Data buku kumpulan puisi
Judul
: Malam Hujan
Penulis : Hijaz
Yamani
Cetakan
: I, Desember 2012
Penerbit
: Rumah Dokumentasi Sastra Hijaz Yamani, Banjarmasin
Tebal
: xi + 214 halaman (129 puisi)
Editor
: Micky Hidayat
Desain
sampul dan lay out isi : Hery S
Pemeriksa
aksara : Muhammad Adhitya Hidayat Putra
Foto
sampul : Dewan Kesenian Jakarta
Hujan Malam terbagi atas tiga bagian, yaitu Di Bawah Lampu Mercuri (35 puisi), Kalau Kau Datang (46 puisi) dan Lanskap Sungai (48 puisi)
Biar wartawan
sudah bakuliling kada ampih-ampih/Tapi
sidin kada sugih-sugih/Mun sidin tahutang asa kada purun managih
(Sajak Wartawan, Hijaz Yamani)
Beberapa pilihan puisi Hijaz Yamani dalam Di Bawah
Lampu Mercuri
Periode yang Tragis
seketika
orang-orang tak kan ketawa lagi
pandang mereka
– menembus musim
gugur –
lalu berkatalah
– hati ini di luar
doa dan pemujaan –
karena bumi
disebari bintang-bintang berapi
dan larutlah
kepingan hidup di sungai yang berdarah
1956
Rindu
dosakah kami bila
hati sejuk yang mendidih
lantaran terburu
rindu membara yang gigih
dosakah kami bila
seluruh umur akhir ini terdampar
dalam dendam dan
kehendak atas harapan besar
dua batas yang
terpisah atas dataran benua
dalam bayang
begitu terpeluk nikmatnya mesra
dengan harapan
mimpi kesegaran yang sama rasa
dosakah bila kami
musti dibenam sawan rindu
kalau lantaran
dendam yang beradu
wahai tegar dunia
dan tegarnya di jantung
sama mengendap di
bumi terlampau panas
inikah dendam
rindu yang jujur?
1957
Inilah Cermin
Inilah cermin ke
kedalaman
kita tidak bisa
berpaling padanya
inilah cermin ke
kedalaman
mengacai setiap
napas di dada
dan di sini adalah
nasib yang mengulurkan
terpasrah segala
kegairahan manusia
memburu dan
menyaru
siapa tiada kan
memesrai padanya
siapa tertimbun dosa
tanpa awal tanpa akhir
Banjarmasin, 18 Februari 1957
Pujangga Anak Peladang
Suara-suara yang
menebar di gunung-gunung
begitu menjelujuri
suasana yang syahdu
dan merindui
kegairahan hidup – pada diri-diri
sebab rahasia alam
terpantul di dada yang terkaca lena
kita sama-sama di
satu daerah yang terpancang panorama
yang sama-sama
mendaki dan menurun
yang sama-sama
dilecut deru di bukit-bukit sendu
ooo, betapa dalam
di sini mempertaruh hidup
kalau musim-musim
dikantongi dalam diri
hidup ini penuh kenangan
indah di hari-hari sepi
seperti telanjang
dari noda yang menyiksa
sebab di sini
jiwa-jiwa diwajahi bening
dan di hatinya
masih bersuara murni
menebar nadanya di
gunung-gunung
mengusapi wajah
anak gembala
Suara-suara yang
menebar di gunung-gunung
begitu menjelujuri
suasana yang syahdu
dan merindui
kegairahan hidup – pada diri-diri
sebab rahasia alam
terpantul di dada yang terkaca lena
ooo, begitu bening
musim ini
begitu matahati
mengandung unsur-unsur dunia dan manusia
Banjarmasin, 6 Oktober 1966
Suatu Kehadiran
Kepada Arthum Artha
Mula-mula kita
masih cari yang belum jumpa
Sampai pada
malam-malam larut memendam rasa mimpi
Sekali terwujud
guratan-guratan di satu daerah
Yang jajarnya
membatas samar-samar
Terkadang kita
masih tanya diri sendiri
Terkadang kita
masih luka diri sendiri
Bila menekuni
segala isi dan merata alam
Karena hati ini
masih menggapai ke daratan jauh
Di balik sebuah
bukit terjumpa padang yang mendatar
Di sana berdiri
sebuah tugu putih
Dibungai senyum
perempuan alam dadanya terbuka
Dan dicintainya sebuah jiwa yang terbakar
Dan dicintainya sebuah jiwa yang terbakar
Tibalah malam
purnama dan terlahirlah perpaduan
Dalam kehidupan
cipta alam di kesunyian puja
Tetapi suatu rindu
masih memantul diri
Terkenang
malam-malam larut, sebuah malam mati
Oh! Suatu pagi
yang dipecah tifa dalam diri
Memendarlah satu
jiwa bersama napas pengharapan
Lagu-lagu hidup
baru baringi kicau murai-murai pagi
Dan di sini darah
pantulan jiwa memberi sebuah dunia
Banjarmasin, 26 juli 1956
Pelarian
Jejak terlampau
cepat di pelarian
Bintang di hati,
angin desember meniup hari-hari lambat
Dan garis-garis
punya warna paduan jiwa
– Musim
kanak-kanak bukan lagi jadi impian
Di dada ada pagi
Di dada ada senja
Malam-malam
bermukim di kota kekasih
Bumi kelahiran
tinggal terbakar
Cinta terbelah
tiga di satu penjuru
Di hati rindu
Cinta di pulau
Dan tangan harap
membelai seni yang punya tangisan
Banjarmasin, akhir Desember 1955
Subuh
Embun dan peluh
senyawa ketika bulan pudar
Malam dibenam
sawang yang mula terbakar
Cinta manusia
berjumpa yang lahir diam-diam
Dan senyawa dalam
agenda rahasia alam
Satu-satu suara
terpancang murni
Ingat! Perbatasan
ini masih sedikit lagi
Daerah yang penuh
dan membara di dada
Daerah penjaga
alam punya rahasia
Di sini rindu pagi
yang berlebaran
Dan kenangan bentuk
bayang-bayang silam
Jadinya
pengharapan yang dibinarkan
Embun dan peluh
senyawa kehadirannya
Sepanjang kabut
yang kian menipis
Pengembara!
Kembali ke pangkuanku saja.
1956
Sirna
(catatan penuh buat Idawati)
I
Pernah hidup ini
berlagu kecil-kecilan
tetapi bukan
karena datang di malam-malam penuh bintang
ia hidup mengusik
lama sebelumnya
Pernah pula hidup
ini dalam amuknya menggila
Yang datang dari
atas batu-batu nyawa di terang pagi
lagu berlagu padu
seindah yang dipuja dan dicinta
(Terbukalah kisah
demi kisah
seperti kelahiran
datang mau menguji diri
Adakah pendekatan
antaranya memaut cinta
Meski dirasa
pemanasan dan kedinginan
bersatu di tepi
subuh dan di terik siang hari
datanglah kejernihan
dan ketenangan)
II
Kasih manusia –
datang dan pergi
Sekali ke lautan
lepas – tenggelamlah sedikit mimpi
biar sudah dibisik
sekali – bawalah bersama cinta
Daralah – kelana
dara
Berbisik sendiri
teruna dari hari ke hari
dan malam demi
malam mendatar dalam kesuraman
Belumlah akhir
kisah kepanjangan hari
tetapi hilang air
mawar yang didirus sendiri
III
Terbetik di hati
sekali berdiri di pantai landai
bertanya semau
hati di alam diri
Oooo! Adakah kisah
manusia hilang?
Satu-satu layar
mengembang di depan jauh
Nelayan-nelayan
adakah cinta kisah manusia?
Oh, dia bergita,
dia bersiul tak punya lagu duka
Oh, camar-camar
juga
(malam datang
tenteram – siang seirama lepas)
Jika kelahiran
sepanjang hati dalam lagu pantai
Inilah lagu-lagu
di pantai landai
Sepi diri – tapi
jauh diri – tenteramlah!
(Sepilah diri –
pergilah seperti kisah hari kemarin)
IV
Bila hati dan
hari-hari di penjaga alam
Juga deru dan
desau angin menggiurkan
bulan sabit
bermain bersama bintang di balik awan sepotong
Tetapi, kalau
dikau dara bagi si penjaga alam
biar musik dan
kecapi pada menjauh diri
keheningan,
kesepian, datanglah kesucian diri
Aku tahu ini
pengasingan buat penyair sunyi
tetapi pengasingan
akan dekat pada Tuhan
datanglah ilham
dari langit tingkat ketujuh
Kecuali
kerlap-kerlip sinar yang bermain dalam rindu
Banjarmasin, 27 Maret 1955
Pulang
datangnya di malam
yang berkaca pada bulan
hatinya lama
merindukan cita di daratan jauh
sewaktu tidak bisa
pulang dan merajai hati
larutlah di
penjelajahan kota
dan malam yang
dipantulkan cinta pilu
dan kasih bersua
pada yang terbaring mati
ketika kisah
burung-burung malam yang menggenta
tapi
suara-suaranya terbenam di mata yang sudah pudar
dan jika esoknya
perut bumi berair mata
tak ada dara-dara
menggeletakkan darah pahlawan
hati ini sudah
ditandingi gita pilu yang besar
lalu dunia malam-malam
panjang tanpa bicara
Banjarmasin, awal Juni 1956
Beberapa pilihan puisi Hijaz Yamani dalam Kalau Kau
Datang
Langkah-langkah Siapakah Itu
Langkah-langkah
siapakah itu
menapak di dingin
malam
Langkah-langkah
siapakah itu
menyerahkan
miliknya di tangan bayang-bayang
Langkah-langkah
siapakah itu
gugur sebelum
tanda-tanda pertempuran
1974
Malam Hujan
Kau apakan
uap dingin
meluap di deras
hujan
Dan ketika kita
makin dekat
berduaan
di malam hujan?
(Bulan tidak jadi
timbul
tidak bisa melihat
di balik jendela)
Kau apakan waktu
di saat hujan
di luar itu?
Kau dengar
bunyi tik tak tik
tak …
terus memasuki
bumi
Dan lagu mars
perjalanan
dibawa angin
makin jauh
makin jauh
ke laut yang
menggelora
1978
Tentu tak Bisa Kubilang Berapa Titik
Hujan Memberi Kedalaman Dasar Samudera
Tentu tak bisa
kubilang berapa dalam lubuk hati-Mu
Tangan-Mu memberi
ruang
Mulut-Mu meniup
berbilang hinak
sejak Adam
Tentu tak bisa
kubilang
Bagaimana aku
mengatakan
Ketidaktahuanku
yang sudah makin
dalam tenggelam
di samudera
kehidupan
1978
hinak = napas
Perhitungan
Ingat baik-baik,
sahabatku
ketika kita
kehilangan gasing
ketika kita
kehilangan layangan
dan kita pun
paling kehilangan
tapak-tapak kita
di bandar pasir
Sayang kehilangan
itu bukan?
Kita kehilangan
kehilangan tidakkah
kita
tidak punya waktu
untuk main-main?
Kita tidak
kehilangan harga
kenangan dan
kehilangan itu
Kenangan membuat
kita
masih bisa
mengenangkan kehilangan itu
dan sisa waktu
kita tidak
main-main lagi
di luar kegaiban
waktu
1978
Dalam Pesawat
(Banjarmasin/Kotabaru)
Kami pandang
lembah
merayap
di bawah sana
bumi pun
membuhulkan uap pagi hari
awan tipis di
lereng-lereng meratus
yang tidak
membentengi
bayang-bayang
bertanggalan
Dan butir-butir
nadi-nadi hijau
itu
merayap juga
begitu pasti
menuju laut lepas
Lepas
1980
Doa
Betapapun getirnya
hidup ini
Betapa gemuruhnya
laut
yang menerima kapalku
yang menerima kapalku
aku masih
berbahagia
dengan napas
dengan pikiran
dengan perasaan
yang Kau berikan
lebih berharga
dari seribu
kambing-kambing gemuk
yang siap kusembelih
Telah Kau berikan
pada kami
utusan-Mu
sejahteralah utusan-Mu
itu
yang memberikan
sejahtera dan rahmat
pada seluruh yang
bernama hidup
di bumi, di laut,
di udara dan angkasa
Tapi berikan aku
meminta banyak-banyak
karena Engkau
suruh juga aku
minta banyak-banyak
Tapi sesungguhnya
aku tidak sanggup
menerima banyak-banyak
di negeri ini
Amin.
1981
Silhouet
Ke manapun kau
ikuti perjalananku
pada daratan
panjang
gurun dan
ladang-ladang yang lapang
Hanya tidak timbul
tenggelam
dalam gelombang lautan
sungai dan danau
apalagi banjir
yang menyapu daratan
Ingin aku
bersamamu memang, kapanpun
dan di manapun
sekalipun tidak
pada daratan lain
yang belum aku dan
kau jelajah
Tapi kesetiaan
memang mengharapkan perhitungan
kemampuan dan
keyakinan
juga kesetiaan
ladang subur
dan pertemuan
sebelum tidur
1982
Kalau Kau Datang
Kalau kau datang
berdiri di pintu kamar itu
sungguh sinar
bayangan kau yang perkasa
apa yang akan
terjadi sahabatku?
Berilah aku salam.
Jangan tuding
tubuhku yang terhenyak
di ranjang dingin
ini.
Sungguh aku
sekarang terikat oleh rabun malam
membuka perjanjian
yang lama aku setuju.
Bukankah kau pasti
datang
menjamah diriku
akan balik membawa berita.
Sebentar malam
langit akan terbuka
karena telah kau
ketuk pintunya.
Bawalah aku masuk kepadanya.
1981
Taman
Pengembara yang singgah dan
pemain-pemain yang letih
datang tanpa
salam, tanpa permusuhan, tapi juga tanpa
persahabatan dalam
percakapan.
Tidak tuan-tuan yakinkah akan
kebenaran (kenangan yang
nyaman) dalam
taman impian ini? kata suara.
Seorang kakek sendiri yang sedih,
mengapa bahagia tidak
sendiri juga,
sedang anak-anak dan perempuan-perempuan
muda dilarang
memetik bunga. Tapi petik kuncup-kuncup
kenangan, kata
suara.
Kakek, pernahkah muda? kata suara
Tapi kau pun dulu pernah jadi
anak-anak yang sudah tidak
musim kakek tua,
kata suara-suara bersama.
Tapi musim-musim kamu begitu mudah
memetik bunga,
jawab kakek tua.
Dan bunga-bunga pun selalu ada yang
gugur sendiri
sepanjang zaman.
Dan taman tetap mengharap bunga dan
cahaya.
Dan taman di pertemuan rahim bumi
dan rasa kasih langit.
Dan taman punya pengembara,
pemain-pemain yang letih,
kakek, anak-anak
dan perempuan-perempuan muda.
Dan suara-suara.
1982
Beberapa pilihan puisi Hijaz Yamani dalam Lanskap
Sungai
Kuburan
Dari tabir malam
sepi bulan lebih tinggi
Tak ada suara yang
didengar lagi
Dan tak ada napas
lapang
Di sini anak bumi
tidur panjang
Burung-burung pun
tidak mengepak sayapnya
Di mana sarangnya
2 kemboja yang diam
Dan embun pun
turun dengan hati-hati
Mengguguri bumi
dan tanggul batu-batu bisu
Episode
pengembaraan
pertama dilakukannya
turun gunung
pengembaraan dalam
mimpi panjang
membabat sawah
melindas lembah
yang gelisah
pengembaraan
sesudah mimpinya
dalam kebalauan
kota
adalah nyanyi
gemuruh dadanya
ketika di lingkup
dunianya pertama
dilindas batu-batu
ibukota
Februari, 1983
Perempuan dan Pantai
Pada kaki langit
dan garis laut
disaput cahaya di
bentangan pantai
perempuan putih,
akan berhentikah
kau terpaku dan
terbaring
pada nikmat dan gerahnya
sepanjang siang
pada pijarnya
matahari
pada tanah dan
airku
Kaki langit dan
garis laut
matahari senja,
merahnya
menyaput matamu
biru
hidupmu biru
mendamparkan mimpi
di pantai biru ini
Pada kaki langit
dan garis laut
sisa berkas cahaya
yang tipis
tak ada gerimis
putih
yang membagi
mimpimu.
Bukankah kau
habiskan rindumu, perempuan?
dan keringat
dinginmu dikeringkan
angin pantai
dan lanskap dunia
baru
Ketika kaki langit
dan garis laut hilang
perempuan pejalan
jauh, masihkah
kau cari hidupmu.
Mengapa kau diam
saja perempuan putih?
Perempuan putih
Haruskah
kukatakan,
sekarang pantai
menjelang malam
Perempuan putih
telah mengucapkan
salam penghabisan
pada gerimis putih
yang jauh
di buminya.
Agustus, 1984
Wartawan
(cendera mata bagi HUT PWI ke-46 dan
HPN ke-8)
Kata orang
wartawan adalah pencari obyek
tapi tentu saja
bukan tukang obyek
apalagi tukang
ojek
Orang bilang
wartawan adalah pemburu
tapi yang diburu
cuma orang-orang
orang yang
berbunuh-bunuhan
orang-orang yang
sedang kesepian
kadang-kadang juga
orang-orang yang bercintaan
dan orang-orang
yang melanggar berbagai rambu-rambu
larangan
Dulu ada wartawan
perintis
yang satu persatu
pergi dan semakin habis
yang hanya tinggal
nama mewariskan pena
untuk generasi
berikutnya
Ada juga wartawan
pergerakan
sebelum
kemerdekaan
yang hidupnya
selalu dalam kegelisahan
atas intaian dan
kejaran antek-antek penjajahan
Orang mengatakan
jadi wartawan itu enak juga
buktinya dapat
montar-mandir antarkota
bahkan antarnegara
mengelilingi dunia
ikut rombongan
menteri atau kepala negara
Sungguh senjata
wartawan – senjata pena
kata orang lebih
tajam dari pedang
Betul juga
karena senjatanya
dapat membikin orang mati kejang
Suse juge ye, itu si pemburu berite
kata seorang artis
ibukota
Apa susenye, tanya artis yang lebih tua
Habis gue sedang digosipin
Itu karena lu juge nyang gara-gara-in
nyeletuk artis
yang lain
Wartawan adalah
orang-orang yang selalu peduli
yang tidak dapat
mengatur waktu sendiri
dan tak sempat
bermesraan dengan anak istri
Tapi tanpa wartawan
dunia jadi sepi
karena ia dapat
saja menemukan orang-orang yang menutup diri
yang menyambutnya
dengan menggerutu di dalam hati
Salah-salah saya
akan malu setengah mati
akan diungkapkan
oleh si wartawan ini
Ada wartawan
karena ada A.A.
Hamidhan dan Kony Farhan
Ada wartawati
karena ada Umi Sri
Wahyuni dan Diniarti
Biar wartawan
sudah bakuliling kada ampih-ampih
Tapi sidin kada sugih-sugih
Mun sidin tahutang asa kada purun managih
Banjarmasin, 25 Februari 1992
Perjalanan Jauh
Telah kulakukan perjalanan,
amat jauh
mengorbit lewat
kasyaf. Panorama
dahsyat di
mana-mana. Begitu semesta
noktah-noktah
memancar dari arasy
1986
Pengantar
Kita apakan alur
cermin
ketika kita
merapat berduaan
Bulan tidak timbul
tapi kita bisa
melihat lembah itu
dari balik alur
cermin ini
Kau apakan segala
anugerah, dan
kebebasan ini
Ia adalah waktu
kita
ruang kita
memperhitungkan
titik-titik
yang terus
memasuki bumi
Percakapan malam
pun
semakin menggelora
untuk kembali
mengembara
1991
Perjanjian Baru
membuka jendela
malam
menatap langit
menyingkap rahasia
kota-kota yang
rusuh di tanah airku
membuka jendela,
dan
menatap langit
sepanjang malam
adalah kelelapan
impian asasi
pelarian dari
perjanjian yang tak pernah ditepati,
kata diriku yang
lain
adalah kesendirian
yang diperhamba akuku
telah membuka
jendela yang lain
lihatlah cakrawala
yang niscaya
di sana rumah masa
depan
di tanah air baru
yang lebih menjanjikan
Banjarmasin, 30 Juni 1999
Kemerdekaan
Kepada Proklamator
Ketika naskah
dibaca
Kita pun bangkit
dari luka-luka sejarah
Bendera berkibar
dalam perarakan
besar
Maka dengan ini
kami menyatakan
keputusan yang
tidak dapat diganggu-gugat
Kepada Chairil Anwar
Adalah misi
penyair
yang membikin
janji
setiap kepada
proklamasi
menjaga terus
sampai bebas impian
begitu maraknya
api
Hidup lebih
berarti sekalian saja
sesudah itu tidak
mati-mati
untuk memekik
merdeka berkali-kali
terus berkali-kali
beribu tahun lagi
Kepada Toto Sudarto Bachtiar
Engkau sebutkan
tentang kemerdekaan
dengan laut dan
suara
dan mengembara di
tanah air sendiri
Bukankah dengan
kemerdekaan kita meraih harapan
dalam
harapan-harapan
Kita pun selalu
merindukannya
Kepada Ajamuddin Tifani
Bagimu 51 ramadhan
dalam langkah tegap
Kemerdekaan kita
Putaran jarum
waktu
sepanjang ramadhan-ramadhan
adalah cenderamata
Tuhan
Kemerdekaan Fani,
kemerdekaan
Nyatanya Tuhan
masih mengisyaratkan
bahwa kita harus
mengubah nasib sendiri
atas tanah air,
mata air dan air mata
Banjarmasin, Indonesia Emas, 1995
Lanskap Sungai
(bagi hari jadi kotaku ke-457)
1
Kususuri lagi
sekarang
alur sungaimu
sungaiku coklat susu
(Kata kau
kehidupan mulai di sini)
mengapa beragam
dan bertumpu
bergulat selalu
2
Beginikah wajah
alam
wajah siang
wajah malam
pinggir kotaku
(Telah lahir
manusia
satu ibu
di hari-hari tanpa
batas
dalam malam pun
keringat mereka
mesti diperas
selalu)
3
Baru kuingat
hari ini pun
hari perjanjian
kita
berlomba, berlomba
di atas sungaimu
sungaiku coklat susu
menggetarkan
batang-batang
mengapungkan
lanting-lanting
dari hulu ke hilir
dari hilir ke hulu
4
Mengapa
orang-orang lalu-lalang
selalu lalu-lalang
di air dan di
darat
di darat dan di
air
Berlomba
orang-orang gelisah
tapi sama derajat
mereka
memiliki air
tak memiliki
ladangnya
5
Kita memang selalu
menyusuri sungai
leluhur ini
tapi kita belum
sampai-sampai
ke muara
adalah beban dalam
perahu kehidupan
dari atas sungai
kehidupan
belum kita tumpuk
dalam
gudang-gudang
pelabuhan baru
6
Tapi begitu
lancarnya
arus kita
begitu cerahnya
langit di atasnya
memberikan
keluasan harapan
Tapi tak bisakah
menghabiskan
angan-angan dan
purbasangka?
7
Bertambatkah kita
di tiang-tiang
jembatan
yang diatasnya
memberikan
bobot perlawanan
memberat kendaraan
dan beban
bukan impian?
Di sana pun engkau
lihat
wajah-wajah
memimpikan keadilan
Mereka lelaki-lelaki
yang tak bisa
menerima
nikmatnya perempuan
Perempuan-perempuan
juga
bercinta dengan
langit
bercinta dengan
matahari
8
Hari ini kita
selusuri
besok pun dan
kapan pun
sungai ini yang
mendustakan dahaga
melupakan kita
pada harapan
leluhur
sejak berabad lalu
9
Hari ini pun kita
tiba-tiba
merindukan
pendiri kota
yang dibelah
sungai martapura
di batas barito
gemerlap
lampu-lampu kota
memantulkan cahaya
di air sumber
kehidupan
yang masih selalu
dibenahi
harapan-harapan
Banjarmasin, September 1983
Tentang Hijaz Yamani
Hijaz Yamani lahir di Banjarmasin, 23
Maret 1933. Meninggal di Banjarmasin 17 Desember 2001, dalam usia 68 tahun.
Menulis puisi dan cerpen sejak tahun 1954. Juga menulis naskah drama, esai
sastra dan budaya. Puisinya pernah dimuat di Mimbar Indonesia, Budaya, Siasat,
Mimbar, Budaya Jaya, Horison, dan Bahana (Brunei Darussalam), disamping
media-media lokal. Juga dimuat dalam antologi bersama, al: Panorama (1974), Pesta Seni
(DKJ, 1974), Pesta Puisi (DKJ, 1975),
Puisi ASEAN (DKJ, 1978), Temu Penyair 10 Kota (DKJ, 1982), Kilau Zamrut Khatulistiwa (Arpenda,
Yogya, 1984) dan Tonggak II, ed.
Linus Suryadi AG (Gramedia, 1987). Kumpulan Puisinya: Tanah Huma (Pustaka Jaya, 1978) bersama D. Zauhidhie dan Yustan
Aziddin dan Percakapan Malam (1997).
Tahun 1975, ia menerima Hadiah Seni Bidang Sastra dari Gubernur Kalsel.
Catatan Lain
Dalam bagian “Riwayat Hidup Penyair Hijaz Yamani” yang ditulis oleh Micky
Hidayat di bagian belakang buku, ada ditulis begini: “Hijaz Yamani dikenal
sebagai sosok sastrawan yang santun, bersikap ramah pada siapa pun, senang
bergaul dan senantiasa mengayomi para seniman dan sastrawan-sastrawan/penyair
muda. Sosoknya dianggap sebagai sesepuh yang dihormati oleh khalayak sastra
Kalimantan Selatan (hlm. 212).
Penyair Micky Hidayat juga
menulis “Catatan Editor” di bagian awal buku. Di sana ada dikatakan bahwa
ketika kawan-kawan segenerasinya dari Kalimantan Selatan sudah lama penanya
kering menulis sajak, Hijaz Yamani lah yang masih bertahan menjaga energi
kreativitas dan tetap produktif. Dikatakan bahwa beliau semasa hidupnya
terus-menerus melahirkan sajak selama rentang waktu yang relatif panjang,
hampir setengah abad.
Ada juga dikatakan editor
bahwa karya terdini Hijaz Yamani ditemukan berasal dari tahun 1955, yaitu
ketika berusia 22 tahun meskipun bila dilacak dari biografi kepenyairan beliau
mulai menulis sejak 1954.
Editor juga mengatakan
bahwa ia menemukan puisi tanpa tahun penciptaan di buku kerja almarhum dan juga
diikutsertakan dalam buku ini. Sajak itu berjudul Kuburan.
Terakhir, keterangan
penting yang juga ditulis editor adalah adanya peran dan dukungan moral
(sekaligus donator) dari seorang Desmond J. Mahesa, anggota DPR RI. Kira-kira
demikian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar