Jumat, 02 Oktober 2015

Subagio BM: CATATAN ANGIN




Data buku kumpulan puisi

Judul: Catatan Angin
Penulis: Subagio BM
 Penerbit: bukupop, Jakarta.
Cetakan : I, Januari 2005
Tebal : vi + 48 halaman (35 puisi)
ISBN : 979-99943-2-2
Perwajahan : Radite C. Baskoro
Rancangan sampul : Nanok K.
Gambar sampul : Yonas Sestakresna

Beberapa pilihan puisi Subagio BM dalam Catatan Angin

Berangkat Menuju Duka
-buat: tan lioe ie-

berangkat menuju duka, katamu.
sebait sajak ditulis di atas kertas
terbayang wajah kanak-kanak luruh
diterpa hujan di bawah pohon kenari

anak-anak jadi lukisan semesta
sendiri menatap isyarat duka cuaca
dan padi di sawah hampir menguning

seluruh pandangan luruh jadi jarak
tiap detik jam seperti kencang berlari

deru jalan kota tak lagi terbaca
sedang isyaratmu seperti suara luka
berjalan sepanjang kota menebar cahaya

dan jarak terbentang

berangkat menuju duka, katamu.
seperti denyut malam menggiring cahaya
lambat-lambat kau tangkap kenangan
sepanjang malam



Rahasiaku

rahasiaku di menara tinggi
dijaga burung-burung nasar
dibawa pasukan zirah berkuda
menuju badai gurun pasir
di lorong-lorong pengap
sarang penyihir bermata elang
mengaduk ramuan mantra
di periuk besi berkarat
menulis huruf pembuka gerbang
negeri berantah

rahasiaku di lembah-lembah mati
dijaga roh-roh gentayangan
penjaga mata air abadi
di taman penuh perdu penawar
peta jalan setapak
menuju goa-goa kecil
tempat pertemuan
malaikat pembuka gerbang
menyimpan buku daftar nama
kunci waktu pembuka gerbang
negeri berantah

rahasiaku di laut-laut mati
dijaga batu pirus mata cahaya
dibawa pelaut perkasa
menuju rahang hiu pemangsa
berputar-putar mengintai
perompak mabuk arak
di geladak kapal
terjun melambai tangan
pada maut menulis ajal
penjaga gerbang
menuju berantah


Mengenang Sanggar Minum Kopi

tak ada yang tersisa
di cangkir
tak ada yang berkata
menulis keinginan
duduk di sudut
menuang kabar
menawar dingin malam

kenangan terbungkus rapi
di kertas rencana
menyimpan tatap luruh
terbang di dinding lukisan

tak ada yang percaya
jejak-jejak nancap dalam
tak seorang mengingat
suara parau burung hantu
pekik kelelawar
di dahan pohon mangga
dekat kolam kecil
tumbuh jadi batu
tinggal di sela ilalang


Intermezo

kupikir darahku adalah kenyataan
angin mati, matahari, kerinduan
cinta
ada di dagingku

untuk menelannya
kuraba jiwaku
masih utuh seperti masa lalu

lalu untuk hati padam
kutatap genangan airmata
aku terpaku

kupikir kenyataan adalah darahku
mengalir untuk jiwaku
matahari merah adalah milikku


Pasar Kumbasari, Denpasar

seperti semalam kami berjalan
pasar kumbasari dalam jam-jam hening
sampai tinggal kenangan di pojok pasar
beberapa perempuan mengayuh malam
teringat jalan kecil di lorong-lorong kota
kami berjalan terayun masa kanak-kanak
dengan dentang lonceng pikiran
seperti aliran sungai di depan kami
mengalir deras
mengalirkan berbait-bait kenangan
apa yang terbayang malam ini?
berjuta kunang liar masuk dalam hening
dalam lampu-lampu jalan menyentuh
paruh malam tak terbaca
jalan panjang menuju percakapan udara
kami berjalan menelusuri kota
kota yang bergelora sepanjang malam
ini tempat kami letakkan gelisah
seperti aliran sungai biarkan mengalir
sampai ke laut


Senandung Air Mata

malam pun larut
kau dan aku menangis
paras menjadi bayang-bayang
menembus batas matahari

biarkan langit mengutuk
kerinduan jadi batu
kesunyian air mata
takdir tak terpahami

senandungku
tetesan dari darah
atau
biru daging
tertisik ombak


Sungguhkah, Kau Tak Mungkin Menyalakan Api

kau menyalakan api
mengambil air
kenapa gelap di sini?

kau mondar-mandir
mendekat pada api
menuliskan sesuatu

bayang-bayangmu
mengganggu
aku sedang menulis
sesuatu.

dia membuka pintu kamar
perempuan mengambil air

tentu bijaksana menuliskannya
sebab kita ingat urutannya

dia mengusirmu
            mengibaskan
            tangannya
perempuan masuk ke bilik kamar

dia berjalan mondar-mandir berpikir
                                                sesuatu
dia tetap berdiri di depan api
dan menambahkan kayu sesekali
dia datang dari kejauhan
                                    perempuan tidur dan
                                                mengigau!


Jadi: Penyair Harus Gila

Jadi: mana batas batere di otak?
Jam denyut jam mati nanti kubur
Tukang es krim kabar di sumsum

Jadi: mana batu komputer di selokan?
Jam kaca di reaktor nuklir biasa mati
Meletus denyut jam mati nanti ke sorga

Jadi: mana mata patah anak panah?
Jam bayang di hutan bimbang tinggal
Pemburu gila kejar bayang rusa mati

Jadi: panas di pantai berjemur berjam?
Jam kota pakai aki di tengah taman
Turis oblong teriak panggil pijat

Jadi: ke mana bikin puisi abadi
Jadi: penyair harus gila


Catatan Angin

semayam dalam daging
duka abadi menyusup dari gigil semesta
cakrawala terbentang sendiri
sepi menatap rembulan di ujung remang

kembara jiwa
tinggal dalam sangkar cahaya
menarilah di udara
cemas sampai suara
sepi dalam gerimis

udara makin lingkat
dentang lonceng kota
bersuara lirih
di seluruh penjuru diri

jalanan setapak
setia di remang cahaya
setapak lebih berarti

cuaca dinihari
bait-bait sajak
beri arti dingin udara
bermain sendiri
dekapkan muka


Bibir-Bibir Senyap Biar Dukaku Terbang

Malam gila:
Aku percaya benih sepi pijak jalan hening menuju
                                                                   malam
            Dinding retak tak terjaga bulan purnama
                        Jalan berlumut terjal hitungan usia
         Kabel-kabel melintang di sepanjang jalur kota
             Detak jam waktu terjaga sepanjang musim
                            Meteor melesat menubruk bumi
     Di samudera penuh bangkai kapal-kapal perang

Subuh terbuka:
        Kubenamkan leherku di jenjang
                                    Permukaan telaga
   Bayangmu terpantul berpendaran di sela-sela daun
Betapa takjub langit warna-warni
            Jiwa bergegas ke mana
        Melintas di kertas terbakar menuju tangga langit


Saat Kau Tertidur

dan kutahu suatu pagi
daun-daun di halaman gugur
di mana kukenali rasa takjubku
                                    dalam sujudku
                        tak bawa aku ke mana

dan kutahu betapa lambat
                             rasa yang tertikam
                             sebait kata

aku kehilangan jejak bayang
            mengikuti malam resah
                        bahasa gaib tercipta
                                    percik rasa luruh

aku menulisnya diam-diam
udara dingin kedap
menyusup rongga dada
            beri aku isyarat
memercikkan bara api
saat kau tertidur
            meski tak harus
kau mengerti
            saat kurahasiakan
            catatan dukaku
separuh diri lebur
deru mesin mendesing
masuki lorong kuping
sirene kapal perang
tenggelam di lautan lepas

dan kutahu aku tak ingin
sendiri menelusuri misteri
            kota di depan kaca
            yang kubangun
tak  ada jalan pulang
mimpi terbayang
            tanpa kehendak
di batu-batu terbelah
            baris-baris sajak
bentuk lingkaran mencekam
            mata jerat pena
            melipat langit
menulis kutukan bintang


Kromosom Terakhir

seorang algojo
menyingkap tirai kematian
mengenakan topeng kayu hitam
pada tiang terakhir
tiang pancung

mengurai tali temali jerat
dari negeri mimpi buruk
lewat lorong gelap
jendela kamar

radio tabung meledak
jam-jam berdetak
bercakap pada lukisan
potret masa kanakmu
yang terbakar semalam
penuh cahaya warna
perjalanan kelahiran

bayang kelam
menyusup diam
lewat bibir seribu candi
telah digenapkan
seribu malam
sampai di perbatasan

seorang algojo
telah membakar tiang pancung
berteriak dalam deru laut
debur ombak
melepas rakit bambu
di pantai terakhir
membakar diri

berlayarlah tulang dalam badai
bergelora tiap musim
hari-hari panjang
mengembalikan akar
perih ngilu dukaku
jadi kelopak mawar
di kuncup pertama
di taman jauh
yang terkunci berabad
tanah pengasingan

seorang malaikat
sayup-sayup meniup seruling
membunyikan sirine
memecah kabel sunyi

menerawang pikiran
menuju belantara sukmaku
mengingat deretan angka
di jaring telepon
yang menyusuri
segala kelam jalan bumi
pada bulan
menyembunyikan rahasia

aku tak sampai
aku kehilangan
batu-batu ngilu
dalam lembut rusuk
mengubur tulang
kromosom terakhir
jadi jalan raya
jalan pintas lubang cacing
tanpa petunjuk arah
menuju tanah bayang
terteutup kabut masa silam
catatan kenangan
menyerupai rumus fisika
pikiran irasional
tak terjamah

bintang menebar cahaya
langitku terbentang
entah kelahiranku

mata mendusa terbuka
mengubah segala langit
jadi butiran beku
dataran keras
hujan asam
di batu-batu karang
menjelmakan kota-kota
patung peradaban
dalam diri

malam-malamku jadi
aku menduga bayang-bayang
di pekik srigala
dalam tidur
sirkuit hardware terbakar
membentuk garis samar
menjelajah jarak planet
berjuta cahaya
dari pesawat asing
di jagat semesta
menembus batas tak terbayang
asal diri sel terasing

aku senantiasa gelisah
kukabarkan duka lewat satelit
lintasan kata sandi
menjulur ke galaksi
yang menuntunku pergi
berjarak rindu
bagai ular berbisa
menyeruak di semak-semak
terusik suara speaker pecah
kembali ke sarang


Percintaan Kita Muskil, Kita Lebih Dungu

Percintaan kita muskil, kita lebih dungu
   Lebih monyet berloncatan dahan ke dahan
      Berebut buah ranum bertahan pada cuaca
         Di hutan-hutan pala
Hyena berkeliaran di jalan setapak
   Menghindar jerat tali temali perangkap
      Perburuan masa silam penuh isyarat rahasia
         Srigala-srigala tua melolong bosan
            Tak menemu kerudung merah
               Tak temukan bulan purnama

Waktu pengasingan tiba
   Berabad kita sekarat nyalakan lentera
      Terbang menuju cahaya dan takdir samar-samar
         Dalam denyut usia perjalanan
            Terus-menerus menggiring musim hilang
                           Waktu beri jarak

Para pertapa jadi sederhana membasuh muka
   Berjalan menembus lingkaran batas peristiwa
                     Temukan hening di telaga dalam
Wajah-wajah memantul
   Bergerak berputar-putar tenggelam di mata air sunyi
            Dalam denyut usia waktu beri jarak

Kita pengembara waktu yang percaya
   Cinta kita abadi tak lebur api kekal
      Bahkan kita jadi abu
               Berevolusi dari sel-sel pesakitan
            Kita terpenjara di ruang bawah tanah
         Berabad terkubur dalam peti mati di kastil tua
                              Meraung di ruang gelap
                              Membongkar negeri bawah air
                              Sebelum kita berevolusi
                              Jadi batu-batu pertama
Kita sedang tersesat di jala-jala jalur pikiran
   Jalan lurus berjuta tahun rentangan cahaya panjang
Mimpi buruk waktu terjaga antarplanet antargalaksi
               Terseret lubang hitam semesta tak teraba
Suatu pagi ditemukan fosil tubuh kita berpelukan
      Di batu-batu karang terakhir penuh catatan duka
               Pulau terapung tanah habis ledakan
Roh-roh mengigau menyusuri pantai terakhir
         Penuh kristal udara radiasi limbah nuklir
Di udara burung-burung mengenakan masker
Sayap-sayap besi separuh tubuh chip lunak penuh data
                        Tak bebas terbang di langit terbuka
Tanah pijakan berwarna nyala jadi asing di bumi sendiri

Abad milenium peradaban misteri
      Makhluk aneh tiba dalam pesawat misterius
Lalu kita asing pada bumi pertama setelah ledakan
Di mana jejak-jejak kaki tak luka di batu-batu
                           Di pasir-pasir berkilauan


Terpasung

tepi laut mengubur ombak pantai
padang tandus ilalang
gemetar tersisa mencatat rahasia

gelisah kutikam dari sisi si mati
paras topeng pengelana
terpasung di hening tubuh


Tentang Subagio BM
Subagio BM lahir di Denpasar, 31 Juli 1974. Belajar menulis puisi pada penyair Tan Lioe Ie sejak 1994 ketika aktif di Sanggar Minum Kopi Bali. Selain menulis puisi, juga melukis. Beberapa puisinya dimuat di harian Bali Post dan antologi Bonsai’s Morning (1996).


Catatan Lain
Di bagian akhir dari biodata penyair ada ditulis begini: “Di kalangan kawan-kawannya ia dikenal sebagai orang yang nyentrik sekaligus menyebalkan karena suka membangunkan dan ‘mengganggu’ kawan-kawannya menjelang dini hari karena insomnianya yang lumayan parah, tapi pada lain waktu tanpa ragu ia membantu kawan yang kesusahan dengan cara-cara yang seringkali tak terduga. Penerbitan Catatan Angin ini dipersembahkan penerbit Wedatama Widya Sastra kepada pengarangnya yang kini menghilang entah ke mana dan tak seorang pun kawan tahu keberadaannya.” Begitu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar