuliskannya. Tapi ternyata dalam perjalanannya, saya merasa tidak nyaman
membaca dengan cara seperti itu. Seakan-akan di dalam proses membaca, saya
harus membawa kaca pembesar, mempersiapkan gunting dan pena untuk memotong dan
mencoret. Dan dengan cara seperti itu, saya kehilangan kenyamanan dan
kenikmatan membaca. Lantas saya memutuskan untuk kembali seperti yang
dulu-dulu. Saya tidak mau kehilangan kenikmatan saya dalam membaca.//Anehnya
dengan cara membaca seperti itu, seringkali saya dituding tidak peduli dengan
perkembangan sastra dan oleh sebab itu saya tidak punya bakti pada dunia yang
saya geluti, dunia sastra. Diam-diam saya merasa ditindas oleh banyak keinginan
dan kecerewetan orang lain. Jika ada orang bertanya atau meminta pendapat saya
tentang sebuah karya, mereka kebanyakan berharap mendapatkan jawaban-jawaban
yang cerdas dan jitu dengan sejumlah argumentasi yang kokoh. Mereka tidak akan
memaklumi jika saya hanya sekedar berkata bahwa saya suka sekali atau saya
tidak suka, apalagi jika saya jawab bahwa saya tidak tahu. Saya tidak tahu
habis piker kenapa dalam dunia yang penuh eksplorasi dan eksperimentasi, orang
tidak nyaman untuk jujur pada orang lain, termasuk jujur bahwa saya tidak tahu
dengan karya dan pengarang yang dimaksud….. “
Di bagian lain Puthut juga
menulis:”Sepengetahuan saya, penyair Riki menuis puisi tanpa ‘banyak bagai’,
tidak berkeinginan muluk-muluk untuk dicatat sebagai ‘sastrawan’ atau ‘penyair
besar’. Puisi bagi penyair Riki lebih menyerupai pernyataan hidup.
Riki juga menulis (semacam
kredonya), dalam satu paragraf, dan tidak lebih dari satu halaman buku. Ditulis
di Denpasar, pada Mei 2004 dan diberi judul sederhana: Tentang Menyair. Isinya
antara lain seperti ini: “puisi merupakan usaha penyair untuk melayani rasa
bersalahnya yang besar pada hidup,m lebih dari upayanya melayani pacar,
keluarga, tanah air dan Tuhannya. Perasaan bersalah itu tak terjelaskan
asal-usulnya, tak terduga batas-batasnya dan lambat laun berkembang menjadi
semacam tragik bagi kehidupan penyair itu sendiri. Segalanya mendadak menjadi
hampa, begitu sepi dari makna. Dan dalam keadaan itu penyair mengalami ketidakmengertian
total tentang hidup yang menghidupinya dan hidup yang ingin dihidupinya.
Semesta terasa sebagai madah yang buntu. Sejarah hanyalah rangkaian syiclical yang menjenuhkan dan hidup
secara keseluruhan berhenti dalam sebuah tempurung karma yang makin rapuh makin
ke dalam. Rantai semacam ini mesti diputus,…. Di titik ini puisi menjadi
peristiwa suci karena mengandung arti pembebasan. Waktu puisi adalah permulaan
bagi seluruh peristiwa-peristiwa tak terduga yang akan terjadi dalam perjalanan
penyair itu selanjutnya. Dst.”
Kira-kira demikianlah beberapa idea
yang saya dapatkan dari kumpulan puisi ini, di samping tentunya puisi itu
sendiri. Buku yang saya pinjam dari penyair Y.S. Agus Suseno ini masih
terbungkus plastik. Dikatakan baru juga tidak, sebab saya sudah melihat buku
ini sejak lama, setidaknya sejak saya pinjam bukunya yang pertama. Hehe. Sayalah
yang berkesempatan merobek sampul bukunya dan menjadi pembaca pertama sebelum
pemiliknya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar