Senin, 08 Mei 2017

Slamet Sukirnanto: LUKA BUNGA


Data buku kumpulan puisi

Judul : Luka Bunga, kumpulan sajak-sajak 1969-1987
Penulis : Slamet Sukirnanto
Penerbit : Balai Pustaka, Jakarta
Cetakan : I, 1991
Tebal : 108 halaman (81 puisi)
ISBN : 979-407-248-6
Seri BP no. 3618
Gambar kulit : B.L. Bambang Prasodjo

Luka bunga terdiri atas 3 bagian, yaitu Bunga Batu (38 puisi), Luka Bunga (28 puisi) dan Bahtera Arwah (15 puisi).

Beberapa pilihan puisi Slamet Sukirnanto dalam Luka Bunga

HANYA RAWA

Hanya rawa
Aku ingin bicara
Roh padang terbuka
Merintih ke angkasa.

Hanya rawa
Dirimu di sana
Cermin tubuh dan jiwa
Makin melebar
Membelah luka.

Banjarmasin
Mei 1979


PADANG PADANG TERBUKA

Padang-padang terbuka
Semak-semak ilalang letih
Padang-padang pertapa
Sungai-sungai merintih
Padang-padang luka-luka
Padang-padang maha sukma
Padang-padang maha dahaga

Banjarmasin
Mei 1979



LUKA BUNGA

luka bunga
disaksikan batu dan cahaya
pada danau berkata
tampunglah perihnya!

Padang
November 1980


SAJAK PUTIH

Di antara karang
Di antara ombak
Hidup ini
Kadang
Tak mampu dielak
Pantai tak lagi
Menawarkan tepi
Meskipun kau selami
Perjalanan rohani
Bahtera arwah
Mengayuh sepi
Yang kosong
Tinggal angkasa
Tempat terakhir
Bagi yang luka
Menetes-netes
Dinding mega
Memadati ruang
Memadati beban jiwa
Menutup wilayah
gerak membuka
Bukit mendung – kehitaman di sana
Memenuhi lapangan udara!

Bengkalis, Pebruari 1981


TUANGKAN LAGI

Tataplah Toba
dan rumput yang liar
menjalar di perbukitan
kering luas melebar
juga jasad ini!

Tataplah Toba
kerajaan batu-batu
kebekuan kekal dan jiwamu
sebelum ini tubuh terbakar
matahari rendah berkobar!

Parau suara meninggi
mengatasi bening ini
Engkau ingin di bumi
Aku ingin di angkasa
Sambil merobek-robek
Satu-satu bahagia
Tuangkan lagi
Sisa-sisa duka!

Medan
Juli 1980


BUNGA BATU

Ingin sekeras batu-batu
Ingin selembut bunga-bunga
Tuhan cari dalam batu-batu
Tuhan cari dalam bunga-bunga
Hidup ini hamil juga
Menunggu kuncup bunga batu
Yang lahir Kau luka-luka!

Prapat
April 1979


DINDING BUKIT

Dinding bukit
Memagar tepi
Meninggi gersang
Tandus padang-padang
Di pangkuan karang-karang
Gua menampung hidup
Gua menampung sepi
Tebung-tebing lumut
Menyentuh hantaran laut
Ketika seberkah anganmu
Hanyut! Batu nasib kandas
Dalam. Dalam sekali.

Dilli
Oktober 1979


BAHTERA ARWAH

inmemoriam
mendiang Mas Giman Kartoikromo
wafat pada usia 107 tahun

Sungguh Aku tak mengerti
Apakah di Sorga
Arwah juga bisa
Merintih tinggi
Mendaki puncak!

Bahtera melaju
Mengayuh
Mendayung
Sampan jiwamu
Ruang kosong
Melacak jalan udara
Mencari dataran pijak!

Bumi
            Menampung jasad ini
Hidup dan kehidupan
Membekas. Menapak
Dan keringat yang pernah mengalir
Usia terus menderas
ke hilir. Muara terbuka
Melepas semua miliknya!
            Beban muatan kesabaran
Kau lepaskan semua. Di sini

Pelabuhan tempat bertolak
Layar bahtera jiwamu berkibar
            Di rumah tua
            Di rumah sewa
Bertumpukan debu
Ranjang yang rapuh
Ranjang kayu yang bisu
Menuturkan semua riwayatmu!

Sungguh Aku tak mengerti
Apakah di Sorga
Arwah juga bisa
Merenungi jasadnya
Mengeja alam fana!

Bahtera melaju
Meninggalkan kemeja
Darah daging dan mimpinya
Juga sisa semua yang duka!

Sungguh Aku tak mengerti
Apakah di Sorga
Arwah juga bisa
– ketawa

Solo
15 Juni 1982


PELABUHAN MERAK

Pelabuhan Merak dalam lekuk landai
Kerangka masa lalu terserak berai
Ketika peluit penghabisan bertolak
Sepi yang mencekammu tiada beranjak.

Kenapa kini senjamu tiada seperti dahulu
Mengorak pikuk jung hendak berlabuh
Kisah musafir nun berabad-abad
Menyandarkan birahi lelaki dari jauh!

Kenapa kini senjamu tiada seperti lagu
Ketipak langkah-langkah yang mantap
Ketika kibar layar pertama pertanda
Berangkat hendak mematah gelombang laut.

Camar menggeser awan di atas selat
Dan pulau alit yang megah membisu cakap
Adakah tujuan berberkah selamat
Bila kabut di luasan memendam gelap?

Merak, 1970


KUPANG: DI SEBUAH PANTAI

Berjajar pohon kelapa
Pokok rumbia menguak kemarau yang terik
Ngungun: meneyepi pantai
Menunggu biduk tak kunjung sampai!

Pelabuhan alit mengungkung siang
Selam-berselam ikan-ikan berkejaran
Laut dalam membening cerlang
Hanya sehasta dari jarak kaki.

Lalu angin beringsut dari tenggara
Menyentuh keras pulau dan samodera
Aku sadar: betapa palsunya cinta
Kering pasir di hati. Memijak ketandusan bumi.

Kupang, akhir 1969


PANTAI SANUR

Bermain bayangan sendiri
Di dataran putih pantai
Kemudian jejak membekas
Di sini ketika langkah bergegas.

Matahari di tengah laut
Menyelam masuk ke dasar
Lalu tertegun berdiri:
“Adakah dirimu jauh tersembunyi?”

Langit sore belum juga datang
Belum mengajak ke ufuk barat
Usiamu masih megah, sarat menyerah
Sebelum menyeret umurmu enyah.

Menghitung tapak sendiri
Yang terlukis di tanah pasir
Menuju batas riak air berdesir
Di kakimu: tahun-tahun melangkah ke akhir!

Denpasar, 1969


DI LEMBAH SUNGAI BRANTAS

Di lembah sungai Brantas
Tambahkan kata-kata
Pada patilasan dan prasasti
Angan-angan membumbung tinggi!

Benang kusut zaman berganti
Juga dulu di sebelah timur G. Kawi
Benda-benda dan jiwa mengeras
Bagaikan batu dan arca candi!

Tak sepadan
Ketenangan alur kali
Jiwa merambat! Seribu ikhwal
Kadang berlawanan sendiri!

Jejak dan tapak sejarah
Kujalin dan kurenda sepi
Dataran dan lembah
Bumimu makin tua
Bumi siapa makin remaja
Dalam gerak bayangan senja!

Di lembah sungai Brantas
Hati hendak lebih luas
Menghilir mencari muara
Semua terbuka – ke arah sana jalannya

Kediri
Mei 1983


PANTAI BENGKALIS

Aku duduk di sini sejak sore
Gelas-gelas silih berganti
Untuk apa aku di sini
Seperti pelabuhan tua. Siap melayani
Kapal yang datang dan pergi
Kemudian pantai. Tangan terentang membelah
Berjam-jam aku masih saja begini
Ditinggal penghuni. Kapal dan sampan
Lama tidur, lelap dan berpelukan
Yang ingin datang. Datanglah
Jangan bawa kabut, desah atau getaran
Masuk ruang kegelapan. Dan gelas aku tambahkan
Mengarungi dahaga yang pasang naik
Menelan karang-karang kehidupan
Senandunglah, kawan, senandunglah
Gelas-gelas lebih bening dari lautan
            kudendang laut
Kutabur bintang-bintang
Kipas dengan angin daratan
Ke mana kau sembunyikan ombak dan karang
Sesungguhnya aku ingin. Segera pergi
Melangkah mencari tepi; atau masuk pusat
Yang gaduh; atau berbincang dengan teripang
Atau menghitung butir-butir pasir di kali
Laut kudendang laut
            Kutabur jala-jala
            Ikan-ikan tambah jauh mengembara
            Gubuk-gubuk nelayan menampung cemasnya
Ada yang minta Sorga
Pantaimu minta apinya. Pelabuhan menawarkan
Segumpal bara dan hampa
Langit hitam makin rendah dekat kepala
Di rantau sana sumber awalnya.
            Laut kudendang laut
            Kutabur kunang-kunang semesta
            Jangan menunggu kabar
            Yang tak kunjung tiba
Gelas-gelas silih berganti
Gelas-gelas tegak menganga
Pelabuhan tua tegar dan waspada
Ada yang tak kembali dari samudera

Bengkalis
Pebruari 1981


SUNGAI MUSI

Kembali padamu
Gerak gelombang
Menggoncang perahu

Mencari jejak
Pusat segala tindak

Menantang arus
Ke hulu tiada putus
Perjalananmu
Tak ada ragu
Timbul tenggelam
Ujung batasMu!

Kembali padamu
Roda waktu
Pergeseran musim
Kapal dan perahu
Siapa lebih tangguh
Menembus medan yang riuh

Kodrat air
Gerak menuju hilir
Mengalir terus mengalir

Melawan takdir
Jangan tersingkir!
Riwayat belum berakhir
Dua tepian – hadir!

Palembang
Pebruari 1982


GUNUNG BROMO

Buat: kawan-kawan
dari Universitas Erlangga

Malam dan lautan pasir dihapus kegelapan
Angin mati meskipun tubuh berdekatan
Sepanjang jalan mendatar dan meraba sepi
Puncakmu anggun! Engkau minta tetap sendiri!

Sore tadi aku bergandengan rapat
Jalan terus mendaki! Mendesah nafas
Jari-jari kurusmu lembut sekali
Kata orang engkau telah dipinang
Bunga mawar rekah! Sedang aku
Ranting kering dekatmu terjaring
Luka oleh duri menusuk tubuh
Membangunkan gairah meskipun udara dingin
Berjalin tangan dalam mencari
Cahaya mentari pagi gemilang.
Mari! Meraih kekosongan ruang ini!

Kuda-kuda terus mendesah
Kutatap mata pagimu di sini
Ada yang datang untuk berkah
Ada yang datang karena resah
Kau dan aku mengeja
Dataran dan pasir ini
Gerak jari dan tapak kaki
Mendaki! Terus mendaki!

Ngadisari
16 Agustus 1983


NGRAYUN

Beri Aku
Air di kali

Beri Aku
Air di sawah-sawah

Beri Aku
Kenangan di lembah-lembah

Beri Aku
Kehidupan yang ramah
Seputih cairan getah
Yang terus mengalir
Goresan batang-batang pinus
Bayangannya rebah
Ketika angin
Belum juga berembus.

Hati siapa
Mampu mengeja
Terangnya cahaya
Matahari rendah di sana
Kemarau dirimu
Panjang tak mampu dibelah.

Bukit kapur
Tanah tandus
Mimpimu subur
Jangan! Jangan!
Ada yang hancur!

Ibu tua
Mendaki bukit
Untuk siapa
Beban berat di bakul
Katakan! Katakan!
Subuh dan senja
Beredar teratur
Beri Aku.

Ngrayun—Ponorogo Mei, 1983


DI KAKI BUKIT TAJADI

            Di sinilah
                Tuanku Imam Bonjol bertahan!

Di kaki bukit Tajadi
Aku tegak! Malam ini
Sebidang tanah lapang
Tempatku berpijak! Dulu pernah
Cucuran darah
Kelewang berserakan
Belum juga sirna
Mencari sisa-sisa
Pijar membara
ke dalam semak
Mengatas memuncak
Hening ruang angkasa
Ikhwal terbuka
Ada juga rongga
Jiwa luasnya bagai samodera
Kudaki tangga
Jalan menuju cahaya!

Bonjol
5 Juni 1983


SIGURAGURA MENJELANG SENJA

buat : Bokor Hutasuhut
Hatta Albanik

Siguragura menjelang senja
Tuakku murni masih ada!
Gadis-gadis menjunjung keranjang
Mendaki menurun dan jalanan melingkar
Beriring-iringan memasuki gerbang desa.

Siguragura menjelang senja
Tuakku murni masih ada!
Air terjun
Air tumpah juga
Jutaan tangis membahana
Kau tuangkan dari Sorga?
Perpisahan tanpa pesta
Lembah sunyi semata.

Sigura-gura menjelang senja
Tuakku murni masih ada!
Di sini segera berakhir. Segalanya
Kisah yang dulu
Dongeng purba:
Ronggur anak raja tawanan
Ronggur si pemuda titipan zaman
Ronggur menuruni lereng terjal ini
Ronggur bergantungan penuh berani
Setelah perahunya kandas
Di ujung sungai Dewata yang ganas
Setelah menempuh bahaya
Pantangan tiap marga.
Istrinya (budak yang diajak lari)
Di puncak tebing tanpa bimbang
Namun hatinya berdebar! Setia

Lantaran cintanya. Menatap kekasih
Yang sedang mempertaruhkan nasib
Menuruni jurang tegak dan garang
Di antara batu-batu dan akar-akar
Untuk membuktikan kebenaran akal!
Bahwa di lembah yang sunyi
Terbentang harapan
Bersemayam dunia baru
Ronggur perintis tanpa ragu!
Karena impian
Karena cita-cita
Yang bertahta: lama
Meliang luka!
Perang dan perang semata
Kedendaman antara marga
Karena sawah sejengkal
Karena tanah sejengkal
Berebut batas wilayah dan kuasa
Karena harga diri dan menjaga kawula
Warisan semangat leluhur yang dipuja!
Ronggur anak zamannya
Melawan kewibawaan
Menolak kepercayaan
Menolak dirinya
Tumbuh. Menjadi sendawan subur!

Siguragura menjelang senja
Tuakku murni masih ada!
Wajah bendungan ini
            Sarana utama
Pembangkit listrik. Tenaga
Impian zaman teknologi
Jadi kenyataan kini
Angker bagaikan raksasa
Siap membunuh roh dan jasadmu
Menyingkirkan keaslianmu
Untuk siapa? Senja
Siguragura menumpahkan semua
Ratapan tinggi naik udara –
Sing sing so sing sing so
Sing sing so sing sing so
Sebelum malam turun di sana!

Siguragura menjelang senja
Tuakku murni masih ada!
Perpisahan tanpa pesta –

Asahan, April 1979


REOG PONOROGO

Gerak kaki-kaki
Gerak tangan-tangan
Kepala bergoyang-goyang
Menggapai awan-awan
Berputar! Mempermainkan zaman!

Kadang kehidupan
Liku-likunya
Tak mampu dijelaskan
Menarilah sepanjang hari
Menarilah sepanjang malam
Menarilah dalam angan-angan
Menghentak tanah tandus ini
Menghentak batu jiwamu sendiri
Menyongsong abad-abad
Ujung senja hidupmu masih jauh sekali
Menari! Mari
Topeng-topeng
Lebih kukuh dari besi
Menghadapi:
Musim segera
berganti!

Ponorogo
Mei 1984


PETANI TOBA

Berpencaran sudah
Batu-batu pecah
Di ketinggian lereng Toba
Aku gempur kekal nasib!
Getaran gairah
Tapak tangan dan darah
Menguji – untuk siapa
Luka ini

Medan, April 1979


Tentang Slamet Sukirnanto
Slamet Sukirnanto lahir di Sala, Jawa Tengah, pada 3 Maret 1941. Anak pelukis R. Goenadi (alm) dan R.Aj. Soekirni (darah Kajoran). Menyelesaikan kuliah di Fakultas Sastra UI, jurusan Sejarah Asia Tenggara. Tokoh domenstrasi 1966 ini, pernah menjadi ketua Presidium KAMI Pusat (1966-bubar), anggota DPRGR/MPRS (1967-1971), mewakili golongan mahasiswa, Redaktur Senin Harian Sinar Harapan (1973), penyusun Deklarasi Pemuda Indonesia sebagai landasan berdirinya KNPI (1973), Pengurus DPP KNPI (1978-1981), anggota Badan Sensor Film (1978-1984), anggota Majelis Pendidikan dan Kebudayaan Pimpinan Pusat Muhammadiyah (1986). Buku puisinya: Kidung Putih (1967), Jaket Kuning (1967), Gema Otak Terbanting (1974), Bunga Batu (1979), dan Catatan Suasana (1982).


Catatan Lain
Dalam riwayat hidup pengarang di sampul belakang buku, ada ditulis begini: “Sejak tahun 1967 penyair ini banyak mengadakan perjalanan dari daerah ke daerah dan dari desa ke desa di tanah air. Semuanya ini tercermin dalam karya-karya puisinya yang mengandung dialog dengan alam sekitar.” Dikatakan dalam pengantar (hlm. 5), bahwa buku ini menampilkan beragam tema, yang digarap secara plastis dan lembut serta mampu menyentuh perasaan kita.

            Halaman persembahan berbunyi begini: “*Dipersembahkan kepada orang tua yang telah mengasuh dan membesarkan saya: mendiang Bapak Mas Giman Kartoikoromo dan mendiang mbok Panikem Kartoikromo. Juga kepada: Bulkis, Wisnu Baroto, Fajar Sidik, Suhirmanto, Lara Wahyuni, Sri Tuti Handayani dan Aprini Wulandari.” 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar