Data buku kumpulan puisi
Judul : Di Laut Musik
Penulis : Muhammad Ali Fakih
Penerbit : Cantrik
Pustaka, Yogyakarta.
Cetakan : I, Oktober
2016
Tebal : 100 halaman
(51 puisi)
ISBN : 978-602-74047-8-6
Penyerasi : Naufil Istikhari
Kr
Penata isi : Mawaidi
D. Mas
Gambar isi : Fazabinal
Alim
Penata sampul : Ayik
Miftah
Pracetak : Muchlas J.
Samorano & Maufiqul Khalid MD
Beberapa pilihan puisi Muhammad Ali Fakih dalam Di Laut Musik
Aku Ingin Tahu Segalanya
Aku ingin tahu segalanya:
bangkai bintang di sudut langit
denyut semesta di nadi setiap orang
atau jawaban atas pertanyaan purba:
“Dari bahan apakah kebahagiaan tercipta?”
Aku ingin tahu bagaimana bunga rosela
menghapus rasa sedih dari wajah si duka
Bagaimana sepasang anak kecil di jalanan kecil
saling menyuapkan makanan dan tertawa kecil
Aku ingin tahu bagaimana di hatimu
dapat kuterjemahkan diriku
Orang-orang tiap hari bergegas
dan panik di depan meja kerja mereka
Orang-orang menekan diri untuk mengingat satu hal
dan melupakan hal lain
Kutatap wajahku di cermin dan berkata:
“Aku ingin tahu mereka dan kesibukannya”
Aku ingin tahu bagaimana langit mengembang
Bagaimana peradaban dibangun
di atas jutaan mayat dan sebuah manifesto
Bagaimana dunia tumbuh
dan menelusup ke dalam mimpimu
Aku ingin tahu segalanya
Tapi aku tak tahu
Bagaimana pun
aku tak akan pernah bisa tahu
Jogokaryan, 2015
Ada Suatu Ketika Hari
Ada suatu ketika hari
Pemain Gitar mematahkan tangannya
Ada suatu ketika hari
sepotong tangan menelusup ke jantungku
dan memetiknya tiada henti
Hingga kulihat dunia menari
Kulihat orang-orang, jalanan, bukit
pepohonan dan rumah-rumah menari
Aku heran dan bertanya-tanya:
mengapa, Tuan, tanganmu
memetik jantungku
di saat beban hidup terasa berat
di saat beban hidup terasa berat
dan aku tak ingin bahagia
Jogokaryan, 2015
Aku Akan Begitu Bahagia
Aku akan begitu bahagia
dengan kemiskinanku
dengan satu-dua bus yang lewat
dan tak kuhapal lagi namanya
Aku akan begitu bahagia
bahwa aku hanya bagian peristiwa
bahwa aku hanya bagian peristiwa
dalam pikiran novelis yang malas
Atau mata pelukis berbakat
yang membiarkan gunung
sebagai gunung
Ranjangku sudah habis
dimakan rayap
dimakan rayap
Dan aku tak bisa tidur
di atas tilam masa lampau
di atas tilam masa lampau
Aku tak ingin jadi mimpi
seekor burung hantu
di malam-malam angker
Aku tak akan jadi sekarung ketela
di pundak seorang kakek tua
Perjalanan, oh, perjalanan
aku telapak kaki para musafir
maka aku akan begitu bahagia
dengan kemiskinanku
sebab itu adalah kemiskinanmu
yang kaya
sangat kaya
Jogokaryan, 2014
Kepada Tuhan
Bukan karena mau
kulepas pelukanku di tengkukMu
Akal telah memotong
kedua lenganku
Api neraka yang bersembunyi
di balik segala-galanya
menguliti retinaMu
di bola mataku
Kau yang kupercaya
lihat bagaimana baju zirahku
robek dikoyak badai
Bentuk bau suara dan warna
yang Kau letakkan di kedua tanganku
adalah peta buta
Hidup di zaman edan
akal menjulang melampaui manusia
kenyataan menjelma jadi lamunan
Dan Kau, mengapa Kau angkat
mahkotaku ke langit
dan menusuk dadaku
dengan sajak-sajak gelap
Bagaimana Kau biarkan akal
mengaduk sungai ketenanganku
hingga tahi-tahi yang mengendap di dasarnya
terangkat ke permukaan
Dunia ini buku tua
lapuk, penuh sobekan dan kotor
Debu-debunya kerap membius
kesadaran pembaca
Saat kubuka satu halaman
alam tampak bagus
Di halaman lain kulihat diriku
mendengus-dengus bagai babi
Tuhan, kecuplah keningku
Aku mau dunia yang berbahaya
mampus dalam satu kecupanMu
Jogokaryan, 2015
Musik yang Angkuh
Musik yang angkuh
jiwa dalam jiwamu
mengalun dari sukma
khayalul qudsiyah
Sukma yang pantulannya
adalah api
dari mana sekuntum mawar
menimba cinta
dan meletakkannya
di hatiku
Hingga tiap kali
kukenang kau
hatiku menjelma seruling
yang ditiup
sesosok ghaib
Jeritan dan melodinya
adalah jalan
yang kulewati
tanpa derap
tanpa hasrat
tanpa tahu ke mana
diriku akan kau bawa
Aku bukan lagi potret
atau surat cinta
atau riwayat
yang tercipta
dari mimpi
Bagai pancaran
sinar matahari
kidungku menerobos
hutan lambang
dan tenggelam
di danau suci
kenyataan
O musik yang angkuh
instrumen yang berasal
dari takwil peristiwa
alunan yang darahnya
mengentalkan ruhku
Semua notasi buruk
harap dan cemas
jernih di pendengaranku
Dan kesedihan
dan kerapuhan
berubah jadi siulan
dari mana hidup
menggali
kegembiraannya
Yogyakarta, 2007-2016
Tuhan, Berikan Rasa Cinta Kepadaku
[1]
Bahkan meratap bagai kecapi
karena rindu ruh senisab
aku tak bisa
Air mataku adalah pohon kering
tumbuh sendirian di padang pasir
Di dalam mataku terdapat goa
tempat pengasingan para pendusta
Genosida di Timur, pesta pora di Barat
membuatku terpencil dari rasa riang
Puluhan kuda datang hendak menjemputku
dan kulihat sejumlah tambatan di seberang
Tetapi aku diam dan memilih berperang
melawan segala yang bukan diriku
Tuhan, berikan rasa cinta kepadaku
untuk sekedar sehari saja merindukanMu
[2]
Setiap kepala sujud pada akal
di dalam candi keyakinannya yang rapuh
Setiap kepala keluar dari kerah baju yang sama
dengan kepura-puraan yang sama
Aku terasing dan menenung diri dalam halimun
Taman, gunung, laut tuli sebagaimana aku
Sejarah yang makin luntur batas-batasnya
mendengkur di ujung kilau pedangku
Tuhan, berikan rasa cinta kepadaku
untuk sekedar sehari saja merindukanMu
Jogokaryan, 2014
Puisi, Selamat Tinggal, Aku Pergi
Puisi, selamat tinggal, aku pergi
Aku pergi dari menjadi sepasang mata
yang menatapmu, layaknya seorang asing
menatap jurang dari ketinggian
Aku pergi meninggalkan
rumah lampauku yang duka
bersama satu-dua pertengkaran
yang kau wariskan pada pikiranku
yang kau wariskan pada pikiranku
Suntuk rasanya aku hidup
di antara hantu-hantu sekarat:
mereka yang kau lahirkan ke dunia
hanya untuk takjub pada dirinya
Biarlah cinta dan kesunyian
-dua berhala sesembahan penyair ini-
kutinggalkan bersamamu
Aku tak kuat menanggung
rayuan dan kutukannya
Aku kini jenuh mencuplik
segala hal sebagai metafora
dan memanggil renungan
yang menolak hidup
Aku ingin benci kepadamu
yang menuliskanku
di ujung anak panah Zeno
dan di aliran darah
bangsa dunia ketiga
Sekarang aku pergi mengembara
mencari masa kecilku
yang kusembunyikan
di antara hukum alam
Sekarang aku pergi
dan biarkan di tengah perjalananku
kau, puisi, mengunjungi musuhmu:
masa kecilku
Jogokaryan, 2015
Jalan Menuju Diri
– Zainal Arifin Thoha
Jalan menuju diri
ada di hati mereka
Sayap-sayap Ilahi
ada di punggung mereka
Maka hancurkan dirimu
dan keberadaaannya
berikan pada mereka
Jogokaryan, 2012
Burung-burung Air Mata
Burung-burung air mata
terbang dari dan hinggap ke dalam
bayang-bayang mimpi dan khayal
Bulu-bulunya putih oleh duka
Kedua sayapnya
dikepakkan rindu dan cinta
Mimpi mendaki langit
langit memanjat khayal
mencari dasar palung batinku
Burung-burung air mata
dengan paruhnya yang gemetar
menelan seluruh ingatan
dan menyenandungkan doa-doa
Ada ribuan riwayat minta dibaca
Ada ribuan surat minta dialamatkan
dan hanya ada satu dari dua dahan
yang mesti dipilih untuk bersarang:
aku atau Tuhan
Cabeyan, 2012
Akan Kucium Penderitaan dan Malapetaka
Akan kucium penderitaan dan malapetaka
dengan bibirku yang pucat ini
Mataku terus Kau hadiahi kemurungan
Ke dalam suaraku yang lemah
Kau tuangkan keluhan demi keluhan
Perkenankan, Tuan, perkenankanlah
kuhirup harumnya aroma
penderitaan dan malapetaka
Dan dalam ketakberdayaan ini, Tuanku
biarkan kuledakkan isi dadaku
Biarkan kukembarakan jiwaku
ke pulau-pulau ketakterbatasannya
Biarkan kucium penderitaan dan malapetaka
bagai si murung menciumi mawar kekasihnya
Cabeyan, 2013
Hamba
Di antara pohon akasia
Cintaku berdiri gagah
mengenakan baju zirah
Ke mari, Cintaku
naiklah ke punggung
keledai lemah ini
Di sana angin merayu rerumputan
agar menyingkir dari jalanan
Cintaku pun pergi perlahan
tapi pedang karat itu
tiada dibawanya
Jangan tinggalkan, Cintaku
kekayaan satu-satunya
yang kumiliki ini
Jogokaryan, 2016
Penyakitku
Nyanyian masa kanakku
meresap bagai air hujan
ke kedalaman
tanah rantau
dan menjelma langit
di paruh burung
yang bisu
Dari kepalaku
berguguran kenyataan
yang tak kukenal
setiap kali wajah kudusku
menguap dari sungai khayal
Dan bagai si peragu
aku berjalan berdampingan
dengan kekasih
yang tak pernah ada
Mataku jadi lamur
memandang labirin
yang berdindingkan
jeritan dan melankolia
sebagai jalan
menuju diriku
Aku tak tahu
rupanya aku berjalan
untuk tak ke mana-mana
Bahkan bayangan rantau
makin membanjiri pikiranku
dan menenggelamkan
istana masa kanakku
Hidup pun terasa jadi percuma
bagai sajak-sajak gelap
di ujung pena yang putus asa
Yang kulakukan
hanyalah menenung diri
mencoba berkali-kali lari
dari lingkaran amarah
dan memanjatkan doa
meski dengan kedua tangan
yang terikat
Namun bila penyakit
tiada ampun ini
adalah wajahmu, Tuanku
aku rela bahkan andai
harus kutanggung ia
sepanjang hayatku
Jokokaryan, 2016
Tanpa Musik
Tanpa musik aku bernyanyi
dan akan terus bernyanyi
di antara puing-puing wajahmu
dan waktu yang tak kembali
Tanpa dawai
jiwaku adalah gitar
Tanpa kehadiranmu
lagu-lagu masih
memenuhi mulutku
Kulupakan pena, kertas dan sajak-sajak
lalu menelusup ke dalam hatimu
yang beterbangan di mana-mana
Aku menari dan membayangkan
gerai rambutmu yang pemalu
namamu yang karam di mulut awan
dan waktu di mana cintamu
untuk pertama kalinya
kau hadiahkan kepadaku
Aku tak mengerti rahasia bintang
yang kau tunjukkan
bahkan rahasia senyumanmu
saat dalam angkutan pengap
kau usap keringat di keningku
Adalah lagu purba
yang kunyanyikan ini
untuk bumi yang menelan
dan mengunyah
jasadmu, o ayahku
setelah aku letih
berjalan sendiri
tanpa ada sosok
yang mendekapku
dengan cinta
sebesar cintamu
o ayahku
Yogyakarta, 2007-2016
Lilin dan Percikan-percikannya
- Hafiz
[1]
Aku bukan lilin yang ingin menatapMu
dengan cahaya pedihku;
Api yang dinyalakan air mata
hanya membuat mataku buta
[2]
Dunia ini terbuat dari malam
Akalku tak akan mampu menembusnya
Duhai, Kau yang Maha Gelap Gulita
Mataku tak akan mampu menampungMu
[3]
Aku kini benci kepura-puraan:
merasa tak biasa di tengah alam yang biasa;
Aku tak mau mengunci kamar
bersembunyi dari dinginnya kenyataan
dan menyelimuti tubuhku dengan keangkuhan
hanya untuk menangisi jarakku padaMu
[5]
Bila harus lari telanjang
sambil berteriak-teriak di pusat handai taulan
lantaran memeluk apa yang bagiku kebenaran
akan dilakukan
Sebab aku tahu, pakaian dan kenormalan
adalah kebatilan yang Kau perangkapkan kepadaku
[6]
Oleh karena aku bukan lilin
aku tak akan redup atau berkobar-kobar;
Aku akan mendaki bukitMu
dengan langkah yang sederhana, Tuanku
Jogokaryan, 2013
Suara yang Bertahan dalam Gema
[1]
Aku tumbuh sebagai suara
yang bertahan dalam gema
Laut dan pulau
diri dan alam
kupunahkan dalam tatapanku
Kakiku yang lemah
kulangkahkan di jalan-jalan rahasia
Aku hibuk mencari kemerdekaan
dan keabadianku
Tapi jantungku yang mendetakkan ruang waktu
dan kesadaranku yang dimahkotai keberadaan
bagaimana bisa kulenyapkan?
Begitu nyata! Begitu nyata!
air mata dan duka cita jadi jalan yang baka
[2]
Bayang-bayang Punjab
jatuh di hatiku
“Jadilah Tuhan,” katanya
“bakar dunia dengan api yang dibetik dari khudi”
Tak ada yang perlu kuanggap semu
Benda-benda yang tegak dalam ruang
dan berubah dalam waktu
semua bagiku
Kemerdekaan dan keabadian adalah keindahan
dan keindahan adalah apiku
yang menyepuh batu jadi permata
dan menyulut kegelapan jadi cahaya
Cabeyan, 2013
Di Laut Musik
Di laut musik
aku ombak
Berdebur
Memanjang
Mencari diam
yang hilang
di dalam engkau
Cabeyan, 2010
TentangMuhammad Ali Fakih
Muhammad Ali Fakih lahir di desa Kerta Timur, Kec. Dasuk,
Kab. Sumenep, Madura, pada 8 Maret 1988. Belajar di Mts 1 dan SMA 1 Annuqayah
Guluk-Guluk Sumenep dan Jurusan Fisika Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta. Belajar menulis puisi sejak 2008 di Lesehan Sastra Kutub
Yogyakarta (LSKY). Sajaknya termuat di sejumlah media massa dan antologi puisi
bersama.
Catatan Lain
Penulis menulis pengantar dan epilog. Pengantar (hlm. 9)
cuma berisi 1 paragraf, namun epilog lebih panjang (hlm. 95-98). Di dalam
epilog ditulis begini: “Aku menulis sajak sejak tahun 2007 dan sudah mencoba
beberapa gaya ungkap. Pertama-tama aku bereksperimen lewat sajak-sajak Goenawan
Mohamad dan Sapardi Djoko Damono. Setelah suntuk dengan mereka, aku mencoba
menulis dengan sajak-sajak Muhammad Iqbal, Rabindranath Tagore dan Omar
Khayyam. Agak cukup lama aku bertahan dalam gaya ungkap ketiga “pendekar” ini.//Tidak
ingin stagnan, aku keluar dari “mainstream”. Aku berusaha mengenal sajak-sajak
Anna Akhmatoba, W.H. Auden, James Joyce dan Derek Walcott. Aku menulis di atas
ghirah sajak-sajak meeka. Di “tempat” ini aku tidak “kerasan”. Rasa-rasanya
–setidaknya bagiku—sajak-sajak Iqbal, Tagore dan Khayyam masih lebih
berkualitas ketimbang sajak-sajak mereka. Aku pun akhirnya, hingga kini,
berupaya menyatukan gaya ungkap ketiga “pendekar” ini dalam sajak-sajakku.
…//Kini Iqbal, Tagore dan Khayyam coba “kugabung” dengan Sutardji Calzoum
Bachri—seorang penyair yang menurutku cerdas dalam bermain metafotr—tapi dengan
semangat surrealisme. Hasilnya sajak-sajakku—sekali lagi menurut
teman-temanku—gelap. Menurutku bukan gelap, karena andai mereka membaca
sajak-sajakku secara pelan, tekun menyuntuki metaphor-metafornya dan berupaya
menangkap maksud-maksudku, aku pikir sajak-sajakku tidak seperti yang mereka
bayangkan.//Sajak-sajakku yang baru itu bukan gelap, tapi mungkin agak sedikit
rumit….. dst.
Halaman
persembahan berbunyi seperti ini:
Kupersembahkan buku puisi ini
untuk istriku tercinta,
Ai Mega Maulida Rahayu,
sebagai kado pernikahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar