Jumat, 01 Januari 2016

Juniarso Ridwan: AIRMATA MEMBARA




Data buku kumpulan puisi

Judul : Airmata Membara
Penulis : Juniarso Ridwan
Cetakan : I, Mei 2014
Penerbit : Kelir, Bandung
Tebal : xviii + 74 halaman (73 puisi)
ISBN : 979-97717-6-5
Desain sampul : Joko Kurnain
Desain isi : Harris Sukristian
Pra-cetak : De N’da, Ethez
Prolog : Jakob Sumardjo

Beberapa pilihan puisi Juniarso Ridwan dalam Airmata Membara

Airmata Membara

dibelit pegunungan iban dan meratus,
pohon-pohon mencari matahari tembaga,
daun-daun menghampar sebagai rabuk,
sedangkan sungai melingkar liar.

                        kemarau mengantar parau
                        kuala menghisap uap payau

bukit-bukit di kapuas hulu mendesah,
suara-suara unggas seperti peluru panas,
erangan chainsaw dan bulldozer bersahutan,
kayu-kayu loging menggelepar,
awan jelaga menggigil di langit berkabut,
lubang-lubang kubur menganga,
mayat-mayat tak benama melayang di rawa-rawa:
di ujung-ujung kampung, orang-orang menggali perih:
sambil menadah guyuran airmata membara.

                        udara bertabur amarah
                         lautan berselimut barah

kulit tanah mengelupas dengan luka menganga,
pohon-pohon bakau menggelepar nanar,
ikan-ikan menimbun bangkai televisi di perutnya,
kahayan dan lamandau menderita demam mengigau:

sambil menadah guyuran airmata membara.

2004



Lokan-Lokan Menyimpan Nyeri

senja pun datang merapatkan selimutnya,
buih-buih ombak menggotong sampan,
dan nelayan membentangkan kayuh;
mengukir seribu bunga di langit temaram.

layar berkibar di rongga bagan,
ikan-ikan menggelepar di moncong sampan,
nelayan renta dibalut jejaring waktu,
lokan-lokan terdampar menyimpan nyeri.

hari laut haru-biru,
malam datang terpatah-patah,
asin laut lidah terluka,
kata-kata menetes penuh bisa.

garis pantai seperti tepian harapan,
tempat sejenak gelomnang singgah,
selanjutnya hanya pantulan senyap,
yang menyelinap di pangkal iga:

saat langit penuh jejaring sirip,
lokan-lokan memanggul sampan:

ramai-ramai nelayan menuai nyeri.

2004


Kuhamparkan Huruf-Huruf Menjadi  Sajadah

agus, sengaja kuhamparkan huruf-huruf ini
menjadi sajadah pada malam gelap-gulita,
saat ini aku coba pahami sebuah dunia,
dengan nyanyian granat dan lolongan sunyi.

saat ribuan bangkai ideologi terkapar di angkasa,
kita sedot dalam-dalam dendam yang
bergentayangan,
seperti sebuah kepercayaan:
membuat kita menjadi warga masyarakat baru,
dengan gairah arak dan permusuhan.

dengan bunga ketakutan kita panjatkan doa,
sambil menanti yang lain kelaparan,
hari ini tak ada beras atau ikan asin,
bila mau kunyahlah baud, kabel atau ban bekas,
bukankah solar dan aspal masih tersisia di kuali?

dingin ini adalah lengkingan daun-daun gugur
dan kita sujud di pojok dapur,
mengharap suara-suara yang tak pernah singgah.

2001


Mata Langit

moncong nasib itu menghadang
di setiap tikungan. Seperti harimau
lapar, mengintai degup jantung,
melacak tetesan darah di sepanjang
tujuan.

mata langitlah yang terjaga, memandu
suara hujan menemui daratan hitam,
menggiring urat nadi menjadi catatan
harian. Kemudian kau menghitung
langkah yang mulai renta, mencari
stasiun persinggahan dari sisa-sisa cinta
yang telah menghablur.

di antara bahasa yang pernah menjelma,
hanya tubuh dingin sebagai kabar,
tafsir dari seribu mimpi. Tangan-tangan
perkasa pun jadi bisu, sebab tak pernah
memahami arti sebuah kehadiran.

kau dengan gairah menyongsong kegelapan,
dengan mulut terkatup, hanya nafas bicara,
sebuah senja tiba-tiba muncul sebagai gadis remaja.

2001


Aku Tulis Puisi

aku tulis puisi tentang laut biru,
tapi terbaca ledakan bom dan kematian.

aku tulis puisi tentang harapan hari esok,
tapi terbaca rangkaian konflik dan cucuran darah.

aku tulis puisi tentang surga,
tapi terbaca penindasan antar sesama.

aku bongkar kata-kata
lalu terbaca keindahan.

2001-2002


Perjalanan Burung

simpang-siur manusia dengan deretan manekuin,
sudah menggores luka dari kejadian-kejadian yang lewat,
darah bercucuran di sepanjang jalan,
di pertokoan, kehormatan menjadi barang dagangan,
di antara baju-baju musim panas, kamera, tas kulit;
apakah kau dari timur tengah atau jerman? Ah, pasti
dari garut, tersesat di kotak etalase, melempar jam yang
selalu menggoda

di dalam tanah, kota-kota berdiri, jalan jadi urat kehidupan,
menghubungkan setiap plaza; kau memborong sepatu,
kemudian menikmati sea-food, menginginkan bintang iklan,
tiba-tiba terdampar di trotoar. Sekarat.

sudah disediakan pusat perbelanjaan, sekolah dan rumah sakit,
kita berdoa setiap malam, sebab dengan tetangga selalu cekcok:
pagar dengan besi runcing memenuhi dada, mau ke mana lagi?
aku pun terbang mencari sarang.

1996-2002


Memanjakan Kemenangan

seminggu resah dikemas dalam karung,
dilepas rindu dalam siang membakar,
semua berlayar dalam keringat suara,
mendayung dalam bayangan jendela tangis.

untuk sementara kepala dibungkus atribut,

(kemenangan: kekalahan bagi yang lain);

berjalan menuju tangga penantian,
dengan bunga-bunga di dada,
dan gemuruh jalan bercabang-cabang.

di manakah kau saat aku terjebak limbung,
di garasi mobil dan pintu rumah terkunci,
tiba-tiba tangan bermunculan dari kegelapan,
menggapai mantel tua yang compang-camping,
seperti sunyi merenggut kesempatan sisa.

2003


Tuan X Datang Pagi-pagi Buta

seberkas malam disembunyikan di lipatan ketiak embun,
sebutir harapan berkecambah di telinga. Pagi-pagi buta
kabar pun diikatkan di ketinggian gemintang, seorang
lelaki pilihan akan muncul sebagai penyelamat.
orang-orang bergegas menebarkan tangan, doa-doa
melata di kerutan bantal.

setiap pintu seperti menyimpan janji,
dengan ruang-ruang rahasia, setumpuk bahasa,
lalu desiran uang yang menyerupai sayap kupu-kupu;
tuan x datang, bunga bermekaran di kepalanya,
sambil membawa sekepal surga di mulut pistol.

serupa main domino, dunia berada di ujung lidah,
dan hanya orang gila tak  mengenal basa-basi,
tapi terlanjur ribuan nyawa merana sia-sia

sedangkan malam masih saja memendam gumam,
adakah secuil cinta menampakkan keajaibannya?

2003


Mandalawangi

tangan langit mencengkeram tanah,
dari jemarinya yang merekah, angin meronta,
dedaunan gemerincing. Hamparan hitam,

batu sejak subuh berlumur peluh,
mata air mengantar duka air mata,
pepohonan ngungun, bambu meranggas.

matahari menggerakkan taringnya,
gunung bergetar, sungai memagut sangsai,
gumpalan keluh larut di selokan-selokan.

embun yang melukis harapan pada ranting angin,
tergolek kaku di undakan waktu,
hutan yang terusir sudah lama dilupakan:

hanya tinggal tubuh kurus dibakar kemelaratan.

2003


Melebur dalam Ruang
– Albert Einstein

bintang-bintang bermain cahaya,
yang mengusir gugusan mimpi,
dalam prasangka purba menganga

garis-garis magnetik,
semakin menyerap detik

o, bila mata membangun lengkung bidang,
seketika, pada bidang pusaran noktah:
menggiring setiap reka-duga,
melebur dalam ruang tak bertepi.

di tengah kegalauan perasaan;
menyatu ke dalam pusaran,
gumpalan layar membungkus ketiadaan.

2003


Bila Saja Selembar Daun
(ecological suicide)

hamparan pikiran telah terkoyak-koyak,
membuat denah-denah jalan keinginan,
mengikuti bisikan-bisikan gaib kalkulator:
bukit-bukit berguguran,
lembah-lembah merebah,
hanya tiang-tiang beton tumbuh subur,
ujung kaitnya menusuk langit.

bila saja selembar daun, ringkih melayang,
mencari pijakan di ranting-ranting kehidupan,
di sana tanah kehilangan ikatan hidup, *)
karena petak-petak yang terbentuk,
tak pernah memberi kesempatan daun singgah.

rumah-rumah seperti melayang di udara berabu,
kantor-kantor dan toko-toko bergelayutan di tepi pagi,
orang-orang sibuk menimbang umur,
sedangkan liang lahat menjadi benda asing yang langka:

para penggali kubur telah lama tersesat di butik-butik
pusat kota.

2004
*) Di lingkungan masyarakat adat Sunda dikenal pembagian bidang tanah menurut urutan Tritangtu, atau di Bali dikenal juga Tri Hita Karana.


Pucuk Bambu Menggores Luka

pucuk bambu menggores luka di angkasa,
branjangan menggelepar di celah batu,
menggetarkan hutan di ikal rambutmu.

pagi yang terbakar,
hanya parabola yang tenggelam di genangan kopi,
sambil menikmati atraksi adu tinju,
dan menerima sinyal telepon yang tersesat.

padang rumput yang dilumuri getah kemarau,
rumah-rumah memantulkan warna pucat,
langit terdampar di pematang:
hari yang temaram.

di sebuah tempat yang lekat dengan ingatan,
pucuk bambu menggores luka di angkasa,
hujan deras dan tiba-tiba sebuah kehidupan hilang.

2003
- branjangan (mirafra javanica): burung sawah yang nyaris punah


Jakarta, Di Sebuah Hotel

hanya tinggal jejak purba, sedangkan pikiran
melayang entah ke mana. Pakaian menumpuk
di bawah tempat tidur, bunga-bunga mawar
bermekaran di langit-langit kamar. Dan keringat pun
melimpah di antara khayalan membatu, mengalir
menuju lembah tak bertepi di dalam hatimu.

jakarta menjelma rumah kaca raksasa,
aku melata di antara ruang-ruang siang,
menikmati kehidupan primitif di kamar-kamar
hotel, membayangkan dunia dalam genggaman,
sementara di ujung telepon seseorang menggerutu
tentang kartu kredit yang ditolak kasir.

tapi air sungai meluas. Kota sedang tenggelam. Orang-
orang berteriak kalut.
Aku sibuk
menghitung tikus yang lari
di atas atap. Kau tergesa-gesa memasang pelampung.

hanya tinggal jejak purba, sisa keperkasaan yang
berceceran di atas lantai. Kota pun berangkat malam,
di antara genangan air limbah, kau melambaikan
tangan:
“selamat tinggal jantanku.”

2001-2002


Penantian
– mengenang sahabat

segumpal bunyi tiba-tiba memenuhi lubuk hati,
mengisyaratkan kerentaan hari,
yang tergusur lokomotif usia. Pada batas ruang,
hanya doa lembab bersahut-sahutan,
seperti balon udara pecah di langit-langit temaram.

kau semakin tak mengenal sosok sendiri,
cermin pun  menjadi musuh pada awal perjumpaan;
hanya dengung nyamuk terasa paling akrab,
dengan setia datang setiap malam.

lorong-lorong panjang menyimpan detak sepatu,
entah siapa yang terakhir datang,
seketika tirai mendesir,
kamar pun membeku.

igauanmu yang jernih tetap akan kucatat
sebagai puisi yang tak terselesaikan.

2001


Di Batas Kota Akhir Tahun

kota tua. Reklame raksasa mengobral agama baru,
pohon-pohon tunduk memeluk bumi,
aku pun menjadi rayap di pelataran sebuah mal,

menghitung daun luruh di alis matahari,
seperti mengitari jejak kematian,
yang diiringi arak-arakan barongsay.

kini kota menjelma sebuah botol,
yang terbenam dalam bara api,
dan akupun menjadi rayap. Berdesakan.

kesepian telah terjual.

2002


Bidang Berkabut

sebuah tempat tak bernama, bidang
kosong berkabut. Ingat mark rothko
dalam hari-hari sunyi kota besar.

langit mempertontonkan warna kelabu,
cakrawala membias, rumah-rumah menganga,
orang-orang terbelit pengangguran,
tanah membentang – bidang kosong,
hati pun penuh jelaga. Perjalanan

seperti tak menjanjikan. Pikiran
dipenuhi hama yang terus beradaptasi,
langkah pun terikat besi bergerigi,
kemudian ayat-ayat lama dilantunkan.

di sebuah tempat tak bernama, degup tanah
menebarkan kabut merah. Tubuh-tubuh
melayang, telanjang dan terhinakan.

2002
- mark Rothko = pelukis amerika imigran rusia.


Di Ujung Daratan

Aku menumpang debu. Angin berpacu,
musim telah meluluhkan matahari,
kemudian para petani bergelut dengan sejarah,
menggali tanah, mencari benih masa depan.

udara kesumba menutup mata,
sedangkan kaki penuh duri menjalar.

aku terpaku di ujung daratan,*
mendengar hutan berdoa,
dalam kemarau membara.

2002
* bagi orang Baduy, ujung daratan adalah batas perantauan di dunia


Tentang Juniarso Ridwan
Juniarso Ridwan lahir di Bandung, 10 Juni 1955. Semasa mahasiswa di Institut Teknologi Bandung aktif di Grup Apresiasi Sastra (GAS) dan Studi Teater Mahasiswa (Stema). Kini mengelola Forum Sastra Bandung (FSB). Kumpulan puisinya al: Dua Penyair di Depan (1976), Penipu Waktu (1979), Robocop (1994), Tanah Terluka (1996), dan Air Mengukir Ikan (2000). Kumpulan puisi berbahasa Sundanya adalah Lalaki Langit (1987) dan Langit Katiga (1996). Juga menulis buku anak-anak, yaitu Budak Motekar (1984) dan Pengalaman Regu Macan (1984).


Catatan Lain
Jakob Sumardjo membuka prolognya dengan paragraf ini: “Sajak-sajak Juniarso kadang sulit dicerna karena loncatan-loncatan metaforanya yang liar. Kesulitannya adalah dalam membangun kembali lalu lintas metafora itu dalam suatu organisasi yang utuh. Perjuangan membangun keutuhan bangunan sajak itulah yang diminta dari pembacanya. Sajak-sajak Juniarso barangkali hanya ingin mengungkapkan peristiwa-peristiwa manusia Indonesia yang umum dan sederhana saja, tetapi cara dia mengungkapkan itulah yang kadang membingungkan. Ini semacam ‘sajak-sajak gelap’ tahun 50-an justru karena kepiawaian penyairnya dalam menciptakan metafor-metafor yang kaya.” (hlm. vii).
            Lanjut penulis di paragraf lain: “Sebuah sajak adalah sebuah mitos yang dibangun oleh dunia penyairnya. Dan mitos selalu berarti medium antara kerajaan dunia dan kerajaan surga. Mitos adalah dunia yang teler, terombang-ambing antara dunia nyata ini dengan dunia lain yang tidak nyata. Yang tidak nyata menjadi nyata, yang nyata menjadi tidak nyata. Setiap sajak itu membius pembacanya karena daya kekuatan mitosnya ini.” (hlm 1-2).
            Oya, di halaman v ada semacam petikan komentar juga, yaitu dari Faruk HT, Agus R. Sarjono, Sapardi Djoko Damono, Saini KM, Wing Kardjo, WS Rendra, Korrie Layun Rampan dan Afrizal Malna. Ini komentar Afrizal: “Dalam puisi-puisi Juniarso Ridwan terdapat produk ujaran-ujaran ekologis yang meniti jalannya dari alam, kehidupan budaya lokal hingga kota yang ruwet.” Demikian. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar