Data buku kumpulan puisi
Judul
: Munajat Buaya Darat
Penulis : Mashuri
Cetakan
: I, 2013
Penerbit
: Gress Publising, Yogyakarta.
Tebal
: x + 118 halaman (63 puisi)
ISBN
: 978-602-96826-8-7
Penata
letak/Desain cover : Alek Subairi
Sumber
gambar cover : National Geographic
Epilog
: Prof. Dr. Faruk, S.U (Lulur Kyai di Tubuh Berdaki)
Munajat Buaya Darat terdiri atas 3 bagian, yaitu Patigeni (21 puisi), Pejantan
Matahari (21 puisi) dan Asmarasupi
(21 puisi)
Beberapa pilihan puisi Mashuri dalam Munajat Buaya Darat
Tebing Kuda Lumping
di meja perjamuan
hanya tersedia ruang
ruang hampa: kau
menyebutnya segitiga, tapi hanya lengang
sisi tak rata,
taplak, juga gelas dan cawan, sepiring ingatan
atau laut yang
terkutuk untuk busuk.
kau berkata:
bersantaplah!
tapi aku rindu
paku, rindu beling yang meruncing.
aku rindu pada
darah yang mengental dari daging dingin.
lalu kau suguhkan
harapan-harapan, seperti ruang
dengan kursi
panjang, meja, dengan daftar antrian.
kau berikan aku
catatan-catatan, bahwa aku urutan
kesekian, bahwa
segala yang kutunggu, hanya rindu
yang terbujur
bersama kubur segala batu.
kubaca abjad yang
terpahat, kuingat nisan-nisan biru
kuingat
kedamaianmu, tapi aku terus mengigau
tentang seng
karatan, tentang daging mentah, juga tembang risau
bersama desau ruh
yang meluruh
bersama waktu, mewaktu di meja.
kau kembali
berkata: bersantaplah!
aku pun terbanting
dari dinding-dinding dingin.
kubaca arah angin;
dengan mantra, kuraih tebing.
pada jam yang
terus kuputar, aku melingkar,
aku pacu kuda
liar.
pada puting-puting
jarum, kurangkum angka
kulahap kaca,
kusantap bingkai jeda
hingga kurasakan
paku, beling dan sembilu tumbuh
di mulutku.
kurasakan kembali
darah
berdarah seperti
dulu – sekerat daging dan seikat urat
yang merindu, terus
menunggu disayat…
Surabaya, 2011
Cucu Tarub
sekujur tubuh kami
pualam, hitam, tenggelam
di tanah, ketika
nafas kami menghirup udara pertama
kami hanya
mengenal malam
kami terus berlagu
bulan, karena pada bulan, kami tahu
ada yang tersimpan
di sana, terpintal di antara cahya
yang lengkung dan
lapang, seamsal bunda khayalan
dengan jari-jemari
menjahit kantung pelakian
bila gerhana tiba,
tanah kami seperti wabah
kami lalu bertalu,
merasukkan antan ke lumpang kayu
agar bebunyi bisa
menjelma sesaji, memecah ngeri
yang tiba-tiba
berenang ke sanubari
serupa bilur luka
yang mempertegas duka lama
lewat wastu puja,
kami tahu
ada yang raib dan
tak lewat pintu
kami seakan
terusir dari tanah
dari segala tanda
di sepanjang jalan, hanya rambu
yang mengingatkan
kami pada pasir hisap
dan ruang bawah
tanah, yang gelap
sungguh kami ‘lah
dikutuk cinta
purba; sudah
bermusim, kami dendangkan madah
merajut kembali
ingatan-ingatan jauh
agar jiwa kami
yang terbelah kembali utuh
serupa retina
Tarub yang tak kunjung redup ketika di angkasa
melingkar purnama
Surabaya, 2010
Lorong tak Berujung
rahasia yang
berkumpar di bayangmu membuatku piatu
hidup begitu asing
seperti pemancing
tak berumpan dan berkail
di kapal, aku
hanya menghapal depa laut
yang tak kunjung
susut aku layari
ah, masihkah kau
sembunyi di balik ufuk
sambil mencecap
remah roti, menuang anggur ke cawan
malam, dan
membunyikan lonceng
tanda kebaktian
di buih yang
memutih, dan selalu ada, aku menangkap
maut – seperti
kepastian ombak yang tak lelah gerak
mencari jejak,
berburu tenang
yang terbuai di
tepian…
tapi sungguh
bukan itu yang aku
kenang; bayangmu seperti liliput
yang bertabir
kabut
dan aku tercuri dari waktu
dan rahasiamu
masih saja mengasingkanku
di haluan, di
buritan, aku hanya menangkap permukaan
ah, sungguhkah aku
hanya memburu bayangmu
di balik gelombang
– yang bisa menawanku dalam ragu
karena geraknya
tak tentu
kelak, aku pun
tetap bisu, pulang dengan kehampaan
sambil bersandar
di pelabuhan
dan semakin terasa asing di goa
pencarianku
tapi sungguh, aku
bukan musa yang terbakar di tursina
aku hanya pelaut
yang berburu bayangmu
dan berharap,
rahasiamu tercetak di pasir-pasir pantaiku
bak perempuan
bertubuh perak
Surabaya, 2008
Pejantan Matahari
karena namamu, aku
pergi ke bantaran kabut
serupa cahya tanpa
mata, aku diam dalam kata;
di sajak,
kuhantarkan jejak meski lantak
luka disamarkan
balutan rima,
meski wajah
ditembus sinar dengan bias berlaksa…
namamu serupa
pisau di ingatanku
menyeretku ke
galau batu-batu
hingga riwayatku tumbuh
di debu
sekarat terjerat
muasal, dipenggal tumbal
hayat
esok, bila ada
yang berkokok, sebut ia pejantan
matahari
ia yang didahului
fajar, geletarkan birahi
tepati janji pada
pagi
karena namamu, aku
pergi mengikuti sepi
Surapringga, 2010
Bulu Burung
: Kim
kucuri bulu burung
dari cupu mangsi, burung tak bernama
kulihat tilas
dawat muncrat dari ujungnya
khayalku berlari
ke ceruk perigi
menjemput gelap,
memungut sayap-sayap
imaji yang tumbuh
di lenganku
kepakku mengayuh
tubuh ke udara
partikel-partikel
tak berwarna menyanggah tungkai
terkulai, aku pun
mengapung di dua dunia
– khayalan dari khayalan
dengan terbata,
aku berpulang ke palung kata
mengais nama,
menggaris busur-lintang dari kedalaman
berikhtiar
menggelar pagar dari diri yang kian ngambang
Yogyakarta, 2011
Laut yang Cidera
akhirnya kau
ciderai juga lautku
laut biru yang
terhampar, angin yang terhantar
juga geletar yang
menguap ke lengkung gelap angkasa
mencipta hujan – hujan lambang…
kini lautku
sehingar mimpi; kau tak henti mengalirkan
lelimbah, sampah
api, sepi yang ternoda
juga kebusukan
cinta.
aku pun sembunyi
di ruang rahasia,
kotak tak persegi,
sebentuk palung asa
yang retak di
dasar jejakku,
mungkin juga
menukik ke bilik rindu
yang diratapi
segala batu hulu-kalbu
bahkan karang yang
terjal dan tegak pun
tak lagi
bernyanyi, ketika gelombang menghantari bunyi
: ombak yang
menabuh, lenguh camar yang menubuh
juga pantai-pantai
yang menjadi labuh…
tetabuhan seakan
hilang, ambruk ke relung tak terpahamkan.
jiwaku pun tak
cukup meratap, aku kembali gelap.
kukayuh sampan
dalam keterpurukan
bak nelayan yang
hilang ingatan
melayari
puing-puing laut
melayari
kesunyianku yang kau renggut
melayari bunyi
maut yang kau rajut jadi takut
hanya pada malam,
ketika gemintang menghias angkasa,
aku temukan
jiwa – diriku yang terbelah
aku tulis
rasi-rasi yang menari di mata
mencarikan jejak
mimpi baru dan peta
mimpi lautku yang
ternoda, cidera, terberai
mimpi yang bisa
membuatku tetap menatap api
sebagai api, mimpi
sebagai mimpi…
aku pun mengapung,
terasing.
dalam
keterasinganku, kusebut kembali ibu
ia pun hadir lewat
takdir perahu
di pangkuannya,
aku gambar kembali mula biru
bak kanak yang
belajar mewarna
lalu menciptakan
laut baru di seberang sana
laut dengan
irama-irama yang tak jauh dari riak rumah
rumah muasalku;
air tanahku
“nyiur melambai…”
Surabaya, 2009
Darah Hitam
‘dalam Para Ratu, ia titisan Wisnu
tapi siapa yang sungguh tahu’
hikayat memahat
Rajasa di pohon hayat
penuh liuk dan
liku; akar-akarnya meliar
membayang di batang-batang
hitam
daun-daunnya
bersepuh tembaga
seperti sebuah
tekad baja: “tulang iga
yang lepas dan
harus dirampas”
ia terlahir dari
darah hitam yang memanas
di sumbu waktu
dihidupi oleh api,
nyala abadi dari tungku hati
sungguhkah ia tak
punya pilihan kecuali harus meraih
atau tak punya
angan kecuali harus menggapai.
dilampauinya lalu,
ditujunya mimpi – seindah
negeri dewa-dewa –
sebuah masa depan yang bernyawa
ia tak lagi ingat
ibu, ayah, juga darah
yang membasah,
melayah di sekujur pembuluhnya,
tak lagi ia
harapkan lagi tangan-tangan trah
untuk menuntunnya
menaiki tangga, bahkan pada pelangi
ia telah berjanji
akan menaiki nirwana, dengan kaki sendiri
sejarah mencatat lewat gurat…
sahdan, di sebuah
negeri, ketika segala rakyat
demikian taat; tak
ada khianat
kecuali satu
hasrat pada tahta,
juga wewangian
kembang ketika musim kawin tiba
ada pusat, pusar,
juga muasal geletar
ia pun menjulang
dengan lidah jalang, keramat
kemarahan memintal
hari depan
dengan
perintah-gairah, dengan letup
berdegup di sepanjang
jazirah: kuasa Jawa
pada masa kanak,
ia ‘lah bermimpi riak
menjejakkan jejak
di bebatu waktu
mengukir segala
tabir dengan satu sentuh: tubuh
onak pun
memberinya bukti, bahwa hidup
tak seteguh mati;
ia tetap berderap
meski segala lampu
redup, meski segala dunia gelap
meski segala waktu
dirampatkan ke titik tak teraih
dalam kelahiran:
awal segala raihan
lewat keabadian
maut, ia pun memahat usia
menitipkannya pada
kakang kawah, adi ari-ari
puser, juga darah
yang menyembur
dari liang garba,
muasal segala, muasal nyawa…
ia mencuri wahyu
dari sebuah waktu
sambil melampirkan
waktu lain, menanamkan benih lain
di lipatan angka
dan masa yang lain
lalu riwayat
mencatat: ia menjadi perompak, pencuri
riak yang tuju
ombak, seorang yang diberkati,
sakti, dengan
berpundi-pundi ruh suci
tapi sungguhkah
berkat, juga keramat, hanya bukti,
bahwa mimpi tak
bisa lari dari hati
sungguhkah garis
edar tak mesti keluar lingkar
sebab segala
nubuat tak mesti tersesat ke ingkar
segalanya mungkin,
seperti batu tulis menulis sabak hitam
seperti siang yang
digantikan malam
nama-nama
sampiran, seperti Bango Samparan
memberi arti
tentang nasib dan perjudian
juga sekilas nama
yang memberi bukti arti
sebuah pencurian
hati,
juga pertaruhan
yang berarti, nanti.
ia pun bangkit
dari sangit, melangitkan diri,
segera didapatkan
nama yang ber-isi
nama yang terakit
dari bait-bait putih,
langgam sutra
penuh hati, mimpi ilahi
di jati Lohgawe:
seperti nirwana yang kembali
tersaji di
belantara kini…
ia bisa memetik
mimpi, lewat kaki
membuka mata dan
hati pada tafsir suci
bahwa nasib
sungguh tak tersalib,
jalan yang harus
dikarib…
ia lalu meniti
pelangi lewat gapura abdi
kepada sang akuwu,
ia menjalani laku
kepada sang kalbu,
ia deraskan rindu
arus nasib pun
menderas seperti air terjun
yang akan terus
turun dari tebing, teriring ke lembah.
ingatan pun
mencatat:
saat kuda-kuda
berhenti, kereta pun berhenti
sepertinya segala
nafsu berhenti
nafas merambati
batas; diam, segalanya hamparan
bersepuh kembang;
jika malam, gelap pun penuh bintang,
seindah taman
swargaloka, sang Indah bermadah
puja-puji, doa
panjang, juga alunan musik
yang mengusik
raga, menukik jiwa…
sang Bayu pun
terpanah…
angin pun berlayar
dari satu jeda ke jeda lainnya
irama gegap,
seperti kuda yang tersentak
tangan-tangan gaib,
tangan angin tergeragap
menyingkap jarit
tuk pertama
buat mata yang tak
pernah lelap pada warna
: mata seorang
perjaka
‘dari kandang ke kandang
hanya tetes air yang terdengar
dari pandang ke pandang
sinar Dedes yang mengukir getar’
‘dawai telah dipetik, sunyi terbetik
sesuap denting sunyi, berderap-derap bising bunyi
tubuh seakan mengungkai perih, labuh diri ke api
ruh seperti bangkai, busuk tapi suci’
sebuah rahasia
telah terwarta, sebuah angan telah
menuliskan
rumusnya: gending-gending perang bertahta
di gendang telinga
segala indera
terpusat ke pusar tak teraba
merabuk segala
geletar, menggunduk liar
sebuah impian
telah menemukan pintu dan jendela
rumah khayalan pun
dibangun, api pun berunggun
bejana
ditengadahkan, piring dan meja disiapkan
: perjamuan siap
digelar bersama iring-iringan
segala
rempah-rempah tertuang, menyedapkan masakan-
masakan mimpi yang
masih mentah, dan perlu diberi bara
ia membara seperti
langit senja
tapi bukan senja
yang tergambar: kecuali geletar fajar
merah menyambut matahari,
merah Venus…
dari pinggir ia
menyisir; dari alir ia mengukir takdir
ia lalu membatukan
arah pada waktu
ada siasat, ada
muslihat, bahkan ada niat-niat
yang tak tercatat:
sebab hati begitu dalam untuk diselami
berbekal Venus, ia
hunus arus: Gandring pun digiring
ke dingin dinding;
keris telah menggaris batas
antara warangka
dan rangka, antara upas dan nafas
lautan kutuk
mengganas, ketika batas datang demikian lekas
sang Empu pun
mengukir nujum dalam waktu…
di waktu lain, ia
terus meluruskan impian
ia talkin
tubuh-tubuh dingin ke balik dinding
ia menanting
ingin, menantang angin
lontar pun
menulis: “cuaca begitu gerimis, dan terus
gerimis…”
Surabaya-Yogyakarta, 2009-2011
Hantu Lempung
hantu itu datang
dengan segumpal tanah
lempung titipan seorang
tua, entah dari masa apa
dan lewat jalan
pesisir utara
ia berderap dengan
asap tanah; pesannya dibungkus
papirus, bergurat
abjad
abjad yang kini
sampai kepadaku
seperti gurat
paku: hampir mati dan kaku
di atas serpih
batu, hantu itu membacanya sambil berlagu:
“aku datang
menyerahkan lempung ini kepadamu
kerna kau tak
kunjung membentuknya sebagai tembikar…
tidakkah kau tahu
ada cacing di rahimnya;
cacing itu dikirim
sebagai penggembur tanahmu yang
cengkar”
aku tatap mata
hantu itu dan ia segera tahu
aku tak butuh
tanah, aku tak ingin cacing di dalamnya
menjelma ular,
lalu melingkar di kepala seperti mahkota
hantu itu segera
berlalu, tapi lebih dulu
menjejalkan tanah
itu ke kupingku, lalu membakarnya
dengan nyala
neraka yang sudah dikirim lebih dulu ke dunia
lewat moyangnya
yang pertama
begitu telingaku
bergemuruh, api membubung tinggi
di netraku, abadi
dalam jiwaku
Yogyakarta, 2012
Perempuan Laut
Diammu adalah
mukjizat batu
Tak seperti tubuh
perempuan keramatku
yang berambut
gelombang, berpaha karang
dan bersusu
hantu-hantu
Tapi sihir
bebunyian terus berkejaran di alir air
Kau pun melarutkan
tubuh ke tetabuhan alam
Gerakmu mencair
bersama bayang silam
Merajam mimpiku
dengan riak dan pasang
Meski suaramu tak
lagi beku di palung laut
Tapi aku masih menangkap
sunyi di bibirmu
seperti
perempuanku yang terus berlari
dalam rindu, dan
tak kunjung berhenti di pantaiku
Surabaya, 2009
Munajat Buaya Darat
: hotel itu
bernama Surabaya
selat itu menyekat
pipih geografi, kau menyebutnya: Surabaya
kota yang terbaca
dari titik kecil: noktah hitam di peta,
di pinggir delta,
di tepi laut Jawa
kau berhayat di
antara kiblat-kiblatnya
ketika kita
bertemu tanpa sekat, lalu kau
melihat sebarisan
malaikat – di Ampel, di Bungkul, berjamaat
atau tak terangkul
di seberang semak-keramat
tapi aku terasing,
buta, serupa pejalan yang tak sempat
melihat ujung
tubuh: ber-Hujung Galuh, be-ruh
aku pun tak mampir
berlabuh, tak parkir ke riuh
: bongkar muat,
ganti cawat, atau angkat sauh
kau tetap saja
berkisah dengan angka, tahun-tahun
tapi aku seperti
tersekat di seperempat abad pertama
paska 1900: saat
segala genap menjadi ganjil
dan segala luapan
demikian gigil
saat gelora masih
membenih di asa: meletup ke degup
indra, seperti
pelari dengan api
yang tak redup,
meski hati terseret ke jalan-jalan mati
jalan penuh mimpi!
lalu kau sebut 45:
aku pun tersudut ke ruang nganga,
aku tak ingat
sungguhkah gaung itu meraung
demikian agung;
adakah tonggak: lingga yang menancap
tanah demikian
tegap; lalu kau acungkan sahwat
: o, pahlawan,
pahlawanku bertugu
tapi aku pun
seasing budak belian kembali,
ketika segala
temali mengikatku lagi
kutapaki
jalan-jalan penuh hantu, perempatan berbatu
kulihat mercu suar
membubung tinggi, berkabut
aku terpana ke
pesona
: di
lorong-lorong renjana
aku dipersilah
dengan pantun penuh gairah:
“Tanjung Perak, kapale kobong
mangga pinarak, kamare kosong!
Kapal di Tanjung
Perak terbakar gosong
Silahkan singgah
sejenak, kamarnya kosong!”
kau pun beringsut,
seperti seorang yang mengigau
tapi aku bersorak,
tanpa risau:
“inilah Surabaya,
hotel tempat singgah
tapi bukan tempat
berlibur, atau mengubur darah
segalanya lembur
seperti juga
kapal-kapal yang berhenti lalu
berangkat,
berganti-ganti
di sini, segala
ranjang tak cukup dipandang
tapi dierami
silahkan
merangkak, sebab segala sprei tak sengak
tak ada jerami,
tak ada jejak
kecuali apak
selangkangan sendiri, yang kumal
ketika segala
kemudi kembali ke asal
ke tujuan awal
di sini, kamar
telah menjadi lingkar
dan tak kenal
bujur sangkar”
kau pun turun,
menghitung kesunyian demi kesunyian
tapi biografi
telah terbelah, garis-garis itu saling patah
kau dapati dirimu
batu
tak berayah-beribu
– kau sangsikan jejak-
jejak panjang,
segepok riwayat nan keropok
ihwal pertempuran
di delta
antara ikan-buaya
lalu segalanya
menjadi nama
kota, jalan,
kampung, sungai, juga lorong-lorong keparat
tempat buaya darat
bermunajat…
kau pun sangsikan
segala sebab; kerna tak ada warta
yang lebih nyata
kecuali kata-kata dusta
yang diulang ke
berjuta
aku pun tersampir
seperti gombal lusuh
di pinggir lenguh
– aku tak hirau pada riuh
sejarah ingatanmu
kudapati tubuhku,
kurayakan tubuhku
seperti
persinggahan di tengah perjalanan
yang tak mengenal
kenang
kenanganku pun
hilang bersama sunyi
: perempuan
yang selalu
berharap diairi, di semak, di makam
di rumah-rumah
yang berjajar dengan geletar
ketika kau mabuk
dan ambruk
kedalaman luka tak berufuk
: silam!
kuangkat bir
hitam, kuingat pada anak terkutuk
: diriku yang adam!
aku bangkit,
kuangkat sauh, kulenguh langit
: “beri aku harapan
untuk berlayar ke cakrawala
tanpa rasa luka
oleh perih kenang dan ingatan pada usia”
di seberang,
kubangun kota-kota di hatiku
dengan batu-batu
yang kucuri dari persinggahanku
agar aku tidak
melupakanmu,
melupakan
angka-angka
yang sempat kau hitung
dengan deret aritmatika
yang tak kunjung
kau ketahui jumlahnya
– kecuali waktu
yang terus berputar
kau tetap tak
ingin sesat di silam
dan terbenam
bersama jangkar malam
: kini telah 180 derajat berputar
tak ada alasan
untuk membangun sangkar
kuharap di
milenium ini, kau tak lagi terpaku
pada paku silammu
yang abadi
tapi
mengandangkannya di kalbu
lalu kau tulis
deret rumus baru
: bahwa zaman
telah berganti
hotel itu harus
diperbarui, dicat dan pugar kembali
atau disucikan
api…
Surabaya, 2006-2007
Asmarasupi
mataku bergulung
ke lengkung kembang bakung
di kainmu : gaun batik berwiru
aku pun terasing
ke dua dunia semu
sunyi berderap di dada, menitipkan
gelapnya
yang purwa
riuh melesat ke retina, mewasiatkan
binarnya
yang purna
aku serupa capung mengapung
di atas dua cekung
berbayang:
lembah hitam dengan pucuk rumput
diam
jurang berwarna rangsang terpercik
sisa bohlam
ketika kainmu
berkibar dan menjelma layar di peraduan kita
yang bergetar – bunga bakung itu pun mekar
seiring
peta-peta tubuhmu yang samar…
Yogyakarta, 2012
Ziarah Matahari
di makam, tak
kutemukan arah malam
kecuali jalan
setapak, makadam, yang dikirimkan siang
tak juga kutemukan
pusar langit
kecuali getar
wingit
Yogyakarta, 2011
Khidr
1/
: Perburuan
Seperti Musa, aku pun tertumbuk hal
ihwal indera:
kulit yang masih
sakit ketika dicambuk, mata yang perih
ketika disiram
lendir jeruk, juga bibir yang tak bisa diam
ketika ada sinyal
yang merajam lubuk kalbu; kaki hatiku
masih saja berlari
dari nyeri ke nyeri; tapi aku ingin bertemu
dirimu, menjadi
tamu dalam tabir yang selalu mengundang
para fakir untuk
mengalir, di ruang tamumu, Khidr…
Dengan bekal peta yang terwarta dari
ayat-ayat tua,
aku memburumu di
ruang-simpang sekaligus temu; ruang
antara kali dan
laut, antara api dan maut; tapi awamku
selalu batu; batu
yang tak bisa diam saat ritus rajam
melabuh: aku pun
bergemuruh.
Kita bertemu…
Tapi isyarat yang kau humbalangkan
ke indera,
kembali aku maknai
sebagai manusia; aku pun terjungkal
dan terus saja
melipat angan dan akal; perburuanku padamu
hanyalah sekat
yang membuat kita tak pernah bersua di satu
Meja, dalam sebuah
perjamuan yang kau janjikan di ujung
altar: Kau pasti
tak bisa bersabar, kau pasti ingkar”
Seperti Musa, aku pun tersia di
ujung rahasia; aku
terbakar!
2/
:
amputasi kepala
Akulah murid yang telah menancapkan lidi ke mata,
lalu memenggal
kepala dan menyerahkan kepadamu; tapi
kepercayaanku pada
dunia masih juga penuh, kesangsianku
pada jalan-jalan
kesunyiaan pun semakin menubuh; lalu apa
yang bisa aku pasu
dari diri yang palsu, apa yang bisa aku
timba dari usia
yang tersia dalam waktu
Aku ingat kalijaga, orang tua itu,
ketika ia menunggu
di tepi alir
berharap dirimu nan hadir; ia ‘lah dermakan
hidup dan diri di
jalan sunyi tanpa riak dan geletar,
sedangkan aku
masih saja berkisar antara liang penuh
onak dan pusar;
haruskan aku menyapih diri lalu menyulut
kemenyan, wangi,
sebagai sesaji dari hati yang tertambat di
alir yang kau
naungi
Dari penggalan kepalaku, aku masih
juga sempat
mendengar bibirku
bernyanyi, bahkan pinggulku memutar
memintal ombak dan
gelombang; lalu apa yang bisa aku
harapkan dari diri
yang tak pernah sampai di lubuk sepi,
yang tak pernah
bisa mengecup inti api yang telah kau semat
di jejak-jejakku,
yang selalu gusar dalam sunyi…
3/
:
surat pembuka
Bagai orang mabuk kepayang, aku
membaca surat
berayat tujuh,
berlipat-lipat; aku kirimkan kepadamu dengan
jiwa-raga terbata;
tubuhku pun ambruk-melayang, seperti
tersengat bisa
ular paling berbisa; tapi aku selalu saja
ingin mengulang
kata demi kata dari surat itu, agar tuah
terjela dan gapura
terbuka, agar aku bisa kembali berjumpa
denganmu lalu
saling bertukar sapa: “bagaimana kabar dunia
entah”
Lewat surat pula, aku berharap ada
yang bisa aku buka
dari kunci yang mematri
batas di antara kita, sehingga aku
bisa melihat
bibirmu, matamu dan sekujur tubuhmu yang
sering kau
samarkan dalam bujur tak dikenal, mendurhakai
akal, lusuh dan
kumal; sehingga aku bisa mendekapmu
kembali, sebagai
pengobat dari rindu yang tak terperanai.
Tapi begitu surat itu aku baca,
kunang-kunang
langsung memburu
indera, kunang-kunang yang berbaris
secara ritmis
sambil memasang sebuah peringatan: “Berilah
surat pembuka ke
lukamu, luka kerinduan yang selalu
membuatmu ingat
dan berharap…”
Aku pun mengirim kembali surat
pembuka kitab
ke alamatmu, surat
berayat tujuh, tapi tubuhku perlahan
melepuh bagai
katak yang masuk ke air yang mendidih dan…
aih!
Surabaya, 2007
Ladang Pengantin
Kutemukan
sajak-sajak kecil di ladang pengantinku
Pupus daunnya
hijau muda, pucuk rantingnya
seramping lembing
patah
Aromanya yang
murni dan bening
membuatku ingin
terbaring,
memanjatkan imaji ke
tebing tinggi, teriring musik
bisik sesinom yang
bersijuntai oleh angin
Mata mungilnya nan
teduh
menggiring anganku
pada mempelaiku nan jauh
Aku pun merawatnya
seperti pembuka huma
yang telah
berwindu dirundung rindu tanah
dengan kalbu yang
selalu digelayuti gulma tak menentu
Kelak ketika musim
terlewati dan jisim berganti
mempelaiku akan
turun ke ladang persemaianku
menawarkan seribu
surga yang berpangkal
pada sajakku yang
mulai tumbuh, meski ada yang terpenggal
Ketika ia menyibak
rambutnya dan membiarkan
seluruh kata luruh
ke tubuh, jumbuh ke lenguh,
aku angkat anggur
dan mawar
Anggur guyur
kerongkonganku, mawar bakar kelenjarku
Hingga aku lebur
ke tungku….
Sajak-sajakku
menjadi saksi pernikahanku
dan selalu
menitipkan sejarahnya di tubuhku
: ihwal tamsil
sederhana, sebuah sua, pusar renjana
kata, – di luar
kata
Surabaya, 2008
Tukang Potong
Ia selalu siap
dengan gunting dan sisir
Di bawah pohon
yang demikian pesing, anyir
Oleh kencing pejalan,
juga kencingnya
Juga kencing
pelacur-pelacur yang saban malam
Ngelindur di bawah
pohon
Di dekat neon
Tempatmu
dulu pernah bermain mercon
Sambil mengintip
pemulung mandi, juga gembel
Yang mengurut
tubuhnya, agar daki yang lagi menempel
Di tubuh dan pergi
Seperti kereta yang
datang dan berangkat
Di stasiun, tempat
segala yang muda, jompo
Terangkut
Suaranya selalu
bersuling: “antara Wonokromo
Dan Semut”
Ia akan menjambak-jambak
rambutmu, agar kau
Tak kantuk, agar
kau terjaga dan sadar
Bahwa ada yang
berkurang dari dirimu
“Berjagalah, agar
aku tetap ingat
Yang harus aku
babat adalah rambutmu, bukan kuping
Atau lehermu yang
tak terawat”
Ia selalu siap
dengan gunting dan sisir
Meski
kadang-kadang datang seorang perempuan
Yang mengaku
bunting dan menyoalnya dengan nyinyir
: “Kau laki-laki
tak pernah membuktikan kelelakianmu
Kepadaku”
Ia tersenyum
diam-diam, sambil menggumam
Aku sudah tahu,
seberapa lebat rambut yang masih
Menempel di
tubuhmu, dan yang sudah jatuh
Ke debu
Sidoarjo, 2007
Kesabaran Abad
:D.
Zawawi Imron
di balik tanah
kapur, bumimu
kutemukan
ratap-kubur, gelap-debur, muasal asal
juga sisa garam
yang asin dan terasa kekal
di tebing pantaimu
serupa kisah-kisah
karang, puisi-puisi terjal
juga aksara yang
berdebur laksana selaksa gelombang
melebur lebar
–dileburkan angin, dilebarkan akal
lalu kuingat
desing angin yang pernah kau lentingkan
dalam percakapan
malam, ketika
kita reguk
kegelapan
demi terang
dan pencerahan
desing itu terus memburuku
: “lebih baik berputih tulang
daripada berputih
pandang”
peluru-bayu itu terus
memburuku
aku pun berlari ke jejak yang
terperca
berkaca, bahkan
menyeberangi kekota ingat
menambat hasrat ke
cerah antara –serupa selat Madura
membalik dusta di mata
menyulap bencana
menjadi kencana
lalu mengerling
pada desing anginmu yang lain
desing yang
menghias dedingding nafas
: ”bila buruk muka, kenapa cermin
yang dibelah…”
aku ‘rus berlari
dan berdusta…
serasa
berabad-abad, aku melepas dan menahan nafas
meski serapah
menggenang di darah
menggulung waktu
memanggil-manggil
kenangan merah
untuk berdiwana di
aorta, tapi…
kini aku termangu
di kapal penyeberangan
mencoba menyeberangi
dua luka yang saling berjauhan
antara maut dan kemaluan
antara nyali dan
kehormatan
antara
kawan dan lawan
antara kita
ah, di balik tanah
kapur, bumimu
kutemukan alir
air, juga anyir, muasal asal
juga sisa garam
yang asin dan terasa kekal
sekekal perih ketika garam
diparamkan ke luka
lukaku, mungkin
lukamu jua
yang disayat dengan pisau berkarat
dalam kesabaran
abad
Surabaya-Sumenep, 2009
Tentang Mashuri
Mashuri lahir di desa Wanar, Lamongan, Jawa Timur, pada 27 April 1976.
Jebolan dua pondok pesantren di daerah kelahirannya. Pernah memasu pengetahuan
di Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Airlangga, Konsentrasi Pemikiran Islam
Pascasarjana IAIN Sunan Ampel dan S2 Ilmu Sastra Universitas Gadjah Mada.
Berkesenian dan nyantrik di Komunitas Teater Gapus dan Forum dan Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP),
Surabaya. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, karya jurnalistik dan penelitian
sastra. Tulisannya tersiar di berbagai media massa. Buku puisi tunggalnya: Jawadwipa 2003 (Gapus, 2003), Pengantin Lumpur (DK-Jatim, 2005), Ngaceng (Pustaka Pujangga, 2007), Patigeni (Manuskrip, 2009). Novelnya Hubbu (Gramedia, 2007), dan Posmoderna (akan segera terbit). Sejak
1999-2011, bekerja sebagai wartawan/redaktur di sebuah koran lokal di Surabaya
dan sejak 2006 berhikmat ssebagai peneliti sastra di Balai Bahasa Jawa Timur.
Kini tinggal di Sidoarjo.
Catatan Lain
Ada 7 endorsemen di sampul belakang, yaitu dari Prof Dr. Faruk, SU,
Akhudiat, Arif Bagus Prasetyo, Kris Budiman, Beni Setia, Koran Tempo dan
Kompas. Kata Kris Budiman: “Meskipun pada dasarnya adalah tipikal penyair yang
gemar menulis puisi-puisi cinta romantik (bahkan erotik), Mashuri menuliskannya
dengan teknik berbahasa yang canggih. Di samping itu, saya menduga Mashuri
adalah tipikal seorang penyair yang sering membiarkan dirinya ‘ngaceng’ dalam
pesona bunyi dan rima, sehingga cenderung melupakan aspek-aspek lain, terutama
aspek kemaknaannya. Orgasme fonologis ini, antara lain, bisa kita baca pada
beberapa puisinya.”
Oya, penyair juga menulis
semacam sekapur sirih. “Karena itu, saya sering mendaku diri sebagai penyair
jadi-jadian. Sebagaimana harimau jadi-jadian, yang tidak setiap saat menjadi
harimau, kecuali jika ruh harimau merasukinya, saya pun begitu. Hanya pada saat
saya kehadiran puisi, saya menjadi ‘penyair’. Selebihnya saya bukan
siapa-siapa.” (halaman iv)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar