Data buku kumpulan puisi
Judul
: Lagu Manusia
Penulis : Nikola
Vaptsarov
Terdjemahan
kollektif : f.l. risakotta, agam wispi, walujadi toer, bintang suradi
Penerbit
: bagian penerbitan lembaga kebudajaan rakjat (LEKRA), Djakarta.
Cetakan
: I, 1959
Tebal
: 64 halaman (19 puisi)
Rentjana
kulit : s. mardjo
Beberapa pilihan puisi Nikola Vaptsarov dalam Lagu Manusia
(catatan: puisi ditampilkan dalam ejaan lama)
Lagu Kasih
Bagai selembar
beton jang hendak menimpa
antjaman maut
sekali lagi menekan
Tjemas dan njeri
memagut dada
dalam djiwa kita,
kita menggerutu ,,Perang!”
Kulihat kehebohan
itu dimana-mana
ditiap tjerobong
pabrik dan tjorong asap
kulihat dia
dimentari terbenam sana
dan dilangit
begitu biru begitu senjap
Bila seorang
terkurung dan terkepung rapat
seperti kita dari
tiap pendjuru
maka apakah benar
itu suatu dosa
djika ada sepotong
hati untuk kasih sembunji?
Dosakah itu – aku
harap kaukatakan –
djika sekalipun
bengkel-bengkel riuhrendah
terbelah oleh
peluru jang marah bersemburan
dan sempat
berpikir ,,Masih kutjintaikah dia?”
Ia, dunia tjinta
kita yang kurus
amat sempit,
benarlah itu
itu sebabnja
dengan mata menatap lurus
kulagukan begitu
singkat lagu bagimu
Gambar Hidup
Ramai orang
berdjedjal dimuka pintu
dimana iklan-iklan
menjorot
dengan bangga
mengumumkan:
,,Drama Manusia”.
Ramai orang
berdjedjal dimuka pintu
dan pematju kuda
nikkel radja
berkeringat
dalam tekanan
telapak tanganku
Dilajar putih
bersegi
diruangan sudah
gelap
sisinga Metro
mengaum terlena.
Tiba-tiba djalanan
dan hutan tampak,
dan diatas –
langit biru
luas, terang.
Pertemuan
ditikungan
dua sedan halus
mengkilap
bertabrakan.
Muntjul pahlawan
dan srikandi kita.
Dengan gesit
sipemuda
keluar dari sedan
mengangkat siwanita
dengan lengan
berotot badja
lambat-lambat
wanita membuka
matanja berunggun-unggun
itu
menggerakkan bulumata
dan menatapi
langit.
Oh alangkah
moleknja
kuda betina jang
berketurunan baik ini!
burung bulbul,
sudah tentu,
berkitjau
dipepohonan
dimana biru langit
penuh damai
merembes dedaunan,
dan dibawah sana
padang rumput
halus dan hidjau
meraju.
Penuh berahi
John manis
mentjium si Greta
bibir-bibir gasang
mulai meleler …….
HENTIKAN!
Dimana nasib kita?
Dimana drama?
Dimana aku kini?
Katakan!
Siap menembak,
waktu sesak genting
menjodor senapan
ditulangpunggung kita.
Dalam tjinta kita
dalam duka kita
dapatkah kita
begitu naif
dengan dada penuh
asap
dan peparu kita
Ber T.B.?
Berdjumpalah kita
dengan jang
ditjintai
dalam sedan
halus mengkilap?
Tjinta kita tumbuh
dalam kerja –
ditengah asap
ditengah djelaga
dan mesin-mesin.
Lalu datang hidup
kelabu,
bergulat untuk
roti,
impi-impian yang
samar –
setiap malam
dipembaringan sempit dan murah
kita melemah
hampir tak terasa dan mati.
Beginilah adanja
disinilah
dramanja!
Segala lain –
dusta belaka.
Lagu Manusia
Kami
bersoal-djawab,
seorang njonja dan aku
tentang sesuatu
,,Manusia djaman
kita”.
Njonja itu
gelagapan, penuh nafsu
merentak-rentak
hilang sabar,
mendjawab terus
Menimbun aku
dengan bandjir
keluhan dan igauan
dan badai otjehan
bertubi-tubi.
,,Tunggu – kataku
– Tunggu sebentar!
Dengarlah ………..”
Tapi ia memotong,
menjerang:
,,Saja minta, stop
bitjara.
Aku katakan padamu
– Aku membentji manusia!
Dia tak butuh
pembelaanmu”.
,,Aku membatja
tentang seseorang
jang mengangkat parang
melawan saudaranja
sendiri
dan membunuhnja
lalu kemudian
tobat
dan mendjalankan bakti geredja
dan sesudah itu
katanja ia merasa njaman”.
Aku menggigil
kengerian, dan tak sedikitpun merasa lega.
Tapi aku tidak
terlalu kuat
dalam teoriku,
hingga aku berkata
perlahan,
seperti jang orang djudjur inginkan:
,,Mari kita teliti
sebuah kisah”
Tjeritanja
terdjadi didesa Mogila.
Sang Ajah
menjimpan
sedjumlah uang
Sang anak tahu
lalu merampasnja
kemudian membunuh
ajahnja.
Tapi sebulan
kemudian, atau
mungkin seminggu
Jang berwadjib
menahannja
Tapi pengadilan
kerdjanja bukan untuk menjenangkan orang
dan mendjatuhkan
hukuman mati untuk jang salah
Mereka giring
pendjahat
kependjara
Kepadanja
diberikan nomor dan kaleng
tapi dipendjara
itu ia temukan orang djudjur
jang djadi
manusia sedjati.
Aku tak tahu
biang roti apa jang merangsangnja,
Aku tidak tahu
tjara pembuatannja.
Tapi ada sebuah
lagi
djauh lebih mantap dari kata2
untuk membuka
matanja pada nasib sendiri.
Dan kemudian akan
diutjapkannja:
,,Oo Tuhankku alangkah menderitanja
aku”.
Dan disini aku
menunggu
untuk didera.
Bila kau lapar
dan njeri
dari derita,
kau hanya tinggal
bikin satu lagi langkah salah dan
kau akan hilang
,,Kau akan
menunggu seperti sapi akan disembelih,
saksikanlah,
dimatamu
ada sebilah pisau!
Betapa tidak adil,
betapa tidak adilnja
susunan dunia ini!
Tapi mungkin kita
bisa perbaiki hidup kita….”
Ia mulai berlagu,
dengan tenang
dan perlahan,
dihadapannja
kehidupan
berlalu bagai
wahju adjaib….
Dia berlagu,
tertidur
dengan senjum dibibir
Diluar gang
mereka bitjara berbisik-bisik
Kemudian senjap
disana
Lalu ada seorang
hati-hati membuka pintu.
Tampak beberapa
orang. Dibelakangnja ada pendjaga.
Satu diantara
mereka
angkat bitjara
dengan nada
sumbang menakutkan:
,,Bangkitlah kau,
manusia!” sentaknja.
Jang lain melihat padanja,
dengan wadjah hampa
mengamati dinding
kelabu lembab
Orang jang sedang
tidur
mengerti bahwa sudah masanja
hidupnja diahiri,
seketika itu djuga
ia melompat dan
menjapu keringat dikeningnja
matanja njalang
seperti banteng djantan ketaton
Tapi sedikit demi
sedikit
manusia itu paham
bahwa takut tak
ada gunanja,
dia toh akan mati.
Dan suatu api
adjaib
membakar djiwanja
,,Berangkatlah
kita sekarang?” tanjanja pada mereka.
,,Baik”.
Dia mulai djalan
dan mereka ikut dibelakang,
terasa
ngeri meremang
dalam hati.
Sang serdadu
berpikir:
,,Mari kita sudahi!
Kau sekarang
terdesak kesudut, sobat”
Diluar gang
mereka bisik-bisik.
Sudut-sudut pada
sembunji dalam bajangan.
Achirnja sampailah
mereka kelapangan.
Diatasnja
langit tjerah
dengan datangnja siang.
Orang itu
menjaksikan datangnja fajar
dan langit terang benderang
dimana bintang-bintang
mandi kemilau
Dan merenunglah
dia dalam-dalam
pada kesengsaraannja
pedih,
dan gelapnja
nasib manusia
,,Nasibku telah
diputuskan,
akan digantung aku
Tapi itu masih
belum jang penghabisan,
kataku.
Karena akan datang
hidup jang lebih njaman
daripada lagu,
dan lebih indah
dari terangnja musim semi….”
Ia ingat lagu itu,
sebuah pikiran melintas pada kenangannja
(Dimatanja
menjala)
Dia senjum,
senjuman lepas penuh bahagia,
dan hangat,
Ia membidangkan
dadanja dan mulai menjanji
Apa pandanganmu
tentang itu? Mungkin
kau pikir kita sudah menemukannja
suatu hal jang
pelik, histeris?
Kau boleh
berpendapat apa sadja tentang itu –
tapi hari ini,
sahabat,
kau keliru.
Orang itu teguh
tenang
kalimat demi kalimat
melagukan lagu itu
dengan lantang
hingga membuka
mata dia
jang tak mengerti
jang mengawalnja
pada tjemas dan takut.
Dan bahkan
pendjara
gempar dalam katjaubalau
hingga kegelapanpun
panik dan pada lari
Bintang-bintang
senjum gembira, bersorak riang,
berseru kepadanja:
,,Bravo, anak muda!”
Dari sini tjerita
mendjadi djelas. Tali gantungan
jang terlatih
terdjuntai keleher,
kemudian
maut.
Tapi bibirnja jang
kelabu tak
berdarah
masih menggumam
kata-kata lagu
Dan kini sampailah
kita pada achir soal.
Nah, apa
pendapatmu, pembatja?
Njonja itu
mulai menangis tersedu-sedu
wanita jang malang itu
mulai berteriak
kesurupan:
,,Alangkah ngeri,
alangkah ngerinja semua tjeritamu
seakan kau pernah
djadi bagiannja…..!”
Dimana ngerinja?
Manusia menjanjikan lagu –
dan itulah jang
paling indah, bukan?
Kejakinan
Disini aku
bernafas,
bekerdja,
hidup
dan menulis sairku
(segala jang
terbaik kuserahkan padanja)
Hidup dan aku
saling tantang
satu sama lain berpapasan
dan dengan dia aku
bertarung
dengan seluruh
tenaga
Hidup dan aku
bertengkar,
tapi djangan kau
kira
aku bentji padanja
Tidak, djustru
sebaliknja!
Walau aku binasa,
hidup jang
sekedjam
tjengkraman badja
tetap akan
kutjinta,
tetap akan
kutjinta!
Seandai leherku
didjerat
tali gantungan
dan mereka
bertanja
,,Sukakah kau
hidup satu djam lagi?”
Aku pasti
mendjawab lantang:
,,Lepas!
Lepas!
Hajo, tjepat
lepaskan
tali gantungan,
kau djahanam!”
Demi kehidupan aku
berani
menempuh segala.
Terbang
dengan pesawat
prototip diangkasa,
menumpang roket
meraung,
mendjeladjah
sendiri
diruang angkasa
planit-planit
djauh, djauh
Selalu kurasakan
bahagia bergelora
djika menengadah
kelazuardi biru
Masih terasa
bahagia bergelora
bahwa aku hidup
dan terus hidup
Tapi tjoba,
seandainja
kauambil – entah
seberapa? –
sebutir sadja
kejakinanku ini
aku akan mengamuk
aku akan meradang
kesakitan
laksana matjan
tutul
jang ditusuk
djantungnja
Sebab apa jang
tinggal
padaku lagi?
Bila aku ketjurian
Aku akan
kehilangan akal
Terus terang
dan lebih tepat –
bila aku ketjurian
Aku akan hampa
Mungkin kau
impikan
kau dapat menumpas
kejakinanku
pada hari-hari
bahagia,
kejakinanku
bahwa hari esok
hidup akan lebih
indah
hidup akan lebih
benar?
Tjoba, tjoba,
bagaimana kau dapat memusnahkannja?
Dengan peluru?
Djangan! Itu
sia-sia!
Sudah! Itu tak
berguna
Kejakinanku
berbenteng kuat
dalam dadaku yang
kukuh
dan peluru jang
dapat meremukkan
kejakinanku
tidak ada
tidak akan ada!
Duel
Sampai kita pada
pergumulan
Kau dan aku saling
tjengkam
dari hatiku darah
menetes
dan kau lemah. Apa
kemudian?
Satu akan rebah
satu akan terpukul
–
dan kaulah dia
jang satu itu.
Djadi kau ragu?
Tidakkah kau takut?
Karena setiap
langkah telah kurantjang.
Telah kuserahkan
hatiku pada perdjuangan
dan kau akan
terpukul –
ratjun hidup,
bedjat.
Tidak sekarang
kita mulai, tahu kau
Duel kita sudah
mulai sedjak lama
Duel kita telah
kita lakukan dengan dahsjat
berhari-hari
lamanja
Berhari-hari kita
tjengkam-mentjengkam
lengan dan
ruas-ruas kita
Aku takkan lupa
tindjumu jang
ketjam
Ditambang gas
meledak
Lapisan batubara
menimpa
limabelas orang
dibawah
Tertimpa
limabelas tubuh
manusia
Satu diantaranja
adalah
aku
Dipintu lobang
jang suram
ada
senapang
berasap
sementara itu
tubuh-tubuh pelahan membeku
Tanpa djeritan
tanpa
riuh
sebutir peluru
lalu – sampah
untuk dibuang.
Tampaknja
segampang itu……
Tanpa perlawanan.
Tanpa nafsu hidup,
dan tanpa gaduh
Tidak tahu engkau?
Siapa itu?
Itu
adalah
aku
Diselokan pinggiran djalan
terbaring
seorang korban
tertembak mati dari perangkap
Langit sudah berandjau
dan akan terban
dilapangan
Tapi manusia jang terbaring disana
dalam tumpahan darah
adalah saudaraku –
api
bentji dan
sajang
pada mata membelalak.
Sibadjingan,
tukang
tembak
mendjidjikan
segera
hilang
dari pandangan
Ingat kau manusia liar itu?
Itu
adalah
aku
Tapi kau ingat botjah jang mati
di
Paris pada barikada,
seorang botjah
jang
tewas dimedan pertempuran?
berlumur darah
mundur?
darah panas dalam pembuluhnja
pelahan mendjadi
dingin
bagai badja,
dan kemudian bibirnja merekah
pada selintas senjum
Tapi walau bibirnja kelabu
matanja
masih menjala
gairah
seakan matanja menjanjikan:
,,Merdeka manisku!”
Anak itu
terhampar
disana
tertembak
–
digenggam dinginnja maut
Tahukah kau
Siapa itu?
Itu adalah aku!
Ingat kau
itu
mesin
dengan gairah
optimisme
menembus
kabut
dimana burung-burung sekalipun
tak
berani
lalu
menembus
kabut tebal?
Sebuah mesin bersajap
jang membelai
tirai
dingin
dan mengubah orbitnja dunia
dengan uap ledakan bensin
merintis djalan madju
Mesin jang berlagu tinggi diatas
adalah hasilkerdja tanganku ini
dan lagunja
adalah darah djantungku
Orang jang matanja tadjam
terikat
pada
djarum kompas jang gojah,
orang
jang berani
menantang
dinginnja utara jang beku
dan
kabut –
tahukah kau
siapa
itu?
Itu adalah
aku.
Aku disini
aku
disana
Aku ada dimana-mana –
Buruh di Texas
Buruh dok di Aldjazair
atau penjair ……
Dimana-mana aku ada!
Kau kira, kehidupan,
kau
akan menang?
Kau djahat, ketjut
barang busuk!
Aku
membara
kau djuga
dan kita mandi keringat
Tapi kau kehilangan tenaga
Makin lemah,
merosot
Karena itu kau dengan bengis
menusuk aku,
dalam antjaman teror maut
mungkin……
Karena kemudian
sebagai gantimu,
dengan
kerdja
dan
keringat
akan kita bangun
bersama
hidup
jang kita harapkan,
hidup jang kita butuhkan,
dan alangkah indahnja
hidup itu kelak.
Jang Paling
Terachir
Perdjoangan begitu begis dan begitu tanpa ampun!
Perdjoangan epik kata orang.
Aku tewas – jang lain akan menempati kedudukanku,
harga manusia rendah hariini.
Tembakan maut – dan tjatjing2 – untuk selamanja!
Begitu sederhana, logis, apa kita dapat berbuat!
Namun dalam badai kita akan bersua lagi,
karena rakjatku sajang, kutjintai kau demikian dalam!
Djam 14.00, Djuli
22, 1942
Pabrik
Sebuah pabrik. Berawan asap diatasnja.
Rakjatnja — sederhana
hidupnja – keras, mendjemukan
tanpa topeng dan gintju
adalah gonggongan andjing galak
Kau harus berlawan tak kenal ampun
harus ulet dan bertahan
untuk mentjabut sepotong roti
dari gigitan
buas
binatang
gila
Pukulan sabuk digudang
dengkingan patil diatas kepala
dan udara begitu pengap
kau takkan mudah
bernafas
dalam-dalam
Tak terlalu djauh angin musim semi berembus
mengajun ladang2, matahari memanggil ……
mendjulang kelangit tinggi
pepohonan
merindangi
tembok-tembok pabrik.
Betapapun tak disukai,
terlupa
dan aneh
tampaknja
perladangan!
Mereka
membuang
ketongsampah
langit dan impiannja
Lengah sedikit
atau iman djadi lemah
berarti kehilangan sia-sia
tangan
pekerdja
jang
kukuh
Kalian harus serukan dalam desau
dan keriuhan mesin
supaja seruanmu
bergema
dimana-mana
Telah kuserukan bertahun-tahun —
keabadian …..
Kuhimpun jang lain djuga berseru dalam paduan suara
pabrik,
mesin-mesin
dan orang-orang
jang
paling djauh
disudut-sudut
jang
paling gelap.
Seruan ini menempa kadar badja
dan kami lapisi hidup kami dengan plat badja
Tjoba letakkan
djari
dirodanja –
tanganmu sendiri akan kauhantjurkan.
Kau, pabrik,
masih sadja bikin kami buta
dengan asap dan kotoran
berlapis-lapis
Sia-sia ! Karena kaudidik kami berdjuang
kami akan gotong
matahari
turun kebawah bersama kami disini
Begitu banjak
wadjah
muka
hangus
menderita kelalimanmu
tapi daripadamu ada satu hati tak pernah tidur
berdenyut, terus bersama seribu hati .
Romans
hariini
aku ingin
menuliskan
sebuah
sair
bernapaskan
semangat
djaman
baru
mengepak-ngepak
sebangga
sajap
raksasa
jang menggosok bumi
dari
kutub kekutub.
Mengapa ada orang meradjuk?
Mengapa mereka merindukan
kekatjauan romantik
jang
lama
lapuk?
Romans kini ada dimesin-mesin jang bernjanji
dilapisan atas langit biru,
dan kau jang tak mengerti ulangannja lagu
tak berhak berputus asa
Karena lagu itu membawa
kepada manusia
daja tahan jang lama
dari sajap-sajap badja lembut.
Burung-burung, belum lama,
menjebar benih-benih
diatas
tanah ini,
Suara lagunja bergema
menjambut kebebasan manusia.
Mereka akan terbang melintasi samudera
dan chatulistiwa,
dimana padi-padian bergerak,
dimana saldju tak pernah mentjair.
Aku proklamasikan
romans baru
sedang
lahir
dan mematang,
kepalterbang berlomba-lomba –
suatu kekuasaan
memeluk
seluruh bumi hariini.
Tanahairku Milikku
Tanahairku milikku; biru dan terang
langit diatasnja bersinar demikian djernih;
pada sendja bintang-bintang meredup bagai dian bekerdipan
padam disubuh oleh sinar mentari putih
Namun bila aku pulang malam-malam
dilingkungi bajangan pondok-pondok
dekat gubuk ajahku, aku merasa ada lawan,
sedang mengintai dengan bedil bagai perampok.
Mentjintai manusia seperti aku mentjintai kau
Bunda, itulah kata-kata jang selalu kauulangi.
Aku akan mentjintai mereka, Ibu, mereka akan kutjintai
tetapi aku butuh kemerdekaan, aku perlu roti.
Mimpi
,,Lori, tidak tidurkah kau?
Lori, apa kau dengar?”
,,Diam, sembunjikan kepala! Agaknja
mereka belum djauh. Kau tak dapat bitjara disini.”
,,Tapi Lori, mimpi itu begitu eloknja! ....”
,,Bagaimana mulanja? …. Tjoba aku ingat dulu ….
ah,
ja ….
Peperangan telah lalu …. kita dibebaskan
dan punja pabrik dan segala,
Lori, kaupaham, bukan?
Aku bekerdja. Pada pabrik jang dulu djuga,
mesin-mesin jang kukenal selalu,
tapi semua berkilau seperti mas murni,
dan segala penuh tenaga baru.
Kau ada dipabrik, Lori, seorang mandor,
dan berkata: aku ingin tiga ratus baut hariini!
Baik, kau baik benar, Lori, itu bagus, aku disini!
dan kedua kita senang dan riang.
Dan diluar langit begitu terang! ….
Udara begitu bersih! angkasa begitu biru!
Dan napas kita begitu lapang-lapang, begitu lega!
Kau tak pertjaja bahwa kau adalah kau sendiri”
Lori menatap mata jang lain
betapa kekanak-kanakan harapan jang terpantjar!
dan, tersenjum, bitjara pura-pura heran:
,,Kau begitu pelamun, Fernandez!”
Bintang-bintang meredup ditimur, malam
dalam panik mundur
mundur gelabakan
Aba2 untuk bertempur!
Lalu mulailah serangan ….
Negeriku
Diatasmu Pirin
puntjak-puntjak granit mendjulang
nampak samar karena kabut dan hudjan.
Diatas desa-desa miskin
burung elang terbang tinggi,
dan angin bersiut didataran.
Tapi ada saatnja
tatkala sederhana dan tulus,
lamunanku membawa aku djauh …….
Hidup dikala itu begitu tjerah
dan bebas,
hidup dikala itu begitu ringan,
dan kaulah lagunja.
Dan kini –
aku berhadapan
dengan asap,
dengan lemak
dan mesin-mesin,
aku menderita
kekurangan beban –
dimana-mana orang berdjuang
untuk roti.
Dan suatu telah patah
dalam hatiku.
Aku merintih pedih,
tapi tak ada keringanan.
Hingga aku menoleh kebelakang
dan meludah pahit
baik terhadap kau
maupun hidup itu sendiri.
Hari ini kau dekat
djauh lebih dekat dari ibuku,
tapi kini aku merah dituang
darah jang tumpah sia-sia;
aku terbaring lemas dimalam hari
dengan darah perlawanan,
dari pahlawanmu
atas biaja orang asing ….
Dia lukai aku, tanah airku
alangkah dahsjatnja, kebengisan luka
dengan darah terpantjar begini,
dan aku ingin tahu:
haruskah
semua
djadi begini?
Segala disekelilingku muram.
Dan dalam kemuraman – kerdja paksa dan tertindas
Kelaparan.
Kau ketinggalan beratus-ratus tahun.
Dan entah dimana urat nadi atau hidup berdenjut,
dan pabrik
demi pabrik
kian muntjul,
bulang-baling mendengung ….
Tapi rakjatku
bekerjda
dan mati
seperti dahulukala
diabad perunggu.
Tapi aku tjinta padamu lagi,
Negeri Gotse dan Dahme,
karena aku dibesarkan
karena kau jang menggembleng aku.
Dan dihatimudaku ini kibarkan
bendera pergolakan,
tudjuan jang banjak minta tenaga
dari semua jang tanpa rumah dan roti.
Tentang Nikola Vaptsarov
Nikola Vaptsarov, penyair Bulgaria, kelahiran 7 Desember 1919. Meninggal di
hadapan regu tembak pada 23 Juli 1942. Ia bekerja sebagai buruh pabrik dan
aktif membangunkan perkumpulan drama kaum buruh. Ia juga mengorganisasi malam
musik, malam sastra dan ceramah-ceramah. Ia juga menghubungkan diri dengan
“Partainja Klas Pekerjda” dan membantu menyebarkan surat kabar dan majalah
partainya di kalangan para buruh.
Catatan Lain
Tak ada biodata penyair yang ditulis khusus di buku ini. Sejarah hidup
penyair ada tersembul di prolog 7 halaman, yang ditulis oleh Joebaar Ajoeb
dengan tanda Djakarta, 2.12.1959. Prolognya
sendiri dijuduli Nikola Vaptsarov (Penjair
dan pahlawan Rakjat Bulgaria), yang juga berisi tanggapan terhadap
puisi-puisi penyair. Penulisnya sendiri menyebut ini sebagai sekedar beberapa tjatatan pendahuluan.
Ada ditulis begini: “Perlawanan Anti Fasis Rakjat Bulgaria jang
dipimpin oleh Georgi Dimitrov menempa dia dari seorang buruh jang tertindas dan
miskin, mendjadi seorang pekerdja, pekerdja kebudajaan, pedjuang dan penjair
dan dimasa terachir dari hidupnja ia mendjadi salah seorang anggota dari salah
satu komisi pada Comite Central Partai Buruh Bulgaria.” (hlm. 10)
Atau
ini: “Vaptsarov bukanlah realis seperti
tukang potret. Ia memahami kenjataan hidup dengan ada sikap. Adakalanja ia
ungkapkan tragedi, tapi optimis. Adakalanja ia ungkapkan derita hidup, tapi
romantis, dan romantiknja Vaptsarov adalah Romantik Revolusioner.” (hlm.
11)
Juga ini: “Puisinja Vaptsarov adalah sederhana, padat,
dinamis dan militant. Puisinya membawa kisah, pemikiran, gambaran dan
tanjadjawab. Puisinya mengungkap kebenaran dan kebenaran. Gaja bahasanja mudah
ditangkap. Tak ada buih dan beban2 intelektualisme kepenjairan jang
sok-filosofis. Irama puisinja dinamis, riang, tapi sarat dengan isi.” (hlm.
11).
Buku ini tak memiliki
daftar isi. Di halaman depan, nama penyair yang ditulis adalah N.Y. Vaptsarov.
Tapi saya tak tahu apa kepanjangannya, selain Nikola Vaptsarov. Sudah
membolak-balik buku, tak juga ketemu. Barangkali saya kurang jeli.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar