Data buku kumpulan puisi
Judul: Dengarkan Jiwa; 35
Puisi tentang Tuhan, Cinta, dan Keindahan
Penulis: Syafira Rahima (Sarah Bagir)
Penerbit: DAR! Mizan
Anggota IKAPI, Bandung
Cetakan: 1, Rajab 1433
H/Juni 2012
Tebal: 64 halaman
Pengantar: Haidar Bagir dan
Lubna Assagaf
Ilustrasi isi dan sampul: Nisa
Nafisah
Penyunting naskah: Ahmad
Mahdi
Penyunting ilustrasi:
Kulniya Sally
Desain isi: Kulniya Sally
dan Nisa Nafisah
Desain sampul: Kulniya
Sally
Proofreader: Hetty
Dimayanti
Beberapa pilihan puisi
karya Sarah Bagir dalam Dengarkan Jiwa
Dengarkan Jiwa
Apakah ini suara merduku?
Kudengarkan detak jantungku
Aku berjalan pelan-pelan
Semakin mendekat
aku mendengar
Apakah ini kekasih cinta?
Apakah ini kehidupan?
Apakah kau Jiwa Yang
Terbesar
yang kudengar?
Ini cuma peringatan
akan kebebasan ini
Di istana jiwa ini
kau mendengar
sebuah alunan
cintaku
Berjalan
|
Jiwa Terbesar
|
Istana
|
Kebebasan
|
Kehidupan
|
Kekasih
|
Berlayar
Apakah kau perahu
istimewaku?
Kini pun aku berlayar
di tengah-tengah laut
Hening Malam
Hening malam
adakah suara-suara jangkrik
di tutupan batu yang keras
di malam ini?
Tak Pernah Habis
Saatmu ‘tuk mendengar
Hati ini tak pernah habis
Setiap malam kau pura-pura
tersenyum
Berkatalah, oooh ...
berkatalah padaku ini
Ada apa di cintamu, ada apa
di hatimu?
Apakah bisa kau selesaikan
ini?
Kau adalah pangeran di
kegelapan sunyi
Apakah di dalamnya
Kuakan mendengar suara yang
jauh?
Pot Bunga Cintamu
Tak kuterima bunga cintamu
Karena
pot bunga akan layu
di atas rindumu
Lindungilah pot bungamu
Karena hujan cintaku
akan turun
Bungamu takkan ada
di sisimu lagi
Karena pot-pot bunga
akan kena hujan cintaku
Bintang
Hatiku berlari
Hatiku menari
Seribu bintang yang
berpijar
Cinta ini melayang
Cahaya sinarmu menyala
silau
menyambut cinta
Di langit
Arus angin berkibar
kemana-mana
Langit yang gelap biru
Ditimpa warna yang cerah
Dan kini tampak indah
Bintang yang menyinari
dan suci
Kau memantau dari langit
Bintang pun jatuh
ke langit biru muda
tempat bintang lahir
Kematian
Semalam kubermimpi
Seolah kematian ada di
samping
Keburukan atau kebaikan
Aku seolah hilang-sadar
Tak kutahu hatiku di mana
Sekarang hatiku hampir di
surga
Kadang masuk neraka juga
Maka aku berdoa
Dan meminta ampun
Dan Allah Yang Kuasa telah
memberi keindahan
untukku
Alunan Lagu
Aku bernyanyi
di depan mata-mata yang
indah
Kudengar suara yang lain
sebuah alunan lagu
Kuterlempar ke dalam cahaya
Tempat tersembunyi
yang kudengar tadi
adalah ruangan cinta
Musik
Seandainya kau mau menari
Seandainya kau keluarkan
suara-merdumu
Betapa kau mendengar
Musik kicauan burung
Kau akan riang
Selalu menyanyi
Alangkah hebatnya musikmu
Kudengar saat kau bermain
Kumenikmati
Semuanya
Jernih Matamu
Sungguh jernih matamu
Hingga aku pun
beranjak
Seindah kapas
Mengalir berlinang
air mataku
di atas rindu
padamu
Adakah darah mengalir
jernih?
Kuhanya beri tahu
darahku ada di mana-mana
di hatiku
Jangan kauberi
yang palsu cintamu
Percaya Diri
Percayalah,
Semua orang punya kelebihan
punya kekurangan
Percayalah,
Orang jahat akan
terus-menerus
mengenal iman yang lelah
Percayalah, Muslim!
Kiamat sudah dekat
Percayalah,
Allah Mahabesar
Dia akan tempatkan kita
Di hutan yang indah
Kau Mahabesar, Kau Maha
Pengampun
atas dosa-dosa yang kami
lakukan
Aku,
aku percaya pada-Mu
Aku yang mengikuti-Mu
Yang selalu setia pada-Mu
(Catatan: Saya mengetik sajak ini dengan sedikit pengubahan, yaitu pada kata “kita”
(bait ketiga larik kedua) saya ubah menjadi “kami”, dan kata “padamu” (bait
keempat larik kedua) saya ubah menjadi “pada-Mu”. “Agar lebih pas,” pendapat saya. Tapi kalau
pembaca lain atau penulis merasa lebih cocok dengan tanpa pengubahan, maka
boleh-boleh saja, karena berbeda pendapat itu wajar-wajar saja. Barangkali juga
pengubahan saya ini terkesan subjektif. AF)
Doa
Hati ini senang
Hati ini bersenandung
Cinta ini sangat riang
Kuakan bersembahyang
Dengan menyebut nama Allah
Yang Maha Pengasih, Maha
Penyayang
Kuberdoa dengan riang
Cinta Mati
Adakah cinta mati
yang lelah bagiku?
Di manakah cinta mati
berada?
Kucari perlahan-lahan
Engkau berada di
lahan-lahan bunga
Apakah aku sudi
meninggalkanmu?
Cinta mati ini
tak adakah yang menerima
saran yang kuberikan?
Tapi hanya kau yang kusuka
Cintaku
kasih sayangmu untukku
Baru kusadari
cinta mati yang kuterima
dengan penuh persyaratan
penuh kesayangan
Kekasih jiwa
penuh keikhlasan
Itulah yang kucari
Apakah ketulusanmu itu
melukiskan
cinta mati?
Oh ...?
Cinta mati penuh
kebahagiaan
Itulah cinta matiku
Bunga
Kau selalu mengembang
Kau selalu menyinari
Bunga selalu membuka cahaya
Indahmu bagai pelangi
Seratus langit menyapamu
Apakah kamu masih bertabur?
Bermimpi
Saat ini aku bermimpi
di sela-sela kehidupan
Warna-warni jingga dan biru
Alangkah indah pelangi
Kini aku telah bermimpi
Sejuta rahasia
Sebenarnya aku cinta dia
Hei, kamu
Jangan kau bikin sial
cintaku
Hei, kamu
Jangan ganggu diriku
Yang kupunya cuma bayangan
dirimu
Aku bersedih
aku lelah
Jangan kau tinggalkan
diriku
Darah Merah
Apa pun jenis darah
adalah cintaku
Walau darah itu merah
Tak mungkin lagi berjumpa
Aku sakit dan sesak
Apakah darah itu mengalir
di dadaku?
Ataukah darah merah akan
berhenti
di dadaku?
Darah itu
sentosa hidupku
Dusta
Hatiku terasa disakiti
Terasa dipaksa
Dan kurelakan hatiku yang
berbicara
Sekalipun dusta dan
pembohong besar
ada hukumannnya
Semua yang kucintai telah
hilang
Suasana telah sepi
Dan kuberkata, maaf
Kutakkan berdusta lagi
Kembalilah padaku
Kuakan jujur padamu
Dan semua yang kucinta
Ada dalam hatiku
Tentang Sarah Bagir
Nama
lengkapnya Syarifa Rahima (berasal dari bahasa Arab, berarti “perempuan
terhormat yang penuh kasih sayang”), lahir di Cinere, Depok, pada 9 Mei 1996.
Anak perempuan satu-satunya, dari empat bersaudara, putri Haidar Bagir dan
Lubna Assagaf. Hobinya membaca, menulis puisi, melukis, bernyanyi, mencoba-coba
berbagai alat musik, juga berenang dan bulu tangkis. Tapi passion-nya yang utama adalah memasak. Untuk kelanjutan
pedidikannya pasca SMP, Sarah sudah tetap hati belajar di Female
Entrepreneurship School (FES, semacam SMK kewirausahaan) jurusan Tata Boga,
juga di Lazuardi GIS. Cita-citanya selain menjadi guru dan pegiat seni musik,
adalah menjadi wiraswasta di bidang tata boga. Untuk menunjang cita-cita itu,
dengan bantuan kedua orang tuanya, Sarah terlibat dalam bisnis rintisan bidang
tata boga dengan membuka counter
makanan di sebuah pasar segar dan di suatu lokasi lain di Jakarta Selatan,
dengan merk Sarah Kitchen. Buku puisi berjudul Dengarkan Jiwa ini, meski sudah dirintisnya sejak SD, adalah karya
pertamanya.
Catatan Lain
Ini
merupakan koleksi buku puisi pertama saya. Belinya di bazaar buku di Gedung
Sultan Suriansyah, lupa kapan, tapi pokoknya pas itu juga diadakan pameran
replika mumi Fir-aun di lokasi yang sama. Buku ini kalo nggak salah harganya Rp
9.000,-. Saya beli bareng buku Serial Fantasteen: DRIAN’O; Menggulung Komplotan Pengedar Ganja karya Fira Firdaus (lupa
berapa harganya, tapi kalo nggak salah kurang dari 20.000,-). Entah kenapa penerbit
Mizan begitu berani memabanting harga sampai semurah itu.
Buku
ini diberi semacam pengantar yang cukup panjang dari orang tuanya Sarah.
Membeberkan latar belakang penerbitan buku dan kehidupan Sarah. Menarik. Saya
kutipkan beberapa bagiannya:
“Ketika
masih balita dia mengalami keterlambatan-bicara (speech delay). Maka, Sarah pun dilatih dalam suatu klinik
tumbuh-kembang. Bahkan, ketika kami sekeluarga tinggal di AS–umur Sarah saat
itu empat tahun–sekelompok ahli secara khusus mempelajari masalahnya. Selain
mungkin ada faktor perkembangan lain–ketika umurnya sudah mencapai sembilan
tahun yakni, setelah tiga tahun kami
memeriksakannya ke dokter spesialis telinga, di dalam negeri, maupun di
AS–kedapatan bahwa memang pendengarannya terganggu akibat kelainan yang biasa
disebut pembesaran adenoid (semacam pembesaran amandel, tapi yang ini terdapat
di pangkal hidung). Kelainan ini telah menyebabkan terdapat lendir yang
terperangkap di gendang telinganya, sehingga mengganggu pendengarannya. Baru
pada umur sembilan tahun itu, lendir yang terperangkap itu berhasil dibebaskan
lewat sebuah operasi yang mengangkat,
baik adenoid maupun amandelnya. Tapi, tampaknya kemampuannnya dalam berbahasa
logis-gramatikal sudah terlanjur terganggu.”
Lanjut
paragraf lain:
“Boleh
jadi Sarah memiliki problem bahasa, bahkan problem di bidang kecerdasan
logis-matematis. Tapi, yang istimewa, Sarah memiliki banyak hobi, dan selalu
bersemangat mengejar hobi-hobinya itu. Terlambat bicara dan terlambat membaca ,
sama sekali tak menghambat kecintaannya pada buku. Tak jarang berbagai buku
dibawanya, ke mana pun dia pergi. Sampai belum lama ini, tak jarang dia membawa
beberapa buku sekaligus ke WC, dan menikmati waktu-waktu panjang membaca sambil
melepas hajatnya. Sarah juga amat senang pada musik sehingga mecoba mengikuti
kursus vokal, piano, dan biola. Masih jauh dari bisa dibilang ahli, Sarah mampu
membaca not balok, bahkan mencoba-coba mengarang lagu, baik musik maupun
liriknya. Dia pun amat suka melukis, serta berolahraga. Bermain bulu tangkis
dan berenang adalah dua cabang olaharga yang amat disukainya.
Karna
kekurangannya di bidang logis matematis–yakni di bidang disiplin Matematika
dan, yang lebih berdampak, di bidang bahasa–Sarah sering merasa bahwa dirinya
berbeda dari teman-teman sekelasnya. Bukan saja kemampuan berbahasanya
mengahambat kemampuannnya dalam bergaul, pada gilirannya hal ini juga berdampak
pada kepercayaan dirinya. Atau setidaknya, dia sengaja memilih untuk lebih
banyak bermain sendiri. Hal ini berbeda 180 derajat dengan sikapnya ketika
berada di tengah-tengah keluarga besar yang menyayanginya. Tawanya lebih sering
berderai. Kalau sudah begini, tak ada sedikitpun tanda-tanda yang tak biasa.
Apalagi, kami harus bersyukur diakruniai anak perempuan yang sangat cantik dan
tak jarang merik perhatian banyak orang di keramaian.
Tak
jarang Sarah mengungkapkan perasaannya bahwa dia berbeda dari teman sebayanya.
Terkadang secara lebih terus-terang dia mengatakan bahwa dia tak sepintar
teman-temannya. Meski kami, juga guru-gurunya, terus berusaha menjelaskan dan
membangkitkan kepercayaan dirinya, tak urung perasaan seperti ini kerap
menguasainya. Kami selalu menjelaskan padanya bahwa setiap anak unik. Setiap
anak punya kepintarannya sendiri, dan juga kelemahan-kelemahan yang khas. Problemnya, meski
Sarah bersekolah di suatu lembaga pendidikan yang percaya pada paradigma
kecerdasan majemuk, tetap saja tak selalu bisa dihapus kesan di tengah
masyarakat bahwa anak pintar adalah anak yang pintar Matematika, mungkin juga
Sains. Inilah kebetulan bidang-bidang yang bukan merupakan kekuatan Sarah. Kami
selalu katakan padanya: boleh jadi temannya ahli Matematika, tapi mereka tak
sejago Sarah dalam bermain musik, berolahraga, dan sebagainya.
Oh,
iya, Sarah juga amat senang memasak. Setiap waktu senggangnya dia pakai untuk
mencoba resep-resep masakan, dan makanan yang ada di buku-buku resep, yang
selalu dia beli setiap kami ajak ke toko buku. Sehingga, pada umurnya yang
masih sangat muda, Sarah sudah memiliki kemampuan untuk membuat aneka roti,
atau berbagai jenis masakan. Tak jarang dia mengatakan, di samping menjadi guru
dan pemain musik, menjadi ahli kuliner (tata boga) adalah cita-cita utamanya.
Bahkan, lebih spesifik lagi, dia ingin jadi pengusaha kuliner.”
Lompat
ke paragraf lain...
“Namun,
yang datang sebagai sebuah kejutan adalah kemampuannya–yang baru belakangan
mencuat–dalam suatu bidang yang justru merupakan kelemahannya, bahasa. Setelah
dikabari tentang bakatnya yang menonjol di bidang teater–sayangnya kami belum
lagi sempat mengembangkan bakatnya di bidang yang satu ini–kami tiba-tiba saja
mendapati bakat istimewanya di bidang penulisan puisi.
Pengetahuan
kami tentang bakat istimewanya ini datang setelah secara kebetulan saya membaca
beberapa puisi yang dikarangnya. Memang, ada suatu masa, sejak Sarah masih di
SD, yang didalamnya Sarah sangat getol membuat puisi. Mulanya dia ketik
sendiri, tapi kemudian dituliskan dengan tangannya sendiri dalam berbagai buku
tulis yang dimilikinya. Kadang juga di berbagai lembaran kertas–yang tak
semuanya berhasil kami kumpulkan (belakangan, kami sadari juga bahwa Sarah tak
biasa membubuhkan tanggal dalam puisi-puisi yang dituliskannya). Saya
benar-benar dibuat terperanjat oleh bukan hanya daya imajinasinya, melainkan
keterampilannya dalam memilih diksi dan juga kelenturan bahasa yang
dikembangkannya. Memang, meski sama-sama berada di wilayah bahasa, puisi
memiliki kekhasan sebagai medium untuk berekspresi–lebih longgar secara
logis-gramatikal, lebih lentur, simbolik, imajinatif, ekspresif–dibandingkan
dengan tulisan prosaik biasa. Kenyataan ini seolah menjadi saluran keluar
kemampuan artistiknya yang satu ini.
Waktu
itu, saya membaca puisi-puisinya yang berjudul “Hening Malam” (puisi pertama
dalam kumpulan ini), “Apa Saja Kau Berikan”, dan “Dengarkan Jiwa” (yang diambil
sebagai judul buku ini), yang diketiknya satu-satu di keyboard komputer di tengah rumah kami. Inilah “Dengarkan Jiwa” :
Apakah ini suara merduku?
Kudengarkan detak jantungku
Aku berjalan pelan-pelan
Semakin mendekat
aku mendengar
Apakah ini kekasih cinta?
Apakah ini kehidupan?
Apakah kau Jiwa Yang
Terbesar
yang kudengar?
Ini cuma peringatan
akan kebebasan ini
Di istana jiwa ini
kau mendengar
sebuah alunan
cintaku
Berlayar
Apakah kau perahu
istimewaku?
Kini pun aku berlayar
di tengah-tengah laut
Kemudian,
sebelum bait terakhir, Sarah membuat tabel yang di dalamnya dia letakkan,
mungkin, beberapa kata kunci dalam puisinya yang satu ini:
Berjalan
|
Jiwa Terbesar
|
Istana
|
Kebebasan
|
Kehidupan
|
Kekasih
|
(Dalam
diskusi dengan Sarah belakangan, yang dimaksudkan dengan “Jiwa Yang Terbesar”
adalah Tuhan, sedangkan kalimat “Ini cuma peringatan akan kebebasan ini,”
bermakna wanti-wanti Tuhan agar kita menggunakan kebebasan yang
dianugerahkan-Nya kepada kita dengan sebaik-baiknya). Segera saja, setelah itu,
tanpa keraguan sedikit pun, saya seperti mendapat pencerahan dan bukti akan
keyakinan kami yang sudah sampai ke tulang sumsum: yakni, bahwa setiap anak
unik, setiap anak pintar, hanya kepintaran mereka yang berbeda-beda. Dan, dalam
hal Sarah, kepintaran unik ini adalah dalam membuat puisi.
Maka,
kami pun terus berupaya mengumpulkan berbagai puisi yang ditulisnya, yang
tercecer di mana-mana. Segera juga tebersit keinginan untuk membukukan dan
menerbitkannya. Tapi, saya berpikir agar sedikitnya ada tiga puluh puisi yang
bisa dimasukkan dalam kumpulan karyanya. Nah, belakangan ini saya mendapat tiga
puluh lima puisi, dari sejumlah lebih banyak karya Sarah, yang siap terbit
dalam buku berjudul Dengarkan Jiwa. Tuhan seperti hendak membuktikan janjinya,
bahwa–betapa pun mungkin tak pernah benar-benar bisa terbebas dari kelemahan
dan kekurangan–setiap manusia istimewa, setiap orang unik.”
Nah,
itulah beberapa kutipan yang saya salin dari sebuah pengantar yang dijuduli
“Dengarkan Sarah ...”, yang ditulis oleh orang tuanya Sarah (Haidar Bagir dan
Lubna Assagaf) pada tanggal 6 Mei 2012, tepat ketika Sarah menginjak hari
kelahirannya yang ke-16. Saya kira pembaca dapat memetik pelajaran berharga
dari kutipan ini (^ ^).
Oh
iya, buku ini selain memuat komentar Helvy Tiana Rosa di cover depan, juga
memuat komentar Ayunda Nisa Chaira (penulis bestseller
KKPK dan Pink Berry Club) di cover belakang.
Juga pada halaman 1 diisi oleh komentar Kurnia Effendi (penulis Kumpulan Puisi Menderas Cahaya dan buku Hee Ah-Lee) dan Yun Kusumawati (Wali
kelas 9 dan Guru Bahasa dan Sastra Indonesia Sarah).
(AHMAD FAUZY)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar