Data buku kumpulan puisi
Judul
: Menggambar Angin
Penulis : Hari Leo
AER
Cetakan
: II, 2011 (cet. I. 2010)
Penerbit
: Gress Publishing, Yogyakarta.
Tebal
: x + 80 halaman (70 puisi)
ISBN
: 978-602-96829-4-6
Pracetak
: Anes P.S, Siswanto
Desain
sampul : S. Arimba, Sukandar
Pengantar
: Suminto A. Sayuti
Beberapa pilihan puisi Hari Leo AER
dalam Menggambar Angin
: Kenduri Minta Hujan
Swara Cipta
Rasa Urip
Allah…
Aku batu
diam di tanah
kering
jiwa hening
pintu hati terbuka
angin barat angin
timur
angin utara angin
selatan
menyatulah dalam
satu lingkaran nafas
jadilah mendung di
atasku
Swara Cipta
Rasa Urip
Allah…
Aku batu
diam di tanah
kering
mengetuk bumi bisu
menyapa api padam
lahir gemuruh di
setiap jengkal tanah
orang orang menangis
cemas
wajahnya tergambar
di buku langit
airmata meleleh
jadilah mendung di
atasku
Swara Cipta
Rasa Urip
Allah…
Angin bergeraklah
bersama reranting dan pohon pohon
menuju satu arah
di mana mendung menghitung waktu
jadilah hujan di
sekitarku
Aku batu diam di
tanah kering
jiwa hening
mengalir dalam musim…
Yogya, 2003
: Perjalanan Diam
Berjalan jauh
menuju rumah luas maha dalam
sungai dan gunung
bertapa dalam diri
sembilan lubang
terjaga
jiwa hening arungi
semesta
aku menghadap Mu
Perjalanan diam
laparku lapar
dahagaku dahaga
lebur jadi satu
di muara kasih Mu
yang dingin dan
tenang
1994
Gerbong 2 Lodaya
di atas gerbong
kucium kamu
ada keayuan abadi
dalam tangismu
meleleh bersama
airmata
Yogya, 2009
Menggambar Angin
: Kugambar angin di punggung mu
yang luka karena musim
hingga jauh malam
Bulan jatuh di pohon mangga
ada cinta di kasur tua
kenapa kau enggan
memungutnya?
2008
Jakarta-Jakarta
Anakku Jakarta
bagi Deo Meidian
Jangan pandang aku
lama-lama Anakku
sorot matamu tajam
bagai mata
pedang
Jangan tikam aku
wahai
mari kita buka
malam dengan dongeng
biar mama siapkan
susu
dan benahi kelambu
Jangan dekap aku
lama-lama Anakku
Tanganmu keras
bagai tembok kota
Tidurlah dalam
gemuruh mesin
simpan amarah
simpan amarah
Detak jantung ini
sebagai isyarat
cinta kasih yang
amat dalam
Jogja, 1995
: Pintu Mati
Suwarna
Pragolapati
Ia ingin pulang
tapi ia sendiri
lupa di mana pernah tinggal
jalan jalan yang
pernah dilewati
tidak lagi
janjikan kapan bakal sampai dan kembali
yang ia ingat
hanyalah sungai kecil dengan air bening
membelah jalan
menuju pintu mati
itu saja belum
cukup bagi dirinya untuk arah pedoman
ia mati dalam
kehidupan
tapi ia tetap
hidup dalam kematian
Batu batu adalah
singgasana keramat
dinding dinding
adalah batas pandang
ia tinggalkan
rumah menuju taman bunga
sebelum ia sampai
pada tempat yang dikehendaki
Ia ingin pulang
tetapi ia merasa
bodoh dalam pijakan
tidak ada lagi
matahari yang memancarkan cahaya jingga
bagi hidup dan
alam keterasingan
lalu iapun pilih
diam
menimbang ada
dalam ketiadaan
Ia ingin pulang
entah sampai
kapan?
1994
: Nyanyian Cinta
Kamulah kupu kupu
emas terbang di kamarku
saat langit teduh
bulan pancarkan sinar
Kamulah laut di
jiwaku
yang
menenggelamkan perahu cintaku
saat ombak
menguburnya dalam dalam
Kamulah rimba
belantara sunyi
yang menyesatkan
jejak langkahku
saat pengembaraan
terhenti
karena arah
bersilang susah dijamah hati
Kita ada di
lingkaran semu
merajut angin di
antara angan
merajut angan di
antara ingin
Perkenankan aku
menjadi debu
atau keringat di
keningmu
Kamulah api di
rumahku
menyebar
kehangatan sepanjang waktu
Kamulah kata kata
di ucapku
tumpah dalam janji
kamu air di
gelasku
kuminum saat
dahaga tiba
mengalir dalam
diri
aku suka
1989
: Lagu Malam Malam
Di saat seperti
ini
kupanggil kau
menjadi istriku
untuk mengasuh
rembulan yang papa
1989
: Masjid IV
Rapikan rukuh dan
mukenamu kekasih
Mari kita raba
bersama dinding kiblat yang pekat
Adakah kau lihat
cahaya biru bergerak menuju pintu hati?
Rapikan sujud dan
rakaatmu kekasih
Mari kita tangkap
bersama isi ruang
Adakah kau dengar
suara lirih di nurani?
Rapikan mata dan
hatimu kekasih
Biar tangan ini
terbuka
Menadah harap
dalam janji
(Tuhan kami ada
dalam malamMu)
1987
: Penari Gambyong
Lenggak melenggok
lunglai gemulai
lendang disibak
benang langit
bergetar
merajut matahari
di dadanya
Lenggak melenggok
lunglai gemulai
penari gambyong
tengadah
bibirnya merekah
basah
cahaya biru di
mata perdu
mengalir ke sudut
ruang
menangkap gema
menghentak kakinya
Lenggak melenggok
lunglai gemulai
penari gambyong
mendekap hati
lelaki baya
bidikkan anak panah di jantungnya
laik penari
gambyong melompat
lendang merah
disibak
penari gambyong
bersimpu
wajah sembunyi di
antara garang mata lelaki
1987
: Waktu
Kemarin
sudah aku pulangkan jiwa di ragaku
sementara engkau masih saja memburu
setiap gerak dan langkahku
seperti hendak merobek hari hariku yang
belum sempat aku tulisi
dengan perbuatan dan tingkah lakuku
sendiri
Kemarin
sudah aku tawarkan padamu
diam atau terus berjalankah aku hari ini
melacak jejak moyangku di rimba hingga aku
bisa menemu surga yang katanya
memang ada
sementara di otakku engkau tak bicara
apa apa
sebab waktu aku terbaring
sebab waktu aku janjikan mati
sebab waktu aku memburu
sebab waktu aku diburu
oleh rasa ingin
oleh rasa sangsi
oleh sikap pasrah
oleh berjuta kekalahan
oleh bayang bayangku sendiri
yang selalu saja timbul tenggelam
di air laut bergelombang
Kemarin
aku biarkan engkau ada di dadaku
mencari kebenaran bicara
mencari keadilan bertindak
mencari langkah yang bijak dari jiwaku
padahal aku pernah katakan padamu
keadilan dan kebenaran rasanya tidak
pernah ada pada kita
Waktu
di mataku engkau hantu di hatiku engkau rindu
di tanganku engkau kerja di pisauku engkau luka
di rambutku engkau tua di jantungku engkau usia
di ucapku engkau janji di nafasku engkau mati
1985
Intermezzo
: isteri
adalah kembang yang mekar di dasar hati
dia minta disiram
dijaga
dan dipagari
: isteri
adalah ladang yang subur di dasar jiwa
dia bisa ditaburi benih
dan ditanami sebatang kayu
: isteri
adalah sebatang rokok
yang menyala di dingin malam
dia sanggup menghangatkan mulut
penghisap
nya
: isteri
adalah buah geranat
yang siap meledak setiap saat
Sby 1985
: Sajak Ibu Kepada Anaknya
Bagai petir menangislah
wahai
Agar langit
terbelah dan pintu surga
Terbuka bagi
jalanmu
Tertawalah bagai
gelora samudera wahai
Agar ombak
menggelegar dan air pun pasang
Sementara aku
belum bisa menangis
Untuk kamu
Bagai senandung
rumput-rumput hutan
Bernyanyilah wahai
Agar Tuhan
mendengar keingkaranku atas kamu
Bagai letusan
meriam menjeritlah wahai
Agar semua dengar
kemudian tersentak
Karena tahu bahwa
aku ini ibumu
Bagai gunung diam
tegarlah wahai
Agar kebisuan akan
tetap terjaga
Dan mereka tidak
bakal tahu
Kita ini siapa
Bagai sederet
pohon jati
Angkat tanganmu
tinggi-tinggi wahai
Agar Tuhan
mengerti akan keterpisahan kita
Untuk kemudian
mempertemukannya kembali
Lakukan
Manis…
1990
: Air Mata Darah Air Mata Cinta
Air mata darah
sejuta mata anak-anak lapar
Adalah air mata
cinta anak-anak bangsa
Yang berlari di
tepi tembok-tembok sejarah
Sambil mengucapkan
salam pada dunia
Tentang nurani dan
jiwa yang terluka
Sementara di
pinggir-pinggir jalan
Para badut
menjajakan bangkai tikus
Yang dibungkus
kain sutra bagai tumbal
Kebohongan atas
bumi yang merdeka
Air mata darah air
mata cinta sejuta mayat
Yang diam
tertimbun tanah menyebarkan bau
wangi
Dan orang-orang
menghirupnya
Menjadi kenangan
masa silam
Atas perang dan
pemberontakan
Air mata darah air
mata cinta
Meleleh mengaliri
sungai-sungai menuju muara
Di laut anak-anak
berenang mencari butiran emas
yang tersisa
1997
: Nyanyian Hati
Kuhirup sudah
anginMu menjadi nafas
kuminum sudah
airMu menjadi keringat
kutangkap sudah
cahayaMu menjadi roh
Kuperdengarkan
nyanyian ini kepadamu
saat langit sepi
1997
: Kesaksian I
Kau tiada ada
di antara yang ada
dalam ada
Kau ada di tiada
di antara yang ada
dalam tiada
Kau tiada pernah
ada
di antara yang ada
namun kau ada
Kau seribu teka
kau seribu teki
yang selalu ada
dalam teka teki
1984
: Suara di Balik Gema
Tidak perlu aku
bersumpah atas angin
Tidak perlu aku
berjanji atas bumi
Sebab di mana aku
berpijak
Di situ juga
jantungku berdegub
Jiwaku menyuarakan
cinta
Kakiku menapak
cinta
Mataku memandang
cinta
Tanganku mengepal cinta
Mulutku berkata
cinta
Tidak harus aku
menangis atas siang
Tidak harus aku
meronta atas malam
Sebab di mana aku
berpijak
Di situ juga
jantungku berdegub
Jiwaku menyatakan
berani
Kakiku melangkah
berani
Mataku memandang
berani
Jariku menuding
berani
Mulutku berkata
berani
Sebab dunia adalah
bola aku ada di dalamnya
Sebab dunia adalah
tanah aku tinggal di atasnya
Sampai waktu itu
tiba akupun akan hancur
Bersama dunia
bagai debu dari asal kembali
Ke asal ketiadaan
1985
Tentang Hari Leo AER
Hari Leo AER lahir di Yogyakarta, 3 Agustus 1960. Selain menulis puisi juga
menulis naskah drama panggung dan televisi. Pernah menjadi konduktor Konser
Puisi Indonesia 1996 di Purna Budaya, Taman Budaya Yogyakarta. Juga mengelola
SPS (Studio Pertunjukan Sastra) yang konsen pada pengembangan sastra
pertunjukan. Puisinya tersebar di berbagai media massa dan antologi puisi
bersama.
Catatan Lain
Prof. Suminto A. Suyuti memberi pengantar sepanjang 4 halaman, dan
dijudulinya “Dokumentasi Puisi: Awal Menorehkan Biografi Diri”. Paragraf
pertama sudah mempertanyakan pemilihan label dokumentasi ketimbang antologi.
Istilah dokumentasi dikatakan lebih
berkecenderungan pada persoalan proses koleksi, sedangkan istilah antologi lebih mengisyaratkan proses
seleksi. Begitu. Tulisan kemudian lebih banyak menyorot tentang penyair dan
kepenyairan. Jadi, tak membahas puisi secara langsung, dalam arti, tak satu pun
puisi yang dikutip untuk menunjang tulisan ini. Oya, biodata pengarang ada di
sampul belakang, sedang fotonya ada di halaman belakang, satu halaman penuh.
Hitam putih. Yang unik juga Daftar
Isi-nya. Selain memuat judul, juga ditulis tahun penciptaan di dalam tanda
kurung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar