Data buku kumpulan puisi
Judul : Jejak-jejak Angin
Penulis : Hajriansyah dan M. Nahdiansyah Abdi
Penerbit : Olongia,
Yogyakarta.
Cetakan : I, April 2007
Tebal : 144 halaman (masing-masing
45 puisi)
ISBN : 978-979-15622-3-2
Gambar sampul : Hajriansyah
Desain sampul : Heri S
Gambar sampul : Hajriansyah
Desain sampul : Heri S
Pengantar : Faruk HT, Saut
Situmorang
Beberapa pilihan puisi Hajriansyah dalam Jejak-jejak
Angin
Di waktu hujan
kudengar engkau menyanyikan
kegembiraan, kesedihan
seperti jemarimu yang ringan
menjatuhkan titik air
di atap sengku yang biru
Tuhanku, jika ku mampu
dan kau mau
berikan aku titik air
yang dapat membasuh
dahaga berjuta harapan kami
Tuhanku, jika ku mampu
dan kau mau
alirkan di sejuta harapan kami
kegembiraan yang dapat
menyenangkan berjuta
mimpi dan kesombongan
kawan kami
Tuhanku, dari setitik air
yang jatuh dari jemariMu
ke atap seng biruku
berikan kami kebaikan yang
menjadi kebanggaan anak cucu kami
7 Desember 2005
Sesekali seseorang jatuh
dan ia ingin berfikir
bahwa daun-daun hijau
pun kering dan jatuh
ke tanah,
namun hasratnya begitu
menggodanya untuk
menjadi sekering daun
yang gugur ke tanah
Aku tak tahu batas
impian dan kemenangan
di mana seseorang bisa
bertahan dengan keinginan-
nya yang besar.....
yang kutahu aku
begitu sedih hari ini
saat terjatuh
dan daun-daun mengering
saat langit terlihat
gelap dan hujan seakan
ingin turun deras;
dan aku terbujur
kaku di ranjang kering
berdebu
Manusia menangkap
hasratnya dan
memenjarakannya, sementara
ia sirami keinginannya
yang besar dengan kesabaran;
kesabaran seban-
ding dengan kebesaran!
Bila hujan turun, dan
daun kering berjatuhan
berharaplah, bahwa hijau
dedaunan di hari berikutnya
membahagiakan seseorang
26 Juli 2006
Pekerjaan Memindah Gunung
Rumah-rumah di sebelah
rumah kita, dan rumah
kita tentunya,
adalah gunung-gunung
baru di tengah kota
Orang-orang memindahkan
nya batu demi batu,
tanah, pasir
Gedung-gedung didekat
rumah kita, dan rumah
kita tentunya,
dindingnya adalah
batu gunung di sebelah
rumah kawan di kampung sana;
pasir, semen, koral
yang diracik dari batu
itu
Orang-orang memindah-
kannya dengan kerja
keras demi tujuan
yang tak begitu jelas:
sesuap nasi, sekantung
kesenangan, sebuah
mimpi indah untuk
anak dan istri kita
Genteng, kaca, jendela
kayu-kayu penopang,
keramik, sendok, piring,
meja rias dan begitu
banyak pemandangan
indah telah pindah
ke rumah kita,
dari gunung-gunung
yang menyangga
bumi kita, rumah
sejati kita
Ketika datang banjir
kita hanya bisa
menangis, sedih,
bukankah kita
yang memindahkan
semuanya
Laut, sungai, lahar
panas, kesedihan
Pekerjaan memindah
gunung bukan
pekerjaan tercela
tentunya
kerja keras, harapan
kebahagiaan, kesuksesan
lalu datang kesedihan
kepapaan, kerja keras,
rasa kecewa, penghujatan
Lalu dimana rasa
syukur kita?
Rumah-rumah dan
gedung besar ditengah
kota, di sebelah rumah
kita, dan rumah
kita juga tentunya,
adalah bagian
dari harapan dan
kekecewaan, kesena-
ngan dan kesedihan,
kerja keras dan
kerja keras
Semoga bumi ini tetap
menjadi rumah untuk
anak cucu kita
kelak
Dan air mata kesedihan
adalah sungai-
sungai panjang
pengharapan
16 Oktober 2006
Form II
Teringat aku padi
di kampungku
pohon kelapa di sawah
tak lebih sebagai saksi
anak kecil berlari-lari
orang tua pergi ke surau
ayahku jadi imamnya
aku, pangerannya
31 Des 98
Di mana Angin
yang menerbangkan pepohonan
hingga keakar-akarnya
Tiupmu sepi
memenjarakan diri
Semak-semak itu kini menertawakanmu
; mereka geli
angin yang sombong dulu
kini kehilangan kepercayaan diri
Di mana Angin
saat kapal layar memerlukan
tiupnya
Laut terlalu tenang
bahkan sepi !
Di sana ada karang kecil
dan kau takjub padanya
Di mana Angin Segala Angin ?
Adakah udara ini beku,
sehingga aku tak
merasakan nafas hidupmu
Tuhan menerbangkan jagad raya
Bersama angin
Ia berharap sesuatu yang besar
akan terjadi,
tapi apa yang kulihat
pada angin, kecuali
nafasnya yang mau habis
Jika udara ini memenjarakan
ambisimu
maka terjanglah ia !
Terjanglah ia
Terjanglah ia
Api besar itu
Tiup saja:
Menangis, terpenjara
menangis, terpenjara
Jagad raya
Luas langit tak terhingga
Bintang bintang alangkah indahnya
Gunung menjulung
Awan bergerak
Megahnya ia
Jika saja tangis itu
bisa menjadi lautan yang
menenggelamkan dunia
alangkah agungnya
Dedaunan hijau
bukit-bukit
pohon-pohon cemara
Aliran sungai di bawah sana
adakah kita memandangnya,
memandangnya?
2 Feb 2006
Tuhan empunya manusia
aku hilang diri
menyaksikan tubuhku
terbang di atas lanskap;
dedaunan hijau
pondok tani
persawahan
Yang Kuasa tiada terkata
menggenggam manusia dan
ambisinya
Aku ingin menuliskan sajak
menghibur mimpi-mimpi
jenuh tak berakhir
Aku ingin menulis sajak
menutup mata atas
mimpi yang tak kuasa
aku menggenggamnya
Anjing-anjing malam
kokok ayam
dan tidur indah!
17 Feb 2004
Aku ingin menyatakan sesuatu
tentang bagaimana jalan yang tak
selalu lurus
Pengembara selalu saja singgah di
keramaian
namun padang-padang selalu
memanggilnya
merayunya untuk bermimpi lagi
tentang kesepian
tentang keindahan
tentang sesuatu yang tak pernah
ada di sana, di keramaian
Bagaimana menyuarakan kesepian;
rasa rindu padanya adalah
keindahan, dan
aku ingin sekali bercengkrama
dengan istriku sama seperti
saat kami
berpacaran
Huh, mengapa masa lalu selalu
saja pantas disesali
masa depan hanya tentang mimpi saja
Kulihat wajah rembulan
parasnya sama saja dengan hari-
hari yang lalu,
sama saja rupanya di barat, di
timur, di utara, di selatan
Tapi bagaimana perasaaanku
memandangnya di waktu-waktu
yang berbeda tentulah
tak serupa
Kesedihan
Kebahagiaan
Tertawa
Terbawa pada arus yang deras,
Kesepian
Pengap
Hampa di udara
Moksa!
Harapan pengembara di atas
kendaraan yang mewah
jelas saja beda dengan seseorang
dengan tunggangannya yang tua:
Kita selalu berdiri di atas kesombongan!
Hari-hari menampar muka kita
dengan angin yang tak selalu sama,
dan kita masih saja merasa
Tuhan membela kita
Entah sampai kapan bendera itu
kita pancang di depan rumah kita
kalau ternyata di jiwa kita yang
kering bersemayam kebodohan
Fana!
Ujub, takabur, sombong, pemalas yang
angkuh!
Suatu hari aku berjumpa dengannya
ia membawaku ke tempat yang tak ada
di hatiku
Aku terpesona dan terbang bermimpi
entah di mana
entah ke mana
seseorang mengajakku terbang
ke tempat yang kering; dan fatamorgana
bagai pelangi
entah bagaimana
entah mengapa
aku menangis hari ini
wahai cahaya
Wahai udara
Wahai angin maha sempurna
Cahaya menyinari
cahaya!
Udara membawa angin
bersamanya
Alangkah tak adilnya dunia seringkali
bagi seseorang
ia memikul beban dunia di pundaknya
dan seseorang menghinakannya
Alangkah tak adilnya
Alangkah tak adilnya, baginya
Bendera didepan rumahku
mengusikku; mengapa tak ada
bendera di depan rumah adikku?
kecintaanku mengantarku ke keber-
pihakan, dan aku
membenci kakakku
Alangkah naifnya dunia
Alangkah naifnya aku di dunia!
wahai angin malam gelap!
Aku tak mampu memutar haluan
meski kutau badai di depan
sana, kebodohanku
kebodohanku
menyengsarakan aku
Senin 16 Agustus 2004
Hari ini, pada sajak batu tua
kutulis kerapuhan
ternyata umur tua tak menjamin
kearifan
Anak-anak selalu saja lebih bodoh
dan mereka dilahirkan untuk belajar
meniru orang tua
Namun hidup yang rapuh hanya
membuat jiwa merdeka itu layu
dan mereka kehilangan kesempatan
untuk berbuat
dan mereka kehilangan semangat
untuk berjuang
Siapa yang membuat demikian,
apa yang membuat demikian?
Pikirku; orang tua.
Andai pohon tua di belakang
rumah kita membuat kita menyesali hari-hari, lebih baik
tebang saja
17 Agustus 2004
Andai saja sebatang kayu
rapuh-lapuk itu kita benamkan
ke tanah
mungkin akan ada tunas
baru yang tumbuh darinya
1 April 2003
Sajak Kefanaan
semuanya berlalu
bagai tak pernah ada
seperti ditiup angin
seperti tak pernah ada
Katakan kebaikan di dalam hati
ada kebajikan yang tersembunyi
katakan kebaikan ke dalam hati
ada kepenuhan di dalam diri
Pada Tuhan, pada diri
Pada Orang tua, pada isteri, pada anak
Pada kawan; kepada bakti, cinta,
dan hidup yang sempurna
Asal mula diri tak berarti
Berarti karena berbakti
Kebajikan ditanam ke dalam hati:
abadi pada ingatan
abadi pada tindakan
abadi di keseharian
abadi di kehidupan
memulai dari ketiadaan
berakhir di ketiadaan
Tidak berhenti di kebodohan
tidak berhenti pada kemalasan
tidak berhenti di keputusasaan
tidak berhenti, selalu menghidupi
19 September 2005
Pada sajak-sajak
di ketinggian langit malam
aku berusaha menganggap
semuanya tak ada
Pemandangan tinggi malam
yang terang, lanskap
belakang rumah tertimpa
cahaya dini hari,
aku duduk di kursi
putih peninggalan ayahku
.....
Adakah yang lebih panjang
dari malam yang penuh
masalah?
Adakah semangat di
kesepian yang jingga?
Suatu hari pernah ku
sebut dalam diriku
keinginan, kebesaran,
kejayaan, kebanggaan,
dan kuukir dalam
hari-hari ini
kerja, kerja dan
tidur yang sebentar
Jika matahari dan
bulan tak pernah tidur
kusyukuri malam-malam
panjang ini
Malam-malam perayaan
di mana malaikat dan bidadari
menari, menabuh tarbang
suka cita kemenangan
Aku menang bukan karena
mengungguli seseorang,
aku menang
karena tak mau menye-
rah pada kekalahan
Aku hidup bukan
karena tak ada kematian,
aku hidup karena berjuta
malaikat dan bidadari
menari dalam diriku
merayakan kemenangan
April 2006
Sebuah sajak dituliskan
untuk menghibur perasaan yang
lelah, jika begitu banyak
mimpi memenuhi dada kita,
tapi tak apa!
Anak muda seharusnya
membara semangatnya
manusia seharusnya tak
pernah padam apinya,
tak pernah putus mimpinya
2 Mei 2006
Hari Ke-2 Puasa
Kita tak bisa maju
tanpa impian besar
dan teman-teman;
kita selalu memerlukan
dua hal ini, agar
tak goyah dan tersapu
badai,
kecuali orang-orang yang penuh
kesedihan dan dendam
di hati mereka,
mereka seperti dewa:
tak terkalahkan!
25 September 2006
Dingin pagi hari
menusuk tubuhku
mengusik ketenanganku
aku tak bisa tidur
rasa lelah
dan marah
ini tak habis-habisnya
mengganggu kesadaranku
menyisipkan amarah
dalam keikhlasanku
Aku menyesal
tak bisa menahan diriku
tak bisa bersikap arif
dan terus menerus menyombongkan
diri
Aku lelah
dengan rasa yang berlebihan ini
Aku bukan siapa-siapa
Aku bukan apa apa
Aku makhluk
yang bekerja dan ikhlas atas
sgala upahku !
31 0kt 03
Beberapa
pilihan puisi M. Nahdiansyah Abdi
dalam Jejak-jejak Angin
Sengketa
Melihat
langit hanya sepotong
seperti
halnya kekekalan yang kosong
Menangisi
menit-menit yang liar!
waktu
berjalan
not
demi not
pun
kisah kita
berjalan
not demi not
Kirimkan
saja
lewat
angin yang berhembus di atas
atau
lewat swara
Sebab
kita tak mengetahui
apa
sebabnya
orang-orang
dalam foto itu masih berkeliaran
Minggu, 30 Agt
1998
Di Komplek De Peperklip
Di
komplek De Peperklip
Rotterdam:
Masa kini di angkut jenazahnya
Seekor
kerbau mengamuk dalam bayangan suram
Sekawanan
badut terhipnotis pada tulang-tulang cahaya
”Monggo,
Mas!” kata gadis itu sambil memelas
Aku
sungguh tak tahu
tiba-tiba
aku telah berada di atas bis yang meluncur
ke
arahnya
Jumat, 31-3-00
Perang Bantal
Pinjami
aku sebuah puisi
tentang
hero-hero dadakan yang bernasib tragis
Aku
terkejut melihat dapurku berasap lagi
nggak
tahunya kebakaran
Sejarah
sangat panjang
kita
menjalaninya dari awal
Tiba-tiba
kamu merengek pengen pulang
Di
tengah kelabakanku aku melihat kamu mencuri
hatiku
Aku
berteriak: Wah....kebetulan!
Jumat, 28-7-00
Banyak Jalan Meninggalkan Roma
Orang
kita mengenal bahasa kasar dan bahasa halus
tapi
apa artinya itu bagi asmara
Tiap
orang lahir sebagai pemberontak
sebelum
menempati tempat yang mapan
Terlalu
banyak perumpamaan tentang hidup
sampai-sampai
tak satu pun yang bisa diingat
kecuali
lelucon ini:
Konon,
iblis pernah menyamar jadi bebek
untuk
menggodaku makan pisang ambon
Semoga
matahari terbit sambil berkacak pinggang
semoga
dosa cepat mengisi hari-harimu yang gemetar
dan
kemudian, kuakhiri kemarahan yang sepele ini
seperti
kilat mencolek punggungku
seperti
dalam pelayaran yang terlalu diada-ada
Jumat, 2-6-00
Diam
I
Ekor
mataku menyusuri galaksi yang dingin
Waktu
kutanya Hawking; yang kena tilang sebelum
jam
enam pagi
Matahari
mencipratkan kenangan mutakhir
Aku
ingin menyalakan petasan saat orang-orang
terlena
dalam berak, dalam hidup yang ajaib
II
Bila
terkadang ingin sendiri
Bila
terbukti aku salah
berhenti
pada kekanakkanakan
”Hanya
gelengan kecil,” hiburmu pada aku
yang
khawatir
Dan
sepeninggalmu biarlah cinta tampak sepele
mengais
mencari sunyi
di
puting beliung tak bertepi
Apakah
kau berasal dari laut lepas?
Apakah
kau terbuat dari gula dan putih telor
yang
dikocok?
Mimpiku
begitu kering: seperti tebing dari buih
dan
rinduku jatuh sebagai meteor yang merasa sepi
dan
namamu berserakan seperti birahiku
12-10-00
Anak-anak Peradaban
Dengan pakaian pelampung, masker tebal, seiris kutukan
ia nyebrang jalan
kesandung pengemis
Kota bagai hologram
Berlutut di eksofagus hitam
Butir kenangan terjun bebas
Ia mendengar: tawa ngakak membombardir
Ia mendengar: tangis, seperti lempeng tembaga yang tipis
Tapi ia terlanjur tak mendengar
Hanya kentutnya yang terasa abadi
Sabtu, 25 Mei 02
Sirkularitas
Nun
Kamu menelan ikan dan ikan menelan kamu
Berumbilah wajah teror. Matahari becek selalu
Laut memancarkan imaji-imaji yang menghardik
“Pulanglah, pulanglah pada desah dan rasa sakit.”
Dengan tersipu pulanglah ia pada hingar bingar
Menyimak topan,
berplesir ke labirin gaek
Ikan itu datang dalam mimpinya
bergurau: Belum bosan mempertahankan utopia?
Ia tak tergoda dan dengan langkah-langkah kecil
yang tetap riang
dirambahnya jalan menuju kematian
Tapi kali ini ia betul-betul kena getahnya
Dalam aquarium (yang dipikirnya keranda)
ada zarrah terguling dalam sup purba
Jumat, 17 Mei 02
Complete Waste of Time: Ayo, Belanja!!
Di
hidung penuh virus influensa
Di
kaki ada genta kecil
Di
kepala bergolak warna warna
Seluruh
tubuh menari
Hatiku
ditembus sunyi
Luka
yang luar biasa perih itu bernama: Nun
yang
lain menyebutnya: Sunya
Hingga
terdampar jugalah kita ke sebuah pantai
di
dalam sebuah supermarket
Kun!:
Di depan kita ada keranjang belanjaan
Di
sana, di rak-rak itu
ada
tuhan yang berpipi tembem, malaikat yang
pemalu
dan iblis yang bahenol
Selasa, 8 Okt 02
Puisi Saya yang Utama
Puisi
saya yang utama
adalah
anak-anak saya
Lahirnya
dinaungi kesakitan
yang
penuh akan rahmat
Saat
ketuban pecah, para malaikat
bersuka
cita. Tak ada lagu
yang
paling merdu selain tangisannya
Puisi
saya yang utama
adalah
anak-anak saya
Kelincahannya
tak mungkin
disaingi
kata-kata nan rancak
Alunan
musik yang paling lembut
luruh
dalam keteduhannya
Karya
seni yang paling agung
tak
berkutik demi mendengar gelak tawanya
Jejak-jejaknya
yang ringan
mencandai
bumi yang tua
Tempat
saya bercermin
menyisir
kesakitan demi kesakitan
Inilah
masterpiece saya
Standing
applaus
untuk
puisi saya yang utama
13 Nop 06
Sungai Barito
Di
sekujur sungai
melata
orang-orang miskin
bangkit
menjamur dari kubur kecoklatan
menyanyikan
koor-koor sungai
menembakkan
warna kelam terpedas
berjingkat
mengitari bayang-bayang
Wow,
di sekujur sungai
kepompong-kepompong
menetas
menjadi
orang-orang miskin bersayap kencana
Mereka
mabok, yang memandangnya ikutan mabok
Sungai
tenggelam oleh orang-orang miskin
yang
sekarat berabad-abad
Kamis, 14 Juli 05
Abai
Mimpi
seperti balok es yang tak terpahat
Dalam
rasa syukur terlihat bulan menggantung di pekarangan
Kekasih
mengeja nama dengan terbata
“Seandainya
aku mencintaimu,” keluhmu di penghujung
pagi
Waktu
menjadi bulat, menjadi padat
Duduk
termenung di atas nilai-nilai
sesudah
meditasi yang terbengkalai
Tutuplah
bukunya: Tangkaplah sang lobster
yang
ngumpet di balik dunia gila
Jika
matahari telah redup
Kebisingan
menjadi tawar
Warna
lantas pudar
Bisikkan
ke telingaku gosip murahanmu
Seduhlah
kangen ini
Sehingga
aku kembali tanpa dihantui kesepianmu
Rabu, 23 Mar 05
Teledor
Hujan
turun di atas puisi
Kalian
menyaksikan hujan turun di atas puisi
Kalian
mengeja kata yang menggigil karena dingin
Lihatlah
halaman yang becek ini
Rasakan
air menciprat ke muka kalian juga
Lantas
terdengar suara katak yang bersahutan
Katak
muncul dengan serta merta
dari
imajinasimu yang bersiul-siul
Tak
dinyana, hujan juga mengetuk tubuhmu
Ingin
menginap di dalam dirimu
Minggu, 23 Okt 04
Bertandang
Tak
ada detik, cuma detak
jam
tidak bergerak, hanya hawa berganti
Kalender
punah, cuma ada Saat
Pun
aku tidak menanti
Telah
dibanting: pintu menuju tepi
sedang
keabadian berlumur butiran dingin
Kurayakan
hari sedihku
dengan
menenggak lelucon berhari-hari
Tak
ada lagi yang tersisa
kecuali:
Entah!
Selasa, 6 Juli 04
Tentang Negeri Ini
Sudah
banyak pujian
Tidak
kurang pula makian
dilontarkan
pada negeri yang tidak tahu apa-apa ini
Ia
telah menyaksikan
Ia telah
menampung apapun dari abad ke abad
hampir
seperti mengoleksi perangko saja
Bergenit-genit
melintas di depannya
Sayup-sayup
terdengar siulan misterius
Makin
lama makin dekat
Alamak,
telinga kita mau dibuatnya meledak
Hingga
akhirnya sadar
Bahwa
itu adalah kentut kita sendiri
Di
negeri yang eksotik ini
Orang
datang dan pergi
tanpa
iringan apa pun
tanpa
sorak-sorai apa pun
kecuali
jejak yang mudah hapus
Negeri
ini tak bernama
Orang
pun malas membuatkan peta
Mungkin
benderanya cuma kolor
Lagu
kebangsaannya berjudul Kegaduhan yang Labil
Kamis, 19 Agt 04
Luka Dalam
Luka
dalam
Bulan
yang cantik menonton di kejauhan
kunang-kunang,
obor, api cinta
Lemparkan
sepatumu dan terjunlah dalam dingin
Semburkan
kata-kata yang diam
Berikan
untukmu sendiri senyum tipismu
Rapikan
tubuh tuamu dengan tenang
Gelak
tawa itu akan datang bertamu
Gelak
tawa itu akan datang mengagetkanmu
Ia
akan naik ke rumah ini tanpa mencopot sepatunya
(Aku
bercanda, sebenarnya ia tak punya kaki)
Ia
akan membawamu terbang
ke
sebuah siluet yang tak berkesudahan
Minggu, 29 Peb 04
Menanggapi Tertawa dengan Tersenyum
Tawa
yang keras menggema dalam diriku
dan
aku menanggapinya dengan tersenyum
Musim
begitu pesat
Teman-teman
beralih profesi jadi pelawak (tinggal aku yang jadi penonton)
Oh
hidup, keisengan ini sungguh menyentak
Hembusan
angin tersusun rapi di kepalaku
Tapi
tawa keras tak berhenti memukul
Menjadi
ketakutan, menjadi keputusasaan
Menjadi
gemericik rindu, menjadi cinta yang hening
Tawa
yang keras menggema dalam diriku
dan
aku menanggapinya dengan tersenyum
Senin, 1 Sept 03
Falling on Chair Laughing
Tertawa
hingga jatuh dari kursi
demikian
puisi ini dimulai
Ditujukan
buat sampeyan yang rada telmi
yang
suka keenakan duduk di kursi
Nanti
sama-sama kita tarik pelatuknya
demi
tulusnya lelucon ini
Ciuman
Tuhan bertubi-tubi mengenai
yang
kita baui cuma tai
Goncangan
dari luar
kelasnya
jauh di bawah
dibanding
dengan goncangan yang dibikin sendiri
Diri
kita murni terbuat dari lelucon
Ini
seperti sumur yang tak mati-mati
Tertawalah
...
Tertawa
hingga jatuh dari kursi
Senin, 1 Sept 03
Tentang Hajriansyah
Hajriansyah, lahir di Banjarmasin 10
Oktober 1979. Biasa dipanggil Hajri. ia sudah berkenalan dengan dunia puisi dan
lukisan sejak kecil, pertama kali membaca puisi di depan publik ketika masih di
Taman Pendidikan Islam Al Ashri, berumur 6 (enam) tahun. Sewaktu belajar di
pondok pesantren Darul Hijrah, Banjarbaru, mulai berkenalan dengan teater,
TERISDA (Teater Islam Darul Hijrah). Di bangku SMA sering mengikuti dan
memenangkan lomba baca puisi tingkat remaja dan sempat festival musik rock
se-Kalimantan di Samarinda, sebagai additional creative (pembaca puisi)
dalam grup band sekolah (SMADA BAND). Lulus SMA terdaftar di penerimaan mahasiswa baru Fakultas Sastra, jurusan
sastra Melayu, Universitas Sumatera Utara (USU), meski tak sempat dijalani. Ia
kemudian kuliah di MSD (Modern School of Design) Yogyakarta dan ISI
(Institut Seni Indonesia), minat utama seni lukis. Menulis puisi secara serius
sejak SMA, dengan bimbingan YS. Agus Suseno, dan terus menulis secara intens di
bangku kuliah sampai sekarang. Menulis puisi baginya adalah ekspresi jiwa dan
penghibur hati (seperti juga melukis). Meski tak pernah berusaha
mempublikasikan puisi-puisinya di media massa, Hajri berobsesi membukukan
puisinya. Bersama dian (M. Nahdiansyah Abdi), teman seperantauan kuliah di Jogja,
ia menerbitkan kumpulan puisi yang kini hadir di tangan anda.
Tentang M. Nahdiansyah Abdi
Lahir di Barabai, 29 Juni 1979. Bekerja
di Rumah Sakit Jiwa Tamban. Jejak-jejak Angin adalah bukunya yang pertama.
Catatan Lain
Saya ingat, ketika pertama kali melontarkan ide ini, Hajri datang ke rumah
kontrakan saya di gang mutiara, Jalan Bali, Banjarmasin. “Kumpulkan 100 puisi,”
katanya. Belakangan, yang kemudian jadi, hanya 45 puisi dari masing-masing
kami. Saya tak tahu bagaimana Hajri merayu Faruk HT dan Saut untuk memberi
pengantar, juga bagaimana ia berurusan dengan penerbit Olongia. Saya cuma tahu
beres.
Saya juga ingat momen
ketika kami saling membidik dengan kamera saku di bilik warnet (warung
internet) untuk buku itu dan mengirimnya ke penerbit. Hajri tidak mau pas foto
biasa, maunya foto dari samping. Dan saya tak ingat lagi, apakah foto itu ada
di buku? Masalahnya, saya tak punya lagi buku Jejak-jejak Angin, kecuali softcopynya saja. Saya ingat, itu
pertama kalinya saya berkenalan dengan adobe pagemaker. Tapi ya sebatas
mengedit puisi-puisi kami saja.
Ketika buku Jejak-jejak Angin diluncurkan di Taman
Budaya, Banjarmasin. Hajri membawa bulik
Faruk HT ke tanah Banjar. Entah berseloroh atau serius, Hajri mengatakan bahwa
ia membayar Faruk dengan lukisannya. Selebihnya tentu uang transport, akomodasi
dan jalan-jalannya, mungkin. Saya tentu mengkliping peristiwa tersebut. Yang
hadir al. H. Adjim Ariadi, Bpk. Suriansyah, Bang Micky Hidayat, Sainul
Hermawan, Dewi Alfianti, dll. Yang membawa acara Abdus Sukur MH dan moderator
Datu YS. Agus Suseno.
Waktu itu, saya kena
bagian mengirim undangan acara tersebut untuk wilayah Banjarbaru. Yang banyak
berjasa menemani saya menemukan alamat-alamat itu adalah Harie Insani Putra. Saya
jadi tahu alamat penyair Arsyad Indradi, ASA, Ersis Warmansyah Abbas, dll.
Oya, mengenai judul. Itu
temuan Hajri. Kata Hajri, dia mewakili Angin dan saya, mewakili Jejak.
Kreatifkan lagi diksinya...
BalasHapuspadahal ajang seni sudah terstudy.