Rabu, 10 Mei 2017

D. Zauhidhie, Yustan Aziddin, Hijaz Yamani: TANAH HUMA


Data buku kumpulan puisi

Judul : Tanah Huma
Penulis : D. Zauhidhie, Yustan Aziddin, Hijaz Yamani
Cetakan : I, 1978
Penerbit : PT. Dunia Pustaka Jaya, Jakarta
Tebal : 72 halaman (45 judul puisi)
Gambar jilid : A. Wakidjan
Dicetak oleh Firma Ekonomi, Bandung

Masing-masing penyair menyumbang 15 puisi di bawah subjudul yang berbeda-beda, yaitu D. Zauhidhie di bawah subjudul Menjangkau untuk Segenggam, Yustan Aziddin dengan Awan Berkaca, dan Hijaz Yamani dengan Air dan Tanah.

Beberapa pilihan puisi D. Zauhidhie dalam Tanah Huma

Mayat Malioboro
Yogya ‘50

Malioboro larut malam adalah kuburan
toko demi toko mengapit adalah nisan
mayat-mayat bangkit di kaki lima dan ganggang hitam berbau
mencekau apak bak sampah memapak punting rokok

Akulah mayat yang salah satu dari mereka
berani hidup dan ngeluyur tengah hari ini

Naik toko turun toko lalu kesasar ke toko obral
di balik kaca kulihat hitam pistol-pistolan
sayang kenapa semalam terlalu tolol
mentang menyesak duit membengkak kantong
lalu menghambur ke sana seringgit ke situ seperak
hanya untuk bercium tawa gelak

Tapi kini apa kehendak?

Ya bila aku dapat pistol-pistolan
bakal berulang lagi kegilaan
aku jadi garong lagi jadi hantu lagi
kutodong si cina itu biar tahu
yang semalam waktu hujan memburu aku
ketika sebentar berteduh di halaman rumahnya

Aku dapat duit beribu-ribu
bisa makan mi makan sate
bawa perempuan satu dua
ke surabaya bandung jakarta

Ah angan gila ini tak jadi apa-apa
aku mesti ngeluyur lagi ngeluyur lagi
perut lapar begini membawa mati


Habis pikir masuk restoran
jemput sebotol bir duduk di kursi
kupesan mi sepiring
dan tiga puluh cucuk sate kambing
makan – makan – minum – minum
sudah itu pura-pura buang ingus keluar
jalan ke sana setapak dua
padahal aku menghilang entah ke mana …?

Besok aku tidak ke sana lagi
tapi bisa ke lain lagi
sampai tidak bisa lagi?

Setelah dicoba baru kutahu
di mana-mana tidakkan lapar sehari dua
asal mau berpicing mata bertutup telinga


Pengembara di Jalan Ujung

Di ujung jalan berdebu
engkau termangu
lelaki berompi beledru

Kala sebekas terlupa
jalan lain ke roma
hatimu malam gelap

Kerikil menguap
pecut mendera diri
ke ujung hari
dusun-dusun yang mati

Engkau sudah gila
bayang-bayang ketawa
tonggak
pohonan
burung-burung mengepak jauh

Yang kini tidak tahu arah tidakkan merambah
yang tidak merambah tidak juga istirah
kan dilumur waswas dari fajar ke magrib

Engkau kan kembali tidakkan kembali
sendiri dan lama tinggal sendiri

Di ujung jalan berdebu
engkau tersedu
orang lalu tak tahu
lelaki berompi beledru


Memikul Keranda

Tikaman keris maut begitu dalam
tiada suara tiada mengucur darah
cuma pekik lantang memecah bumi
satu-satu pun tiada mendengar menyahut
segala menuli dan membisu

Kini kau di bahuku ringan sekali
kuantarkan pulang, pelabuhan
berlayar ke pulau jauh
tiada kelasi kemudi
sepi sendiri
dan aku juga kakanda, sampai waktu
seperti kau ke laut kembali


Sekamar dengan Mayat

Empat buah lubang peluru di punggungnya
Tembus ke sebelah lagi meluhak
Tubuhmu yang melunjur kemanusiaan yang lacur
Dibidik dari belakang lalu sembunyi

Kuselusuri dadamu ada darah mengental
Merasakah engkau atau ketika kugamit bahu
Langit telah menganga untukmu
Sahabatku yang baik

Kulihat pelupuk mata binimu yang menggetar
Dadanya gelombang lautan dendam
Derita badai ke pantai yang jauh

Adakah kau tahu aku melunjur dekatmu?
Talah kubaca yassin sekali
Hujan di luar lebat
Akankah basah berair kuburmu besok
Kau bisa tidur dalam keranda

Adakah kau tahu ciri suatu bencana
Kematian cara begini
Apakah kauterima dengan senyuman
Ketika kedatangannya
Kupegang tanganmu dingin bagai es

Malam ini kita tidur bersama
Besok kita berpisah dan engkau ngembara jauh sekali
Kepingin aku membantu tapi tak bisa
Selamat di jalan dan maaf

Kututup tubuhnya dengan tudung kain putih
Kututup tubuhku dengan sarung
Gelap malam lebih gelap lagi rasanya

1975


Kepada Paduka Puisi

Kucarikan tiang dan balokan
Paku dan papan
Walau untuk itu aku jadi tukang besi
Menebang pohon di hutan
Kubangun rumahmu
Di tanah yang luas ini
Ketika aku kepingin mendiami
Atapmu tiris rumbia

Kupandangi dari luar
Engkau kurang baik hati
Aku jadi benci
Kurubuh kembali
Rumah dengan tiang yang sangsi
Padahal sekian lama mengetam menggergaji
Sekarang diserang encok dan dada jadi pehong

Kepingin kubangun rumahmu yang kukuh
Serba betonan
Campuran semen batu kali
Kerangka besi
Biar lama. Lama. Lama
Pintu jendela serba kaca
Kucat segala warna
Sedap pandangan mata jiwa
Matahari menjenguk ke dalam kamar
Bulan ikut tidur di ranjangku

Bersama kabut malam
Orang-orang melihat aku
Bersiul-siul murung
Ketawa-ketawa

1975


Hisab

Kanan dosa
Kiri dosa
Bawah menganga luka
Atas meluhak cedera
Dosa di api menyala
Dosa di banjir melimpah
Akankah bisa lari
Dari segala peri
Lidah-lidah panjang menjulur
Merah-merah berbuih bisa
Tapak-tapak mendepak saja
Suara-suara menggempa

Lari ke laut
Ombak membanting ke karang
Luka-luka ditusuk hiu parang
Lari ke hutan
Dikoyak-koyak beruang

Rajam saja di sini
Habisi
Tumpah darah perhitungan penghabisan

1975


Kepada Filasafah

Engkau diantarkan oleh sangsi
Sangsi mengantarkan daku kepadamu
Manakala aku merenungi nasib
Engkau berpaling ke jendela dhaif

Berkereta sangsi
Mengapas badani menerawangi langi idhafi
Planit-planit hakiki
Berangkulan sujud tangannya wahyu

Manakala aku turun
Kulihat retak ubun-ubun
Kesangsianmu sepanjang jaman
Terlihat wajahmu pucat
Membungkuk sunyi bertopang dagu
Bak patungnya Rodin

Daun luruh
Ruh luruh
Kau lusuh

1974


Huma yang Perih

tiada lagi kerbau menguak
gemertuk roda cikar terengah-engah
sarat beban memuat padi
kelapa dan umbi

tiada punggung-punggung dan bahu-bahu menghambin lanjung
penuh berisi terong jagung atau pisang
belimbing sirih pinang

mana keranuman tubuh ramping yang liuk-lampai
tempaan alam permai
dengan rambut panjang membeliut terkulai
tangan halus jeriji lentik
yang tiap pagi memetik melati
meraup kembang kenanga

mana dendang dan lenggokmu yang bersih
ketika pagi senja turun mandi
bercebur di danau jernih tenang
kecipak kecibung

ke mana perginya orang lumpur
wajah tanah
kaki yang kukuh dan tangan tak pernah kering

jika ke kota apa kaucari
di bawah lampu merah kuning hijau
segala menyilau

lebih baik kembali
kelak engkau akan tersia
bahagia di sana di peti mati
terkubur dalam

engkau ke kota atau ke mana sungguh wikana
hanya di sini betapa perih
tiada lenggok pohonan disintuh angin

setiap pengembara yang tersesat ke mari
mau tak mau mengakui
siang malam di sini tanpa pangkal ujung

mau tak mau tunduk tengadah
menatap langit menjulur rendah
dan matahari yang hilang wajah

akan mengurut dada
ketika pipit gelatik terbang ke hulu
meninggalkan dahan dan ranting sambil tersedu

orang-orang yang tidak tentu arah meninjaulah ke mari
tempat peminta-minta menggelak ria
raja dan pendeta meratap sendu
mulia hina tanpa teraju
bagai kolam tenang lagi jernih

akankah di sini terbina sebuah istana
dengan pintu jendela besar-besar dan lampu-lampu berantukan
bukankah istana di kota yang pernah kulalui
dahulu belantara tiada taranya
pelinjangan harimau dan pelanduk bercanda
dan pemburu mati dikoyak-koyak beruang

menyelusup ke balik lalang berisik
jengkrik kumbang atau capung
menyusun sebuah simponi beragam lagu
untuk menghibur diri sendiri
sebisa-bisanya

alangkah merdu dan aku dibikinnya tak mau pulang

                
Beberapa pilihan puisi Yustan Aziddin dalam Tanah Huma

Awan Berkaca

berkacalah awan dalam mainan angin
atas kaca besar bola dunia
dengan kecongkakan laut dan damainya gua

dipersolekkan wajahnya
pijar lahar mengejar dan memeluk
hangat api mengasapi angin jadi gelita merah
tanah berdada luka semburkan darah ke tiap muka

berlaga awan dan awan karena angin berasap merah
bumi yang luka diperkaca penampung puing-puingnya
suburlah ia dengan ratapan
kembang kembali lurutan sebelum membuah
karena musim masing-masing lama sudah berlupa diri
turunlah hujan bila gemawan gendrung berkaca


Hujan
buat maseri matali

menyanyilah kau menyanyilah
dalam lagunya sudah teruji
pada atap-atap berbintang pada sirap genting
bagi segala hati berabad musim dititi

meneteslah kau meneteslah
dengan tetesan berkali-kali
beringsut siput lintasi lantai duka dan ranah rindu
bayangkan sekuat kuasa di muka muara membiru

menyanyilah kau menyanyilah
usaplah segala pipi
berabad musim dititi maka kini angin berganti
bagi segala hati kabut berat menenggan pergi


Kepada Bapa

semerah kuncup sudah aku kehilangan kau
sejauh remaja pengembaraanku di daerah ngayau
kita berpandangan tika daun pada bunga sudah kuning tua

aku tumbuh sendiri dengan apa yang kucinta
beringsut-ingsut lara baru kau datang menjemput
sekilas pisau kata dia pun melambai maut

demi dia yang kucinta tidak kusalahkan kau, tidak kusalah-
            kan kau
karena beginilah harusnya akhir cerita
biar kutelan tangis kumalku komat-kamit bendungannya

semerah kuncup sudah aku kehilangan kau
gelisah membeban dalam diri dosa siapa
tapi demi dia yang kucinta, tidak kusalahkan kau.


Senja Kuning

keengganan matahari pergi
di daerah malam ia menari
melalui lengkungan langit menudungi segala
diemasinya orang lalu
diemasinya pohon kayu
hinggaplah bayangannya pada karau desir beriak

jangan mandi cahaya di senja ini
(demikian pesan ibuku)
karena berkeliaran segala hantu
hantu yang kuning
yang dibebani kejahatan dunia di bulu-bulunya

sendi-sendiku pun digigili ketakutan

tapi alangkah indah senja begini
di hati menjelma iri

sekarang aku tahu
ibu tegah aku pergi
karena aku habis mandi

di kepulanganku sekali ini
di riak karau kulihat lagi
pesan bisu matahari

---------------------
* karau: nama sebatang sungai di Kalimantan Tengah


Musnah

bagi manusia yang tiada pernah menghitung hari
ada-ada saja helah menyangkal tua
hanya pagi anugerah lereng gunung dan mentari
bersayap mencecap nikmat pada pagi kian menua

adakah yang lebih kocak dari permainan hati ke hati
kasihku, karenamu kulanda pagar berduri
tapi remaja tiada baka dan pergi tidak kembali
kerut yang dalam pada dahi tinggal bersama mimpi

kata-kata tiada pembatasan dan diri
boleh mencemplung timbul tenggelam di alam sangsi
antara derita kian mendalam dan terang di kabut pagi
hati siapa tiada musnah dijilat api?


Lapar

hijau-hijau daunan di kulit bumi bertanah gunung
sejuk nyanyinya di riam-riam batu putih dan pararo
perawannya kuning berwajah bulan menumbuk padi
tiada lelah pedederan menembang iringi para pengebeng

di antaranya penyair tumbuh dengan ketuliannya
dilengkapi oleh ketakpedulian yang membuat lapar dirinya

jadilah penyair manusia yang paling terundung
dalam pendatang tergila-gila si gadis gunung
patah sikunya

--------------
batu putih dan pararo = nama dua buah riam memotong sungai Karau, di Kalimantan Tengah
pedederan = penari deder, sejenis ronggeng, nyanyiannya dalam bahasa daerah Kalteng


Malam Penghabisan

malam penghabisan menutup dan memulai goresan
kelampauan tak hilang-hilang dan kedatangan masih
            pertanyaan
memaksa aku tertegun dari pegangan pada kemampuan yang
            bertitik lengkung
karena kecapaian angsur mengesani jasmani pendukung

yakinlah aku lidahku bercabang dua
gadisku imbaukan cumbu dan rasa haru menukik dada
kiri kudekapkan padanya dan kanan membuat catatan
tanjakan demi tanjakan ke malam penghabisan

malam penghabisan yang menutup dan memulai goresan
kelampauan biarlah lebur menyatu dalam bersitan kedatangan
karena gadisku bukan lagi satu-satunya kemampuan yang
            berkepanjangan
nun deritaku tebal mengawan di dusun kelahiran


Beberapa pilihan puisi Hijaz Yamani dalam Tanah Huma

Kali Martapura

Kali Martapura airnya coklat
Mendesir-desir pada tepi lanting-lanting tua
Banjarmasin kotaku di liku-likunya
Bertepi gedung-gedung pasar baru

Di sini tempat perenangan segala yang bertaruh pada hidup
Seolah-olah tidak pupus liuk-liuk yang bermanusia
Dan ada juga orang-orang letih di sini
Tiduran di samping jembatan panjang
Kerongkongannya menggelepar-gelepar dahaga
Oh, rindunya rumah-rumah tempat bermimpi tak berembun

Ohoi dukuh-dukuh berkayuh-kayuhan
Buah dadanya berkeliaran dalam baju hitam
Di wajah berkudung sutra – jalang matanya

Di kaliku beratus benda menggetari air
Sedang sinar mencerah di mataku
Dan mereka kuperam dalam hati rindu
-- Hai segala penghuni pasar di atas kali
Mari kita tawa-menawar dan bermurah hati

1957

lanting = rumah di atas air
dukuh = perempuan penjual ikan dan sayuran dengan perahu kecil


Di Sebuah Tanjung

sebuah tanjung – dataran pasir putih-putih
ujungnya keris ombak yang mendidih
matahari senja terkaca
kerdip mercu yang menyala

angin dan dataran berciuman, sayang
menggigir nafas lelaki tua sepi sendiri atas menara
tanah lahir dikuburnya di jauhan
rindunya, rindu yang terkubur dalam-dalam dalam laut

ah, sepinya daerah ini
tanahnya yang lesih
dunia terkurung langit yang bersilir
angin dan laut menari, tapi
lelaki tua merasa kawan sekali
setia ia – seperti warganya serasa terkubur dalam rindu

1957


Surat dari Muara Teweh

Aku datang di sini mendaki pinggir kota yang landai
Bertiup angin kering pucuk pohonan yang tunduk
Bumi berpunggung-punggung rengkah
Bagai dahagaku yang rindu kerna kautinggal dalam resah

Musim adalah selalu hadir atas kita
Tapi tidak sangsi sekali berpaling dari berburu cinta
Kerna aku telah bertolak
Dari kota tinggal sedari kaki mulai berpijak

Memang adalah terlalu jauh mata air membawa hati kita
Dan sebuah tangan mengunjuk bagai mengisyarat kata terdengar
Kau pun tinggal sepi, Farida

Aku datang di sini dan berdiri di tanah tinggi
Bila malam tiba
Yang ingin kulengos kata-kata samar yang tak ingin kudengar
Aku sangat rindu

Kehendak adalah tantangan dari kota sepi yang kutinjau
Kemilau yang membakar matahari musim kemarau
Begitu mereka tajam-tajam menampar dan bisiknya begini:
Ah, kapan kau pulang, yamani

1959


Sebatang Tubuh di Pinggir Kali

Sebatang tubuh di pinggir kali
Turunan leluhur kaburiat
Perlambang ketahanan
Di hutan abadi
Di kali dahsat sunyi

Sebatang tubuh di pinggir kali
Dalam hujan bermain api
Api abadi

Sepanjang dermaga lumpur menepi
Kapalku merapat ke sana
Ini misi datang di huma tak subur
Dari musim ke musim

Sebatang tubuh di pinggir kali
Memaksaku mendekat padanya
Dengan harapan demi harapan
Yang kumengerti cuma harapan angan-angan

1970


Di Bawah Lampu Mercury

Di bawah lampu mercury
Bayanganmu kulihat pucat
Itukah cermin kasmaran jiwa?

Di bawah atap langit
aku cuma lihat satu dimensi waktu
Manis kenangan lampau

Di balik riuh kota diremajakan
mengapa masih cermin kasmaran jiwa
Masihkah tangan kukuh menekan pusarnya?

1973


Laut dan Aku

Laut dan aku tidak tergantung pada angin
Pada bumi ketiga dalam bayangan

Laut ruang dari berlaksa mata
Ketika kaku kompas dan pecahnya kaca pengintai

Laut dan malam rahasianya mercu di utara sana
Laut dan pelayaran rahasianya dalam gelisah kita

1974


Di Rumah Tua itu

Di rumah tua itu
pintunya tidak pernah tertutup
berdirinya di udik yang tidak terbuka

Di rumah tua itu
anak muda main gasing-gasingan
taruhannya ternak bapanya
dibarter pula dengan pipa
dan belacu dari negeri cina

Di rumah tua itu
ada suara kurung-kurung
lagu nasib di ujung bukit
bila malam tiba

Di rumah tua itu
Di udik yang tidak terbuka itu
berpuluh penghuni
menunggu nasib yang sama
mereka masih tertutup
untuk tahu merdeka

1975

Gasing-gasingan = permainan tradisional di Kalimantan Selatan
Kurung-kurung = alat instrument tradisional suku-suku di pedalaman Kalimantan


  
Tentang D. Zauhidhie
Nama lengkapnya, Darmansyah Zauhidhie, lahir di Muara Teweh, Kab. Barito Utara, Kalimantan Tengah pada 24 Agustus 1934. Meninggal di Kandangan, 12 Juni 1984. Pendidikan: Sekolah Administrasi Atas di Yogyakarta. Hingga meninggal, bekerja di Kantor Wilayah Departemen P dan K di kota Kandangan, Kalimantan Selatan. Karyanya tersebar di berbagai media massa lokal dan nasional. Menghadiri beberapa event sastra tingkat nasional dan ASEAN. Kumpulan puisinya: Nyala (1969), Imajinasi (1971) dan Tanah Huma (bersama Yustan Aziddin dan Hijaz Yamani, 1978). Mendapat hadiah seni atas prestasinya di bidang sastra dari Gubernur Kalimantan Selatan tahun 1974.

Tentang Yustan Aziddin
Yustan Aziddin lahir 13 Mei 1933 di Margasari, Tapin, Kalsel. Sarjana pendidikan bahasa dan sastra Indonesia dari Universita Lambung Mangkurat. Tahun 1955-1975 bekerja sebagai guru SGB, SPG. Kemudian bekerja pada Kantor Wilayah Departemen P dan K Propinsi Kalimantan Selatan. Puisinya termuat dalam Perkenalan di dalam Sajak (1963) dan Panorama (1974). Tulisannya juga tersebar di berbagai surat kabar dan majalah.


Tentang Hijaz Yamani
Hijaz Yamani lahir di Banjarmasin, 23 Maret 1933. Meninggal, (?). Menulis puisi dan cerpen sejak tahun 1954. Juga menulis naskah drama, esai sastra dan budaya. Puisinya pernah dimuat di Mimbar Indonesia, Budaya, Siasat, Mimbar, Budaya Jaya, Horison, dan Bahana (Brunei Darussalam), disamping media-media lokal. Juga dimuat dalam antologi bersama: Panorama (1974), Pesta Seni (DKJ, 1974), Pesta Puisi (DKJ, 1975), Puisi ASEAN (DKJ, 1978), Temu Penyair 10 Kota (DKJ, 1982), Kilau Zamrut Khatulistiwa (Arpenda, Yogya, 1984) dan Tonggak II, ed. Linus Suryadi AG (Gramedia, 1987). Kumpulan Puisinya: Tanah Huma (Pustaka Jaya, 1978) bersama D. Zauhidhie dan Yustan Aziddin, Percakapan Malam, dan Hujan Malam (2012). Tahun 1975, ia menerima Hadiah Seni Bidang Sastra dari Gubernur Kalsel.



Catatan lain

Buku ini saya temukan di tumpukan rak buku Hajri. Kata Hajri, ini buku Sandi Firly yang belum diambil-ambilnya sejak menitipkannya sebelum ke Bandung beberapa tahun yang lalu. Pulang dari Hajri, berbekal peta rumah Sandi, saya melaju ke rumahnya. Berhujan-hujan. Hari itu sehari sebelum bulan puasa. Ini kali pertama saya ke rumah Sandi di Guntung Manggis, Banjarbaru. Setelah putar-putar sejenak dan yakin telah sampai di alamat yang benar, baru saya telpon Sandi. Ternyata ia ada di rumah Randu Alamsyah, si penulis novel Jazirah Cinta. Saya pun meluncur ke sana. Ini juga kali pertama ke rumah Randu. Ternyata di sana ada juga Aliansyah Jumbawuya, penulis kumcer Jus Airmata (kalo ga salah). Mereka ternyata lagi diskusi menunggu hujan reda, membincangkan Bungkam Mata Gergaji, ASA dan hal-hal lain seputar penulisan kreatif. Kuutarakan niatku minjam buku ini, seraya memperlihatkan bukunya yang telah kubawa dari rak Hajri. Sandi cerita, bahwa buku ini (dan ada beberapa buku lain) sebenarnya didapatnya dari pemberian seorang teman. Dia anak seorang sastrawan yang bernama Rustam Effendi Karel. Konon, banyak buku yang tak terurus dan oleh anaknya dikasih-kasihkan. Setelah hujan reda, Sandi dan Randu pergi ke Banjarmasin. Saya dan Aliansyah (yang wajahnya merakyat itu, :D ) pulang ke rumah masin-masing. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar