Senin, 08 Mei 2017

Muhammad Ali Fakih: DI LAUT MUSIK


Data buku kumpulan puisi

Judul : Di Laut Musik
Penulis : Muhammad Ali Fakih
Penerbit : Cantrik Pustaka, Yogyakarta.
Cetakan : I, Oktober 2016
Tebal : 100 halaman (51 puisi)
ISBN : 978-602-74047-8-6
Penyerasi : Naufil Istikhari Kr
Penata isi : Mawaidi D. Mas
Gambar isi : Fazabinal Alim
Penata sampul : Ayik Miftah
Pracetak : Muchlas J. Samorano & Maufiqul Khalid MD

Beberapa pilihan puisi Muhammad Ali Fakih dalam Di Laut Musik

Aku Ingin Tahu Segalanya

Aku ingin tahu segalanya:
bangkai bintang di sudut langit
denyut semesta di nadi setiap orang
atau jawaban atas pertanyaan purba:
“Dari bahan apakah kebahagiaan tercipta?”

Aku ingin tahu bagaimana bunga rosela
menghapus rasa sedih dari wajah si duka
Bagaimana sepasang anak kecil di jalanan kecil
saling menyuapkan makanan dan tertawa kecil
Aku ingin tahu bagaimana di hatimu
dapat kuterjemahkan diriku

Orang-orang tiap hari bergegas
dan panik di depan meja kerja mereka
Orang-orang menekan diri untuk mengingat satu hal
dan melupakan hal lain
Kutatap wajahku di cermin dan berkata:
“Aku ingin tahu mereka dan kesibukannya”

Aku ingin tahu bagaimana langit mengembang
Bagaimana peradaban dibangun
di atas jutaan mayat dan sebuah manifesto
Bagaimana dunia tumbuh
dan menelusup ke dalam mimpimu

Aku ingin tahu segalanya
Tapi aku tak tahu
Bagaimana pun
aku tak akan pernah bisa tahu

Jogokaryan, 2015


Ada Suatu Ketika Hari

Ada suatu ketika hari
Pemain Gitar mematahkan tangannya

Ada suatu ketika hari
sepotong tangan menelusup ke jantungku
dan memetiknya tiada henti

Hingga kulihat dunia menari
Kulihat orang-orang, jalanan, bukit
pepohonan dan rumah-rumah menari

Aku heran dan bertanya-tanya:
mengapa, Tuan, tanganmu
memetik jantungku
di saat beban hidup terasa berat
dan aku tak ingin bahagia

Jogokaryan, 2015



Aku Akan Begitu Bahagia

Aku akan begitu bahagia
dengan kemiskinanku
dengan satu-dua bus yang lewat
dan tak kuhapal lagi namanya

Aku akan begitu bahagia
bahwa aku hanya bagian peristiwa
dalam pikiran novelis yang malas
Atau mata pelukis berbakat
yang membiarkan gunung
sebagai gunung

Ranjangku sudah habis
dimakan rayap
Dan aku tak bisa tidur
di atas tilam masa lampau

Aku tak ingin jadi mimpi
seekor burung hantu
di malam-malam angker
Aku tak akan jadi sekarung ketela
di pundak seorang kakek tua

Perjalanan, oh, perjalanan
aku telapak kaki para musafir
maka aku akan begitu bahagia
dengan kemiskinanku
sebab itu adalah kemiskinanmu
yang kaya
sangat kaya

Jogokaryan, 2014


Kepada Tuhan

Bukan karena mau
kulepas pelukanku di tengkukMu
Akal telah memotong
kedua lenganku
Api neraka yang bersembunyi
di balik segala-galanya
menguliti retinaMu
di bola mataku

Kau yang kupercaya
lihat bagaimana baju zirahku
robek dikoyak badai
Bentuk bau suara dan warna
yang Kau letakkan di kedua tanganku
adalah peta buta

Hidup di zaman edan
akal menjulang melampaui manusia
kenyataan menjelma jadi lamunan

Dan Kau, mengapa Kau angkat
mahkotaku ke langit
dan menusuk dadaku
dengan sajak-sajak gelap
Bagaimana Kau biarkan akal
mengaduk sungai ketenanganku
hingga tahi-tahi yang mengendap di dasarnya
terangkat ke permukaan

Dunia ini buku tua
lapuk, penuh sobekan dan kotor
Debu-debunya kerap membius
kesadaran pembaca
Saat kubuka satu halaman
alam tampak bagus
Di halaman lain kulihat diriku
mendengus-dengus bagai babi

Tuhan, kecuplah keningku
Aku mau dunia yang berbahaya
mampus dalam satu kecupanMu

Jogokaryan, 2015


Musik yang Angkuh

Musik yang angkuh
jiwa dalam jiwamu
mengalun dari sukma
khayalul qudsiyah

Sukma yang pantulannya
adalah api
dari mana sekuntum mawar
menimba cinta
dan meletakkannya
di hatiku

Hingga tiap kali
kukenang kau
hatiku menjelma seruling
yang ditiup
sesosok ghaib

Jeritan dan melodinya
adalah jalan
yang kulewati
tanpa derap
tanpa hasrat
tanpa tahu ke mana
diriku akan kau bawa

Aku bukan lagi potret
atau surat cinta
atau riwayat
yang tercipta
dari mimpi

Bagai pancaran
sinar matahari
kidungku menerobos
hutan lambang
dan tenggelam
di danau suci
kenyataan

O musik yang angkuh
instrumen yang berasal
dari takwil peristiwa
alunan yang darahnya
mengentalkan ruhku

Semua notasi buruk
harap dan cemas
jernih di pendengaranku
Dan kesedihan
dan kerapuhan
berubah jadi siulan
dari mana hidup
menggali
kegembiraannya

Yogyakarta, 2007-2016


Tuhan, Berikan Rasa Cinta Kepadaku

[1]

Bahkan meratap bagai kecapi
karena rindu ruh senisab
aku tak bisa

Air mataku adalah pohon kering
tumbuh sendirian di padang pasir
Di dalam mataku terdapat goa
tempat pengasingan para pendusta

Genosida di Timur, pesta pora di Barat
membuatku terpencil dari rasa riang

Puluhan kuda datang hendak menjemputku
dan kulihat sejumlah tambatan di seberang
Tetapi aku diam dan memilih berperang
melawan segala yang bukan diriku

Tuhan, berikan rasa cinta kepadaku
untuk sekedar sehari saja merindukanMu

[2]

Setiap kepala sujud pada akal
di dalam candi keyakinannya yang rapuh
Setiap kepala keluar dari kerah baju yang sama
dengan kepura-puraan yang sama

Aku terasing dan menenung diri dalam halimun
Taman, gunung, laut tuli sebagaimana aku
Sejarah yang makin luntur batas-batasnya
mendengkur di ujung kilau pedangku

Tuhan, berikan rasa cinta kepadaku
untuk sekedar sehari saja merindukanMu

Jogokaryan, 2014


Puisi, Selamat Tinggal, Aku Pergi

Puisi, selamat tinggal, aku pergi
Aku pergi dari menjadi sepasang mata
yang menatapmu, layaknya seorang asing
menatap jurang dari ketinggian

Aku pergi meninggalkan
rumah lampauku yang duka
bersama satu-dua pertengkaran
yang kau wariskan pada pikiranku

Suntuk rasanya aku hidup
di antara hantu-hantu sekarat:
mereka yang kau lahirkan ke dunia
hanya untuk takjub pada dirinya

Biarlah cinta dan kesunyian
-dua berhala sesembahan penyair ini-
kutinggalkan bersamamu
Aku tak kuat menanggung
rayuan dan kutukannya

Aku kini jenuh mencuplik
segala hal sebagai metafora
dan memanggil renungan
yang menolak hidup

Aku ingin benci kepadamu
yang menuliskanku
di ujung anak panah Zeno
dan di aliran darah
bangsa dunia ketiga

Sekarang aku pergi mengembara
mencari masa kecilku
yang kusembunyikan
di antara hukum alam

Sekarang aku pergi
dan biarkan di tengah perjalananku
kau, puisi, mengunjungi musuhmu:
masa kecilku

Jogokaryan, 2015


Jalan Menuju Diri
– Zainal Arifin Thoha

Jalan menuju diri
ada di hati mereka

Sayap-sayap Ilahi
ada di punggung mereka

Maka hancurkan dirimu
dan keberadaaannya
berikan pada mereka

Jogokaryan, 2012


Burung-burung Air Mata

Burung-burung air mata
terbang dari dan hinggap ke dalam
bayang-bayang mimpi dan khayal

Bulu-bulunya putih oleh duka
Kedua sayapnya
dikepakkan rindu dan cinta

Mimpi mendaki langit
langit memanjat khayal
mencari dasar palung batinku

Burung-burung air mata
dengan paruhnya yang gemetar
menelan seluruh ingatan
dan menyenandungkan doa-doa

Ada ribuan riwayat minta dibaca
Ada ribuan surat minta dialamatkan
dan hanya ada satu dari dua dahan
yang mesti dipilih untuk bersarang:
aku atau Tuhan

Cabeyan, 2012


Akan Kucium Penderitaan dan Malapetaka

Akan kucium penderitaan dan malapetaka
dengan bibirku yang pucat ini

Mataku terus Kau hadiahi kemurungan
Ke dalam suaraku yang lemah
Kau tuangkan keluhan demi keluhan

Perkenankan, Tuan, perkenankanlah
kuhirup harumnya aroma
penderitaan dan malapetaka

Dan dalam ketakberdayaan ini, Tuanku
biarkan kuledakkan isi dadaku
Biarkan kukembarakan jiwaku
ke pulau-pulau ketakterbatasannya
Biarkan kucium penderitaan dan malapetaka
bagai si murung menciumi mawar kekasihnya

Cabeyan, 2013


Hamba

Di antara pohon akasia
Cintaku berdiri gagah
mengenakan baju zirah

Ke mari, Cintaku
naiklah ke punggung
keledai lemah ini

Di sana angin merayu rerumputan
agar menyingkir dari jalanan
Cintaku pun pergi perlahan
tapi pedang karat itu
tiada dibawanya

Jangan tinggalkan, Cintaku
kekayaan satu-satunya
yang kumiliki ini

Jogokaryan, 2016


Penyakitku

Nyanyian masa kanakku
meresap bagai air hujan
ke kedalaman
tanah rantau

dan menjelma langit
di paruh burung
yang bisu

Dari kepalaku
berguguran kenyataan
yang tak kukenal
setiap kali wajah kudusku
menguap dari sungai khayal
Dan bagai si peragu
aku berjalan berdampingan
dengan kekasih
yang tak pernah ada

Mataku jadi lamur
memandang labirin
yang berdindingkan
jeritan dan melankolia
sebagai jalan
menuju diriku

Aku tak tahu
rupanya aku berjalan
untuk tak ke mana-mana
Bahkan bayangan rantau
makin membanjiri pikiranku
dan menenggelamkan
istana masa kanakku

Hidup pun terasa jadi percuma
bagai sajak-sajak gelap
di ujung pena yang putus asa

Yang kulakukan
hanyalah menenung diri
mencoba berkali-kali lari
dari lingkaran amarah
dan memanjatkan doa
meski dengan kedua tangan
yang terikat

Namun bila penyakit
tiada ampun ini
adalah wajahmu, Tuanku
aku rela bahkan andai
harus kutanggung ia
sepanjang hayatku

Jokokaryan, 2016


Tanpa Musik

Tanpa musik aku bernyanyi
dan akan terus bernyanyi
di antara puing-puing wajahmu
dan waktu yang tak kembali

Tanpa dawai
jiwaku adalah gitar
Tanpa kehadiranmu
lagu-lagu masih
memenuhi mulutku

Kulupakan pena, kertas dan sajak-sajak
lalu menelusup ke dalam hatimu
yang beterbangan di mana-mana

Aku menari dan membayangkan
gerai rambutmu yang pemalu
namamu yang karam di mulut awan
dan waktu di mana cintamu
untuk pertama kalinya
kau hadiahkan kepadaku

Aku tak mengerti rahasia bintang
yang kau tunjukkan
bahkan rahasia senyumanmu
saat dalam angkutan pengap
kau usap keringat di keningku

Adalah lagu purba
yang kunyanyikan ini
untuk bumi yang menelan
dan mengunyah
jasadmu, o ayahku
setelah aku letih
berjalan sendiri
tanpa ada sosok
yang mendekapku
dengan cinta
sebesar cintamu
o ayahku

Yogyakarta, 2007-2016


Lilin dan Percikan-percikannya
-     Hafiz

[1]

Aku bukan lilin yang ingin menatapMu
dengan cahaya pedihku;
Api yang dinyalakan air mata
hanya membuat mataku buta

[2]

Dunia ini terbuat dari malam
Akalku tak akan mampu menembusnya
Duhai, Kau yang Maha Gelap Gulita
Mataku tak akan mampu menampungMu

[3]

Aku kini benci kepura-puraan:
merasa tak biasa di tengah alam yang biasa;

Aku tak mau mengunci kamar
bersembunyi dari dinginnya kenyataan
dan menyelimuti tubuhku dengan keangkuhan
hanya untuk menangisi jarakku padaMu

[5]

Bila harus lari telanjang
sambil berteriak-teriak di pusat handai taulan
lantaran memeluk apa yang bagiku kebenaran
akan dilakukan
Sebab aku tahu, pakaian dan kenormalan
adalah kebatilan yang Kau perangkapkan kepadaku

[6]

Oleh karena aku bukan lilin
aku tak akan redup atau berkobar-kobar;
Aku akan mendaki bukitMu
dengan langkah yang sederhana, Tuanku

Jogokaryan, 2013


Suara yang Bertahan dalam Gema

[1]

Aku tumbuh sebagai suara
yang bertahan dalam gema

Laut dan pulau
diri dan alam
kupunahkan dalam tatapanku

Kakiku yang lemah
kulangkahkan di jalan-jalan rahasia

Aku hibuk mencari kemerdekaan
dan keabadianku

Tapi jantungku yang mendetakkan ruang waktu
dan kesadaranku yang dimahkotai keberadaan
bagaimana bisa kulenyapkan?

Begitu nyata! Begitu nyata!
air mata dan duka cita jadi jalan yang baka

[2]

Bayang-bayang Punjab
jatuh di hatiku

“Jadilah Tuhan,” katanya
“bakar dunia dengan api yang dibetik dari khudi

Tak ada yang perlu kuanggap semu
Benda-benda yang tegak dalam ruang
dan berubah dalam waktu
semua bagiku

Kemerdekaan dan keabadian adalah keindahan
dan keindahan adalah apiku
yang menyepuh batu jadi permata
dan menyulut kegelapan jadi cahaya

Cabeyan, 2013


Di Laut Musik

Di laut musik
aku ombak
Berdebur
Memanjang
Mencari diam
yang hilang
di dalam engkau

Cabeyan, 2010


TentangMuhammad Ali Fakih
Muhammad Ali Fakih lahir di desa Kerta Timur, Kec. Dasuk, Kab. Sumenep, Madura, pada 8 Maret 1988. Belajar di Mts 1 dan SMA 1 Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep dan Jurusan Fisika Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Belajar menulis puisi sejak 2008 di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY). Sajaknya termuat di sejumlah media massa dan antologi puisi bersama.


Catatan Lain
Penulis menulis pengantar dan epilog. Pengantar (hlm. 9) cuma berisi 1 paragraf, namun epilog lebih panjang (hlm. 95-98). Di dalam epilog ditulis begini: “Aku menulis sajak sejak tahun 2007 dan sudah mencoba beberapa gaya ungkap. Pertama-tama aku bereksperimen lewat sajak-sajak Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono. Setelah suntuk dengan mereka, aku mencoba menulis dengan sajak-sajak Muhammad Iqbal, Rabindranath Tagore dan Omar Khayyam. Agak cukup lama aku bertahan dalam gaya ungkap ketiga “pendekar” ini.//Tidak ingin stagnan, aku keluar dari “mainstream”. Aku berusaha mengenal sajak-sajak Anna Akhmatoba, W.H. Auden, James Joyce dan Derek Walcott. Aku menulis di atas ghirah sajak-sajak meeka. Di “tempat” ini aku tidak “kerasan”. Rasa-rasanya –setidaknya bagiku—sajak-sajak Iqbal, Tagore dan Khayyam masih lebih berkualitas ketimbang sajak-sajak mereka. Aku pun akhirnya, hingga kini, berupaya menyatukan gaya ungkap ketiga “pendekar” ini dalam sajak-sajakku. …//Kini Iqbal, Tagore dan Khayyam coba “kugabung” dengan Sutardji Calzoum Bachri—seorang penyair yang menurutku cerdas dalam bermain metafotr—tapi dengan semangat surrealisme. Hasilnya sajak-sajakku—sekali lagi menurut teman-temanku—gelap. Menurutku bukan gelap, karena andai mereka membaca sajak-sajakku secara pelan, tekun menyuntuki metaphor-metafornya dan berupaya menangkap maksud-maksudku, aku pikir sajak-sajakku tidak seperti yang mereka bayangkan.//Sajak-sajakku yang baru itu bukan gelap, tapi mungkin agak sedikit rumit….. dst.
            Halaman persembahan berbunyi seperti ini:
Kupersembahkan buku puisi ini
untuk istriku tercinta,
Ai Mega Maulida Rahayu,
sebagai kado pernikahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar