Data buku kumpulan puisi
Judul: Catatan Angin
Penulis: Subagio BM
Penerbit: bukupop,
Jakarta.
Cetakan : I, Januari 2005
Tebal : vi + 48 halaman (35 puisi)
ISBN : 979-99943-2-2
Perwajahan : Radite C. Baskoro
Rancangan sampul : Nanok K.
Gambar sampul : Yonas Sestakresna
Beberapa pilihan puisi Subagio BM dalam Catatan Angin
Berangkat Menuju Duka
-buat: tan lioe ie-
berangkat menuju duka, katamu.
sebait sajak ditulis di atas kertas
terbayang wajah kanak-kanak luruh
diterpa hujan di bawah pohon kenari
anak-anak jadi lukisan semesta
sendiri menatap isyarat duka cuaca
dan padi di sawah hampir menguning
seluruh pandangan luruh jadi jarak
tiap detik jam seperti kencang berlari
deru jalan kota tak lagi terbaca
sedang isyaratmu seperti suara luka
berjalan sepanjang kota menebar cahaya
dan jarak terbentang
berangkat menuju duka, katamu.
seperti denyut malam menggiring cahaya
lambat-lambat kau tangkap kenangan
sepanjang malam
Rahasiaku
rahasiaku di menara tinggi
dijaga burung-burung nasar
dibawa pasukan zirah berkuda
menuju badai gurun pasir
di lorong-lorong pengap
sarang penyihir bermata elang
mengaduk ramuan mantra
di periuk besi berkarat
menulis huruf pembuka gerbang
negeri berantah
rahasiaku di lembah-lembah mati
dijaga roh-roh gentayangan
penjaga mata air abadi
di taman penuh perdu penawar
peta jalan setapak
menuju goa-goa kecil
tempat pertemuan
malaikat pembuka gerbang
menyimpan buku daftar nama
kunci waktu pembuka gerbang
negeri berantah
rahasiaku di laut-laut mati
dijaga batu pirus mata cahaya
dibawa pelaut perkasa
menuju rahang hiu pemangsa
berputar-putar mengintai
perompak mabuk arak
di geladak kapal
terjun melambai tangan
pada maut menulis ajal
penjaga gerbang
menuju berantah
Mengenang Sanggar Minum Kopi
tak ada yang tersisa
di cangkir
tak ada yang berkata
menulis keinginan
duduk di sudut
menuang kabar
menawar dingin malam
kenangan terbungkus rapi
di kertas rencana
menyimpan tatap luruh
terbang di dinding lukisan
tak ada yang percaya
jejak-jejak nancap dalam
tak seorang mengingat
suara parau burung hantu
pekik kelelawar
di dahan pohon mangga
dekat kolam kecil
tumbuh jadi batu
tinggal di sela ilalang
Intermezo
kupikir darahku adalah kenyataan
angin mati, matahari, kerinduan
cinta
ada di dagingku
untuk menelannya
kuraba jiwaku
masih utuh seperti masa lalu
lalu untuk hati padam
kutatap genangan airmata
aku terpaku
kupikir kenyataan adalah darahku
mengalir untuk jiwaku
matahari merah adalah milikku
Pasar Kumbasari, Denpasar
seperti semalam kami berjalan
pasar kumbasari dalam jam-jam hening
sampai tinggal kenangan di pojok pasar
beberapa perempuan mengayuh malam
teringat jalan kecil di lorong-lorong kota
kami berjalan terayun masa kanak-kanak
dengan dentang lonceng pikiran
seperti aliran sungai di depan kami
mengalir deras
mengalirkan berbait-bait kenangan
apa yang terbayang malam ini?
berjuta kunang liar masuk dalam hening
dalam lampu-lampu jalan menyentuh
paruh malam tak terbaca
jalan panjang menuju percakapan udara
kami berjalan menelusuri kota
kota yang bergelora sepanjang malam
ini tempat kami letakkan gelisah
seperti aliran sungai biarkan mengalir
sampai ke laut
Senandung Air Mata
malam pun larut
kau dan aku menangis
paras menjadi bayang-bayang
menembus batas matahari
biarkan langit mengutuk
kerinduan jadi batu
kesunyian air mata
takdir tak terpahami
senandungku
tetesan dari darah
atau
biru daging
tertisik ombak
Sungguhkah, Kau Tak Mungkin Menyalakan Api
kau menyalakan api
mengambil air
kenapa gelap di sini?
kau mondar-mandir
mendekat pada api
menuliskan sesuatu
bayang-bayangmu
mengganggu
aku sedang menulis
sesuatu.
dia membuka pintu kamar
perempuan mengambil air
tentu bijaksana menuliskannya
sebab kita ingat urutannya
dia mengusirmu
mengibaskan
tangannya
perempuan masuk ke bilik kamar
dia berjalan mondar-mandir berpikir
sesuatu
dia tetap berdiri di depan api
dan menambahkan kayu sesekali
dia datang dari kejauhan
perempuan
tidur dan
mengigau!
Jadi: Penyair Harus Gila
Jadi: mana batas batere di otak?
Jam denyut jam mati nanti kubur
Tukang es krim kabar di sumsum
Jadi: mana batu komputer di selokan?
Jam kaca di reaktor nuklir biasa mati
Meletus denyut jam mati nanti ke sorga
Jadi: mana mata patah anak panah?
Jam bayang di hutan bimbang tinggal
Pemburu gila kejar bayang rusa mati
Jadi: panas di pantai berjemur berjam?
Jam kota pakai aki di tengah taman
Turis oblong teriak panggil pijat
Jadi: ke mana bikin puisi abadi
Jadi: penyair harus gila
Catatan Angin
semayam dalam daging
duka abadi menyusup dari gigil semesta
cakrawala terbentang sendiri
sepi menatap rembulan di ujung remang
kembara jiwa
tinggal dalam sangkar cahaya
menarilah di udara
cemas sampai suara
sepi dalam gerimis
udara makin lingkat
dentang lonceng kota
bersuara lirih
di seluruh penjuru diri
jalanan setapak
setia di remang cahaya
setapak lebih berarti
cuaca dinihari
bait-bait sajak
beri arti dingin udara
bermain sendiri
dekapkan muka
Bibir-Bibir Senyap Biar Dukaku Terbang
Malam gila:
Aku percaya benih sepi pijak jalan hening menuju
malam
Dinding
retak tak terjaga bulan purnama
Jalan
berlumut terjal hitungan usia
Kabel-kabel melintang di sepanjang jalur kota
Detak jam waktu terjaga sepanjang musim
Detak jam waktu terjaga sepanjang musim
Meteor melesat menubruk bumi
Di samudera penuh bangkai kapal-kapal perang
Subuh terbuka:
Kubenamkan leherku di jenjang
Permukaan
telaga
Bayangmu terpantul berpendaran di sela-sela
daun
Betapa takjub langit warna-warni
Jiwa
bergegas ke mana
Melintas di
kertas terbakar menuju tangga langit
Saat Kau Tertidur
dan kutahu suatu pagi
daun-daun di halaman gugur
di mana kukenali rasa takjubku
dalam
sujudku
tak
bawa aku ke mana
dan kutahu betapa lambat
rasa yang tertikam
sebait kata
aku kehilangan jejak bayang
mengikuti
malam resah
bahasa
gaib tercipta
percik
rasa luruh
aku menulisnya diam-diam
udara dingin kedap
menyusup rongga dada
beri aku
isyarat
memercikkan bara api
saat kau tertidur
meski
tak harus
kau mengerti
saat kurahasiakan
catatan
dukaku
separuh diri lebur
deru mesin mendesing
masuki lorong kuping
sirene kapal perang
tenggelam di lautan lepas
dan kutahu aku tak ingin
sendiri menelusuri misteri
kota di
depan kaca
yang
kubangun
tak ada jalan pulang
mimpi terbayang
tanpa
kehendak
di batu-batu terbelah
baris-baris
sajak
bentuk lingkaran mencekam
mata
jerat pena
melipat
langit
menulis kutukan bintang
Kromosom Terakhir
seorang algojo
menyingkap tirai kematian
mengenakan topeng kayu hitam
pada tiang terakhir
tiang pancung
mengurai tali temali jerat
dari negeri mimpi buruk
lewat lorong gelap
jendela kamar
radio tabung meledak
jam-jam berdetak
bercakap pada lukisan
potret masa kanakmu
yang terbakar semalam
penuh cahaya warna
perjalanan kelahiran
bayang kelam
menyusup diam
lewat bibir seribu candi
telah digenapkan
seribu malam
sampai di perbatasan
seorang algojo
telah membakar tiang pancung
berteriak dalam deru laut
debur ombak
melepas rakit bambu
di pantai terakhir
membakar diri
berlayarlah tulang dalam badai
bergelora tiap musim
hari-hari panjang
mengembalikan akar
perih ngilu dukaku
jadi kelopak mawar
di kuncup pertama
di taman jauh
yang terkunci berabad
tanah pengasingan
seorang malaikat
sayup-sayup meniup seruling
membunyikan sirine
memecah kabel sunyi
menerawang pikiran
menuju belantara sukmaku
mengingat deretan angka
di jaring telepon
yang menyusuri
segala kelam jalan bumi
pada bulan
menyembunyikan rahasia
aku tak sampai
aku kehilangan
batu-batu ngilu
dalam lembut rusuk
mengubur tulang
kromosom terakhir
jadi jalan raya
jalan pintas lubang cacing
tanpa petunjuk arah
menuju tanah bayang
terteutup kabut masa silam
catatan kenangan
menyerupai rumus fisika
pikiran irasional
tak terjamah
bintang menebar cahaya
langitku terbentang
entah kelahiranku
mata mendusa terbuka
mengubah segala langit
jadi butiran beku
dataran keras
hujan asam
di batu-batu karang
menjelmakan kota-kota
patung peradaban
dalam diri
malam-malamku jadi
aku menduga bayang-bayang
di pekik srigala
dalam tidur
sirkuit hardware terbakar
membentuk garis samar
menjelajah jarak planet
berjuta cahaya
dari pesawat asing
di jagat semesta
menembus batas tak terbayang
asal diri sel terasing
aku senantiasa gelisah
kukabarkan duka lewat satelit
lintasan kata sandi
menjulur ke galaksi
yang menuntunku pergi
berjarak rindu
bagai ular berbisa
menyeruak di semak-semak
terusik suara speaker pecah
kembali ke sarang
Percintaan Kita Muskil, Kita Lebih Dungu
Percintaan kita muskil, kita lebih dungu
Lebih monyet berloncatan dahan ke dahan
Berebut buah ranum bertahan pada
cuaca
Di hutan-hutan pala
Hyena berkeliaran di jalan setapak
Menghindar jerat tali temali
perangkap
Perburuan masa silam penuh
isyarat rahasia
Srigala-srigala tua melolong
bosan
Tak menemu kerudung merah
Tak temukan bulan
purnama
Waktu pengasingan tiba
Berabad kita sekarat nyalakan
lentera
Terbang menuju cahaya dan takdir
samar-samar
Dalam denyut usia perjalanan
Terus-menerus menggiring
musim hilang
Waktu beri
jarak
Para pertapa jadi sederhana membasuh muka
Berjalan menembus lingkaran batas
peristiwa
Temukan hening di
telaga dalam
Wajah-wajah memantul
Bergerak berputar-putar tenggelam
di mata air sunyi
Dalam denyut usia waktu
beri jarak
Kita pengembara waktu yang percaya
Cinta kita abadi tak lebur api
kekal
Bahkan kita jadi abu
Berevolusi dari sel-sel
pesakitan
Kita terpenjara di ruang
bawah tanah
Berabad terkubur dalam peti
mati di kastil tua
Meraung
di ruang gelap
Membongkar negeri bawah air
Sebelum
kita berevolusi
Jadi
batu-batu pertama
Kita sedang tersesat di jala-jala jalur pikiran
Jalan lurus berjuta tahun rentangan
cahaya panjang
Mimpi buruk waktu terjaga antarplanet antargalaksi
Terseret lubang hitam
semesta tak teraba
Suatu pagi ditemukan fosil tubuh kita berpelukan
Di batu-batu karang terakhir
penuh catatan duka
Pulau terapung tanah
habis ledakan
Roh-roh mengigau menyusuri pantai terakhir
Penuh kristal udara radiasi
limbah nuklir
Di udara burung-burung mengenakan masker
Sayap-sayap besi separuh tubuh chip lunak penuh data
Tak bebas
terbang di langit terbuka
Tanah pijakan berwarna nyala jadi asing di bumi sendiri
Abad milenium peradaban misteri
Makhluk aneh tiba dalam pesawat
misterius
Lalu kita asing pada bumi pertama setelah ledakan
Di mana jejak-jejak kaki tak luka di batu-batu
Di
pasir-pasir berkilauan
Terpasung
tepi laut mengubur ombak
pantai
padang tandus ilalang
gemetar tersisa mencatat
rahasia
gelisah kutikam dari
sisi si mati
paras topeng pengelana
terpasung di hening
tubuh
Tentang
Subagio BM
Subagio BM lahir di Denpasar, 31 Juli 1974. Belajar menulis puisi pada
penyair Tan Lioe Ie sejak 1994 ketika aktif di Sanggar Minum Kopi Bali. Selain
menulis puisi, juga melukis. Beberapa puisinya dimuat di harian Bali Post dan antologi Bonsai’s Morning (1996).
Catatan
Lain
Di bagian akhir dari biodata penyair ada ditulis begini: “Di kalangan
kawan-kawannya ia dikenal sebagai orang yang nyentrik sekaligus menyebalkan
karena suka membangunkan dan ‘mengganggu’ kawan-kawannya menjelang dini hari
karena insomnianya yang lumayan parah, tapi pada lain waktu tanpa ragu ia
membantu kawan yang kesusahan dengan cara-cara yang seringkali tak terduga.
Penerbitan Catatan Angin ini
dipersembahkan penerbit Wedatama Widya Sastra kepada pengarangnya yang kini
menghilang entah ke mana dan tak seorang pun kawan tahu keberadaannya.” Begitu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar