Jumat, 01 Januari 2016

Hijaz Yamani: MALAM HUJAN




Data buku kumpulan puisi

Judul : Malam Hujan
Penulis : Hijaz Yamani
Cetakan : I, Desember 2012
Penerbit : Rumah Dokumentasi Sastra Hijaz Yamani, Banjarmasin
Tebal : xi + 214 halaman (129 puisi)
Editor : Micky Hidayat
Desain sampul dan lay out isi : Hery S
Pemeriksa aksara : Muhammad Adhitya Hidayat Putra
Foto sampul : Dewan Kesenian Jakarta

Hujan Malam terbagi atas tiga bagian, yaitu Di Bawah Lampu Mercuri (35 puisi), Kalau Kau Datang (46 puisi) dan Lanskap Sungai (48 puisi)

Biar wartawan sudah bakuliling kada ampih-ampih/Tapi sidin kada sugih-sugih/Mun sidin tahutang asa kada purun managih
(Sajak Wartawan, Hijaz Yamani)

Beberapa pilihan puisi Hijaz Yamani dalam Di Bawah Lampu Mercuri

Periode yang Tragis

seketika orang-orang tak kan ketawa lagi
pandang mereka
– menembus musim gugur –

lalu berkatalah
– hati ini di luar doa dan pemujaan –
karena bumi disebari bintang-bintang berapi

dan larutlah kepingan hidup di sungai yang berdarah

1956



Rindu

dosakah kami bila hati sejuk yang mendidih
lantaran terburu rindu membara yang gigih
dosakah kami bila seluruh umur akhir ini terdampar
dalam dendam dan kehendak atas harapan besar

dua batas yang terpisah atas dataran benua
dalam bayang begitu terpeluk nikmatnya mesra
dengan harapan mimpi kesegaran yang sama rasa

dosakah bila kami musti dibenam sawan rindu
kalau lantaran dendam yang beradu

wahai tegar dunia dan tegarnya di jantung
sama mengendap di bumi terlampau panas
inikah dendam rindu yang jujur?

1957


Inilah Cermin

Inilah cermin ke kedalaman
kita tidak bisa berpaling padanya

inilah cermin ke kedalaman
mengacai setiap napas di dada

dan di sini adalah nasib yang mengulurkan
terpasrah segala kegairahan manusia
memburu dan menyaru

siapa tiada kan memesrai padanya
siapa tertimbun dosa tanpa awal tanpa akhir

Banjarmasin, 18 Februari 1957


Pujangga Anak Peladang

Suara-suara yang menebar di gunung-gunung
begitu menjelujuri suasana yang syahdu
dan merindui kegairahan hidup – pada diri-diri
sebab rahasia alam terpantul di dada yang terkaca lena

kita sama-sama di satu daerah yang terpancang panorama
yang sama-sama mendaki dan menurun
yang sama-sama dilecut deru di bukit-bukit sendu
ooo, betapa dalam di sini mempertaruh hidup

kalau musim-musim dikantongi dalam diri
hidup ini penuh kenangan indah di hari-hari sepi
seperti telanjang dari noda yang menyiksa
sebab di sini jiwa-jiwa diwajahi bening

dan di hatinya masih bersuara murni
menebar nadanya di gunung-gunung
mengusapi wajah anak gembala

Suara-suara yang menebar di gunung-gunung
begitu menjelujuri suasana yang syahdu
dan merindui kegairahan hidup – pada diri-diri
sebab rahasia alam terpantul di dada yang terkaca lena

ooo, begitu bening musim ini
begitu matahati mengandung unsur-unsur dunia dan manusia

Banjarmasin, 6 Oktober 1966


Suatu Kehadiran
Kepada Arthum Artha

Mula-mula kita masih cari yang belum jumpa
Sampai pada malam-malam larut memendam rasa mimpi
Sekali terwujud guratan-guratan di satu daerah
Yang jajarnya membatas samar-samar

Terkadang kita masih tanya diri sendiri
Terkadang kita masih luka diri sendiri
Bila menekuni segala isi dan merata alam
Karena hati ini masih menggapai ke daratan jauh

Di balik sebuah bukit terjumpa padang yang mendatar
Di sana berdiri sebuah tugu putih
Dibungai senyum perempuan alam dadanya terbuka
Dan dicintainya sebuah jiwa yang terbakar

Tibalah malam purnama dan terlahirlah perpaduan
Dalam kehidupan cipta alam di kesunyian puja
Tetapi suatu rindu masih memantul diri
Terkenang malam-malam larut, sebuah malam mati

Oh! Suatu pagi yang dipecah tifa dalam diri
Memendarlah satu jiwa bersama napas pengharapan
Lagu-lagu hidup baru baringi kicau murai-murai pagi
Dan di sini darah pantulan jiwa memberi sebuah dunia

Banjarmasin, 26 juli 1956


Pelarian

Jejak terlampau cepat di pelarian
Bintang di hati, angin desember meniup hari-hari lambat
Dan garis-garis punya warna paduan jiwa

– Musim kanak-kanak bukan lagi jadi impian

Di dada ada pagi
Di dada ada senja
Malam-malam bermukim di kota kekasih

Bumi kelahiran tinggal terbakar
Cinta terbelah tiga di satu penjuru

Di hati rindu
Cinta di pulau
Dan tangan harap membelai seni yang punya tangisan

Banjarmasin, akhir Desember 1955


Subuh

Embun dan peluh senyawa ketika bulan pudar
Malam dibenam sawang yang mula terbakar
Cinta manusia berjumpa yang lahir diam-diam
Dan senyawa dalam agenda rahasia alam

Satu-satu suara terpancang murni
Ingat! Perbatasan ini masih sedikit lagi
Daerah yang penuh dan membara di dada
Daerah penjaga alam punya rahasia

Di sini rindu pagi yang berlebaran
Dan kenangan bentuk bayang-bayang silam
Jadinya pengharapan yang dibinarkan

Embun dan peluh senyawa kehadirannya
Sepanjang kabut yang kian menipis
Pengembara! Kembali ke pangkuanku saja.

1956


Sirna
(catatan penuh buat Idawati)

I
Pernah hidup ini berlagu kecil-kecilan
tetapi bukan karena datang di malam-malam penuh bintang
ia hidup mengusik lama sebelumnya
Pernah pula hidup ini dalam amuknya menggila
Yang datang dari atas batu-batu nyawa di terang pagi
lagu berlagu padu seindah yang dipuja dan dicinta
(Terbukalah kisah demi kisah
seperti kelahiran datang mau menguji diri
Adakah pendekatan antaranya memaut cinta
Meski dirasa pemanasan dan kedinginan
bersatu di tepi subuh dan di terik siang hari
datanglah kejernihan dan ketenangan)

II
Kasih manusia – datang dan pergi
Sekali ke lautan lepas – tenggelamlah sedikit mimpi
biar sudah dibisik sekali – bawalah bersama cinta
Daralah – kelana dara
Berbisik sendiri teruna dari hari ke hari
dan malam demi malam mendatar dalam kesuraman
Belumlah akhir kisah kepanjangan hari
tetapi hilang air mawar yang didirus sendiri

III
Terbetik di hati sekali berdiri di pantai landai
bertanya semau hati di alam diri
Oooo! Adakah kisah manusia hilang?
Satu-satu layar mengembang di depan jauh
Nelayan-nelayan adakah cinta kisah manusia?
Oh, dia bergita, dia bersiul tak punya lagu duka
Oh, camar-camar juga
(malam datang tenteram – siang seirama lepas)
Jika kelahiran sepanjang hati dalam lagu pantai
Inilah lagu-lagu di pantai landai
Sepi diri – tapi jauh diri – tenteramlah!
(Sepilah diri – pergilah seperti kisah hari kemarin)

IV
Bila hati dan hari-hari di penjaga alam
Juga deru dan desau angin menggiurkan
bulan sabit bermain bersama bintang di balik awan sepotong
Tetapi, kalau dikau dara bagi si penjaga alam
biar musik dan kecapi pada menjauh diri
keheningan, kesepian, datanglah kesucian diri
Aku tahu ini pengasingan buat penyair sunyi
tetapi pengasingan akan dekat pada Tuhan
datanglah ilham dari langit tingkat ketujuh
Kecuali kerlap-kerlip sinar yang bermain dalam rindu

Banjarmasin, 27 Maret 1955


Pulang

datangnya di malam yang berkaca pada bulan
hatinya lama merindukan cita di daratan jauh
sewaktu tidak bisa pulang dan merajai hati
larutlah di penjelajahan kota

dan malam yang dipantulkan cinta pilu
dan kasih bersua pada yang terbaring mati
ketika kisah burung-burung malam yang menggenta
tapi suara-suaranya terbenam di mata yang sudah pudar

dan jika esoknya perut bumi berair mata
tak ada dara-dara menggeletakkan darah pahlawan
hati ini sudah ditandingi gita pilu yang besar
lalu dunia malam-malam panjang tanpa bicara

Banjarmasin, awal Juni 1956


Beberapa pilihan puisi Hijaz Yamani dalam Kalau Kau Datang

Langkah-langkah Siapakah Itu

Langkah-langkah siapakah itu
menapak di dingin malam

Langkah-langkah siapakah itu
menyerahkan miliknya di tangan bayang-bayang

Langkah-langkah siapakah itu
gugur sebelum tanda-tanda pertempuran

1974


Malam Hujan

Kau apakan
uap dingin
meluap di deras hujan
Dan ketika kita makin dekat
berduaan
di malam hujan?

(Bulan tidak jadi timbul
tidak bisa melihat
di balik jendela)

Kau apakan waktu
di saat hujan
di luar itu?

Kau dengar
bunyi tik tak tik tak …
terus memasuki bumi
Dan lagu mars perjalanan
dibawa angin
makin jauh
makin jauh
ke laut yang menggelora

1978


Tentu tak Bisa Kubilang Berapa Titik Hujan Memberi Kedalaman Dasar Samudera

Tentu tak bisa kubilang berapa dalam lubuk hati-Mu
Tangan-Mu memberi ruang
Mulut-Mu meniup berbilang hinak
sejak Adam

Tentu tak bisa kubilang
Bagaimana aku mengatakan
Ketidaktahuanku
yang sudah makin dalam tenggelam
di samudera kehidupan

1978
hinak = napas


Perhitungan

Ingat baik-baik, sahabatku
ketika kita kehilangan gasing
ketika kita kehilangan layangan
dan kita pun paling kehilangan
tapak-tapak kita di bandar pasir

Sayang kehilangan itu bukan?

Kita kehilangan
kehilangan tidakkah kita
tidak punya waktu untuk main-main?
Kita tidak kehilangan harga
kenangan dan kehilangan itu

Kenangan membuat kita
masih bisa mengenangkan kehilangan itu
dan sisa waktu
kita tidak main-main lagi
di luar kegaiban waktu

1978


Dalam Pesawat
(Banjarmasin/Kotabaru)

Kami pandang lembah
merayap
di bawah sana
bumi pun membuhulkan uap pagi hari
awan tipis di lereng-lereng meratus
yang tidak membentengi
bayang-bayang
bertanggalan
Dan butir-butir
nadi-nadi hijau itu
merayap juga
begitu pasti
menuju laut lepas
Lepas

1980


Doa

Betapapun getirnya hidup ini
Betapa gemuruhnya laut
yang menerima kapalku
aku masih berbahagia
dengan napas
dengan pikiran
dengan perasaan
yang Kau berikan
lebih berharga
dari seribu kambing-kambing gemuk
yang siap kusembelih
Telah Kau berikan pada kami
utusan-Mu
sejahteralah utusan-Mu itu
yang memberikan sejahtera dan rahmat
pada seluruh yang bernama hidup
di bumi, di laut, di udara dan angkasa
Tapi berikan aku meminta banyak-banyak
karena Engkau suruh juga aku
minta banyak-banyak
Tapi sesungguhnya aku tidak sanggup
menerima banyak-banyak
di negeri ini
Amin.

1981


Silhouet

Ke manapun kau ikuti perjalananku
pada daratan panjang
gurun dan ladang-ladang yang lapang
Hanya tidak timbul tenggelam
dalam gelombang lautan
sungai dan danau
apalagi banjir yang menyapu daratan
Ingin aku bersamamu memang, kapanpun
dan di manapun
sekalipun tidak pada daratan lain
yang belum aku dan kau jelajah
Tapi kesetiaan memang mengharapkan perhitungan
kemampuan dan keyakinan
juga kesetiaan ladang subur
dan pertemuan sebelum tidur

1982


Kalau Kau Datang

Kalau kau datang berdiri di pintu kamar itu
sungguh sinar bayangan kau yang perkasa
apa yang akan terjadi sahabatku?
Berilah aku salam.
Jangan tuding tubuhku yang terhenyak
di ranjang dingin ini.
Sungguh aku sekarang terikat oleh rabun malam
membuka perjanjian yang lama aku setuju.
Bukankah kau pasti datang
menjamah diriku
akan balik membawa berita.
Sebentar malam langit akan terbuka
karena telah kau ketuk pintunya.
Bawalah aku masuk kepadanya.

1981


Taman

            Pengembara yang singgah dan pemain-pemain yang letih
datang tanpa salam, tanpa permusuhan, tapi juga tanpa
persahabatan dalam percakapan.
            Tidak tuan-tuan yakinkah akan kebenaran (kenangan yang
nyaman) dalam taman impian ini? kata suara.
            Seorang kakek sendiri yang sedih, mengapa bahagia tidak
sendiri juga, sedang anak-anak dan perempuan-perempuan
muda dilarang memetik bunga. Tapi petik kuncup-kuncup
kenangan, kata suara.
            Kakek, pernahkah muda? kata suara
            Tapi kau pun dulu pernah jadi anak-anak yang sudah tidak
musim kakek tua, kata suara-suara bersama.
            Tapi musim-musim kamu begitu mudah memetik bunga,
jawab kakek tua.
            Dan bunga-bunga pun selalu ada yang gugur sendiri
sepanjang zaman.
            Dan taman tetap mengharap bunga dan cahaya.
            Dan taman di pertemuan rahim bumi dan rasa kasih langit.
            Dan taman punya pengembara, pemain-pemain yang letih,
kakek, anak-anak dan perempuan-perempuan muda.
            Dan suara-suara.

1982


Beberapa pilihan puisi Hijaz Yamani dalam Lanskap Sungai

Kuburan

Dari tabir malam sepi bulan lebih tinggi
Tak ada suara yang didengar lagi
Dan tak ada napas lapang
Di sini anak bumi tidur panjang

Burung-burung pun tidak mengepak sayapnya
Di mana sarangnya 2 kemboja yang diam
Dan embun pun turun dengan hati-hati
Mengguguri bumi dan tanggul batu-batu bisu


Episode

pengembaraan pertama dilakukannya
turun gunung
pengembaraan dalam mimpi panjang
membabat sawah
melindas lembah yang gelisah
pengembaraan sesudah mimpinya
dalam kebalauan kota
adalah nyanyi gemuruh dadanya
ketika di lingkup dunianya pertama
dilindas batu-batu ibukota

Februari, 1983


Perempuan dan Pantai

Pada kaki langit dan garis laut
disaput cahaya di bentangan pantai
perempuan putih, akan berhentikah
kau terpaku dan terbaring
pada nikmat dan gerahnya sepanjang siang
pada pijarnya matahari
pada tanah dan airku

Kaki langit dan garis laut
matahari senja, merahnya
menyaput matamu biru
hidupmu biru
mendamparkan mimpi
di pantai biru ini

Pada kaki langit dan garis laut
sisa berkas cahaya yang tipis
tak ada gerimis putih
yang membagi mimpimu.
Bukankah kau habiskan rindumu, perempuan?
dan keringat dinginmu dikeringkan
angin pantai
dan lanskap dunia baru

Ketika kaki langit dan garis laut hilang
perempuan pejalan jauh, masihkah
kau cari hidupmu.
Mengapa kau diam saja perempuan putih?
Perempuan putih
Haruskah kukatakan,
sekarang pantai menjelang malam
Perempuan putih telah mengucapkan
salam penghabisan
pada gerimis putih yang jauh
di buminya.

Agustus, 1984


Wartawan
(cendera mata bagi HUT PWI ke-46 dan HPN ke-8)

Kata orang wartawan adalah pencari obyek
tapi tentu saja bukan tukang obyek
apalagi tukang ojek

Orang bilang wartawan adalah pemburu
tapi yang diburu cuma orang-orang
orang yang berbunuh-bunuhan
orang-orang yang sedang kesepian
kadang-kadang juga orang-orang yang bercintaan
dan orang-orang yang melanggar berbagai rambu-rambu
larangan

Dulu ada wartawan perintis
yang satu persatu pergi dan semakin habis
yang hanya tinggal nama mewariskan pena
untuk generasi berikutnya

Ada juga wartawan pergerakan
sebelum kemerdekaan
yang hidupnya selalu dalam kegelisahan
atas intaian dan kejaran antek-antek penjajahan

Orang mengatakan jadi wartawan itu enak juga
buktinya dapat montar-mandir antarkota
bahkan antarnegara mengelilingi dunia
ikut rombongan menteri atau kepala negara

Sungguh senjata wartawan – senjata pena
kata orang lebih tajam dari pedang
Betul juga
karena senjatanya dapat membikin orang mati kejang

Suse juge ye, itu si pemburu berite
kata seorang artis ibukota
Apa susenye, tanya artis yang lebih tua
Habis gue sedang digosipin
Itu karena lu juge nyang gara-gara-in
nyeletuk artis yang lain

Wartawan adalah orang-orang yang selalu peduli
yang tidak dapat mengatur waktu sendiri
dan tak sempat bermesraan dengan anak istri
Tapi tanpa wartawan dunia jadi sepi
karena ia dapat saja menemukan orang-orang yang menutup diri
yang menyambutnya dengan menggerutu di dalam hati
Salah-salah saya akan malu setengah mati
akan diungkapkan oleh si wartawan ini

Ada wartawan
karena ada A.A. Hamidhan dan Kony Farhan
Ada wartawati
karena ada Umi Sri Wahyuni dan Diniarti

Biar wartawan sudah bakuliling kada ampih-ampih
Tapi sidin kada sugih-sugih
Mun sidin tahutang asa kada purun managih

Banjarmasin, 25 Februari 1992


Perjalanan Jauh

Telah kulakukan perjalanan, amat jauh
mengorbit lewat kasyaf. Panorama
dahsyat di mana-mana. Begitu semesta
noktah-noktah memancar dari arasy

1986


Pengantar

Kita apakan alur cermin
ketika kita merapat berduaan
Bulan tidak timbul
tapi kita bisa melihat lembah itu
dari balik alur cermin ini
Kau apakan segala anugerah, dan
kebebasan ini
Ia adalah waktu kita
                 ruang kita
memperhitungkan titik-titik
yang terus memasuki bumi
Percakapan malam pun
semakin menggelora
untuk kembali mengembara

1991


Perjanjian Baru

membuka jendela malam
menatap langit menyingkap rahasia
kota-kota yang rusuh di tanah airku

membuka jendela, dan
menatap langit sepanjang malam
adalah kelelapan impian asasi
pelarian dari perjanjian yang tak pernah ditepati,
kata diriku yang lain

adalah kesendirian yang diperhamba akuku
telah membuka jendela yang lain
lihatlah cakrawala yang niscaya
di sana rumah masa depan
di tanah air baru yang lebih menjanjikan

Banjarmasin, 30 Juni 1999


Kemerdekaan

Kepada Proklamator

Ketika naskah dibaca
Kita pun bangkit dari luka-luka sejarah
Bendera berkibar
dalam perarakan besar
Maka dengan ini kami menyatakan
keputusan yang tidak dapat diganggu-gugat

Kepada Chairil Anwar

Adalah misi penyair
yang membikin janji
setiap kepada proklamasi
menjaga terus sampai bebas impian
begitu maraknya api
Hidup lebih berarti sekalian saja
sesudah itu tidak mati-mati
untuk memekik merdeka berkali-kali
terus berkali-kali
beribu tahun lagi

Kepada Toto Sudarto Bachtiar

Engkau sebutkan tentang kemerdekaan
dengan laut dan suara
dan mengembara di tanah air sendiri
Bukankah dengan kemerdekaan kita meraih harapan
dalam harapan-harapan
Kita pun selalu merindukannya

Kepada Ajamuddin Tifani

Bagimu 51 ramadhan dalam langkah tegap
Kemerdekaan kita
Putaran jarum waktu
sepanjang ramadhan-ramadhan
adalah cenderamata Tuhan
Kemerdekaan Fani, kemerdekaan
Nyatanya Tuhan masih mengisyaratkan
bahwa kita harus mengubah nasib sendiri
atas tanah air, mata air dan air mata

Banjarmasin, Indonesia Emas, 1995


Lanskap Sungai
(bagi hari jadi kotaku ke-457)

1
Kususuri lagi sekarang
alur sungaimu sungaiku coklat susu
(Kata kau kehidupan mulai di sini)
mengapa beragam
dan bertumpu
bergulat selalu

2
Beginikah wajah alam
wajah siang
wajah malam
pinggir kotaku

(Telah lahir manusia
satu ibu
di hari-hari tanpa batas
dalam malam pun
keringat mereka
mesti diperas
selalu)

3
Baru kuingat
hari ini pun
hari perjanjian kita
berlomba, berlomba
di atas sungaimu sungaiku coklat susu
menggetarkan batang-batang
mengapungkan lanting-lanting
dari hulu ke hilir
dari hilir ke hulu

4
Mengapa orang-orang lalu-lalang
selalu lalu-lalang
di air dan di darat
di darat dan di air

Berlomba orang-orang gelisah
tapi sama derajat mereka
memiliki air
tak memiliki ladangnya

5
Kita memang selalu
menyusuri sungai leluhur ini
tapi kita belum sampai-sampai
ke muara

adalah beban dalam perahu kehidupan
dari atas sungai kehidupan
belum kita tumpuk
dalam gudang-gudang
pelabuhan baru

6
Tapi begitu lancarnya
arus kita
begitu cerahnya
langit di atasnya
memberikan keluasan harapan
Tapi tak bisakah menghabiskan
angan-angan dan purbasangka?

7
Bertambatkah kita
di tiang-tiang jembatan
yang diatasnya memberikan
bobot perlawanan
memberat kendaraan dan beban
bukan impian?

Di sana pun engkau lihat
wajah-wajah memimpikan keadilan
Mereka lelaki-lelaki
yang tak bisa menerima
nikmatnya perempuan
Perempuan-perempuan juga
bercinta dengan langit
bercinta dengan matahari

8
Hari ini kita selusuri
besok pun dan kapan pun
sungai ini yang mendustakan dahaga
melupakan kita
pada harapan leluhur
sejak berabad lalu

9
Hari ini pun kita
tiba-tiba merindukan
pendiri kota
yang dibelah sungai martapura
di batas barito
gemerlap lampu-lampu kota
memantulkan cahaya
di air sumber kehidupan
yang masih selalu
dibenahi
harapan-harapan

Banjarmasin, September 1983


Tentang Hijaz Yamani
Hijaz Yamani lahir di Banjarmasin, 23 Maret 1933. Meninggal di Banjarmasin 17 Desember 2001, dalam usia 68 tahun. Menulis puisi dan cerpen sejak tahun 1954. Juga menulis naskah drama, esai sastra dan budaya. Puisinya pernah dimuat di Mimbar Indonesia, Budaya, Siasat, Mimbar, Budaya Jaya, Horison, dan Bahana (Brunei Darussalam), disamping media-media lokal. Juga dimuat dalam antologi bersama, al: Panorama (1974), Pesta Seni (DKJ, 1974), Pesta Puisi (DKJ, 1975), Puisi ASEAN (DKJ, 1978), Temu Penyair 10 Kota (DKJ, 1982), Kilau Zamrut Khatulistiwa (Arpenda, Yogya, 1984) dan Tonggak II, ed. Linus Suryadi AG (Gramedia, 1987). Kumpulan Puisinya: Tanah Huma (Pustaka Jaya, 1978) bersama D. Zauhidhie dan Yustan Aziddin dan Percakapan Malam (1997). Tahun 1975, ia menerima Hadiah Seni Bidang Sastra dari Gubernur Kalsel.


Catatan Lain
Dalam bagian “Riwayat Hidup Penyair Hijaz Yamani” yang ditulis oleh Micky Hidayat di bagian belakang buku, ada ditulis begini: “Hijaz Yamani dikenal sebagai sosok sastrawan yang santun, bersikap ramah pada siapa pun, senang bergaul dan senantiasa mengayomi para seniman dan sastrawan-sastrawan/penyair muda. Sosoknya dianggap sebagai sesepuh yang dihormati oleh khalayak sastra Kalimantan Selatan (hlm. 212).  
            Penyair Micky Hidayat juga menulis “Catatan Editor” di bagian awal buku. Di sana ada dikatakan bahwa ketika kawan-kawan segenerasinya dari Kalimantan Selatan sudah lama penanya kering menulis sajak, Hijaz Yamani lah yang masih bertahan menjaga energi kreativitas dan tetap produktif. Dikatakan bahwa beliau semasa hidupnya terus-menerus melahirkan sajak selama rentang waktu yang relatif panjang, hampir setengah abad.
            Ada juga dikatakan editor bahwa karya terdini Hijaz Yamani ditemukan berasal dari tahun 1955, yaitu ketika berusia 22 tahun meskipun bila dilacak dari biografi kepenyairan beliau mulai menulis sejak 1954.
            Editor juga mengatakan bahwa ia menemukan puisi tanpa tahun penciptaan di buku kerja almarhum dan juga diikutsertakan dalam buku ini. Sajak itu berjudul Kuburan.  
            Terakhir, keterangan penting yang juga ditulis editor adalah adanya peran dan dukungan moral (sekaligus donator) dari seorang Desmond J. Mahesa, anggota DPR RI. Kira-kira demikian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar