Data buku kumpulan puisi
Judul
: Hap!
Penulis : Andi
Gunawan
Cetakan
: I, Mei 2014
Penerbit
: PlotPoint Publising (Kelompok Penerbit Bentang Pustaka), Jakarta
Tebal
: xii + 92 halaman (69 puisi)
ISBN
: 978-602-9481-65-5
Ilustrasi
dan perancang sampul : Prasajadi
Pemeriksa
aksara : Veronica Latifiane
Penata
aksara : Septian Hadi
Penyunting
dan Prolog : M Aan Mansyur
Hap! terdiri dari tiga bagian, yaitu Hap! (37 puisi), Kepada Air
Susu Ibu (14 puisi) dan Ia tak Pernah
Bepergian (18 puisi)
Beberapa pilihan puisi Andi Gunawan dalam Hap!
Tiga Sebab
Tiga stasiun lagi
dan aku tak akan sampai ke mana-mana
sebab kepalamu
menggeleng lebih cepat dibanding laju kereta
sebab ada yang
luput pada setiap lambaian tangan
cara-cara
merelakan dan isi cangkir yang harus dikosongkan
sebab seperti
mereka yang diasingkan ke pulau-pulau jauh,
tak semua cinta
betul-betul ingin pulang. Sungguh.
2013
Ganjil
Tuliskanlah namaMu
di sini
2013
Hap!
Kau patahkan
hatiku berkali-kali
dan aku tak
mengapa.
Hatiku ekor cicak.
2013
Pelajaran yang Tak Pernah Kuselesaikan
Karena kau tak
selalu muncul di dalam mimpiku yang jarang,
setiap malam aku
berangkat tidur lebih lama daripada orang-orang:
mendatangkanmu ke
dalam kepala bersama
sepasang cangkir
kopi hitam-masam
semasam airmata
meluncur tanpa aba-aba
menghadirkan
hangat yang asing di kedua pipiku.
Lalu cangkir
ketiga adalah pertanda
bahwa sepasang
sebelumnya tak pernah cukup
untuk
mendatangkanmu, sebab mengingatmu selalu sama
– tak pernah jadi
sederhana.
Dan ibuku masih
tak bosan mengajariku hal
yang menurutnya
paling sederhana di dunia:
“Jika cinta begitu rumit, ubahlah ia
menjadi perkara yang kauikhlaskan.”
Mendengar pesan
ibuku, kedua lenganku yang lapang
tiba-tiba ingin
sekali memeluk dirinya sendiri
sementara lengan
lain memilih tanggal
dari pelukan yang
menggantung di daun pintu.
Berkatalah aku
kepada ibu,
“Kapal terakhir telah berlabuh ke dadanya
– bukan aku, dan pintu ini tak bisa menutup sendiri.”
2012
Pulang 2
1
Malam masih muda
dan aku berjalan
sesekali melompati
becek sisa hujan
menentang angin
pembawa kabar-kabar buruk.
2
Peta dan senyuman
terlipat rapi di
sela buku harian,
di dalam ransel
lapuk
3
Ada yang lebih
jahat dibanding cuaca:
tik-tok arloji dan
isi kepala.
2013
Tentang Tubuh yang Tabah
Lengan-lengan yang
melepaskan diri dari pelukan
sedang belajar
saling merelakan,
seperti embun
meninggalkan dedaunan.
Barangkali
begitulah cinta diciptakan sebagai penguji
sebab bahagia,
sayang, ialah sebuah kepulangan. Maka,
pergilah tanpa keraguan.
Berkelanalah ke tempat-tempat
yang jarang
terbuka: bibir, lengan, dan dada.
Lalu kirimkan
kepadaku sebuah kartu pos
dan puisi –
tentang bagaimana memeluk jarak
dan sendiri.
2012
Pancaroba
1
Kenangan, seperti
halnya tembakau kemasan, nikmat yang perlahan
melukai. Ia juga
tamu yang bisa kapan saja mengetuk pintu –
membukanya atau
berpura-pura tidur sepenuhnya milik penghuni
rumah
Aku telah dengan
sadar membuka pintu membiarkan dingin masa
depan mengubahku
jadi bocah, menamparku dengan omelan-omelan
mirip ibu.
2
Sebab dadamu danau
dan kau sibuk bermain di tepi, asin air
mata menderas
asing, lebih asing dari hari pertama sekolah dan
mengenakan seragam
kaku.
3
Maka buatlah rumah
berpagar tak terlalu tinggi biar bocah dalam
diriku bisa
melompat pulang setelah lelah bermain-main dengan
cuaca.
2012
Aku Tak Pergi ke Taman Kanak-kanak
Sebelum
bertetangga dekat dengan takut, aku berjalan tak peduli alas
ke mana saja ke
tempat-tempat yang disebut bahaya bagi sebaya;
main petak umpet melawan
perut
Sebelum tahu usia
ialah angka yang dapat dihitung, sebelum
mengenal pagar dan
paku, tak ada aku menyimpan rencana dalam
kantung-kantung
hitam di bawah mataku.
Sebelum hangat
tercipta oleh sentuhan oleh doa-doa yang berjatuhan,
tanganku bepergian
sendiri, berlari-lari manakala hujan berhenti
lantaran lelah
sendiri
Aku ingin kembali
ke taman itu. Aku ingin dipotret bersama Ibu
tanpa bingung
memikirkan pigura, dinding, dan paku.
2011
Sungguh Aku Tak Peduli
Siapa yang engkau
rindukan
lagu-lagu yang
selesai, melodi sumbang,
atau kemerduan
bising di dalam kepala.
Aku hanya ingin
berdendang di atas panggungmu
yang ramai dengan
ingatan: bukan aku.
Siapa yang engkau
cintai
temaram kemarin,
sangsi-sangsi hari ini,
atau ketidakpastian
di punggung esok.
Aku hanya ingin
berbaik sangka,
ingin engkau
berbaik-baik saja, di sana.
2012
Mantra
Jika kebodohan
dapat membuatku
jatuh berkali-kali
ke lenganmu,
aku akan memilih
jadi tua dan dungu
2012
Dua Stoples Kenangan
Senin yang dingin
membuatku malas mencuci muka. Sebuah ingatan
terpaksa tinggal
lebih lama. Ingatan tentang Senin yang luka oleh aku
yang muda dan
terburu-buru.
Tidak lama kau
menjadi kupu-kupu di rumahku sebelum
berterbangan di
bukit luas bernama masa lalu. Di sana, kau sibuk
mengitari bayang-bayang
yang lebih gelap dari padam lampu. Menari
di atas danau
kenangan yang lebih keruh dari keluh janda-janda kota.
Saat sedang lelah
di pucuk rendah pinus aku berhasil memeluk dan
membawamu pulang.
Pelukan yang asing dan asin sebab kau tak
berhenti menangis
sepanjang jalan ke rumahku. Rumah bercat putih
pudar membosankan
berbau apak.
Jendela-jendala
berkarat dan segala pintu kututup rapat sebab aku
enggan menaruhmu
dalam stoples kaca. Satu-satunya stoples bekas
isi nastar
pemberian seorang yang dulu mengaku kekasihku. Seorang
yang dibawa pergi
kupu-kupu dari taman bunga yang tak pernah
kukunjungi.
Sejak hari itu kau
selalu beterbangan di dalam rumahku. Menyinggahi
apa saja.
Pigura-pigura berdebu bergambar senyum yang telah
dimakamkan. Ranjang
berlubang mahasepi. Juga gelas piring sendok
yang selalu kucuci
sendiri setelah menu-menu hambar tertelan. Aku
berpikir kau telah
mengenalku dengan sangat baik dari setiap sisi
rumahku yang
kausinggahi.
Lalu Senin malam
yang lapar dan pasar kerlap-kerlip di pusat kota
menggodaku.
Setelah mengunci pintu aku berlari menuju ramai pasar
malam. Tak
kutemukan apa-apa di sana selain kesunyian yang lain
dan stoples baru
berwarna biru tembus pandang untukmu.
Aku pulang
memandang cat putih semakin pudar dan rumah
diserang hawa
dingin mahadahasyat. Aku lupa menutup jendela dan
dua stoples tak
cukup menampung air mata.
2012
Kangen
Cangkir pertama
ialah pertanda
ia bukan yang
terakhir
sebab mengingatMu
mirip takdir
tak pernah
sederhana
2012
Perjamuan Akhir Pekan
Ayo kita bernyanyi
di atas dudukan
besi, tentang mimpi
sedangkal kaki.
Sabtu malam: kau dengan teh tawarmu,
aku setia pada
kopi.
Ayo kita
berbicara,
di taman dekat
bunga-bunga, tentang ia
yang bernama-nama.
Minggu: kau pulang dari gereja,
aku rampung dhuha.
2011
Setengah Lusin Sajak yang Lebih Pendek
Dibanding Ingatanmu tentang Aku
1
Selain matahari,
ada yang menyala
pagi ini:
korek api dan
sebatang sepi.
2
Kaulah embun itu
jatuh pasrah di
tandus dadaku
– basah sebentar
saja
3
Pada tempat yang
tak tetap: dada, jalan-jalan,
dan sepanjang
ingatan – rindu menetap.
4
Mengapa kau tak
pernah jadi puisi?
Yang bisa kubaca
berulangkali
sebelum memutuskan
pergi.
5
Seperti halnya
kau,
aku tak pernah
selesai membaca koran.
Di sana, ada yang
lebih buruk dari berita: kita.
6
Aku ingin berubah
saja,
mungkin menjadi
angin,
terhindar dari
ingin yang tak perlu.
2013
Manusia
Ceritakanlah
kepadaku dunia:
hunian saling
bentur kepala,
apa yang
sebenarnya sedang kaujaga?
Ceritakanlah
kepadaku dunia:
cermin polemik
cantik
apa yang
sebenarnya sedang kaulirik?
Ceritakanlah
kepadaku dunia:
norma berjenis
kelamin,
apa yang
sebenarnya sedang kaupilin?
Ceritakanlah
kepadaku dunia:
mesin pencipta
nama,
apa yang
sebenarnya sedang kautata?
Ceritakanlah
kepadaku dunia:
lapang peta penuh
alamat,
siapa yang
sebenarnya sedang tersesat?
2011
Dua Peristiwa
1
Kau melompat,
tiba-tiba,
ke dalam
cangkirku.
Menumpahkan kopi,
juga masa lalu.
2
Siang ini matahari
padam di mataku,
yang menerbitkan
kesedihan begitu terik
—menjauhkan
kenangan dari api.
2012
Tentang Andi Gunawan
Andi Gunawan berkenalan dengan puisi saat sekolah menengah pertama melalui
puisi-puisi Subagyo Sastrowardoyo. Ia sempat mengeyam studi Komunikasi Massa di
Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, Jakarta, namun tak lulus. Puisi-puisi
yang termuat dalam buku ini ditulisnya di sela-sela lelah dan kebosanan bekerja
sebagai wartawan dan kesulitan menjadi komedian. Sebagian lainnya ditulis dalam
keadaan krisis identitas, juga krisis masa depan. Demikian kira-kira yang
dikatakan dalam Tentang Penulis. Tak
ada keterangan di mana dan kapan penulis lahir. Puisi-puisi Andi Gunawan antara
lain terdapat dalam antologi puisi Festival
Bulan Purnama Majapahit Trowulan (2012), Elegi Anjing (2012) dan Merentang
Pelukan (2012).
Catatan Lain
M. Aan Mansyur menulis pengantar sebanyak dua seperempat halaman. Berniat,
tidak hendak mengacaukan pembacaan pembaca atas sajak-sajak di buku ini dengan
terus mengoceh. Dikatakan Aan, bahwa Andi Gunawan senang membunyi-sembunyi-kan
perasaan dan pikirannya melalui sajak-sajak pendek, dan tidak begitu senang
menceritakan perasaan dan pikirannya melalui sajak-sajak panjang.
Halaman persembahan hanya
berisi dua kata: Untuk Sum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar