Data buku kumpulan puisi
Judul
: Sebait Pantun Bujang
Penulis : Agit
Yogi Subandi
Cetakan
: I, Desember 2010
Penerbit
: Dewan Kesenian Lampung, Bandar Lampung.
Tebal
: 48 halaman (24 puisi)
Penyunting
: Ari Pahala Hutabarat
Penata letak dan sampul : Arya Winanda
Beberapa pilihan puisi Agit Yogi Subandi dalam Sebait
Pantun Bujang
SEBAIT PANTUN BUJANG
akasia hijau tersepuh
bunganya cemara kering rapuh
mengapa bunga tak kunjung jatuh
hingga angan berubah keluh.
Bandarlampung, 2010
MELANKOLIA KOTA
pernahkah engkau kusyuk pada pertemuan?
sementara telingamu dijejali sejuta lagu luka,
tubuhmu diselimuti lampu gemerlap fana.
orang-orang menerka-nerka rencana,
tapi kota terlalu sesak untuk menyimpan pertemuan.
perpisahan seperti bangsal yang menyimpan kematian
apa yang mesti kita simpan, kecuali kenangan?
ayolah rencanakan pertemuan di kebun binatang
agar kita tentram dengan kicau burung di pangkal pepohonan
di sanalah kita dapat kembali mengingat ringkik kuda
yang kesepian ditinggal pengunjung,
auman harimau yang pura-pura menakutimu
juga lutung yang hendak menggapai pundakmu.
lalu kaudiam. tapi helai-helai daun di batang akasia pinggir jalan
bergoyang-goyang lantaran digoda angin nakal tak mau diam.
suara-suara tak mau menepi sedikitpun
tak ada rumput yang merunduk:
tempatku biasa memalingkan pandang
dari sesuatu yang berjejal.
siapa yang akan mencatat pertemuan?
bahkan kota lupa nama kita
pernahkah engkau kusyuk pada pertemuan?
ah, aku sungkan padamu:
karena kautak mendengarkanku.
Tanjungkarang/Kedaton, 2008
sementara telingamu dijejali sejuta lagu luka,
tubuhmu diselimuti lampu gemerlap fana.
orang-orang menerka-nerka rencana,
tapi kota terlalu sesak untuk menyimpan pertemuan.
perpisahan seperti bangsal yang menyimpan kematian
apa yang mesti kita simpan, kecuali kenangan?
ayolah rencanakan pertemuan di kebun binatang
agar kita tentram dengan kicau burung di pangkal pepohonan
di sanalah kita dapat kembali mengingat ringkik kuda
yang kesepian ditinggal pengunjung,
auman harimau yang pura-pura menakutimu
juga lutung yang hendak menggapai pundakmu.
lalu kaudiam. tapi helai-helai daun di batang akasia pinggir jalan
bergoyang-goyang lantaran digoda angin nakal tak mau diam.
suara-suara tak mau menepi sedikitpun
tak ada rumput yang merunduk:
tempatku biasa memalingkan pandang
dari sesuatu yang berjejal.
siapa yang akan mencatat pertemuan?
bahkan kota lupa nama kita
pernahkah engkau kusyuk pada pertemuan?
ah, aku sungkan padamu:
karena kautak mendengarkanku.
Tanjungkarang/Kedaton, 2008
MUSIM GUGUR
musim gugur,
ada di dada dan jemarimu:
dadamu, adalah batang yang tak lagi
mengalirkan resapan air kepadaku.
jemarimu, adalah reranting yang melepas
pipih tubuhku yang hijau;
seperti pertama kali aku tumbuh
di tanganmu
2009
BERLAYAR
yang berlayar,
hingga kini
belum juga sampai
ke tepian.
bunga-bunga
telah gugur
dan bersemi kembali
untuk yang kesekian kalinya
di ujung senja
gubuk-gubuk
mulai pucat
dadaku mulai padat
tak ada wajahmu
di tiap-tiap perahu
dan semuanya
datang lalu membuyar.
2010
SOLILOKUI HAMPARAN GURUN
akulah tubuh yang berdiam di dalam kemarau
dan setiap orang hanya melintas kemudian berlalu.
hujan hanya sekelumit
sepertiga daratan semesta, aku yang mengapit.
aku penyerap panas matahari
yang bersinar dengan benci.
aku juga penghisap dingin rembulan
yang redup dari keterasingan.
di dalam tubuhku, terdapat daratan garam
kulitku, adalah pasir dan batu curam.
angin-angin bertiup kencang
menerbangkan pasir dan menggeser batu garang.
di kulitku, ada ratusan playa kering: pecah.
dan orang-orang akan mengeruk dan membangun rumah
rambutku adalah kaktus saguaro
tempat makhluk mengendurkan ikat pinggangnya.
burung-burung bersarang dan beranak,
kalajengking menumpuk makanan dan merebus bisanya.
kelaminku adalah oase hijau.
di situlah para musafir berkerumun:
berbincang dan mengisi botol air minum.
Tanjungkarang, 2009-2010
PETANI KATA
berkali-kali ia berjalan dengan hujaman tombak-tombak
matahari di
punggungnya, hingga legam lehernya menjadi semakin tebal
dan kebal. di
dalam perjalanan itulah ia mengumpulkan bibit-bibit
tanamannya. bibit-
bibit yang kerap menyusun dirinya menjadi serangkaian
tumbuhan yang
berubah-ubah di dalam keranjangnya. sering juga
bibit-bibit itu menjalar
ke kepalanya: meliliti dan menyusup ke dalam kepalanya.
dan betapa
takzimnya bibit-bibit itu di dalam kepalanya—setelah
menyusup dalam ke
liang-liang otaknya. dan petani itu lebih memilih diam
ketimbang
mencabutnya dari liang kepala. petani itu lebih memilih
bersabar
ketimbang tergesa-gesa mengembalikannya menjadi bibit
yang semula
diam. ya, ia tak ingin bibit-bibit itu mati dalam
keranjangnya, maka ia
biarkan hidup di dalam kepalanya.
setelah ia lepas sebentang petang di ketinggian—menengadahkan
pandangannya ke matahari yang berwarna mirip tembaga—ia
pulang
dengan sekeranjang bibit yang menjalar dan menyusup di
kepalanya. angin-
angin berpusaran di dekat tubuhnya. perjalanan pulang
seperti memasuki
pintu-pintu yang seperti tak memiliki ruang. ruang-ruang
menjadi bening,
namun tak dapat melihat ruang yang lain setelah memasuki
pintu-pintu
itu. tapi apabila ia tak memasuki pintu-pintu yang
separuh ilusi itu, ia tak
akan menemukan jalan pulang. dan petani itu mencoba untuk
menjarah
seluruh ruang-ruang bening itu untuk menjadikan kebun
kemudian
menanamkan bibit-bibit itu. kebun yang hening, tanpa
suara burung dan
suara angin. petani itupun bisu.
ya, petani itu tak pernah mengharapkan apa yang akan
tumbuh. tapi ia
hanya menanamkannya di ruang-ruang itu, di kebun-kebun
itu. ia tak
pernah menamai kebunnya dengan kebun padma, atau kebun
magnolia.
sebab kata atau nama, harus memiliki tanda. sedangkan
tanda di kebunnya
kerap berubah-ubah, dan ia mulai menanamkan bibit-bibit
itu. ia cabut
bibit-bibit yang menyusup di kepalanya. darah-darah
keluar, tangan-
tangan penuh darah. kebun ditetesi darah: tanam—sambil
membayangkan
gelak tawa orang-orang di perjalanannya, gerimis yang
malas, batu-batu
yang menyerpih di jalanan, rumah-rumah berpintu bengis,
jendela-jendela
yang licik, beranda yang sedih, dan waktu yang memiliki
ruangnya sendiri-
sendiri, juga angin yang menembusi tubuhnya, desir angan
untuk bekal
tanaman-tanaman itu. setelah menanam, ia pun diam. dan ia
tak tak ingin
menjelaskan isi kebun itu untuk seseorang yang lewat.
harapannya, ada
yang memetik apapun yang tumbuh di kebunnya: kalaupun
buah, maka
seseorang itu akan mengunyahnya sendiri, dengan giginya
yang tajam.
kalaupun bunga, ia akan mencium dan memetiknya untuk di
simpan di
lubuk dadanya.
Tanjungkarang, 2009
LABIRIN
aku di dalam labirin berdinding tanaman rambat, gemanya
bagai di dalam
balairung sepi. taka da papan penunjuk arah. dibiarkannya
aku melarat
menempuh tikungan-tikungan curam dan jalan buntu tanpa
bekal kompas
atau peta buta sekalipun. tak ada yang bisa dipahami dari
permainan ini,
sebab aku tak bisa kembali ke jalan yang telah dilalui.
setiap ingin
kembali, aku berada di tempat lain.
setiap daun memiliki nama. salah satunya adalah namamu.
dan setiap
daun berkaitan dengan daun yang lain. mereka bersekongkol
dan pura-
pura acuh. dirambatkanlah batang dan daunnya yang bernama
itu ke kaki,
tangan, dan lehermu. jangan katakan tidak kepada mereka,
cukup
lepaskan rambatannya, maka mereka akan mengerti: kau tak
mau terikat
olehnya. kau akan sering menyesuaikan tubuhmu kepada daun
itu:
mengecil dan masuk ke dalamnya. tapi jangan berlebihan
menanggapi,
sebab daun itu, sesungguhnya seperti dirimu juga: di
dalam labirin dan
menemui daun-daun pula.
pada saat kau menemuinya, ia adalah daun, tapi pada saat
itu pula ketika
ia menemuimu, kau sebagai daun. kalian tidak saling
mengetahui, sebab
kau hanya menebak dari apa yang terlihat; daun-daun yang
menunas,
dinding retak, kegelapan, bahkan daun-daun yang terlepas
dari
batangnya—memasuki sebuah pintu yang tak pernah dikunci
oleh
siapapun dan mengakhiri petualanganmu—semuanya seolah
telah
diketahui dan membuatnya menjadi pasti. kau mulai
mengasah rasa
takutmu. tanpa kau ketahui, dan betapa mengagetkan, semua
peristiwa,
berjalinan denganmu.
daun-daun itulah yang perlahan menghantar dan
memperkenalkanmu
kepada daun-daun lain. kau tinggal memilih, masuk ke
dalam atau berdiri
memandang kemudian pergi: memastikan yang belum pasti di
bawah
terik matahari dan memastikan bentuk benda-benda di bawah
redup
cahaya bulan juga bintang-bintang. dan kejujuran, adalah milik
kematian.
batu-batu, benda-benda di sekelilingmu, bahkan tubuhmu
berpijaran dan
pijaran itu kemudian meninggalkan semuanya menuju
angkasa,
menembus atmosfer bagai bola-bola cahaya yang kemudian
pecah
menjadi jutaan keping. di dalam labirin ini, aku seperti
pencari. pencari
pintu keluarku sendiri. tapi sesungguhnya aku mencarikan
pintu
keluarmu, dan kau mencarikan pintu keluarku.
suatu ketika, kususuri pasir-pasir coklat muda yang
ditumbuhi rumput.
kudengar rintihan dari balik puing. ada wewangian yang
perlahan
menghisap tubuhku ke dalam pusaran di daun-daun yang
memiliki ruang
lain lagi, labirin yang lain: cahaya kelam, dinding yang
lebih puing,
tumbuhan rambat yang lebih rambat, bahkan rintih yang
lebih rintih lagi.
dan tumbuhan itu melenguh bagai nafas harimau terluka.
aku mulai
merapuh dalam cahaya itu. berahi-berahi bergegas menyusun
dirinya di
dadaku. mencari lagi musim yang menghilang di bilik
jantungku, hingga
mengeram, kemudian memecutkan tangannya yang seperti
ranting
kering dan melukai lagi dinding di bilik jantungku.
rongga dadaku digenangi darah yang menghitam.
kebencian-kebencian
mengkristal di dalamnya, berhamburan, beterbangan, dan
masuk lagi ke
dalam daging, resap ke dalam pembuluh darah seraya
mengintai lubang-
lubang di tubuhku. mereka berpesta dalam kejemuan, dalam
dahaga yang
mendorong perkiraan dan dugaanku terhadap ruang. kemudian
kristal-
kristal itu meleleh, keluar lewat lubang hidungku.
seketika semuanya
menjadi bersih. tak bersudut dengan sebentang kabut di
kejauhan dan
dibayang-bayangi pohon-pohon hitam
samar.
aku seperti tengah kembali pada
permulaan: bukan menjadi anak kecil,
tapi aku kembali bisa melihat;
pohon-pohon melambai-lambai, rumput,
langit biru, serangga-serangga
beterbangan mengintari setiap tumbuhan:
seperti di dalam akuarium jernih yang
ditunggangi tebaran dari segaris
cahaya lampu neon warna-warni. ketika
gelap, hanya ada cahaya samar di
belakang kabut itu. pohon-pohon
bersiluet, dan cahaya kunang-kunang
beterbangan bagai punggung langit
malam. saat aku melangkah, semuanya
menjadi putih. seputih pijaran pada
benda-benda dan tubuhmu yang
kemudian meluncur dan lesap ke langit
kemudian pecah.
kini, aku berada di labirin yang lain
lagi. jalan samar: seperti bayang-
bayang. tapi adakah yang kokoh bertahan
pada jalannya sendiri.
dinding-dinding muncul inci demi inci.
Tanjungkarang, Juli, 2009
BERSAMAMU
apa yang menyebabkan kita berjalan bersama, hingga para
malaikat
berterbangan di belakang kita. debu-debu berhenti
sejenak,
seolah bersujud melihat malaikat-malaikat itu. kita pun
bersih
dari pandangan benci. hisaplah udara yang seperti sehabis
hujan ini,
dan matamu akan memandang dengan sangat terang ke arah
rerumputan hijau dan siring yang dialiri air jernih.
tapi mengapa tak satu bunga pun yang tumbuh,
bukankah dedaunan begitu hijau; sehijau teratai di
kolam-kolam.
barangkali, sejak berjalan bersamamu, aku menemukan
kembali
rumahku, rumah dengan bilik-bilik yang lebih luas
dengan jendela-jendela kaca yang lebar. mungkin itulah
mengapa aku tetap bersamamu.
dan segala yang
kita tangkap hendaknya kita terima, bagaikan
sebuah mainan yang
lepas dari tangan seorang bayi,
ketika dia tidur
dalam damai di pangkuan Tuhan1.
kutemukan pula jam tangan yang hilang,
kalung tali dengan hiasan matahari yang sedang tersenyum
ke setiap pandangan, juga suaraku yang bijak, dan
senyumku
yang seperti rekah angsoka di pekarangan para dermawan.
ya, sayang, aku hanya bisa menduga mengapa aku berjalan
bersamamu.
aku seperti menemukan sebentang jalan tanah. tanah yang
terukir
oleh butir-butir hujan. jalan yang berjanggut hijau:
menjuntai.
aku seperti berada di sabana yang menyala: hijau,
peristirahatan
para ular. ular-ular yang sedang tertidur pulas di kaki
cahaya.
dan aku masih ingin bersamamu: memungut sesuatu
yang telah lama tak terlihat. tapi benarkah
sesuatu di alam semesta ini dapat hilang. aku tak
meyakininya.
sebab hilang, adalah sesuatu yang lenyap dari pandangan.
tapi adakah yang benar-benar lenyap. sebab benda-benda
atau apa saja,
kuyakini tak hilang, melainkan menjauh, berpindah tempat.
dan segala sesuatunya begitu tenang seperti malam, menghindar
dari semua pandangan
mata2.
dan kini, semakin aku memikirkanmu, semakin banyak pula
yang harus aku pelajari tentangmu: padang pasir di
wajahmu,
rimbun peristiwa di dadaku, juga oase di matamu.
kita memang tak pernah mengetahui alasannya,
tapi yang pasti kita tak seharusnya sendiri.
tak ada yang pasti, sayang, tak ada.
tapi tugas kitalah: berpikir dan mencoba memastikannya.
Bandarlampung, 2010
------------
1) Mengutip dari
penyair Persia dalam tradisi sufi, Hafiz (1325-1389) yang berjudul
“Kesementaraan”, yang diambil dari buku Jiwa
Yang Dimabuk Cinta, yang diedit dan diberi pengantar oleh Deepak Chopra,
Pohon Sukma, Jogyakarta, 2004. Hlm. 55.
2) Mengutip dari
penyair modern terbesar di India, Tagore (1861-1941) yang berjudul “Sang
Pengelana”, Op. Cit., hlm. 112.
TANJUNGKARANG
di dadamu, kudengar nyanyian dari sumurmu yang hitam.
1
dada yang bidang, terlalu lebar untuk kurawat sendiri:
setiap inci kulit di
dadamu adalah tanah dengan sumur-sumur hitam kering:
diserap kemarau.
para pendusta berumah di putingmu: mengasapi, membakari
rambut-
rambut yang menjuntai. dicangkulnya tanah-tanah gunduk.
dagingmu,
berdenyut: menghimpun magma: siap membuncah. aku tumbuh
di
dadamu: berdegup, mengejang di sudut-sudutnya. di
gedung-gedung
berdinding kulit buaya. rumah-rumah berjendela persis
mata ular sipit,
bengis memandang yang datang.
orang-orang: diam. tubuhnya bergetar, berdarah. setiap
sapaan
berterbangan dan melayang-layang. seperti sekibas kipas
siluman licik
yang menerbangkan pendopo, surau, dan pepohonan. aku
melihat mata
mereka memandang jauh, mulut mereka berkatup-katup—namun
tak ada
kata yang meletup—mobil-mobil melintas dan berlalu. dan
langkah
burung-burung, anjing-anjing: tanpa suara. dan para peri,
migrasi ke
dadamu; menarik segenap sekutunya untuk membangun rumah,
menggali
harta para raja yang terkubur dan disimpan dalam peti
kemudian dikubur
lagi. lantas di mana aku harus membangun rumah? sementara
setiap malam
kau menggodaku dengan menyajikan gemerlap lampu di
teras-teras yang
redup-terang. dan cahaya kecil warna-warni di
pintu-pintu.
tubuh peminta-minta menggigil di sudutnya yang paling
dekil. ada pula
yang merawat lukanya hingga borok, bernanah. bila ia
berjalan, jalanan
bebercak: mengering, berkerak dan amis.
subuh lepuh. matahari bagai serpihan kaca yang terlontar
dari langit. di
jalan, kusaksikan dada yang menggelembung kuning, meletup
pada terik,
sentuhan pertama. pun begitu seterusnya.
2
dulu, teluk betung adalah ibu sekaligus bapak baginya.
dan ia seperti lahan
luas yang ditumbuhi ilalang. dan peri agung, akan membuat
kota-kota baru, yang nanti akan aku sebut anakmu dan
ia menyebutnya cucu.
3
di dadamu, kukaitkan segenap malam yang tumbuh di sekitar
tubuhku.
lampu-lampu menerangi denyut nadi yang sembunyi di balik
dagingmu.
tapi aku, tak benar-benar bisa memasrahkan pipiku di
dadamu. aroma
tanah menguar, bau karat tiang-tiang besi lampu
menyebar—menjadi
satu—melawan segar tunas bunga-bunga, menolak kejernihan
di hidung
para penghisap keheningan dari baris-baris kesedihan
langit. aku
mengembara di dadamu, tapi tak pernah kucuri kalung yang
menjuntai dari
leher hingga dadamu: kotaku.
aku dituduh siluman. sebab menginginkan sayap. aku dituduh
membunuh,
sebab merawat badik yang tersepuh. kalian datang seperti
serombongan
sapi-sapi liar. dan aku memberikan keagungan yang aku
buat: nemui-nyimah1
dan keagungan yang kusematkan kepadamu, tumbuh seperti
rumah-
rumah yang terus bermunculan di sebuah lapangan. dan kau,
telah
membuat anak-anakku malu akan bahasaku sendiri. dan siapa
yang telah
menghancurkan nengah-nyampor2?
4
rumah-rumah, gedung-gedung tersusun di balik dada,
melekat di jantung.
rumah-rumah gempa. tanpa gemuruh. satu denyut jantung,
berjarak satu
tahun. aku menyusuri sisa pecahan gempa, melewati
persimpangan,
mencari diriku dan menanam dirimu, (di antara puing)
dengan biji jagung:
tunaslah!
tanah-tanah kering, keras. kubangun rumah, kugali sumur,
mengharap air
tapi yang keluar darah: menyembur. dan sumur ini,
menggali dirinya
sendiri. semakin dalam. aku terperangah. dasarnya semakin
hitam! kubuat
undakan di dindingnya dengan tanganku. maut mempesona,
memperkenalkan dirinya. aku mengeruk mengeruk dan
mengeruk lagi,
hingga bau amis menyeruak, kuku lepas: berdarah dan
terkulai di bibir
sumur.
5
tanjungkarang, aku telah tertidur di pinggir sumurmu
selama delapan
tahun. delapan gempa. tanpa gemuruh. aku tidur di antara
denyut
yang telah meruntuhkan gedung-gedung. puingnya semakin
meremah.
angin melintas di ujung. dan sumur itu, kini bernyanyi.
suara
pertama. aku bangkit. berjalan.
jagung-jagung, api hijau yang menyambar-nyambar tanganku.
gedung-
gedung: remah roti kering dalam toples. orang-orang
berkemeja biru muda.
dibibirnya ada ular dengan sayap kupu-kupu. mereka
membangun
swalayan, membangun ruko-ruko. makam-makam dipindahkan.
tanah
lembab. tapi mereka tak menggali sumur untuk mereka
sendiri.
sumur di dadamu terkubur puing-puing yang meremah.
remaja-remaja
berpasangan dan saling meminang di antara puing-puing.
mereka tak
perduli. sebab mereka hanya iri. aku terus berjalan.
mengumpulkan aksara
yang hampir dikubur semesta.
6
aku bertemu gadis berpinggul purnama. matahari meredupkan
pandangan.
perempuan itu, mengumpulkan setiap biji mata laki-laki di
pinggulnya.
aku melewatinya. mengacuhkannya. bertahan. bukan.
seorang gadis bermata malam yang tertukar warna. angin
meniupi-niupi
tubuhnya. perempuan itu, mengumpulkan rupa laki-laki di
dalam matanya.
aku melewatinya. mengacuhkannya. bertahan. bukan.
gadis bertelinga sayap kelelawar yang menyimpan getar
langkah para lelaki
yang mendekat. aku menjauh. mengacuhkannya. bertahan. BUKAN!
berjalan lagi. dadaku persimpangan padat.
7
aku kembali ke rumahku. sumur menunggu. sumur yang
menghitam.
bernyanyi. nyanyiannya adalah lantunan para putri duyung
yang terdampar
di pulau terbuang. kubuatkan tali. kutimba. BENING!
8
kembali kususuri dadamu. menebas debu-debu.
Tanjungkarang, 2008-2009
-------------
1) Nemui-Nyimah: saling mengunjungi untuk bersilaturahmi, selalu mempererat persaudaraan serta ramah menerima tamu.
1) Nemui-Nyimah: saling mengunjungi untuk bersilaturahmi, selalu mempererat persaudaraan serta ramah menerima tamu.
2) Nengah-Nyampor: aktif dalam pergaulan bermasyarakat dan tidak
individualistis.
TERSESAT
siapa yang telah tersesat di dalam tubuhku
membawa arloji tanpa angka-angka, hanya sebuah garis.
garis yang menyekap angka yang juga tersesat di dalamnya.
angka yang sulit menemukan dirinya sebagai penunjuk waktu.
mengapa tubuhku yang kau beri kegelisahan.
kegelisahan yang berpusar dengan ritme yang tak sederhana.
dirimu, adalah sesuatu yang muskil untuk kudekap
namun tubuhku, adalah tempat yang mudah untuk melesap.
matahari yang lain turut meringkuk di dalamnya: berpendar, silau
dan pelan-pelan menyembul dari balik dadaku: kau
menyemburkan kehangatan yang sentosa bagi tanah lembab.
namun kau terlalu lama tersesat: segalanya menjadi begitu kering.
pun lubuk jantungku memendam sepi yang begitu sering.
Bandarlampung, 2010
membawa arloji tanpa angka-angka, hanya sebuah garis.
garis yang menyekap angka yang juga tersesat di dalamnya.
angka yang sulit menemukan dirinya sebagai penunjuk waktu.
mengapa tubuhku yang kau beri kegelisahan.
kegelisahan yang berpusar dengan ritme yang tak sederhana.
dirimu, adalah sesuatu yang muskil untuk kudekap
namun tubuhku, adalah tempat yang mudah untuk melesap.
matahari yang lain turut meringkuk di dalamnya: berpendar, silau
dan pelan-pelan menyembul dari balik dadaku: kau
menyemburkan kehangatan yang sentosa bagi tanah lembab.
namun kau terlalu lama tersesat: segalanya menjadi begitu kering.
pun lubuk jantungku memendam sepi yang begitu sering.
Bandarlampung, 2010
Tentang Agit Yogi Subandi
Lahir di Prabumulih, Sumatera Selatan, 11 Juli 1985.
Menamatkan kuliah di Fakultas Hukum, Universitas Lampung (2009). Karyanya
termuat di Koran Lampung Post, Suara Pembaharuan, Suara Merdeka, Koran Tempo,
Majalah Horison dan Kompas. Saat ini menetap di Bandarlampung.
Catatan Lain
Ada tiga nama di sampul belakang buku,
yaitu Triyanto Tiwikromo, Oka Rusmini dan Acep Zamzam Noor. Kata Oka Rusmini:
“Membaca puisi-puisi ini kita seperti diingatkan kembali pada keindahan alam
yang romantik. Kesunyian, juga hal-hal yang menyentuh dan mengingatkan kita,
betapa selama ini kita sudah hampir kehilangan ‘identitas manusia’ kita. Tenang
dan hampir tanpa persoalan hiruk pikuk kekerasan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar