Minggu, 04 Mei 2014

Evi Idawati: IMAJI DARI BATAS NEGERI


Data buku kumpulan puisi

Judul : Imaji dari Batas Negeri
Penulis : Evi Idawati
Penerbit : Isacbook, Yogyakarta
Cetakan : I, Agustus 2008
Tebal : viii + 116 halaman (72 puisi)
ISBN : 978-979-18081-2-5
Desain cover dan layout : M. Be

Beberapa pilihan puisi Evi Idawati dalam Imaji dari Batas Negeri

Musim Panen, di Jalan Desa, Demak

sawah terhampar menyentuh kaki langit
bau padi menusuk hidung, sore hari
cericit burung berganti hembusan angin
mengibarkan kain dan plastik
senjata petani mengusir paruh dan sayap
menyanyikan tembang musim panen telah datang

air berhenti mengalir
ikan bersembunyi
di bawah enceng gondok, rumput dan teratai
petani memanggul sepeda berjalan di pematang
karung-karung padi
tumpukan tenaga dan mimpi

jelang malam
matahari
pipi perawan
merona karena ciuman
petani bergegas pulang
membawa butir padi
untuk esok hari

Demak 2004



Terendam Lumpur

Benturan bumi serta gerakannya yang berubah
Seperti membaca awan langit dan tanda yang
dibawanya
Tapi ke mana?
Kampung, dusun dan desa
Rumah bernaung dari gelisah dan getir hidup
Tanah cinta telah tak ada
Terendam lumpur
Segala
Di tempat pengungsian, rumah sanak saudara, anak-
anak bertanya
“Ibunda, di mana aku dilahirkan?”
“Di negeri indah dekat bencana”
“Bisakah kita kembali ke sana, aku ingin bermain
di tanah lapang dekat rumah”
“Tidak anakku, biarlah hilang tanah kita, tempat
pijakan kaki
dan kubur moyang kita.”
“Kenapa?”
“Begitu dekatnya bencana dengan negeri kita
Jika kita salah pintu dan keliru membuka
Bencana akan menjadi milik kita selamanya.”

Lumpur berkembang, lumpur melebar
Mencari ruang bertahan
Yang tersisa hanya kenangan

Jogja 2007


Surau Putih di Kalidungu

kecil seperti tubuhku rapuh
papan-papan berbaris
mengelupas cat
diserap ilalang
beranak katak, ular
jamur dan lumut ke kolam
airnya bening tetes mataku
ketika bersujud terjatuh sajadah kayu
hentakan daun menyadarkan kebekuan
di kiri kanan leluhur mengantar
membaca falsafah ketajaman
melihat semesta dengan batin
mendengar awan, laut, tumbuhan hening
di surau putih kalidungu

Jogja 2001


Dari Kekosongan

Dari kekosongan itulah aku mulai menuliskan angka-angka
Awal dan akhir dalam hitungan bulan menggerakkan usia
Bebunyian dari angan dan hati memanggil-manggil
Berabad lamanya ruh yang datang bersemayam
Bahkan pekuburan dibongkar
Mimpi dipertengkarkan
Seluruh kerajaan bulan menyembunyikan sinar
Berjalanlah dari katulistiwa untuk menemukan angka-angka
Khutbah yang diperdengarkan akan mendera
Bayang dari latar cahaya menjelma
Lalu kesunyian menggerogoti malam
Kekasihku, di ujung ekor naga yang menyelimuti
bintang utara
Batu-batu akan melahirkan manusia
Cinta bagaimana yang membuat luka dan duka?
Hingga kering tulang dan bibir gemetar
Sementara di garis bintang takdir telah dijatuhkan
Kau lihat matahari, bulan dan bumi di garis yang sama?
Dalam hitungan rindu kalbuku terhampar
Wahai pengantinku,
Aku telah menempuh jalan lama dari bukit terjal
Akan kusebut nama sambil menghitung bintang
Meskipun berbeda tempat dan jaraknya
Dari kekosongan kutuliskan angka-angka
Namun hanya satu kata yang kubisikkan

Jogja 2006


Berburu Cahaya

Garis bumi yang gelap
Panji-panji menggantung di langit
Adalah tanda dari masa yang bergerak perlahan
Meski lampau dan sekarang bulan tetap sama
Seperti bumi seperti matahari
Ratusan tahun bintang berkelana menjelajah semesta
Tetaplah bintang yang sama
Hanya bergeser pada waktu tertentu
Jika tepi matahari muncul di permukaan
Langit merah seperti darah
Riuh suara bumi
Gerak penghuni
Pagi menari
Di atas kuda aku berburu cahaya
“Lihatlah, hari telah mulai, kutarik tali kekang kuda
menujuNya.”
Sambil membawa tombak dan baju zirah
Aku menuju titik matahari
Di atas pelana kudengar genderang
Di kejauhan menara mencatat peristiwa
Singgasana dari kota yang terampas
Mengusungku di atas tandu
Menuju tabir gaib rahasia

Jogja 2006


Bocah-bocah Bermain di Kali

Bocah-bocah bermain di kali
Menambang pasir
Menggali bumi
Memisah air
Berlarian telanjang kaki
Menyentuh batu menyeberang kali
Sambil berteriak memanggil
Melempar kerikil
“Hoooi”
Suaranya menggema menyentuh batu
Menyapa daun
Menabrak sepi memantul kembali
Sementara di seberang perempuan mencuci
Meremas baju
Menumbukkan getir pada batu kali

Dilaluinya hari dengan laku yang sama
Bukankah hidup mengulang yang pernah ada
Dengan kemasan yang berbeda

Jogja 2007


Sungai

Sungai
            dangkal
                        mengering
tanah rekah
            ilalang menguning
telah sekian masa perahu ditambatkan
dayung menganggur
lumut garing
            bau laut
menyengat
rindu sapa
gerak bakau dan kelapa
“aku datang dari ruang silam
dari sakit yang terpelihara bertahun lamanya
sekarang kutenggok, sungaiku
aku tak menemukanmu!”
menjelajah
            rekahan tanah
rumah siput
kerang
jala
senar
umbria
semilir angin masih menyapa
telanjang kaki aku menutup janji
“aku mengaliri sungai dengan darahku
biarkan menggenang dan memberi hidup padamu.”

Bocah-bocah berlarian
menjejak kaki di dasar kali

Jogja 2006


Nipah

Lihatlah, laut mengepung kita
Kau hitung gelombang meriam yang ditembakkan?
Berapa debur raung pesawat tempur yang memutari kita?
Meski begitu
            Detik maju
            Ombak menyapa
Bukankah kau nahkoda?
Tapi engkau tersenyum merapatkan kedua telapak tangan
Di dada menunduk sambil berkata, “Aku seorang pelayan”
Gendering telah ditabuh
Pasir dijual
            Karang didatangkan
Tertulis prasasti keberagaman
Tenda, kursi dan tugu batu
Serta kumandang lagu kebangsaan
Sirene mengaung, bendera berkibar
Cemara dan ketapang menjadi saksi
Dua tangan mengucap janji
“Nipah, aku catatkan ikrarku di bumimu
dengan kata setia!”

KRI Tanjung Nusa Nive , mei 2006


Tentang Pohon dan Merpati

Anak-anak melepas tujuh merpati putih
Di tengah hari
Di rimbun dedaun
Angin mengantarkan pesan
Agar disampaikan kepada tahta semesta
Sayapnya membawa luka
Cengkeram kaki dibungkus kafan
Tatapan matanya menembus cakrawala
Bersama desah daun jati
Bumi yang tergali membuka diri
“Tancapkan akarmu, agar siap kubuahi”
Bisik bumi pada mahoni
Dan cerita tentang merpati siang itu
Disambut hujan dan nyanyian batu-batu
“Dengarkan khotbahku!”
Dihentak hujan
Digoyang pepohonan
“Dengarkan khotbahku!”
Lewat getar bumi
Dan desis ular di batu kali
“Dengarkan khotbahku!”

Lalu semuanya diam
Hanya terdengar petikan tangan
Burung yang terbang
Pohon yang telah tertanam
Menyiapkan diri menjadi saksi
Dari peradaban yang tercerabut dari akar

Imogiri 1 muharam 2007


Satu Pekan Sebelum Kematian
: Mansour Fakih

tanda kematian tidak tampak di wajahmu
sorot matamu memang redup
tapi dengan lembut menjelang malam
engkau bicara tentang perkosaan hak dan ketidakadilan
suaramu menggugah bunga-bunga untuk
terus mekar sepanjang malam
mendengar ceramah tentang hidup dan kehidupan
lalu satu pekan kematian menjemputmu
kata-katamu masih terngiang di telinga
apa yang dimiliki manusia?
Apa yang diinginkan Tuhan dengan mencipta
manusia dan alam semesta?
Benarkah kita hidup untuk diperbudak lainnya?
Atas nama bangsa dan lembaga?
Ekonomi dan persahabatan dunia?
“Dengarkan kata-kataku!”
Dan aku menunggu batu tumbuh tersiram suaramu
membidik arah angin untuk membaca
ke mana hidup menuju
aku menjadi kerikil, batu dan air
tapi suaramu abadi di telingaku
berdengung sepanjang waktu
“Kita perangi globalisasi!”
tanda-tanda kematian memang tidak tampak
ketika aku bertemu denganmu
tetapi akupun tidak melihat kematian kata-katamu.

Jogja 2004


Melihat Jogja

Melihat Jogja dengan gelisahku
aku menemukan cahaya akan cinta
setiap orang mencari makna
ada yang terhempas
dan terlupa
kembali menemukan diri
berlari

Jogja adalah rindu
kasih yang tertabur
lewat angin
daun-daun kering
serta bisu mencari hening

2000


Catatan Seorang Ibu

Melintasi laut berjalan menyusuri sungai-sungai
kepedihan
Melewati bocah-bocah yang terkapar karena lapar
Ibu-ibu yang cemas di tenda pengungsian
Dan mayat para lelaki digotong satu persatu
Diiringi tangis dan jeritanku

Karena aku adalah istri dari lelaki yang terbunuh
Karena aku adalah ibu dari anak-anak yang bapaknya
terbunuh

Dengan darahku
Kubasuh tubuh anak-anakku yang terluka
Kulumuri mereka dengan nafasku
Agar senantiasa hidup
Di tengah kekacauan, ancaman dan penderitaan
Kutemukan anak-anakku tertidur di atas tungku
yang membara
Entah kapan aku bisa menyiramnya
Agar sesuatu yang lebih berarti ada
Bagiku dan untuk anak-anakku yang terluka

Jogja 2000


Oleh Laut

oleh laut
aku tenggelam dalam debur ombak
oleh laut
aku terseret pusaran batin
yang melemparkan aku pada sudut dunia
            : akan cinta
masih kurasakan laparnya udara
mengalir dari sumsum tulang dada
berhenti pada kata semesta

oleh laut
aku menepi di ujung batas fatamorgana

jogja 93


Menunggu Batu Tumbuh

menanam batu
di tanah batu
menjadi bukit batu
gunung batu
daun batu
menarik angin
menyentuh batu
menunggu batu tumbuh

Jogja 2000


Lelaki 4

Meski aku bukan perempuan yang terjelma
Dari tulang rusukmu, lelakiku
Aku memang untukmu
Di bawah khuldi kita ikrarkan bersama
Hingga surga membuang kita

Tak ada airmata
Tak ada duka
Seharusnya

Tapi benih yang tertanam di bumi tidak bersemi
Hanya menancapkan akar semakin dalam
Tuhan tidak menciptakan dua perempuan dari rusuk
Adam, katamu
Maka sia-sia jika engkau ingin kembali ke asal manusia
Di sana tidak ada cinta
Bukankah Tuhan tidak membuat pilihan untuk
Adam, begitupun Hawa
Mereka menjalani apa yang sudah diberi

Meski aku bukan perempuan yang terjelma
Dari tulang rusukmu, lelakiku
Tetapi ruhmu yang tertiup di jasadku

Jogja 2005

Tentang Evi Idawati
Evi Idawati lahir di Demak 7 Desember 1973. Sempat kuliah di jurusan teater Institut Seni Indonesia Yogyakara dan jurusan Pendidikan dan Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan. Selain menulis puisi dan cerpen, juga aktif berteater, aktris sinetron dan penulis skenario. Karya-karyanya tersebar al di Kompas, Horison, Republika, Kddaulatan Rakyat, Bernas, Suara Pembaharuan, Jurnal Puisi, Suara Karya, dll. Tersebar juga di banyak antologi bersama. Kumpulan puisi tunggalnya: Pengantin Sepi (2002), Namaku Sunyi (2005). Imaji dari Batas Negeri (2008) adalah antologi puisi ketiga.  

Catatan Lain
Nama penyair ini sudah saya dengar dan berkibar saat saya masih mahasiswa di Jogja (1998-2003). Namun baru setelah saya pulang kampung, saya dapatkan bukunya. Namun kalau tokh menemukan juga saat mahasiswa dulu, tetap saja tak bakalan punya duit buat beli bukunya. Hehe. Di daftar isi, tercatat ada 73 puisi. Namun jika ditelusuri ada puisi yang sama di halaman 39 dan 94. Judulnya juga sama: Sungai. Jadi, kayaknya puisi di buku ini cuma 72 buah judul.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar