Data buku kumpulan puisi
Judul
: Menuba Laut
Penulis : Hudan
Nur
Cetakan
: I, Januari 2016
Penerbit
: Scripta Cendekia, Banjarbaru.
Tebal
: vi + 62 halaman (55 puisi)
ISBN
: 978-602-0950-25-9
Sumber
gambar cover :
http://www.cubartecontemporaneo.com/wp-content/uploads/Agustin-Bejarano-Descanso-Ritos-del-Silencio-2014-Mixta-sobre-Lienzo-945x1005cm.jpg
Pengantar
: Dewi Alfianti
Beberapa pilihan puisi Hudan
Nur dalam Menuba Laut
Lok Baintan
sepanjang
sungai yang hingar oleh perahu-perahu terapung
tersiar kabar bahwa perjamuan malam akan hadir di
atasnya.
kami mendayung rendah ke arahmu,
gelimbir-gelimbir alam di atas sungai martapura
seperti
mengejar waktu yang lunglai disekap penantian. buah
bertukar
musim dan hinggut ke tepian. angin menukilkan amsal
lewat
zirah penjualnya.
memapas hari yang bermula di kanan jalan itu seperti
menyanyikan obade kehidupan yang bergerigi. selalu
berganti
dan mengirimkan suratnya kepada hari.
Banjarbaru, Agustus 2015
Ilalang Mengekah di Musim
Halba
musim sudah kupulangkan untuk
mencari alamatnya sendiri.
mengaitkan kenangan lewat
layang-layang sempalai yang
berkaca-kaca itu.
telah bermakam beribu sajak di
sini, bergelimang megaluhung
yang mengoyak jarak dan
menghadiahi batu-batu halimun.
malapancaka berkepang dadu
telah kusampaikan lewat panus
rima tak berkesudahan.
Ya, ilalang musim kemarau
kamulah yang terbaring di
mataku mengumbar rindu-rindu
sakaguru mengantongi
paramasastra yang berkecai di
pikiranku.
2015
Sajak Pukang bagi Rezqie
Atmanegara
bukankah kau telah saksikan
bagaimana tikus yang
mengembik di kandangmu. kucing
yang menggonggong.
anjing berbulu ayam dan tupai
berhati ular di kebun sajakmu?
barangkali kau mesti pulang
duluan menemui secawan dupa
bertuankan cenayang malam yang
menyekap masa lalumu itu!
bila tiba di kilometer 25
cobalah sedikit kau tengok lumut yang
menggerogoti jantungmu, biar
tahu bagaimana rasanya
tertikam sebagai kelalang di
alur eksodus yang adibangsat.
Banjarbaru, Agustus 2015
Menuba Laut
anak-anak lamafa berlarian
dijarah gelombang. karang-karang
menukilkan keberadaan awan yang
dicuri petang dan tak
kembali.
akulah gurdi jatmika yang
adiluhung di tengah laut itu,
katanya. perahu kehidupan
mengibarkan bendera semesta ke
dasar malam. seorang tengkulak
menjemput mimpi di antaranya
dan nifak berlabuh di
kedangkalan meraup berpulun-pulun
kekerdilan.
tepat di sepertiganya aku
pulang dan menggendong seorang
tua untuk misa penutup usia.
kujemput tangannya yang
keriput untuk melukiskan
keberadaan hari yang luluh lantak
diterjang lamina. dalam bahasa
yang asing kupahami ia
menunjuk ke lentera yang
mengekal dikekang istri-istrinya
di kejauhan. segulung ikrar itu
ia gunting, dicampakkannya
nasib di antara jarak dan
takdir jemawa. lalu ia menarik nafas
dan memulangkan dirinya sendiri
tanpa risalah. dan kupunguti
setiap balam-balam larung yang
dipenuhi suluk dan mantra-
mantra laut di keheningan.
2015
Selasar Dirundung Mara
dalam sekejap
malam menjadi padang piatu
segerombolan singa menghambur teror
menggedor-gedor ingatan masa lalu
seorang ibu bermata halilintar
mencari lamunannya di sudut jendela
anaknya yang tualang
sudah hilang ditelan bayang-bayang
dalam sekejap
malam menjadi padang piatu
segerombolan singa menghambur teror
menggedor-gedor ingatan masa lalu
seorang ibu bermata halilintar
mencari lamunannya di sudut jendela
anaknya yang tualang
sudah hilang ditelan bayang-bayang
ia tidak tahu
hari-hari
bukan selepas kenang
menggandeng kesetiaan jihad mengundang mara
menikam jejak lelaku di tembok penyangsian
menggandeng kesetiaan jihad mengundang mara
menikam jejak lelaku di tembok penyangsian
aku tidak bisa bercerita padamu
bila esok ditelan bumi
kesetiaan macam apa yang akan kugenapi
sementara burung-burung selalu pulang mengantar senja
dan kau mengantar ketololan yang purna!
Teras Puitika, 2014
La Quartal
: Tanjungpinang
engku putri hamidah disambar pengar ketika
belajar bersolek
dua ribu
lima ratus penduduknya
malam itu belum mengenal dempul dan brandmark singapura
: bunga angsoka
gugur di pelupuk matanya
barisan bukit menghampar di selatan perkampungan
melayu-arab
dari pesisir mengkasar merapat ke tanjungnya
gigir laut menepati janjinya untuk negeri gurindam
engku
putri hamidah belajr menyulam di atas sampan
bianglala yang jatuh di beranda pendoponya diragi menjadi
: ruparupa kekalungan
oleh-oleh
buat masa depan
di waktu subuh anak-anak mengalir ke air
bakau-bakau menghidrasi pulau-pulau untuk tetap dikremasi
cerita nagari yang membangun masjid tanah liat untuk
pertapaan
: akan
kembali ke air
pada masanya engku naik bukit dan turun di sebuah keraton
tua milik saudagar penderma kibutz-kibutz kafilah. engku
belajar nama-nama hari, nama-nama jalan, nama-nama semua
hingga engku duduk di atas tungku.
: kun
jadilah menara lingga
Sidera, November 2010
Tadulakota
sepatung aral yang bersimpang di jalan menuju tadulakota
menghamparkan komplek hasan bahasyuan dan parodi kota
teluk. suplai matahari ke tubuhku di titik nol derajat
seperti
membebat kerinduan yang ideal kulafazkan.
kami menyulam bintang-bintang saat gerhana menjamah
komunitas itu. muhibah batin ke padang stepa sudah kami
lalui bersama kepengecutan hari yang selalu berakhir di
papan
tulis. kita mengapung dalam khayalan dan tersesat di
kedalaman mataku.
kutelan kepahitan ketika keringat terlanjut berubah rasa
menjadi tawar. kita memberai cakrawala yang
berlapis-lapis.
sementara aku hanya berkitar-kitar di lapisan pertama.
aku
terlambat untuk sekedar menyelami salam karena di sudut
awan hanya nampak beranda tak beraturan. tak lebih.
2015
Saru Lumbago
aku mohon benamkan matamu ke dasar laut. kau akan resapi
tautologi para lumbago yang gagal memanen petang.
kelalang
berambut lumut menjadikan asin sebagai mahar meminang
air. nilam mengambang di sekat kegetiran gelombang. ombak
berkubur di sela-selanya.
membina hubungan dengan laut bernafsi-nafsi adalah nadir
adilumbago. bila waktunya mengekah aku bisa saksikan
wajahnya
melarung ke tepian dan ekornya mencabik-cabik semua
permintaan. tak ada yang berani menyentuhnya wahai
megalumbago. langit bisa meretak mendengar pasukanmu
mengibing di garis batas.
kubentangkan tali untuk melandai memelukmu. sauh pejaka
yang nun sudah rela memberikan sampannya kepada kita.
kureguk segelas rembang penyair ke hadiratmu. sampai
ranggung sekepala mengetuk hatimu untuk mendekat dan
kuserahkan rangkiang jiwa prabawa bagi prabu lumbago.
ambillah takdirku dan sembunyikan aku di antara muara dan
bakau-bakau yang tertidur itu tuan.
Banjarbaru, Agustus 2015
Zhao Wangye
: pro Kurniawan Junaedhie
beritakan kepada
istrimu bahwa besok kita tidak akan menyalakan
tungku. kita akan
bermain-main ke masa lalu tanpa dupa dan
penghormatan.
+ bukankah kau berjanji untuk mengantongi bintang-bintang
untuk ulang tahunku? hari ini bulan berkepang dadu. kamu
suruh aku mendekat ke mata hatimu. kau tunjuk bintang
jatuh
itu, ya! nafasku yang tersendat rindu kau rapal dan kau
lemparkan jauh-jauh di kegelapan. kamu berhasil
menyumpalku
lewat moksa-moksa liris.
- aku sudah terlanjur mencintai setandan dupa. memulangi
waktu seperti menangkar kepengecutanku yang maha. akulah
kelalang yang mengekah di depan pintumu. selalu.
+ aku melantan sekeping janjimu yang tak pernah urung.
kemalangan yang kekal sudah kebas di sekujur tubuh ini.
bahkan
Dewapun tak mengekangmu menjadi rangkiang, wujud piatu
yang membuat tubuhku meleleh.
- maafkan aku karena hari-hari yang usang menjadikanku
adiratna, bustan maharani yang gemar meratib. aku rampas
masa depan kita yang ranum, bahkan belum melihat
baik-baik
parasmu. akulah janji yang binasa itu sayang.
+ berpesiarlah ke mimpiku. aku sudah membuat dimsum dan
seikat mawar. di meja, aku merambak dosa, memamah luka,
menangkir hati lewat sebilah doa. bila pelimbang sudah
menjadi
takdirku yang malang, maka akan kulunasi marcapada di
tembiang waktu lewat berangus lukaku yang tak pernah
kering
berkampil-kampil. akulah takdir yang tak pernah sampai
itu
kasih.
Februari 2015
Kilang Sastra Batu Karaha
Eza, jam-jam sajak sudah kau pastikan menjadi penghulu
para
batu di kerajaan yang kau sebut kilang. nama-nama menjadi
pualam yang selalu saja terasa timpang bila kusandingkan
dengan berhala dan kereta waktu di tembiang senja. ketika
sepeti sajak menyiarkan berita kepulangan seorang
madukara
yang berhati mahesa: aku telah menjadi adibatu katamu.
Hamami, hujan sempalai yang kau kecai-kecai lewat sajak
itu
telah mengantarkan kepedihannya kepadaku. setiap sore,
pendar sempalai yang surut oleh bias petromaks itu
membisikkan
kemahadukaannya. ia disekap penyakit untuk selamanya. aku
membaca di atas tembikar tua yang dirimbuni kekasih masa
lalumu.
Yuniar, benar katamu. melarung segala rasa lewat
penantian
itu adalah kemunafikan bagi sepi itu sendiri. aku datang
membawakan salam dan serumput jalan yang kupaparkan di
atas meja kerjamu. tak ada seremoni, tak ada dupa, aku
hanya
membenamkan wajahmu yang sempat mengibas-ibas di ruang
tengah. tempat eza, hamami, asa, arsyad, rifani, dan
ariffin
bersilang paham.
Rifani, kuartal sunyi telah aku lalui dengan
kecengenganku
yang serupa. kupunguti setiap gang mafhum, jengah, dan
jelaga di sepanjang pertengkaran jalan. sungguh perjamuan
yang sempurna itu bila ada suka dan lawannya. karena
bulan
selalu merindukan matahari, mereka saling mencari; saling
menjaga.
hari iniArsyad gila dimabuk usia, Sandi lelaki tanpa
molekul,
Ariffin konkaf juru adagium, Nahdian lelaki pemasung
asap,
Asa lelaki huru-hara, Nanie dan yang lain entah dikepung
apa
pernah menjadi dadung yang berserat di Banjarbaru.
ketika wajah baru melipat sketsa wajah lama yang usang,
aku
menenun serimbit cerita. Kisah panjang bagimu Syarkawie
dan Sri Supeni sudah kupotret dalam pohon cermai di
belakang suku hanyu. Berlayarlah semua ke muara-muara
hari, biarkan pelasuh ini berpelawa mendendamkan masa
lalu
yang memeram rindu berumbai-rumbai ke pusaranya.
2015
Poso: Mereka Pergi
jangan diinjak
mereka
pecah
sebuah azab menyimpan mantra masa lalu
menyusuri kaki bukit Parigi sampai hulu Toli-toli
menelanjangi senja yang disaput kelam
lingsir bersama grahita anak-anak yang kehilangan ayah
ibunya
hanyut di telaga darah
jiwa merdeka
terasing di perkampungan
mengumpulkan mendung
: syarat yang malang
terbanglah anakku
sebelum angin pupus berhisab
memangkas lamunan sanakmu yang terpaksa hilang
temukanlah mereka
di danau togean!
Teluk Timur, Juni 2007
Balaroa
pada bukit balaroa aku mengantarkan lonceng kepergian
untukmu. nyalang berbisik pada musafir yang setia memulai
perjalanan.
percakapan kita meninggi seperti gemunung yang kokoh dan
kita saling memeram rahasia yang mengurai malam-malam
tak beralamat. kau melempari batu ke kamar kita yang
dihidupi
rasa sakit.
pada calang kepergianmu yang merendah kunyalakan rokok
dan kukibaskan ke rambutmu bumantara. agar lara bisa kau
resapi dalam setiap langkah pongah ulungmu. agar kami
mampu menegakkan bendera putih di altar balaroa yang
alpa.
2015
Hari Minggu di Vietnam
mengenang suasana minggu di Vietnam adalah musykil
bagiku. Ia berubah jadi igauan yang cukup elok bila kau
pajang
sebagai lanskap bermerk di ruang meja ayah kita. cerita
ke
taman impian yang berpulang pada kemusnahan atau kebun
masa depan yang digerogoti penantian usang, limbur
bersama
genangan hari kemarin yang berkaca-kaca.
menari-nari di udara minggu Vietnam sudah lunas
terbayarkan
oleh masa kecil orang tua kita. mereka berhasil
mewujudkan
perang-perangan di masa dulunya, merobek-robek es kertas
di atas tembikar dan menukilkan kesedihan tak berperi di
jenjang usiaku yang baru belajar mengenal huruf-huruf
kehidupan yang serba timpang.
hari minggu di Vietnam itu seperti menuba palka, kawan.
2015
Manuskrip Kemanusiaan
duhai kamu yang memulangkan kematian. menidurkan nuklir
di bawah bantal dan menidurinya sepanjang radius kilome-
ter. adalah radiasi yang terus menghantui masa depan
putriku,
membebat keinginannya yang kelak menjadi mahesa.
memeram dendam di rumah sendiri hanya melahirkan laras-
laras tak berujung. seperti pisau yang mencabik hujan
berkecai-
kecai. kau hanya menumbuhkan sembilu yang berspora dan
mengalirkannya ke muara batu.
inilah kami penghuni negeri yang menikam jantung sendiri.
ketika nasib seperti layang-layang, dan badai menjadi
bandit
yang mendobrak pintu-pintu rumah tak bertuan. dan puisi-
puisi mengudara. percuma.
2015
Patron Kalimaya
ada suara yang membekas di belakang rumah tuan penghulu
kami. nafasnya sepadan dengan jelapang dan kandil seperti
di
mangkuk purbawi. ia rangkus namanya di hadapan atlantis.
jurnalis menangkap ovarium di meja makanku. dua kucing
menggelitar dan saling sahut pendapat. kupanggil raja
spektabel
yang kalah berjudi di hadapan meja itu. kulahap semua
bukti
yang mencerari nama-nama keluarga besar kerajaan kucing.
aku tidak pandai mengembik seperti tikus jalanan yang
morat-
marit ditolak cintanya. tapi kamu lihai meletuskan lahar
kecemburuan ke pelatar rumahku.
2015
Sepanjang Jalan Pasar Tua
bahu jalan mengokol di sepanjang pasar tua
memanifeskan kehidupan memuarakan konformitas nasib
yang tak kering
nenek tua menjajakan pisang butala
dan kacang tanah mendampinginya
genapi metafora yin yang purna
atau kau mau ziarahi masa lampau?
ke zaman lengkatuwo
menyerepi utadada, palu mara, sayur kelor, dan dabu-dabu
berabad-abad mereka kekal mengokol di jalan ini
jalan yang tak lekang
kecuali bagi kamu yang berpukang!
Teras Puitika, Agustus 2015
Tentang Hudan Nur
Hudan Nur lahir di Banjarbaru, 23
November 1985. Mulai menyasarkan karyanya sejak tahun 2000an, ke banyak media
massa dan antologi puisi/cerpen bersama. Tahun 2007 menjadi peserta Mastera
(Majelis Sastra se-Asia Tenggara), bidang puisi. Menerima hadiah seni bidang
sastra dari Gubernur Kalimantan Selatan tahun 2012. Manuskrip pribadinya: Si Lajang (2002) dan Tragedi 3 November (2003).
Catatan Lain
Sebelum peluncuran buku ini, pada 22
Januari 2015, saya telah memandangi sampul dan membaca komentar beberapa
penyair tentang buku ini di facebook Hudan tanggal 15 Januari 2016 lalu. Saya
pikir, komentar-komentar itu akan muncul di buku “Menuba Laut”, tapi ternyata
tak ada. Sampul buku yang tercetak pun lebih gelap. Berikut ditampilkan
komentar dari Bode Riswandi, Mahwi Airtawar dan Tan Lioe Ie.
“Puisi-puisi Hudan Nur berkutat dalam
suasana senyap yang menggilatkan mata lukanya dan menusuk pada banar
peristiwa-peristiwa taktil. Hudan tidak sekedar 'mengucapkan' tapi menyuguhkan
apa yang ia hayati menjadi bagian tak terpisahkan dari apa yang sedang kita
hayati. Kebernasan itulah, yang menghidupkan daya kejut puisi-puisi Hudan Nur
dalam antologi ini, di samping meninggalkan banyak misteri dalam diksi Air,
Sungai, Laut. Pembaca tentu harus khusyuk dan siap dibenamkan ke dasarnya.” (Bode Riswandi, Penyair/Pendiri Komunitas
Beranda 57 di Tasikmalaya).
“Membaca puisi Hudan Nur saya seperti
diajak berenang di tepi (laut) bahasa, dan sesekali saya diajak menyelam ke
palung kenangan.” (Mahwi Airtawar).
“Memasuki puisi-puisi Hudan Nur, meski
menghadirkan diksi dan "tokoh" yang tak "umum", setidaknya
lewat impressi, taklah sulit. Namun, bagi mereka yang ingin "menyelam ke
kedalamannya", kiranya berlaku apa yang ditulis William Carlos William
dalam puisi "January Morning”, utamanya bagian "... you got to try
hard"--- Tan Lioe Ie.
Oya, berikut ditampilkan juga sebuah
puisi dari Hudan yang nggak dimuat di buku “Menuba Laut”, tapi ditemukan di sebuah
laman di dunia maya,
yaitu di http://sajaklampost.blogspot.co.id
Menyusuri
Gerbang Frankfurt dan Kota Gaib Zurich Membuatmu Yakin akan Mendapati Pusara
Nietzsche Leluhur Opel yang Didera Sepi Sepanjang Musim
: kepada Adin
: kepada Adin
inilah jalan yang diberkati sepanjang Wiesbaden. daun-daun berhati malang jatuh ke arah timur. tepat disebuah musim gugur yang datang berantakan, membebat semua isi kepalamu dan tanpa diketahui meracuni aorta dan mimpi-mimpi keramatmu. mereka beristirahat di matamu, Russelsheim masih muda ia tidak tahu ada roh jahat yang menempel di saku bajunya.
inilah jalan yang diberkati sepanjang Wiesbaden. siapa yang percaya jenazah Dostoyevsky di Siberia yang diratapi 40.000 rakyat akan juga didera sepi. bukan lantaran cinta yang morat-marit, tetapi kesinisannya kepada janji-janji kitab suci yang enggan menghampiri nasibnya. dan jadilah mereka penghulu rasul setengah-setengah.
inilah jalan yang diberkati sepanjang Wiesbaden. seorang paroki mengenalkanmu kepada Tuhannya, ia katakan bahwa kebiasaan Tuhannya dan Tuhanmu itu sama, sama-sama menyukai warna, sama-sama mencintai bunga, sama-sama berhati semesta. lalu ia memberimu sebuah lukisan, nun di sanalah malaikat pencabut nyawa berkeliaran. terbang dari dahan satu, melompat ke dahan lain dan meranggas ke daun-daun pilihan untuk mengkhatamkan episodenya. tak ada yang lebih sunyi dari jalan-jalan keberkatan, di jalan puisi dan simpang-simpang waktu hanya melahirkan ramalan, takdir sebuah desa yang tak terbaca malapetaka akan ikut hanyut ke gorong-gorong musim dan larut sebagai lelaki lunglai yang kalah dalam metafisika dadu.
inilah jalan yang diberkati di sepanjang Wiesbaden. seorang ibu bermata sepi duduk di kursi tuanya. Annaslawoska masih menunggu putranya pulang, setelah dikabarkan oleh serdadu bahwa ia tersesat dan tak bisa pulang dari belukar di kepalanya sendiri. beliau percaya pada Tuhan yang maha semau-mauNya kalau kabar baik akan datang seiring pergantian musim yang terlanjur mengikis cat-cat di tembok berandanya. lalu waktu menggulung ingatannya ketika Nietzsche dilahirkan, angin mengetuk kaca jendelanya, bulan tiba-tiba berkepang dua dan malam menjadi pendek dirampok jam-jam yang tiba-tiba pergi tanpa salam. ia tidak pernah diberitahu oleh musim kalau putranya sudah lama disekap takdirnya sendiri.
inilah jalan yang diberkati di sepanjang Wiesbaden. tak ada yang tahu Schlachthof menjadi belia setelah penjagalan hewan-hewan disulap menjadi tempat anak-anak muda melingsirkan hari yang dikemudikan cuaca. namun dalam sekejap jam-jam kembali pergi tanpa salam. jalan-jalanpun lengang setelah mengetahui bahwa tak ada kabar ke mana musim-musim sebenarnya bermukim!
Teras Puitika, Oktober 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar