Selasa, 02 Februari 2016

Heru Emka: TANDA




Data buku kumpulan puisi

Judul: Tanda
Penulis: Heru Emka
Cetakan: 1, 1984
Penerbit dan Percetakan: PN Balai Pustaka, Jakarta
Perancang Kulit: Budiono
Tebal: 124 halaman (86 puisi)
BP No. 3150

Beberapa pilihan puisi karya Heru Emka dalam Tanda

SONETA
                                                 bagi jiwaku

terbang kelelawar – terbang kesepian
sinar bulan pudar, kehidupan
batas bayang daunan, dalam
bulan pudar, gelap – sunyi malam.

bercermin diri dalam sadar
tengah mengenang datang kelelawar
mengeluh resah persis di depan,
semaksud ikrar tanpa ajakan.

ingin bergerak menyibak daunan
tirai bulan pudar dan gelap sunyi malam
lunglai badan lunglai jiwa.

makin menyamar sepanjang jalanan
rahasia alam, keluasan malam
tak tercapai: dunia di seberang gulita.

15 agustus 77


SUNYI BAGIKU

sunyi bagiku bukanlah ketakutan
ia nyanyi bagi sekelompok yang tersisa,
bila kau mengira yang tersisa itu berdosa
biarlah kuanggap sunyi itu nyanyi dosa.

bagiku sunyi bukanlah penderitaan
ia hiburan bagi sekelompok yang terluka
bila bagimu yang terluka itu berduka
biarlah kuanggap sunyi itu penghibur duka.

seperti halnya diriku, saudara,
dipukau sepi sejak babak pertama
bayang-bayangku ia, kekasih tercinta
pemburu yang tak pernah mati, pencari jejak sejati.

bila bagimu sepi itu hina
ia memang sahabat si hina
tapi jejaknya tetap murni
bagai pertama kali turun ke bumi.

14 nopember 76.



YOGA SUTRA PATANYALI

apa arti sempurna diri
terenggut cinta, terampas benci.

19 agustus 77


SOLILOQUI
                                                          buat gadis yang tertawa di depanku

         seperti sudah pasti saja, aku datang dari tengah harapan dan
bagai putri malu, kau bersimpuh dalam setiap mimpi. antara lelap
dan jaga, kau dengar jugakah denting gitarku – sumbang dan parau
– kucoba memikat bulan agar mau turun ke pangkuanmu.
          sejuta kelembutan muncul dalam tanganmu

          lewat peraduan mimpi, ingin juga kubisikkan ; kekasih itu
datang dengan bunga di tangan. dan bagai gelombang samudra,
tak hentinya kerinduan membuat sebuah hari penuh dengan
mimpi – laksana angin yang selalu berhembus, tak hentinya pesona
membuat sebuah wajah penuh misteri, ada kumbang mabuk di
kelopak bunga mawar, ketika kulihat lagi wajahmu . kenapa
tersipu?
          tak tersingkap jua cadar pesona-MU, kasihku

          keadaan kita begini; sepasang kembang di taman atau rusa
kena panah pangeran. kenapa pula hatus saling ingkar bahwa
manusia merasa dan terasa? kaupun menjadi dian bagi gulitaku
—tapi aku menjadi gulita bagi dianmu. barangkali tak selalu terumus
pasti, bahwa semuanya berakhir begitu hampa
         masih jugakah KAU taruh diriku di tengah lingkaran waktu?

78


CINTAKU

danau biru
rumpun mawar – angsa
biduk berkayuh.

dikau
nyanyi dara – pukau
rindu namanya.

juli 76


PETUALANGAN

kau kembang, Aku orang
Kau ladang, aku hutan
kau padi, Aku petani
Kau awan, aku hujan
kau bumi, Aku mentari
Kau rupa, aku warna
kau gema, Aku nada
Kau biru, aku merah
kau bunga mawar, Aku bunga matahari
Kau senja, aku pelangi
kau bergumam, Aku bernyanyi
Kau tersipu, aku merayu
kau desah, Aku deru
Kau tergolek, aku terpaku
kau gairah, Aku keperkasaan

Kau ungu, Aku ungu
Kau redup, Aku meniup

Kau mati, Aku pergi

sudah, tiada lagi.

9 agustus 76


HIDUPKU

lingkup sepi - bulan merah
samar
tanpa angin
bulan merah - sendiri
suram
namanya duka.

19 juli 76.


TAHUN BARU

perjudian ataukah perburuan.
si kijang tua menanti takdir
sungai lambat mengalir
bintang mengerling dari jauh.

3 januari 78


PENYAIR

takdir dengan hati-hati meletakkan ia
– laksana mutiara dari langit – ke peraduan
mimpi.

sebuah lagu atau jeritan membangunkannya
dan lihat: bagai bayi ia tertawa tulus pada
kehidupan, pada dunia

pada burung yang terbang ia bilang bahwa ia merasa
ketentraman murni, pada angin ia berkata, ia
gelisah menanggung beban sejarah.

apa yang membuatnya curiga? oh, hanya malam.
tapi malam telah bercerita tentang air mata, tentang ajal
tentang cinta, tentang baka, tentang kecewa, tentang . . .

5 juni 78.


DAUN
                                     Ching Sia sedang mencuci pakaian

daun-daun gugur
bagai berdesah ia
daun-daun gugur
tapi penuh rahasia

kamukah yang bernyanyi
dalam sinar bulan?
kamukah yang bernyanyi
hidup itu satu lingkaran?

bila kekasih kembali
bawa lagi satu cinta
daun gugur ke bumi
banyak berkisah tentangnya.

bila kau bernyanyi;
lingkaran hidup yang esa
daun gugur mengerti
bertanya kadang tak berguna.

daun-daun gugur
lirih tanpa suara
seakan sudah terukur:
lingkaran hidup yang esa.

5 juni 78
----------------------------------------------------



andai KAU kupu – akukah bunga?
aku kupu – dan KAU jerat indah!
menggelepar dalam pesona.

1 Januari 78.
-----------------------------------------------------


PETUALANGAN II

“ke mana jalanmu,” tanyaku ketika kami
menabas bunga-bunga dan membiarkan getahnya
menempel di saku pakaian kami

“ingin mencari damai di sini, yang tak berdarah.”
angin meniup dan taman jadi lebih sejuk.

“kudengar ada gadis yang mati, terhisap pusaran danau.”
“ia berenang ke sana,” katanya, dan ia mengenangnya lagi sambil
menggenggam erat tanganku.

“sebetulnya kita di sini cari apa,” tanyaku
“cari damai yang tak berdarah, karena kesucian serupa sorga yang
didongengkan.”
“tapi kenapa kita menabas bunga-bunga?”
“ingin kuulang mimpi terwarisnya dosa, agar esok hari masih
ada harapan dan pengampunan.”

kamipun semakin jauh masuk ke taman, menabas bunga-bunga
semakin banyak, hingga getahnya berlumuran di badan kami.

76


DIALOG II

- anginkah yang mengajak dedaunan dan ilalang turut
  bernyanyi – tanya asbak ada pot bunga, di meja.
  begitu lirih – deritakah yang dilagukan?

- bukan kawan, –kata lampu tiba-tiba, itu kerinduan,
  bukankah lebih indah daripada sepi, atau putus asa,
  bagai taplak meja itu, seharian ia muram, mengeluh, dan diam.

- perlukah itu dipersoalkan, lampu – sela pot bunga
  kau selalu tergantung, terbawa angin dan tak bisa teguh.
  (lampu terdiam, setelah ia dicela pot bunga).

- lagu itu terdengar lagi, kali ini tirai yang ikut
  resah – barangkali ia begitu perasa
  hingga gelisah, berkibaran, – ketika lagu lirih itu terdengar.

- huh, kau tak punya keteguhan hati, asbak!
  perlukah terombang-ambing seperti tirai, kata pot bunga.
  aku lebih cerah dari taplak yang lesu
  dan lebih teguh dari angin yang sangsi!

- tapi lagi itu menyentuh hati–, kata asbak lagi,
  angin adalah pengembara yang baik hati
  kali ini ia letih dan rindu.

- kuingin ketegasan, bukan bisik-bisik lirih!
  pot bunga menyahut ketus.

- sombong benar kau pot bunga!, teriak lampu yang sedari tadi
  diam saja.

- bungamu plastik, keindahanmu semu!, teriak asbak.

  semuanya mendadak terdiam, ketika si penghuni rumah menuju
  ruang tamu itu, dan menyadari; sebuah kehidupan telah berlalu.

3 maret 77


TANDA I

yang tersisa di dingin sebagai nyala
yang terasa di hidup sebagai cinta
tanda MU yang berdiam dalam kata
mempersoalkan kelanjutan tanya.

                                                                             (tapi satu pula tanda MU di hati)

27 nopember 77


SAJAK PENYAIR DAN MATAHARI.
                                                cerita buat Yati Sutarno

keduanya bertemu lagi
keduanya saling menatap, saling menghadap:
penyair dan matahari.

“ayo, jangan hanya pamer panasmu
dan membunuh semua bunga dengan kemaraumu,”
seru penyair pada matahari.

muara waktu mengalirkan lagi saat-saat hening
muara waktu menciptakan lagi rasa gundah
muara waktu menciptakan lagi bayang-bayang cinta
muara waktu menciptakan lagi waktu-waktu.

(keduanya bagai bertengkar, saling mengejar
saling sambut bagai kekasih yang rindu
sekaligus saling membenci)

“sinarmu hanya godaan, bukan kenyataan
kau ciptakan gairahku, lalu kau kaburkan,”
kata si penyair, sambil berusaha memegang sinarnya.

– muara waktu terus menciptakan kesia-sia-an.

20 desember 79.


SURAT DARI SEMARANG.
                                      buat Emha di Yogya

mas Emha, kupikir kita tak bisa mempertahankan
hidup kita, bila menilai dengan ukuran kasih sayang,
mungkin pula kita mati rasa
bisa melupakan kaidah cinta.
akupun tak selalu berani
dan membuang ketakutan yang mungkin lebih berguna.

mas Emha, aku ingin tahu lakon apa sesungguhnya
yang abadi, yang dimainkan Dalang esok nanti?
itu tiba tiba terlontar
sebagai kesiap-siagaan yang berlanjut kecurigaan
mungkin akan berlanjut lebih lama: keacuhan
orang cuma saling ingkar dengan harapannya
yang baik dan yang buruk.

seperti halnya dengan kebencian
itu lebih mengerikan dalam hidupku
daripada keacuhan yang menyepi
tapi ia sederajat dengan cinta
baik harganya ata nilainya.

seperti hatimu, misalnya;
pernah bukan, ragu pada keputusan?
dan keraguan pun berguna – jawab apa adanya.
karena itu ketenangan kucari dalam hidupku
karena itu hidup kucari dari ketenanganku
daripada saling ingkar dari harapan semula.

mas Emha, jadi salahkah aku bila
menjajarkan cinta dengan benci?

embun dan liur gagak sama cairnya
dan keduanya punya nilai sendiri-sendiri.

jadi salahkah aku
bila berkata: sepi lebih berarti dari sekedar sepi?

beginilah aku sebenarnya
semoga kamu tak salah terka!

18 juli 76.


JAKA LODANG

keong kosong itu tersurut lagi, kala ombak datang
(dan memang terus datang) ubur-ubur yang kembang
mendengar lagi nyanyi lumut yang dulu hilang
merayap di pasir, melayang di air dan membelit karang.

keong kosong, ombak tak pernah berlabuh
lama, jangan pula hidupmu berkeluh
gerimispun turun dan burung camar terbang menjauh
menghindar dari kemuraman – kehampaan yang penuh.

keong kosong itu terdiam tak lagi mimpi
jadi karang – merindu lagi langit sunyi
begitu; tenteram di hati  selalu lari
sedang hari yang pergi tak pulang kembali.

23 januari 79


SEGMENT


            . . .  and dictates to me slumbring, or inspires
            easy my unpremeditated verse.
            (John Milton, Paradise Lost. IX, 24)

            (hanya bangku kosong
            berderet
            dari sunyi kemarin ke sunyi nanti.
            terlihat: tubuh yang sia-sia
            mengejar dan dikejar yang tiada
            dan tersuruk . . . )

+  semua tiada, mana kini . . .
-  benar tiada, tapi kapan?
+  hm, dan mimpi itu, terasakah olehmu?
-  cinta yang mengesankan?
+  bukan!
-  kau menanti pujangga pulang?
+  kucari hatiku yang hilang
-  karena mimpimu?
+  ya, dan akan kucari
    hatiku yang hilang, akan kucari!
    (dan tersuruk, terbungkuk dan rebah
    sunyi
    sunyi
    sunyi sekali
    hela napas, terus – lama)
+  matahari itu, mana dia ; . . .
-   tertutup mimpi hampa.
+  bulan bintang?
-  ditelan mimpi hampa.
+  kita?
-  mimpi hampa! mimpi hampa!
+  tapi ada suara . . . ssst!
-  ya, kata hati.
+  tapi tak jelas
-  ia melawan mimpi.
                                       (keluh lirih lalu diam)

+  hm.
-   hm.
+  ah!
-  hai! aku ingin nyanyi!
+  yang tersimpan dalam hati?
-  ya, merindu ia lagi . . .
+  kembali?
-  entah
+  pastilah! suara itu pertanda ada DIA.
                                       (layar turun)

penonton: oh, selesai ya?
                   ini akhir dari sebuah awal kan,
                   mana sang sutradara?
pemain   :  sejak semula ia tiada.
+  hei, hanya kita di sini, siapa penonton itu?
-  bayang-bayang barangkali.

drama terus ada, segment segment lain muncul.

6 Juli 78.


Tentang Heru Emka
Heru Emka lahir tanggal 30 Oktober 1959 di Semarang. Pendidikan: masa remaja dilewatkan dengan mengembara ke berbagai kota. Semula niatnya ingin menjadi pelukis atau musisi, tapi gagal. Kemudian aktif dalam dunia drama di Semarang. Mulai tahun 1977 ia menulis sajak. Sajak-sajaknya terkumpul dalam antologi Puisi Indonesia ’83 (Dewan Kesenian Jakarta 1983). Telah ditulis juga kumpulan sajaknya Sajak Metamorfosa dan Jejak Memenjang. Selain sajak ia juga mengarang esai serta novel. Karyanya dimuat di berbagai penerbitan, baik di Jakarta maupun di daerah. Bulan Oktober 1983 ia ikut tampil dalam Puisi Indonesia ’83 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Semboyan hidup yang selalu diingatnya: Hidup harus dibela dari kekalahan. Tritunggal dalam kehidupan penyair ini adalah sajak, kasih sayang dan Tuhan Yang Maha Esa.


Catatan Lain
Buku ini saya beli di Delani Bookstore seharga Rp. 20.000,-. Dalam pengantarnya, penerbit mengatakan bahwa Heru adalah salah satu penyair muda berbakat. Namun, ia jarang menyiarkan sajak-sajaknya lewat majalah atau surat kabar. Dia pun tak pernah mencoba mengirimkan sajak-sajaknya di majalah Horison, konon karena penyairnya merasa tak pantas menghadirkan sajak-sajaknya di sana.

Dalam pengantarnya, penerbit membicarakan kekhasan sajak-sajak Heru seperti ini:

“Dia telah memiliki kematangan yang jarang dimiliki oleh penulis atau penyair semuda dia. Ungkapan-ungkapan sajaknya banyak yang mengejutkan, demikian juga pemakaian imaji dan simbolnya. Heru menyanyi bukan secara menghentak-hentak sebagaimana penyair muda lain yang masih belum matang. Nyanyian Heru kelihatan dewasa, suatu nyanyian yang mengalir dalam semacam kediaman yang hening, dan disertai renungan memukau.

Dalam sajak-sajaknya dia bebicara tentang kesepian, kerinduan, keputusasaan, persahabatannya dengan gadis-gadis yang sebaya. Pendek kata dia berbicara tentang dunia yang akrab dengannya. Dengan persepsi yang cukup tajam, teknik dan gaya bersajak yang telah dia kuasai dengan baik.

Apabila dia berbicara tentang gadis-gadis, maka yang dia bicarakan bukanlah gadis-gadis yang kita kenal secara fisik. Gadis-gadis yang dia tampilkan adalah lambang keindahan, kesetiaan, kesepian, ketidakmengertian dan semacam. Kita temui lebih jauh dalam sajak-sajaknya dialog mengenai kehadiran manusia di tengah manusia lain dan hubungannya dengan Tuhan.“

Penerbit juga mengatakan bahwa dalam sajak-sajak Heru terdapat pengaruh penyair-penyair lain yang lebih tua. Dan salah seorang yang saya kira mempengaruhi sajak Heru adalah Sutardji Djoko Damono.

Cobalah perhatikan sajaknya yang berjudul “Dialog II”, dan bandingkan dengan sajak SDD yang berjudul “Percakapan Dalam Kamar”. Terdapat beberapa kemiripan seperti penggunaan majas personifikasi yang kental dan dengan eksistensi seorang manusia.

Sedangkan penyair selain SDD yang mempengaruhi sajak Heru masih belum saya ketahui. Barangkali pembaca bisa menerka siapa lagi yang lainnya J.

(AHMAD FAUZY)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar