Data buku kumpulan puisi
Judul
: Rose (Antologi puisi dwi bahasa)
Penulis : Rida K
Liamsi
Cetakan
: I, 2013
Penerbit
: Yayasan Sagang, Pekanbaru, Riau.
Tebal
: xxx + 255 halaman (55 puisi)
Translate
and edited by : Ali Mamiya, Murparsaulian, Rida K Liamsi
Pelaksana
penerbitan : Armawi KH
Layout
: Rudi Yulisman
Pengantar
: Soetardji Qalzoum Bachri
Beberapa pilihan puisi Rida K Liamsi dalam Rose
Hai Rasa Kepingin
yang Lelah
Hai rasa kepingin yang lelah
kau telah sampai pada akhir semua cawanmu
kembali pada gua nasibmu
Istirahatlah
sambil meminumkan sisa anggur lukamu
dan sekatkan diri dari umbai mimpi siamu
jangan bilang
sia
sia
nangiskan rasa
di rasa yang tak nangis
sedihkan siapa
yang tak sedih
kau sudah di luar hitungan waktu
disisihkan dari halaman buku-buku
siapa menyapamu
selain sajak yang kau tulis
atas kening
yang suratkan rahasia
dalam rahimmu
selain puisi yang kau tikam
di ulu hati
selain kata pertama yang kau pungut
di rumput
yang kau takut sebut
Hai rasa kepingin yang lelah
kau sudah masuk dalam perangkap
yang Adam pun khilaf
Istirahatlah !
Sambil meminumkan sisa anggur lukamu
kau sebut namamu
yang kau adalah siapa yang pernah
kau halau
lewat seribu pintu
yang derau langkah kau
menghimbau
dari selaksa
jangkau
(1977/2001)
Di Borobudur
Di batu relief aku membaca sebuah
perjalanan
ke keabadian
di tengah keheningan
di bawah keteduhan
di antara kealpaan
di antara huruhara
Tetapi wajah yang arif itu seakan
memberi tahu
perjalanan memang takkan pernah sudah
takkan pernah sampai
dan kita memang tak tahu
di manakah keabadian itu
Di depan stupa, aku menyaksikan
kemurkaan cuaca
yang mengikis jejak sejarah
yang sekerat demi sekerat
meluncur ke kesunyian waktu
Adakah lagi sesuatu
yang terpahat di situ
mengingatkan zaman
tentang kenisbian?
(1977)
Tangan
(Kepada Melayu)
Jangan bilang punya tangan
Kalau cuma bisa tadah
cuma bisa garuk
cuma bisa raba
cuma bisa kocok
Sebab tangan barulah Tangan
kalau bisa jadi TANGAN
bisa tangkap
bisa tepis
bisa sepak
bisa tumbuk
bisa tampar
Sebab Tangan barulah Tangan
Kalau tidak jadi t-a-n-g-a-n
Sebab tangan barulah tangan
Kalau malu pada Tuhan
Sebab Tuhan tak
tegah
Tangan jadi parang
asal tak sembarang tetak
jadi pedang
asal tak sembarang tikam
jadi besi
asal tak sembarang keras
Sebab Tuhan sudah Phuah!
Sebab Tuhan sudah bilang Nah!
Sebab Tangan adalah Anugerah
Maka jangan sembarang Ah!
(1981/1997/2000)
Di Tebing Lauttawar
Di tebing Lauttawar, kita ternyata bisa
menyaksikan hari bangkit
dengan warna pagi yang berseri, meski
ombak yang berdesir, dan
angin gunung yang layap, seakan tetap
menggugat: Sejarah apa
yang ingin kalian tulis, dengan bedil
dan bau mesiu? Kami telah
mengusir penjajah dengan rencong,
setelah mereka kami biarkan
menanam teh di bukit-bukit kosong.
Di tebing Lauttawar, ternyata hari
lewat dengan lebih hangat
karena uap kopi yang gurih, suara
jaring yang ditebar, dan geliat
ikan yang menggelepar, telah
menyisihkan berita televisi dan
keletah surat kabar. Di puncak
Takengon, gempa masih kerap
menggampar, tapi pucuk-pucuk pinus
masih bisa berkelakar: Di
sini Tuhan memang
lebih sabar!
Di tebing Lauttawar, ketika bulan
penuh, dan kabut malam
mengendap, memang masih kerap terdengar
bunyi panser dan
peluru menyambar. Sesekali, di lobby
hotel para tamu disuguhi
kisah Tengku Bantaqiyah di Beutong
Bawah. Tapi di gelap
malam, para hansip masih ronda dengan
pentung dan rencong di
pinggang. Dan di bibir pekebun teh dan
pelancong Eropa, malammalam
menjadi lebih berona. “Di sini,
kemerdekaan milik semua,
dan bedil di simpan di bawah jendela”
Di tebing Lauttawar, warung nasi, tetap
menggulai rending. “Rasa
Aceh, resep Padang” dan sambil menonton
liga Italia, si Buyung
melenggang: Ma baju Ronaldo tu?
Di tebing Lauttawar, di bawah
bayang-bayang potret Cut Nyak
Dien dan Teuku Umar, sebelum kabut
menghilang, kita masih
bisa berkelakar : Di sini kerasnya
rencong memang masih bisa
ditawar
(2005)
Di Masjid Amir Hamzah
Sehabis magrib
Aku ratib dan
meletakkan setangkai bunga di nisannya
Tuhan, singkirkan
rasa benci dan aniaya
Tak ada daya, tak
ada daya, tanpa kehendak-Mu
Dan maut
menjemput, pun saat jiwa bersujud
Dan maut wangi
bagai setanggi dibakar lumut
(2005)
Kedidi Kini Sendiri
Pergi Mencari
Kedidi
Kini sendiri
Pergi
Mencari
Mencari jalan pulang
Mencari jejak datang
Mencari tanda musim
Mencari arah angin
: Rasanya
dari sini aku datang
Tapi pantai semakin landau
Rasanya ke sini aku pergi
Tapi desir ombak semakin derai
Rasanya di sini berahiku hanyut
Gairahku luput
Tapi hari hanya menyisakan lupa
menyisakan alpa
menyisakan luka
Ke mana suka
Ke mana dahaga
Ke mana sukma
Rasanya di sini aku menawar waktu
memaku mauku
memeta jalanku
menyendu mimpiku
Tapi jam sedingin batu
Hati sepedih sembilu
Kedidi
Kini sendiri
Pergi
Mencari
Mencari sisa-sisa musim
Mencari sisa-sia mimpi
Mencari sisa-sisa berahi
Kedidi
Kini sendiri
Pergi
Menyusur pantai, menyisir ombak,
mencari jalan pulang
Akan sampai?
Sampai lepai
Sampai sansai
Sampai pada wahai?
Kedidi
Kini sendiri
Pergi
Mencari
Mencari!
(2007/2008)
Jejak Hujan
Rasa rinduku padamu
adalah jejak hujan
yang aku tak tahu
di mana luruhnya dan ke mana akan
bermuara
dan aku hanya
ingin mencatat
di sisa-sisa
kelelahan musim
aku memandang
sebuah keteduhan di terang matamu
dan aku terdampar
di samuderanya
(2010)
Rose (I)
Rasa rinduku padamu ROSE
adalah kuda
di padang terbuka
tak henti lari
tak siang tak malam
tak panas tak hujan
tak perih tak luka
tak satu tak dua
tak
tak
tak
tak nyerah
tak kalah
tak menyimpan pedang
tak gantung kapak
tak kemas tali
tak kubur mimpi
tak sebelum rinduku
tenggelam dalam kalbu
tidur dalam nadimu
Rasa rinduku padamu ROSE
adalah kembara
di padang terbuka
lupa batas
luruh waktu
tak pagi
tak petang
tak manis
tak pahit
tak
tak
tak
tak haus
tak lapar
tak kira
beribu lie
beribu sungai
beribu jam
beribu hari
beriburibu mimpi
harap dan dendam
t e r p e n d a m
Rasa rinduku padamu ROSE
adalah panah
yang melesat melintas cakrawala
tak putus asa
memburu
demi detik
demi napas
demi lelap
demi sirap denyut nadiku
menunggu
menerkam
tiap langkah
tiap jangkau
tiap cekam
tiap jemari
tuliskan cinta
tikamkan sembilu
rinduku
Rasa rinduku padamu ROSE
adalah pahit
di padang anggur
bagai cuka
bagai racun
bagai maut
kutabung
tiap tetes
tiap hirup
tiap hela nafas
ketika mulutku katup
menyebut rinduku
membunuh cintaku
padamu
(1977/2000)
Secangkir Teh, Sejentik Tari
Secangkir sake,
sejentik tari, Kiyoko san
Angin sungai, dan
suara gendang, menerobos bedakmu
Aku menghirup
rupa, menghirup wangi, menghirup tradisi
Menangkap makna di
balik kelebat payung jinggamu
Mencari
suara-suara abadi di balik kimonomu
Kau kah itu kiyoto
san
di balik gemuruh
Play Station
dan
keletah Sincan
Ketika aku mabuk
dan kikikmu
tertahan
(1999)
Mengingat Kalian
MAK
Mak kau adalah samudera, maka alangkah
:
Alangkah luas, alangkah dalam, alangkah
biru, alangkah teduh
Dan Aku berenang di dalamnya bagai
seekor lumbalumba
Berenang memburu pelangi, mengibas ekor
mengejar angin
Dan kau menggelitik punggungku :
Teruslah ! Kejar angin,
Kejar Ingin!
Jadilah Paus biru, karena bisa
menjelajah lautan
Melawan badai, menenggelamkan perahu
Ketika aku menyalip haluan, kau bilang
:
Tiang dan layar, tanda mereka akan
sampai KE MANA
Tapi harus ada angin, harus ada ingin
Dan angin bisa mempermainkan ingin.
Mengirim dingin,
mengubah musim
Jangkar melingkar, tanda mereka akan
sampai Di MANA
Tapi harus ada karang, harus ada
pancang
Dan karang bisa merubuh pancang
menggendang arus,
mengirim badai
Aku lumbalumba manja. Terus bermain,
mengejar angin.
Memburu ingin
Dan kau samudra alangkah, membasah
punggungku,
menantang angin ku
BAH
Mereka bilang kau karang, maka alangkah
:
Alangkah keras, alangkah tegar,
alangkah kukuh
Dan aku berdiri di pundakmu menatap
musim
Mendengar ombak, mengeram badai,
meluruh sauh
Dengarlah gemuruh gelombang, katamu
Karena gelombang mengajarkan arti
bimbang
Bimbang akan mimpi, bimbang akan sampai
Bimbang akan jejak, bimbang akan cari,
bimbang akan dapat
Rasakanlah getaran badai, karena dia
mengajarkan arti andai
Andai mimpi kau berketai, andai jejak
kau tak sampai
Andai kau teluk, andai kau adalah ceruk
Andai kau adalah pasir, andai kau
adalah desir
Andai kau segalanya hanya pantai, hanya
badai
Hanya sansai
Dengarlah keletah laut
Kadang laut sunyi dan ombak berdesir
Kadang malam gelap, dan laut menggigil
Kadang kau bilang, karang adalah mercu
yang menjulang
Suar kapal mengatur arah, mengemudi
tuju, mengira
sampai
Kadang, malam kelam, dan maut datang
tanpa memberi
salam
Tapi laut, tak pernah selesai disebut
dengan rasa takut...
(1996/2002)
Dan Sejarah pun
Berdarah
Soneta Cinta untuk H
1.
Phuih!
Aku telah dizalimi sejarah
(Mentari lebam. Pagi
menghisab sisa embun. Tanah basah, habis
dilapah. Kau berkacak
segak, menghala haluan. Memandang
daratan, menatap
langit, mengira angin, menakar musim
Nakhoda, bentangkan layar, tinggalkan negeri penuh
dengki!)
2.
Andaikan Aku Tun Teja
Andaikan Aku Tun Fatimah
Andaikan Aku Putri Retno Dumilah
Adakah mereka akan mencampakkan Aku
bagai lampin buruk
Melengos Aku bagai serampin busuk
Menistakan Aku bagai janda tua di katil
tersuruk
(Perahu berlayar.
Selatan mengerang. Renyai tiba dan siang
meratap: Wahai Peri
sejarah! Telah Kau tumpahkan seluruh asa
agar marwah bangsa
tercacak tersurat indah. Telah kau sekat bara
cinta, agar garis
zuriat tak bertumpah darah. Telah Kau humban
dengki, telah Kau peram
luka. Agar Sang Raja, tegak memerintah.
Mengapa kini kau menyerah? Mengapa kini Kau rela
mengalah?)
3.
Tak pernah Aku menyerah. Tak pernah Aku
mengalah.
Karena Telah kusauk pusaka. Telah
kupeti nafiri. Telah kusambar
Sirih Besar. Telah kuputus jejak
tamaddun Raja bertegak.
Phuih!
Tak sehelai selendang boleh dipegang.
Tak seulas pinang
boleh dikenang. Tak selipat sirih boleh
dipilih. Tak akan
adat boleh merempat. Biarkan mereka
menurunkan bahtera.
Biar mereka mengarak meriam. Biar
mereka menghela lela.
Aku takkan berganjak!
Biar hulubalang berhulu jembia. Biar
dukun menyedu racun.
Biarkan mereka mengasah siasah
mengalahkan sejarah
Takkan pernah aku boleh disergah!
(Camar melintas. Buih
putih menindih perih. Kecapi Parsi
mencakar hati: Engku
Bijak, Engku Perkasa, Engku ranggih
berhati besi, adakah
negeri berdiri dengan hati? Adakah tahta
tegak dengan cinta? Adakah sejarah ditulis dengan madah?)
4.
Aku tahu tak ada tahta tanpa serdadu
Aku paham, Tak ada Raja tanpa meriam
Aku ingat, tak ada Menteri tanpa hianat
Aku sadar, tak ada permaisuri di balik
kelambu, tanpa tersedu
Tapi hidup mewariskan rasa,
mengkekalkan resa: Tentang cinta,
Tentang setia, tentang rela, tentang
pasrah, tentang padah.
Maka sejarah menyisakan luka, maka
siasah menumpahkan darah
Maka sejarah selalu hitam, maka cinta
menghamparkan dendam
(Petang berpendar,
elang menukik, dan lelumba berselancar.
Angin mati, menurunkan
layar: Cinta bukanlah cinta jika hanya
tahta memenuh resa.
Setia bukanlah setia, jika cinta bertahan
dengan jembia. Maka,
wahai kerelaan yang lapang, rebahkanlah
perihmu, di lengan
kesendirian. Biarkan gerai rambutmu, dibelai
angin. Biarkan musim
mendingin bahang bencimu. Biarkan laut
mendendangkan gazal, menaut kenangan kembali surut)
5.
Mereka memang telah meramu racun, agar
kasih dan kehormatan
tak beralih. Mereka memang telah
meracik fitnah, agar jejak
dan kekuasaan tak tergoyah. Tapi Aku
telah menyulam cinta,
menjelujur setia, mengelim rela, agar
Sang Raja, selalu tegak di
atas singgasana. Agar bila berkata Ya,
maka Ya lah negeri. Bila
berkata Tidak, maka selamatlah negeri,
Agar, saat malam tiba, dan
kelambu diselak, Baginda memunggah
rindu seluas samudera,
dan mendesah rindu bagai gelombang
Selat Malaka.
Mereka memang telah menyemai dendam.
Mereka memang
telah menulis dengki. Mereka memang
telah menyelak kain
dan menghunus belati. Tapi, Ya Rabbi,
tak Kau beri aku jerat
cinta, Tak Kau beri aku zuriat tahta.
Tak Kau beri aku semangat
untuk melumat hianat. Tak Kau beri aku
waktu menguras racun,
melebur dendam,
meluruskan sejarah. Padahlah!
6.
Phuih!
Angin mati, pasangkan dayung,
Rempuh Barat, taklukkan tanjung
Tambatkan pencalang, sebelum rembang
(Samudera kasih,
biarkan beribu sedih menumpahkan perih di
riba mu. Junjungan
telah pergi. Tetapi negeri perlu Seri. Kuasa
memerlukan kata. Kata
mesti di kota tahta ternganga tanpa daya.
Raja tegak tanpa
mahkota. Sejarah berdarah. Istiadat diludah)
Phuih!
Aku telah berjaga separuh usia
Aku telah mencatat seluruh isyarat
Tapi mestikah tahta tegak dengan dusta
Mestikah kuasa tegak tanpa Regelia
Padahlah!
7.
(Indrasakti sunyi.
Pekik bayan seperti gering. Tingkap ke selat,
meratib nasib: O, Engku
yang ranggi! Telah kau tegah angin agar
tak mengirim ingin.
Telah kau cacak ijuk, isyarat menghapus
semua bujuk. Tapi
dapatkah kau tahan waktu yang bagai sembilu
mengerat urat,
menyimpulkan tahan marahmu)
Mengapa Aku harus bijak, bila mereka
yang berkata tidak?
Mengapa Aku mesti menarik langkah,
padahal mereka
mendedah barah?
Ah! Padahlah!
Jangan biarkan tangga berderak karena
datang yang
berkehendak
Jangan biarkan tirai terselak, karena
datang bujuk yang tak mau
ditolak
Biarkan para serdadu baris di pintu
Biarkan Hulubalang lelah bersila
Biarkan Panglima tewas berjaga
Biarkan Raja Muda, mencabut keris,
mengacung jembia
Aku tak akan berganjak!
Sebab Akulah panglima. Sebab Akulah
laksamana.
Sebab Akulah kuasa
Akan kutiup nafiri bagi Pelindung isi
Negeri
Akan kuhantar Sirih Besar, bila tahta
layak bergelar
Akan kupadan persalinan, bila mahkota
layak bercogan
Karena Akulah kehendak, yang berkata
Ya, yang melaung Tidak
Karena Akulah yang
menabuh tambur, yang memukul ketawak
8.
(Wahai Engku. Sri
segala permaisuri. Dengarkan gemuruh langkah
para Menteri. Menegak
destar, meluruskan kaki :
Punai terbang menyongsong angin
Elang hinggap membuat sarang
Sang Raja datang memohon ingin
Apakah disambut genderang perang?)
Padahlah !
Sebab Akulah Engku Puteri
Sebab Akulah penyangga marwah,
penjunjung Negeri
Berlututlah!
Jangan acungkan pedang kalian
Jangan tembakkan peluru kalian
Jangan kuakkan durhaka kalian
Sebab takkan ada marwah bagi kuasa yang
diraih dengan paksa
Sebab takkan ada tuah, jika Panji
ditegak dengan salah
Berlututlah!
9.
Maka sejarahpun berdarah, karena mereka
datang dengan
perang. Maka sejarahpun memendam amarah
karena mereka
menyambar Sirih Besar dengan pedang.
Maka seluruh nadi
negeripun mengerang, karena Tahta
ditegakkan dengan
senapan. Maka Negeri pun tenggelam
dalam lautan benci, karena
Nafiri dicuri dengan belati. Maka para
syuhada pun berkabung,
karena mereka datang mengantit perabung
dengan beliung.
Maka sejarahpun penuh dusta, Karena
mereka telah menista
sang penjaga Regelia, wanita ranggi
berhati besi, wanita tua yang
menjaga marwah
sejarah dengan hanya seribu kata.
10.
Phuih!
Rampaslah segalanya, tapi kalian hanya
merampas dusta
Rampoklah segalanya, tapi Kalian hanya
menggenggam nista
Dan berpalinglah! Maka kalian akan
menyaksikan petaka
Datang bagai badai dan akan
menenggelamkan semua Bahtera
Semua Tahta!
Semua Negeri punya Seri
Semua Marwah punya tuah
Semua Tahta punya Bala
Semua janji punya benci
Semua benci punya sumpah
Padahlah!
11.
(Di tingkap menghadap
selat,
angin terkesiap dan
tirai tersingkap
menangkap luka Cinta
yang telah berhenti berharap)
Nakhoda, naikkan layar
Bongkar sauh,
Dan biarkan Kita berlayar jauh! JAUH!
(2006/2008)
Tentang Rida K
Liamsi
Rida K Liamsi jika dibaca dari belakang (kanak ke kiri) maka akan muncul
nama Ismail Kadir. Itulah nama sebenarnya dari penyair ini. Juga pernah
menggunakan nama pena Iskandar Leo. Lahir di Dabosingkep, Provinsi
Kepulauan Riau, 17 Juli 1943. Pernah menjadi guru Sekolah Dasar, sebelum terjun
menjadi Jurnalis. Delapan tahun jadi wartawan Tempo, lima tahun di harian Suara
karya, kemudian ke Riau Pos, hingga menjadi CEO Riau Pos Group (RPG). Kumpulan
puisinya: Ode X (1971) dalam bentuk stensilan, Tempuling (2003).
Novelnya Bulang Cahaya (2007). Mendirikan Yayasan Sagang, di mana sejak
1997 telah menerbitkan Majalah Budaya Sagang. Dan setiap tahunnya, sejak 1996,
memberikan penghargaan kepada Seniman dan budayawan, karya-karya budaya,
institusi budaya, penelitian budaya serta jurnalisme budaya yang bernafaskan
budaya Melayu, yang diberi nama Anugerah Sagang.
Catatan Lain
Di bagian belakang buku ini ada tiga tulisan, yaitu Catatan Pengarang,
Catatan Penerjemah (oleh Ali Mamiya) dan Catatan Editor (oleh Murparsaulian).
Begini kata pengarang tentang Rose: “ROSE adalah mahakata yang selalu membuat
saya terbakar dan melihat hidup dengan gairah.” (hlm. 242).
Oya, kumpulan Rose ini
juga memuat puisi-puisi dari kumpulan sebelumnya, yaitu Tempuling dan Perjalanan Kelekatu. Tampilan terjemahan dikerjakan
per halaman, bukan per puisi. Artinya tampil satu halaman teks berbahasa Indonesia
dulu, kemudian halaman selanjutnya tampil teks berbahasa Inggris. Jadi kalau
ada puisi yang jumlah halamannya lebih dari satu, maka tampilan teks terjemahan
dan teks asli akan hadir berselang-seling. Dan bukan hanya puisi yang
diterjemahkan, prolog dan catatan-catatan yang ada di bagian belakang buku juga
diterjemahkan.
Oya, ada sedikit
ketidakkonsistenan (yang entah penting atau tidak) terhadap penulisan nama
penyair yang menulis pengantar di buku ini. Di sampul depan, sampul dalam (hlm.
vii), dan halaman identitas buku (hlm. viii), penulisannya adalah Soetardji Qalzoum Bachri. Namun
memasuki tulisan pengantarnya yang diberi judul Sekilas Komentar tentang Puisi Rida, (hlm. x, xi) maka nama yang
muncul adalah Sutardji Calzoum Bachri
(ini nama yang biasa saya kenal atau disingkat SCB). Dan di Daftar Isi (hlm.
xxvi) muncul nama yang lain lagi: Soetardji
Calzoum Bachri. Walaupun ketiga nama itu beda, kayaknya orangnya sama saja.
J Salam puisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar