Data buku kumpulan puisi
Judul: Tanda
Penulis: Heru Emka
Cetakan: 1, 1984
Penerbit dan Percetakan: PN
Balai Pustaka, Jakarta
Perancang Kulit: Budiono
Tebal: 124 halaman (86
puisi)
BP No. 3150
Beberapa pilihan puisi karya Heru Emka dalam Tanda
SONETA
bagi jiwaku
terbang kelelawar – terbang kesepian
sinar bulan pudar, kehidupan
batas bayang daunan, dalam
bulan pudar, gelap – sunyi malam.
bercermin diri dalam sadar
tengah mengenang datang kelelawar
mengeluh resah persis di depan,
semaksud ikrar tanpa ajakan.
ingin bergerak menyibak daunan
tirai bulan pudar dan gelap sunyi malam
lunglai badan lunglai jiwa.
makin menyamar sepanjang jalanan
rahasia alam, keluasan malam
tak tercapai: dunia di seberang gulita.
15 agustus 77
SUNYI BAGIKU
sunyi bagiku bukanlah ketakutan
ia nyanyi bagi sekelompok yang tersisa,
bila kau mengira yang tersisa itu berdosa
biarlah kuanggap sunyi itu nyanyi dosa.
bagiku sunyi bukanlah penderitaan
ia hiburan bagi sekelompok yang terluka
bila bagimu yang terluka itu berduka
biarlah kuanggap sunyi itu penghibur duka.
seperti halnya diriku, saudara,
dipukau sepi sejak babak pertama
bayang-bayangku ia, kekasih tercinta
pemburu yang tak pernah mati, pencari jejak sejati.
bila bagimu sepi itu hina
ia memang sahabat si hina
tapi jejaknya tetap murni
bagai pertama kali turun ke bumi.
14 nopember 76.
YOGA SUTRA PATANYALI
apa arti sempurna diri
terenggut cinta, terampas benci.
19 agustus 77
SOLILOQUI
buat gadis yang tertawa di depanku
seperti
sudah pasti saja, aku datang dari tengah harapan dan
bagai putri malu, kau bersimpuh dalam setiap mimpi.
antara lelap
dan jaga, kau dengar jugakah denting gitarku – sumbang dan
parau
– kucoba memikat bulan agar mau turun ke pangkuanmu.
sejuta
kelembutan muncul dalam tanganmu
lewat
peraduan mimpi, ingin juga kubisikkan ; kekasih itu
datang dengan bunga di tangan. dan
bagai gelombang samudra,
tak hentinya kerinduan membuat sebuah hari penuh dengan
mimpi – laksana angin yang selalu berhembus, tak hentinya
pesona
membuat sebuah wajah penuh misteri, ada kumbang mabuk di
kelopak bunga mawar, ketika kulihat lagi wajahmu . kenapa
tersipu?
tak
tersingkap jua cadar pesona-MU, kasihku
keadaan
kita begini; sepasang kembang di taman atau rusa
kena panah pangeran. kenapa pula hatus saling ingkar
bahwa
manusia merasa dan terasa? kaupun menjadi dian bagi
gulitaku
—tapi aku menjadi gulita bagi dianmu. barangkali tak
selalu terumus
pasti, bahwa semuanya berakhir begitu hampa
masih
jugakah KAU taruh diriku di tengah lingkaran waktu?
78
CINTAKU
danau biru
rumpun mawar – angsa
biduk berkayuh.
dikau
nyanyi dara – pukau
rindu namanya.
juli 76
PETUALANGAN
kau kembang, Aku orang
Kau ladang, aku hutan
kau padi, Aku petani
Kau awan, aku hujan
kau bumi, Aku mentari
Kau rupa, aku warna
kau gema, Aku nada
Kau biru, aku merah
kau bunga mawar, Aku bunga matahari
Kau senja, aku pelangi
kau bergumam, Aku bernyanyi
Kau tersipu, aku merayu
kau desah, Aku deru
Kau tergolek, aku terpaku
kau gairah, Aku keperkasaan
Kau ungu, Aku ungu
Kau redup, Aku meniup
Kau mati, Aku pergi
sudah, tiada lagi.
9 agustus 76
HIDUPKU
lingkup sepi - bulan merah
samar
tanpa angin
bulan merah - sendiri
suram
namanya duka.
19 juli 76.
TAHUN BARU
perjudian ataukah perburuan.
si kijang tua menanti takdir
sungai lambat mengalir
bintang mengerling dari jauh.
3 januari 78
PENYAIR
takdir dengan hati-hati meletakkan ia
– laksana mutiara dari langit – ke peraduan
mimpi.
sebuah lagu atau jeritan membangunkannya
dan lihat: bagai bayi ia tertawa tulus pada
kehidupan, pada dunia
pada burung yang terbang ia bilang bahwa ia merasa
ketentraman murni, pada angin ia berkata, ia
gelisah menanggung beban sejarah.
apa yang membuatnya curiga? oh, hanya malam.
tapi malam telah bercerita tentang air mata, tentang ajal
tentang cinta, tentang baka, tentang kecewa, tentang . .
.
5 juni 78.
DAUN
Ching Sia sedang mencuci pakaian
daun-daun gugur
bagai berdesah ia
daun-daun gugur
tapi penuh rahasia
kamukah yang bernyanyi
dalam sinar bulan?
kamukah yang bernyanyi
hidup itu satu lingkaran?
bila kekasih kembali
bawa lagi satu cinta
daun gugur ke bumi
banyak berkisah tentangnya.
bila kau bernyanyi;
lingkaran hidup yang esa
daun gugur mengerti
bertanya kadang tak berguna.
daun-daun gugur
lirih tanpa suara
seakan sudah terukur:
lingkaran hidup yang esa.
5 juni 78
----------------------------------------------------
andai KAU kupu – akukah bunga?
aku kupu – dan KAU jerat indah!
menggelepar dalam pesona.
1 Januari 78.
-----------------------------------------------------
PETUALANGAN II
“ke mana jalanmu,” tanyaku ketika kami
menabas bunga-bunga dan membiarkan getahnya
menempel di saku pakaian kami
“ingin mencari damai di sini, yang tak berdarah.”
angin meniup dan taman jadi lebih sejuk.
“kudengar ada gadis yang mati, terhisap pusaran danau.”
“ia berenang ke sana,” katanya, dan ia mengenangnya lagi
sambil
menggenggam erat tanganku.
“sebetulnya kita di sini cari apa,” tanyaku
“cari damai yang tak berdarah, karena kesucian serupa
sorga yang
didongengkan.”
“tapi kenapa kita menabas bunga-bunga?”
“ingin kuulang mimpi terwarisnya dosa, agar esok hari
masih
ada harapan dan pengampunan.”
kamipun semakin jauh masuk ke taman, menabas bunga-bunga
semakin banyak, hingga getahnya berlumuran di badan kami.
76
DIALOG II
- anginkah yang mengajak dedaunan dan ilalang turut
bernyanyi – tanya
asbak ada pot bunga, di meja.
begitu lirih –
deritakah yang dilagukan?
- bukan kawan, –kata lampu tiba-tiba, itu kerinduan,
bukankah lebih
indah daripada sepi, atau putus asa,
bagai taplak meja
itu, seharian ia muram, mengeluh, dan diam.
- perlukah itu dipersoalkan, lampu – sela pot bunga
kau selalu
tergantung, terbawa angin dan tak bisa teguh.
(lampu terdiam,
setelah ia dicela pot bunga).
- lagu itu terdengar lagi, kali ini tirai yang ikut
resah –
barangkali ia begitu perasa
hingga gelisah,
berkibaran, – ketika lagu lirih itu terdengar.
- huh, kau tak punya keteguhan hati, asbak!
perlukah
terombang-ambing seperti tirai, kata pot bunga.
aku lebih cerah dari
taplak yang lesu
dan lebih teguh
dari angin yang sangsi!
- tapi lagi itu menyentuh hati–, kata asbak lagi,
angin adalah
pengembara yang baik hati
kali ini ia letih
dan rindu.
- kuingin ketegasan, bukan bisik-bisik lirih!
pot bunga
menyahut ketus.
- sombong benar kau pot bunga!, teriak lampu yang sedari
tadi
diam saja.
- bungamu plastik, keindahanmu semu!, teriak asbak.
semuanya mendadak
terdiam, ketika si penghuni rumah menuju
ruang tamu itu,
dan menyadari; sebuah kehidupan telah berlalu.
3 maret 77
TANDA I
yang tersisa di dingin sebagai nyala
yang terasa di hidup sebagai cinta
tanda MU yang berdiam dalam kata
mempersoalkan kelanjutan tanya.
(tapi satu pula tanda MU di hati)
27 nopember 77
SAJAK PENYAIR DAN MATAHARI.
cerita buat Yati Sutarno
keduanya bertemu lagi
keduanya saling menatap, saling menghadap:
penyair dan matahari.
“ayo, jangan hanya pamer panasmu
dan membunuh semua bunga dengan kemaraumu,”
seru penyair pada matahari.
muara waktu mengalirkan lagi saat-saat hening
muara waktu menciptakan lagi rasa gundah
muara waktu menciptakan lagi bayang-bayang cinta
muara waktu menciptakan lagi waktu-waktu.
(keduanya bagai bertengkar, saling mengejar
saling sambut bagai kekasih yang rindu
sekaligus saling membenci)
“sinarmu hanya godaan, bukan kenyataan
kau ciptakan gairahku, lalu kau kaburkan,”
kata si penyair, sambil berusaha memegang sinarnya.
– muara waktu terus menciptakan kesia-sia-an.
20 desember 79.
SURAT DARI SEMARANG.
buat Emha
di Yogya
mas Emha, kupikir kita tak bisa mempertahankan
hidup kita, bila menilai dengan ukuran kasih sayang,
mungkin pula kita mati rasa
bisa melupakan kaidah cinta.
akupun tak selalu berani
dan membuang ketakutan yang mungkin lebih berguna.
mas Emha, aku ingin tahu lakon apa sesungguhnya
yang abadi, yang dimainkan Dalang esok nanti?
itu tiba tiba terlontar
sebagai kesiap-siagaan yang berlanjut kecurigaan
mungkin akan berlanjut lebih lama: keacuhan
orang cuma saling ingkar dengan harapannya
yang baik dan yang buruk.
seperti halnya dengan kebencian
itu lebih mengerikan dalam hidupku
daripada keacuhan yang menyepi
tapi ia sederajat dengan cinta
baik harganya ata nilainya.
seperti hatimu, misalnya;
pernah bukan, ragu pada keputusan?
dan keraguan pun berguna – jawab apa adanya.
karena itu ketenangan kucari dalam hidupku
karena itu hidup kucari dari ketenanganku
daripada saling ingkar dari harapan semula.
mas Emha, jadi salahkah aku bila
menjajarkan cinta dengan benci?
embun dan liur gagak sama cairnya
dan keduanya punya nilai sendiri-sendiri.
jadi salahkah aku
bila berkata: sepi lebih berarti dari sekedar sepi?
beginilah aku sebenarnya
semoga kamu tak salah terka!
18 juli 76.
JAKA LODANG
keong kosong itu tersurut lagi, kala ombak datang
(dan memang terus datang) ubur-ubur yang kembang
mendengar lagi nyanyi lumut yang dulu hilang
merayap di pasir, melayang di air dan membelit karang.
keong kosong, ombak tak pernah berlabuh
lama, jangan pula hidupmu berkeluh
gerimispun turun dan burung camar terbang menjauh
menghindar dari kemuraman – kehampaan yang penuh.
keong kosong itu terdiam tak lagi mimpi
jadi karang – merindu lagi langit sunyi
begitu; tenteram di hati
selalu lari
sedang hari yang pergi tak pulang kembali.
23 januari 79
SEGMENT
. . . and dictates to me slumbring, or inspires
easy my unpremeditated verse.
(John
Milton, Paradise Lost. IX, 24)
(hanya
bangku kosong
berderet
dari
sunyi kemarin ke sunyi nanti.
terlihat:
tubuh yang sia-sia
mengejar
dan dikejar yang tiada
dan tersuruk . . . )
+ semua tiada,
mana kini . . .
- benar tiada,
tapi kapan?
+ hm, dan mimpi
itu, terasakah olehmu?
- cinta yang
mengesankan?
+ bukan!
- kau menanti
pujangga pulang?
+ kucari hatiku
yang hilang
- karena mimpimu?
+ ya, dan akan
kucari
hatiku yang
hilang, akan kucari!
(dan tersuruk,
terbungkuk dan rebah
sunyi
sunyi
sunyi sekali
hela napas,
terus – lama)
+ matahari itu,
mana dia ; . . .
- tertutup mimpi
hampa.
+ bulan bintang?
- ditelan mimpi
hampa.
+ kita?
- mimpi hampa!
mimpi hampa!
+ tapi ada suara .
. . ssst!
- ya, kata hati.
+ tapi tak jelas
- ia melawan mimpi.
(keluh
lirih lalu diam)
+ hm.
- hm.
+ ah!
- hai! aku ingin
nyanyi!
+ yang tersimpan
dalam hati?
- ya, merindu ia
lagi . . .
+ kembali?
- entah
+ pastilah! suara
itu pertanda ada DIA.
(layar
turun)
penonton: oh, selesai ya?
ini akhir dari sebuah awal kan,
mana sang sutradara?
pemain : sejak
semula ia tiada.
+ hei, hanya kita
di sini, siapa penonton itu?
- bayang-bayang
barangkali.
drama terus ada, segment segment lain muncul.
6 Juli 78.
Tentang Heru Emka
Heru Emka lahir tanggal 30 Oktober 1959 di Semarang. Pendidikan: masa
remaja dilewatkan dengan mengembara ke berbagai kota. Semula niatnya ingin
menjadi pelukis atau musisi, tapi gagal. Kemudian aktif dalam dunia drama di
Semarang. Mulai tahun 1977 ia menulis sajak. Sajak-sajaknya terkumpul dalam
antologi Puisi Indonesia ’83 (Dewan
Kesenian Jakarta 1983). Telah ditulis juga kumpulan sajaknya Sajak Metamorfosa dan Jejak Memenjang. Selain sajak ia juga mengarang
esai serta novel. Karyanya dimuat di berbagai penerbitan, baik di Jakarta
maupun di daerah. Bulan Oktober 1983 ia ikut tampil dalam Puisi Indonesia ’83
di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Semboyan hidup yang selalu diingatnya: Hidup
harus dibela dari kekalahan. Tritunggal dalam kehidupan penyair ini adalah
sajak, kasih sayang dan Tuhan Yang Maha Esa.
Catatan Lain
Buku ini saya beli di Delani Bookstore seharga Rp. 20.000,-. Dalam
pengantarnya, penerbit mengatakan bahwa Heru adalah salah satu penyair muda
berbakat. Namun, ia jarang menyiarkan sajak-sajaknya lewat majalah atau surat
kabar. Dia pun tak pernah mencoba mengirimkan sajak-sajaknya di majalah
Horison, konon karena penyairnya merasa tak pantas menghadirkan sajak-sajaknya
di sana.
Dalam pengantarnya, penerbit membicarakan kekhasan sajak-sajak Heru seperti
ini:
“Dia telah memiliki kematangan yang jarang dimiliki oleh penulis atau
penyair semuda dia. Ungkapan-ungkapan sajaknya banyak yang mengejutkan,
demikian juga pemakaian imaji dan simbolnya. Heru menyanyi bukan secara
menghentak-hentak sebagaimana penyair muda lain yang masih belum matang.
Nyanyian Heru kelihatan dewasa, suatu nyanyian yang mengalir dalam semacam
kediaman yang hening, dan disertai renungan memukau.
Dalam sajak-sajaknya dia bebicara tentang kesepian, kerinduan, keputusasaan,
persahabatannya dengan gadis-gadis yang sebaya. Pendek kata dia berbicara
tentang dunia yang akrab dengannya. Dengan persepsi yang cukup tajam, teknik
dan gaya bersajak yang telah dia kuasai dengan baik.
Apabila dia berbicara tentang gadis-gadis, maka yang dia bicarakan bukanlah
gadis-gadis yang kita kenal secara fisik. Gadis-gadis yang dia tampilkan adalah
lambang keindahan, kesetiaan, kesepian, ketidakmengertian dan semacam. Kita
temui lebih jauh dalam sajak-sajaknya dialog mengenai kehadiran manusia di
tengah manusia lain dan hubungannya dengan Tuhan.“
Penerbit juga mengatakan bahwa dalam sajak-sajak Heru terdapat pengaruh
penyair-penyair lain yang lebih tua. Dan salah seorang yang saya kira
mempengaruhi sajak Heru adalah Sutardji Djoko Damono.
Cobalah perhatikan sajaknya yang berjudul “Dialog II”, dan bandingkan
dengan sajak SDD yang berjudul “Percakapan Dalam Kamar”. Terdapat beberapa
kemiripan seperti penggunaan majas personifikasi yang kental dan dengan
eksistensi seorang manusia.
Sedangkan penyair selain SDD yang mempengaruhi sajak Heru masih belum saya
ketahui. Barangkali pembaca bisa menerka siapa lagi yang lainnya J.
(AHMAD FAUZY)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar