Data buku
kumpulan puisi
Judul : Tanah Huma
Penulis : D.
Zauhidhie, Yustan Aziddin, Hijaz Yamani
Cetakan : I, 1978
Penerbit : PT. Dunia Pustaka Jaya, Jakarta
Tebal : 72 halaman (45 judul puisi)
Gambar jilid : A. Wakidjan
Dicetak oleh Firma Ekonomi, Bandung
Masing-masing penyair menyumbang 15
puisi di bawah subjudul yang berbeda-beda, yaitu D. Zauhidhie di bawah subjudul Menjangkau
untuk Segenggam, Yustan Aziddin dengan Awan
Berkaca, dan Hijaz Yamani dengan Air dan Tanah.
Beberapa pilihan puisi D. Zauhidhie dalam Tanah Huma
Mayat Malioboro
Yogya ‘50
Malioboro larut malam adalah kuburan
toko demi toko mengapit adalah nisan
mayat-mayat bangkit di kaki lima dan ganggang
hitam berbau
mencekau apak bak sampah memapak punting rokok
Akulah mayat yang salah satu dari mereka
berani hidup dan ngeluyur tengah hari ini
Naik toko turun toko lalu kesasar ke toko obral
di balik kaca kulihat hitam pistol-pistolan
sayang kenapa semalam terlalu tolol
mentang menyesak duit membengkak kantong
lalu menghambur ke sana seringgit ke situ seperak
hanya untuk bercium tawa gelak
Tapi kini apa
kehendak?
Ya bila aku dapat
pistol-pistolan
bakal berulang
lagi kegilaan
aku jadi garong
lagi jadi hantu lagi
kutodong si cina
itu biar tahu
yang semalam
waktu hujan memburu aku
ketika sebentar
berteduh di halaman rumahnya
Aku dapat duit
beribu-ribu
bisa makan mi
makan sate
bawa perempuan
satu dua
ke surabaya bandung
jakarta
Ah angan gila
ini tak jadi apa-apa
aku mesti
ngeluyur lagi ngeluyur lagi
perut lapar
begini membawa mati
Habis pikir
masuk restoran
jemput sebotol
bir duduk di kursi
kupesan mi
sepiring
dan tiga puluh
cucuk sate kambing
makan – makan –
minum – minum
sudah itu
pura-pura buang ingus keluar
jalan ke sana
setapak dua
padahal aku
menghilang entah ke mana …?
Besok aku tidak
ke sana lagi
tapi bisa ke
lain lagi
sampai tidak
bisa lagi?
Setelah dicoba
baru kutahu
di mana-mana
tidakkan lapar sehari dua
asal mau
berpicing mata bertutup telinga
Pengembara di Jalan Ujung
Di ujung jalan
berdebu
engkau termangu
lelaki berompi
beledru
Kala sebekas
terlupa
jalan lain ke roma
hatimu malam gelap
Kerikil menguap
pecut mendera diri
ke ujung hari
dusun-dusun yang
mati
Engkau sudah gila
bayang-bayang
ketawa
tonggak
pohonan
burung-burung
mengepak jauh
Yang kini tidak tahu
arah tidakkan merambah
yang tidak merambah
tidak juga istirah
kan dilumur waswas
dari fajar ke magrib
Engkau kan kembali
tidakkan kembali
sendiri dan lama
tinggal sendiri
Di ujung jalan
berdebu
engkau tersedu
orang lalu tak tahu
lelaki berompi
beledru
Memikul Keranda
Tikaman keris maut
begitu dalam
tiada suara tiada
mengucur darah
cuma pekik lantang
memecah bumi
satu-satu pun tiada
mendengar menyahut
segala menuli dan
membisu
Kini kau di bahuku
ringan sekali
kuantarkan pulang,
pelabuhan
berlayar ke pulau
jauh
tiada kelasi kemudi
sepi sendiri
dan aku juga
kakanda, sampai waktu
seperti kau ke laut
kembali
Sekamar dengan Mayat
Empat buah lubang
peluru di punggungnya
Tembus ke sebelah
lagi meluhak
Tubuhmu yang
melunjur kemanusiaan yang lacur
Dibidik dari
belakang lalu sembunyi
Kuselusuri dadamu
ada darah mengental
Merasakah engkau
atau ketika kugamit bahu
Langit telah
menganga untukmu
Sahabatku yang baik
Kulihat pelupuk
mata binimu yang menggetar
Dadanya gelombang
lautan dendam
Derita badai ke
pantai yang jauh
Adakah kau tahu aku
melunjur dekatmu?
Talah kubaca yassin
sekali
Hujan di luar lebat
Akankah basah
berair kuburmu besok
Kau bisa tidur
dalam keranda
Adakah kau tahu
ciri suatu bencana
Kematian cara
begini
Apakah kauterima
dengan senyuman
Ketika
kedatangannya
Kupegang tanganmu
dingin bagai es
Malam ini kita
tidur bersama
Besok kita berpisah
dan engkau ngembara jauh sekali
Kepingin aku
membantu tapi tak bisa
Selamat di jalan
dan maaf
Kututup tubuhnya
dengan tudung kain putih
Kututup tubuhku dengan
sarung
Gelap malam lebih
gelap lagi rasanya
1975
Kepada Paduka Puisi
Kucarikan tiang dan
balokan
Paku dan papan
Walau untuk itu aku
jadi tukang besi
Menebang pohon di
hutan
Kubangun rumahmu
Di tanah yang luas
ini
Ketika aku kepingin
mendiami
Atapmu tiris rumbia
Kupandangi dari
luar
Engkau kurang baik
hati
Aku jadi benci
Kurubuh kembali
Rumah dengan tiang
yang sangsi
Padahal sekian lama
mengetam menggergaji
Sekarang diserang
encok dan dada jadi pehong
Kepingin kubangun
rumahmu yang kukuh
Serba betonan
Campuran semen batu
kali
Kerangka besi
Biar lama. Lama.
Lama
Pintu jendela serba
kaca
Kucat segala warna
Sedap pandangan
mata jiwa
Matahari menjenguk
ke dalam kamar
Bulan ikut tidur di
ranjangku
Bersama kabut malam
Orang-orang melihat
aku
Bersiul-siul murung
Ketawa-ketawa
1975
Hisab
Kanan dosa
Kiri dosa
Bawah menganga luka
Atas meluhak cedera
Dosa di api menyala
Dosa di banjir
melimpah
Akankah bisa lari
Dari segala peri
Lidah-lidah panjang
menjulur
Merah-merah berbuih
bisa
Tapak-tapak
mendepak saja
Suara-suara
menggempa
Lari ke laut
Ombak membanting ke
karang
Luka-luka ditusuk
hiu parang
Lari ke hutan
Dikoyak-koyak
beruang
Rajam saja di sini
Habisi
Tumpah darah
perhitungan penghabisan
1975
Kepada Filasafah
Engkau diantarkan
oleh sangsi
Sangsi mengantarkan
daku kepadamu
Manakala aku
merenungi nasib
Engkau berpaling ke
jendela dhaif
Berkereta sangsi
Mengapas badani
menerawangi langi idhafi
Planit-planit
hakiki
Berangkulan sujud
tangannya wahyu
Manakala aku turun
Kulihat retak
ubun-ubun
Kesangsianmu
sepanjang jaman
Terlihat wajahmu
pucat
Membungkuk sunyi
bertopang dagu
Bak patungnya Rodin
Daun luruh
Ruh luruh
Kau lusuh
1974
Huma yang Perih
tiada lagi kerbau
menguak
gemertuk roda cikar
terengah-engah
sarat beban memuat
padi
kelapa dan umbi
tiada
punggung-punggung dan bahu-bahu menghambin lanjung
penuh berisi terong
jagung atau pisang
belimbing sirih
pinang
mana keranuman
tubuh ramping yang liuk-lampai
tempaan alam permai
dengan rambut
panjang membeliut terkulai
tangan halus jeriji
lentik
yang tiap pagi
memetik melati
meraup kembang
kenanga
mana dendang dan
lenggokmu yang bersih
ketika pagi senja
turun mandi
bercebur di danau
jernih tenang
kecipak kecibung
ke mana perginya
orang lumpur
wajah tanah
kaki yang kukuh dan
tangan tak pernah kering
jika ke kota apa
kaucari
di bawah lampu
merah kuning hijau
segala menyilau
lebih baik kembali
kelak engkau akan
tersia
bahagia di sana di
peti mati
terkubur dalam
engkau ke kota atau
ke mana sungguh wikana
hanya di sini
betapa perih
tiada lenggok pohonan
disintuh angin
setiap pengembara
yang tersesat ke mari
mau tak mau
mengakui
siang malam di sini
tanpa pangkal ujung
mau tak mau tunduk
tengadah
menatap langit
menjulur rendah
dan matahari yang
hilang wajah
akan mengurut dada
ketika pipit
gelatik terbang ke hulu
meninggalkan dahan
dan ranting sambil tersedu
orang-orang yang
tidak tentu arah meninjaulah ke mari
tempat
peminta-minta menggelak ria
raja dan pendeta
meratap sendu
mulia hina tanpa
teraju
bagai kolam tenang
lagi jernih
akankah di sini terbina
sebuah istana
dengan pintu
jendela besar-besar dan lampu-lampu berantukan
bukankah istana di
kota yang pernah kulalui
dahulu belantara
tiada taranya
pelinjangan harimau
dan pelanduk bercanda
dan pemburu mati
dikoyak-koyak beruang
menyelusup ke balik
lalang berisik
jengkrik kumbang
atau capung
menyusun sebuah
simponi beragam lagu
untuk menghibur
diri sendiri
sebisa-bisanya
alangkah merdu dan
aku dibikinnya tak mau pulang
Beberapa pilihan puisi Yustan
Aziddin dalam Tanah Huma
Awan Berkaca
berkacalah
awan dalam mainan angin
atas
kaca besar bola dunia
dengan
kecongkakan laut dan damainya gua
dipersolekkan
wajahnya
pijar
lahar mengejar dan memeluk
hangat
api mengasapi angin jadi gelita merah
tanah
berdada luka semburkan darah ke tiap muka
berlaga
awan dan awan karena angin berasap merah
bumi
yang luka diperkaca penampung puing-puingnya
suburlah
ia dengan ratapan
kembang
kembali lurutan sebelum membuah
karena
musim masing-masing lama sudah berlupa diri
turunlah
hujan bila gemawan gendrung berkaca
Hujan
buat maseri
matali
menyanyilah
kau menyanyilah
dalam
lagunya sudah teruji
pada
atap-atap berbintang pada sirap genting
bagi
segala hati berabad musim dititi
meneteslah
kau meneteslah
dengan
tetesan berkali-kali
beringsut
siput lintasi lantai duka dan ranah rindu
bayangkan
sekuat kuasa di muka muara membiru
menyanyilah
kau menyanyilah
usaplah
segala pipi
berabad
musim dititi maka kini angin berganti
bagi
segala hati kabut berat menenggan pergi
Kepada Bapa
semerah
kuncup sudah aku kehilangan kau
sejauh
remaja pengembaraanku di daerah ngayau
kita
berpandangan tika daun pada bunga sudah kuning tua
aku
tumbuh sendiri dengan apa yang kucinta
beringsut-ingsut
lara baru kau datang menjemput
sekilas
pisau kata dia pun melambai maut
demi
dia yang kucinta tidak kusalahkan kau, tidak kusalah-
kan kau
karena
beginilah harusnya akhir cerita
biar
kutelan tangis kumalku komat-kamit bendungannya
semerah
kuncup sudah aku kehilangan kau
gelisah
membeban dalam diri dosa siapa
tapi
demi dia yang kucinta, tidak kusalahkan kau.
Senja Kuning
keengganan matahari pergi
di daerah malam ia menari
melalui lengkungan langit menudungi segala
diemasinya orang lalu
diemasinya pohon kayu
hinggaplah bayangannya pada karau desir beriak
jangan mandi cahaya di senja ini
(demikian pesan ibuku)
karena berkeliaran segala hantu
hantu yang kuning
yang dibebani kejahatan dunia di bulu-bulunya
sendi-sendiku pun digigili ketakutan
tapi alangkah indah senja begini
di hati menjelma iri
sekarang aku tahu
ibu tegah aku pergi
karena aku habis mandi
di kepulanganku sekali ini
di riak karau kulihat lagi
pesan bisu matahari
---------------------
* karau: nama sebatang sungai di Kalimantan Tengah
Musnah
bagi
manusia yang tiada pernah menghitung hari
ada-ada
saja helah menyangkal tua
hanya
pagi anugerah lereng gunung dan mentari
bersayap
mencecap nikmat pada pagi kian menua
adakah
yang lebih kocak dari permainan hati ke hati
kasihku,
karenamu kulanda pagar berduri
tapi
remaja tiada baka dan pergi tidak kembali
kerut
yang dalam pada dahi tinggal bersama mimpi
kata-kata
tiada pembatasan dan diri
boleh
mencemplung timbul tenggelam di alam sangsi
antara
derita kian mendalam dan terang di kabut pagi
hati
siapa tiada musnah dijilat api?
Lapar
hijau-hijau
daunan di kulit bumi bertanah gunung
sejuk
nyanyinya di riam-riam batu putih dan
pararo
perawannya
kuning berwajah bulan menumbuk padi
tiada
lelah pedederan menembang iringi para
pengebeng
di
antaranya penyair tumbuh dengan ketuliannya
dilengkapi
oleh ketakpedulian yang membuat lapar dirinya
jadilah
penyair manusia yang paling terundung
dalam
pendatang tergila-gila si gadis gunung
patah
sikunya
--------------
batu putih dan pararo = nama dua buah riam
memotong sungai Karau, di Kalimantan Tengah
pedederan = penari deder, sejenis ronggeng, nyanyiannya dalam bahasa daerah Kalteng
Malam Penghabisan
malam
penghabisan menutup dan memulai goresan
kelampauan
tak hilang-hilang dan kedatangan masih
pertanyaan
memaksa
aku tertegun dari pegangan pada kemampuan yang
bertitik lengkung
karena
kecapaian angsur mengesani jasmani pendukung
yakinlah
aku lidahku bercabang dua
gadisku
imbaukan cumbu dan rasa haru menukik dada
kiri
kudekapkan padanya dan kanan membuat catatan
tanjakan
demi tanjakan ke malam penghabisan
malam
penghabisan yang menutup dan memulai goresan
kelampauan
biarlah lebur menyatu dalam bersitan kedatangan
karena
gadisku bukan lagi satu-satunya kemampuan yang
berkepanjangan
nun
deritaku tebal mengawan di dusun kelahiran
Beberapa pilihan puisi Hijaz Yamani
dalam Tanah Huma
Kali Martapura
Kali Martapura
airnya coklat
Mendesir-desir pada
tepi lanting-lanting tua
Banjarmasin kotaku
di liku-likunya
Bertepi
gedung-gedung pasar baru
Di sini tempat
perenangan segala yang bertaruh pada hidup
Seolah-olah tidak
pupus liuk-liuk yang bermanusia
Dan ada juga
orang-orang letih di sini
Tiduran di samping
jembatan panjang
Kerongkongannya
menggelepar-gelepar dahaga
Oh, rindunya
rumah-rumah tempat bermimpi tak berembun
Ohoi dukuh-dukuh berkayuh-kayuhan
Buah dadanya
berkeliaran dalam baju hitam
Di wajah berkudung
sutra – jalang matanya
Di kaliku beratus
benda menggetari air
Sedang sinar
mencerah di mataku
Dan mereka kuperam
dalam hati rindu
-- Hai segala
penghuni pasar di atas kali
Mari kita
tawa-menawar dan bermurah hati
1957
lanting = rumah
di atas air
dukuh = perempuan
penjual ikan dan sayuran dengan perahu kecil
Di Sebuah Tanjung
sebuah tanjung –
dataran pasir putih-putih
ujungnya keris
ombak yang mendidih
matahari senja
terkaca
kerdip mercu yang
menyala
angin dan dataran
berciuman, sayang
menggigir nafas
lelaki tua sepi sendiri atas menara
tanah lahir
dikuburnya di jauhan
rindunya, rindu
yang terkubur dalam-dalam dalam laut
ah, sepinya daerah
ini
tanahnya yang lesih
dunia terkurung
langit yang bersilir
angin dan laut
menari, tapi
lelaki tua merasa
kawan sekali
setia ia – seperti
warganya serasa terkubur dalam rindu
1957
Surat dari Muara Teweh
Aku datang di sini
mendaki pinggir kota yang landai
Bertiup angin
kering pucuk pohonan yang tunduk
Bumi
berpunggung-punggung rengkah
Bagai dahagaku yang
rindu kerna kautinggal dalam resah
Musim adalah selalu
hadir atas kita
Tapi tidak sangsi
sekali berpaling dari berburu cinta
Kerna aku telah
bertolak
Dari kota tinggal
sedari kaki mulai berpijak
Memang adalah
terlalu jauh mata air membawa hati kita
Dan sebuah tangan
mengunjuk bagai mengisyarat kata terdengar
Kau pun tinggal
sepi, Farida
Aku datang di sini
dan berdiri di tanah tinggi
Bila malam tiba
Yang ingin kulengos
kata-kata samar yang tak ingin kudengar
Aku sangat rindu
Kehendak adalah
tantangan dari kota sepi yang kutinjau
Kemilau yang
membakar matahari musim kemarau
Begitu mereka
tajam-tajam menampar dan bisiknya begini:
Ah, kapan kau
pulang, yamani
1959
Sebatang Tubuh di Pinggir Kali
Sebatang tubuh di
pinggir kali
Turunan leluhur
kaburiat
Perlambang
ketahanan
Di hutan abadi
Di kali dahsat
sunyi
Sebatang tubuh di
pinggir kali
Dalam hujan bermain
api
Api abadi
Sepanjang dermaga
lumpur menepi
Kapalku merapat ke
sana
Ini misi datang di
huma tak subur
Dari musim ke musim
Sebatang tubuh di
pinggir kali
Memaksaku mendekat
padanya
Dengan harapan demi
harapan
Yang kumengerti
cuma harapan angan-angan
1970
Di Bawah Lampu Mercury
Di bawah lampu
mercury
Bayanganmu kulihat
pucat
Itukah cermin
kasmaran jiwa?
Di bawah atap
langit
aku cuma lihat satu
dimensi waktu
Manis kenangan
lampau
Di balik riuh kota
diremajakan
mengapa masih
cermin kasmaran jiwa
Masihkah tangan
kukuh menekan pusarnya?
1973
Laut dan Aku
Laut dan aku tidak
tergantung pada angin
Pada bumi ketiga
dalam bayangan
Laut ruang dari berlaksa
mata
Ketika kaku kompas
dan pecahnya kaca pengintai
Laut dan malam
rahasianya mercu di utara sana
Laut dan pelayaran
rahasianya dalam gelisah kita
1974
Di Rumah Tua itu
Di rumah tua itu
pintunya tidak
pernah tertutup
berdirinya di udik
yang tidak terbuka
Di rumah tua itu
anak muda main gasing-gasingan
taruhannya ternak
bapanya
dibarter pula
dengan pipa
dan belacu dari
negeri cina
Di rumah tua itu
ada suara kurung-kurung
lagu nasib di ujung
bukit
bila malam tiba
Di rumah tua itu
Di udik yang tidak
terbuka itu
berpuluh penghuni
menunggu nasib yang
sama
mereka masih
tertutup
untuk tahu merdeka
1975
Gasing-gasingan =
permainan tradisional di Kalimantan Selatan
Kurung-kurung = alat
instrument tradisional suku-suku di pedalaman Kalimantan
Tentang D. Zauhidhie
Nama lengkapnya, Darmansyah Zauhidhie, lahir di Muara Teweh, Kab. Barito
Utara, Kalimantan Tengah pada 24 Agustus 1934. Meninggal di Kandangan, 12 Juni
1984. Pendidikan: Sekolah Administrasi Atas di Yogyakarta. Hingga meninggal,
bekerja di Kantor Wilayah Departemen P dan K di kota Kandangan, Kalimantan
Selatan. Karyanya tersebar di berbagai media massa lokal dan nasional.
Menghadiri beberapa event sastra tingkat nasional dan ASEAN. Kumpulan puisinya:
Nyala (1969), Imajinasi (1971) dan Tanah
Huma (bersama Yustan Aziddin dan Hijaz Yamani, 1978). Mendapat hadiah seni
atas prestasinya di bidang sastra dari Gubernur Kalimantan Selatan tahun 1974.
Tentang
Yustan Aziddin
Yustan Aziddin lahir 13 Mei 1933 di Margasari, Tapin, Kalsel. Sarjana pendidikan
bahasa dan sastra Indonesia dari Universita Lambung Mangkurat. Tahun 1955-1975
bekerja sebagai guru SGB, SPG. Kemudian bekerja pada Kantor Wilayah Departemen
P dan K Propinsi Kalimantan Selatan. Puisinya termuat dalam Perkenalan di dalam
Sajak (1963) dan Panorama (1974). Tulisannya juga tersebar di berbagai surat
kabar dan majalah.
Tentang
Hijaz Yamani
Hijaz Yamani lahir di Banjarmasin, 23 Maret
1933. Meninggal, (?). Menulis puisi dan cerpen sejak tahun 1954. Juga menulis
naskah drama, esai sastra dan budaya. Puisinya pernah dimuat di Mimbar
Indonesia, Budaya, Siasat, Mimbar, Budaya Jaya, Horison, dan Bahana (Brunei
Darussalam), disamping media-media lokal. Juga dimuat dalam antologi bersama: Panorama (1974), Pesta Seni (DKJ, 1974),
Pesta Puisi (DKJ, 1975), Puisi ASEAN (DKJ, 1978), Temu Penyair 10 Kota (DKJ, 1982), Kilau Zamrut Khatulistiwa (Arpenda, Yogya, 1984) dan Tonggak II, ed. Linus Suryadi AG
(Gramedia, 1987). Kumpulan Puisinya: Tanah
Huma (Pustaka Jaya, 1978) bersama D. Zauhidhie dan Yustan Aziddin, Percakapan Malam, dan Hujan Malam (2012). Tahun 1975, ia
menerima Hadiah Seni Bidang Sastra dari Gubernur Kalsel.
Catatan
lain
Buku
ini saya temukan di tumpukan rak buku Hajri. Kata Hajri, ini buku Sandi Firly
yang belum diambil-ambilnya sejak menitipkannya sebelum ke Bandung beberapa
tahun yang lalu. Pulang dari Hajri, berbekal peta rumah Sandi, saya melaju ke
rumahnya. Berhujan-hujan. Hari itu sehari sebelum bulan puasa. Ini kali pertama
saya ke rumah Sandi di Guntung Manggis, Banjarbaru. Setelah putar-putar sejenak
dan yakin telah sampai di alamat yang benar, baru saya telpon Sandi. Ternyata
ia ada di rumah Randu Alamsyah, si penulis novel Jazirah Cinta. Saya pun meluncur ke sana. Ini juga kali pertama ke
rumah Randu. Ternyata di sana ada juga Aliansyah Jumbawuya, penulis kumcer Jus Airmata (kalo ga salah). Mereka
ternyata lagi diskusi menunggu hujan reda, membincangkan Bungkam Mata Gergaji,
ASA dan
hal-hal lain seputar penulisan kreatif. Kuutarakan niatku minjam buku ini,
seraya memperlihatkan bukunya yang telah kubawa dari rak Hajri. Sandi cerita,
bahwa buku ini (dan ada beberapa buku lain) sebenarnya didapatnya dari
pemberian seorang teman. Dia anak seorang sastrawan yang bernama Rustam Effendi
Karel. Konon, banyak buku yang tak terurus dan oleh anaknya dikasih-kasihkan. Setelah
hujan reda, Sandi dan Randu pergi ke Banjarmasin. Saya dan Aliansyah (yang
wajahnya merakyat itu, :D ) pulang ke rumah masin-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar