Data buku kumpulan puisi
Judul
: Kepayang
Penulis : Abdul
Wachid B. S.
Cetakan
: II, Februari 2013 (cet. I, 2012)
Penerbit
: Cinta Buku, Yogyakarta.
Tebal
: xii + 102 halaman (41 puisi)
ISBN
: 978-602-99055-1-9
Desain
cover : Joni Ariadinata
Gambar
cover : lukisan “Dzikir Gus Dur, Dzikir Kepayang”
Dimensi
55 cm x 207 cm, karya K.H. M. Fuad Riyadi (Pleret, Yogyakarta)
Kata
Pengantar : Lee Yeon (Doktor Ilmu Sastra, dosen di Hankuk
University
of Foreign Studies/HUFS, Seoul, Korea Selatan)
Kata
Penutup : Maman S. Mahayana
Kepayang terdiri atas 2 bagian, yaitu Sajak-sajak
2011 (12 sajak) dan Sajak-sajak 2012
(29 sajak)
Beberapa pilihan puisi Abdul Wachid B. S. dalam Kepayang
Doa Pencinta
ya Allah
kemiskinan ada di sekitar saya
tetapi mengapa sajak-sajakku hanya
berkisah tentang cinta
Mu saja?
Yogyakarta, 15 Juli 2012
Kendi
bagaikan kendi yang
senantiasa kau isi dengan
cinta dan pengetahuan
aku tiada terasa selalu
ngucurkan airmata
duka dan nestapa
tawa dan bahagia
teraduk dan tersabda
menjelma menjadi
kendi yang selalu kau
isi aku dengan hasratmu
aku akan berjaga, ada
sedangkan kau
si penuang agung itu
sekaligus peminumnya
aku cumalah kendi
minum, minumlah
orang datang orang pergi
mencari-cari diri, lelah
kehausan, kekasih sejati
ya, aku kendi abadi
hingga kelak kau titahkan
aku dengan salammu yang
hidup tidak berkesudahan
Yogyakarta, 20 Juni 2012
Resonansi
setiap hal di semesta ini, ada
getarannya, ada auranya, ada
gerakannya, sekalipun penuh lembut
sekalipun ada yang penuh kalut
kau aku percaya gelombang lautan
aku kau percaya sebagai gelombang radio yang
membaca cinta di telinga hatimu yang
kadang kosong, rentan oleh tekanan
umpama doa yang kau ucapkan berulang
mereka bagai kupukupu putih, warnawarni
hinggap dari satu ruang ke waktu
dari satu tangkai ke bungabunga
setiap umpatan disimpan oleh udara
mengendap ke pohonpohon ke rerumputan
menyimpan air semacam comberan
apakah ketika diminum menyembuhkan?
maka setiap kau aku bangun tidur
setelah melepas kupukupu doa dari bibir mawar
setelah air wudlu membasuh mimpi yang keruh
aku kau ambilkan segelas air putih, sentuh
doadoa, kita tiupkan bersama
dan gantiberganti bibir meminumnya
dalam kesalingan abadi
maka dengan alasan cinta yang sama
maha getaran yang menggerakkan
semua dan segala ini
menyanyikan lagulagu cinta ke
semesta hati manusia kita
Yogyakarta, 15 Juli 2012
Aku Mampu Mencintaimu
aku mampu mencintaimu tanpa rasa cemburu
akarakar tidak pernah menuntut dirinya menjadi
pohon
yang
kokoh menjulang, sedangkan pohon juga tidak
mau menangisi diri ketika memandang daundaun
meneduhi
sepasang kekasih saling
merentangkan tangan dengan katakata yang
paling mewakili luapan lubuk hati
tungku birahi begitu memompa jiwa gelisah
aku mampu mencintaimu tanpa prahara
dan bencana setiap pagi bergedebur menuju senja
tenggelam dalam doadoa alis matamu yang
sekali kedipan jatuhlah bintangbintang
lengkapkan malam
cemaskan lalulalang lelaki hidung belang
tetapi, aku mencintaimu dengan mengubur cemburu
tersebab kau aku hanyalah imam dan makmum
dalam sembahyang abadi
Yogyakarta, 4 Mei 2012
Puisi Puasa
pohon yang seperti khuldi itu, mengapa
di tiap detak puasa dia justru menegak
sedangkan matahari maghrib masih jauh
seorang lelaki yang tujuh tahun bersimpuh
di bawah pohonnya yang tidak rimbun
reranting mengering dibakar keinginan yang
tidak pernah sampai kepada basah akar
sedangkan dia sudah terlalu parah oleh tuak membakar
tetapi, di suatu pagi menjelang subuh
ada yang bergerak-gerak dari dahan-dahan pohon
padahal angin belum menyapa di dini hari itu
lalu, darimana datangnya gerakan?
apalagi ketika adzan duhur mengaura dari menara
angin dan pohon ini sama-sama kencangnya
berkesiur kemari ke sana mencari pemuja cintanya
yang selama ini dianggurkan, dan putusasa
teringatlah dia kepada penyair raja daud
dengan 99 perupamaan dombanya
dan the king of
salomon dalam bible
dengan 700 keluarganya dari berbagai negeri
pohon yang seperti khuldi itu, mengapa
di tiap gerak puasa dia justru menegak
sedangkan perempuan penyiram ladang itu masih jauh
seorang lelaki yang tujuh tahun bersimpuh
kini dia bertakbir
mengacungkan
alif
yang tidak terbilang jumlahnya!
Yogyakarta, 17 Agustus 2012
Di Rumah Itulah
ada sebuah dada yang
berisikan kalbu
ada sebuah kalbu yang
berlapiskan keras besi batu
ada sebuah besi batu yang
bertahtakan lubuk hati:
sebuah rumah tempat memulai
dan mengakhiri pemujaan kepadamu, hyang
di rumah itulah
aku membuka menutup pintu
datang dan berlalu
sujud di atas tanah
di rumah itulah
kau aku bercinta tanpa resah
beranakpinak dengan gagah
menjawab dunia yang pongah
di rumah itulah
aku akan tengadah pasrah
di pangkuanmu kekasih
direnggut maha kekasih
Yogyakarta, 25 Maret 2012
Mandi
- Di rumah Doktor Suwito NS
Jam melantunkan adzan ‘isya
Dunia terus saja mendesak
Sampailah aku di rumahmu
Di relung yang paling tenung dalam hatiku
“Mandilah sejenak
Agar segar segala yang daki!”
Ujarmu samar, adzan bergerak
Tidak jauh, tetapi menjauh dari telinga
Tetapi hari telah malam
Aku tidak mau badan jadi demam
Kutolak halus ajakanmu
Sekalipun tahu diriku kelewat debu
“Mandilah!”
Ajakanmu begitu menampar
Rembulan semakin memar
Di batas terang rumah, lalu malamku bertambah lelah
Purwokerto, 7 November 2011
Jatuh Cinta Kepadamu
Jatuh cinta kepadamu
Padang ilalang merayakan kembang putihnya
Musim kemarau tidak lagi bernyanyi parau
Lantaran gerimis senja
Mengembalikan sunyi kepada pagi:
Daun dan bunga bermahkota embun
Jatuh cinta kepadamu
Tidak terbilang jumlahnya
Kata-kata menjadi harapan
Harapan menjadi doa-doa yang tidak berkesudahan
Dari pagi ke siang
Dari siang ke senja
Dan malam kian meluaskan pandangan
Bahwa aku sedemikian kerdil
Untuk memeluk semesta cintamu
Jatuh cinta kepadamu
Seorang lelaki menyediakan diri untuk
Disalibkan dengan luka-luka rajam
Seorang lelaki tetaplah melewati
Lorong-lorong zaman sekalipun tahu
Remah-remah roti di kedua tangan kemuliaannya
Dibalas dengan lemparan tai
Jatuh cinta kepadamu
Seorang lelaki yang bernyanyi di tengah malam
Berteriak-teriak
Memanggil-manggil nama
Mu!
Solo, 7 Oktober 2011
Badan Demam Ruhku Demam
Badan demam oleh sesuatu yang
Menari-nari bagai gasing
Di dalam lubuk hati yang
Dilapisi oleh yang bernama, Sayang
Ruhku demam oleh sesuatu yang
Menari-nari bagai penari padang pasir
Di sekujur tubuhnya cahaya berdesir
Diiringi oleh seruling dan kendang, Sayangnya
Engkau tidak juga hadir melengkapi perjamuan
Padahal di langit keindahan di altar tanah keindahan
Di segala arah keindahan, akan menjadi tersia tertahan
Oleh harubiru rindu yang tiada berkesudahan
Sekalipun aku mampu mabuk oleh dunia
Tetapi? Kalimatmu kelak yang
Selamatkan aku
Tergelincir dari segala tarian
Yogyakarta, 23 Maret 2012
Dzikir Gus Miek
“tidak ada hari esok yang
tidak dimulai dengan puasa”
demikianlah gus miek berkata
di atas selembar daun, seseorang
bersujud bagai lebah
menyerap atau terserap oleh semesta cinta
dan cerita itu pun menjadi nyata
di mata kita yang berprasangka baik, sungguh
batas antara neraka dan surga cuma
setitian rambut dibelah tujuh
tetapi jarak antara aku dan dia mungkin saja
dipisahkan oleh jendela yang
ditandai sebagai hati
ternyata aku keluar masuk lewat jendela itu
bagaimana mungkin aku akan leluasa
meloncati jendela itu jika tambun perutku?
maka ketika malam kekasih menjaga mata
agar hidup tidak kantuk abadi
maka jika siang kau kosongkan lambung
agar hidup tidak limbung
tidak ada hari esok yang
tidak dimulai dengan puasa
demikianlah gus miek cerita
di atas selembar daun, sujud pun fana
sehingga dunia tetaplah berjaga
dari bencana
Yogyakarta, 26 juli 2012
Yang Kepayang Hyang
Yang kepayang Hyang
Yang berani sendiri berjaga di tengah malam
Yang berjalan tanpa kaki
Yang terbang tanpa sayap
Yang menggapai langit tanpa pesawat
Yang memeluk semesta cinta
Yang menyala oleh cinta
Yang kepayang Hyang
Yang mencinta tanpa alasan kecuali
Yang bersebab akibat karena cinta itu sendiri
Yang tak pernah sendiri sekalipun sepi
Yang meneteskan airmata bahagia
Yang saksikan orang datang orang pergi
Yang bercinta karenanya ataukah karenamu?
Hyang
Yang kepayang Hyang
Yang dalam pandang orangL dia terluka dia gila dia
Yang miskin tidak merasa papa dia dekil dia menggigil dia
Yang di tiang malam mengibarkan benderang
Yang matahari dia pindah ke malam
Yang bulan dia pindah ke siang
Yang dia tidak pernah takut kepada siapapun dia
Yang dia bertekuk lutut ke haribaan
Hyang
Yang terang tatap matamu
Yang terangi tatap mataku
Yang kepayang
Hyang di atas Hyang
Yogyakarta, 28 Desember 2011
Cincin
kupikirkan sebuah cincin maha besarnya yang
melingkari jemari manis semesta yang
di tengahnya lobang seperti jantungku yang
berlobang tertembus oleh cintamu
dan cincin itu disemayamkan di atas kursi yang
megah yang semua penciptaan berada
di lingkaran cincin itu yang
kau aku saling mencari sehingga bertemu
di sebuah taman: kau aku saling
mengagumi sebatang pohon rindang teduh
meneduhkan badan tetapi mengerangkan jiwa
kau aku menjadi lapar dan dahaga yang
berkepanjangan, tahu-tahu kau aku memetiknya
menikmatinya dengan tergesa lantaran
takut-takut ketahuan sang pemiliknya
tahu-tahu kau aku kian lapar kian dahaga
si pemilik kebun yang penuh cinta dan kasih sayang itu
tahu-tahu berada di semua arah kita dan berkata
“bila kalian saling lingkarkan cincin ke jemari manis
lapar dahaga kalian akan sirna”
maka di siang yang terang di sebuah taman:
kau aku saling melingkarkan cincin
kau aku lalu meniru laku semesta, bertawaf
melingkari cincin itu, berputar-putar
tiada kata akhir, tersebab
antara memulai dan mengakhiri hanyalah berujung
di tengahnya: lobang seperti jantung hati kau aku yang
berlobang tertembus oleh cinta-Nya
Purwokerto-Yogyakarta, 2 Agustus 2012
Titik
apakah cinta senantiasa titik?
air di lautan air di daratan ditarik
matahari khatulistiwa menuju awan-awan
berarak mega-mega melebur dalam kesetiaan
memberat mendung jatuhlah hujan
sedang kau aku berteduh di bawah pohon khuldi
sedang aku kau pandang penuh mengerti
isyarat-isyarat yang berkelebat menjadi
kau aku bercermin kepada genangan sisa air hujan
aku kau tunjukkan betapa matamu yang
penuh hujan lantaran sedih ataukah bahagia
kembali terbaca oleh yang
terkaca di jendela kamar antara
bayangan kau aku dan hujan saling
menindih sehingga darah kau aku mendidih
bukan lantaran amarah
tetapi? cinta ini memang tidak mau titik
sehingga kata-kata mencari makna baru
di antara titik-titik air hujan di lautan dan di daratan
dan hujan airmata kau aku yang
bernama duka dan bahagia
Yogyakarta, 16 Juni 2012
Bacalah
ketika hujan memberi basah kepada
tanah, rerumputan, pohon, daun-daun
ketika tanah memberi pijakan kepada
setiap langkah, setiap resap kehidupan yang
di tubuhnya menjadi megah
ketika rerumputan memberi warna hijau kepada
jiwa kau aku yang galau
ketika pohon-pohon memberi permohonan kepada
sang empunya kebun abadi untuk
daun-daun yang memberi nafas kepada
jiwa-jiwa yang senantiasa
lahir, tumbuh, bercinta
lalu mati yang tidak pernah benar-benar mati
ketika kau aku, cinta sungguh
tidak pernah cuma menerima
kecuali memberi dan selalu memberi
dan yang menerima abadi hanyalah
sang empunya kebun
Yogyakarta, 6 Juli 2012
Koma
tidak di langit dan tidak di bumi
tidak bahagia dan tidak sedih
aku di antara yang
tidak berkesudahan
mungkin begitulah adam ketika
terlempar dari surga yang
cuma dua hari saja lalu
melayang-layang di antara
surga dan alam semesta
disentakkan oleh impian
khuldi abadi
hawa dini hari
terdampar di perbukitan jabal rahmah
seperti kau aku yang
bertemu ataukah dipertemukan oleh
takdir ataukah keinginan dari pikir?
tetapi, apakah di atas segala keinginan
adam hawa, kau aku
dan segala dan semua sudah ditulis sejak hari alastu?
ah, aku rindu kepada puisi
tersebab
tidak di langit dan tidak di bumi
tidak bahagia dan tidak sedih
aku di antara yang
tidak berkesudahan
terlempar
terdampar di kamar
dunia yang samar-samar
langit kian memudar
di luar sore angin tidak terdengar
Yogyakarta, 15 Juni 2012
Tentang Abdul Wachid B. S.
Abdul Wachid B. S. lahir di di dusun
Bluluk, Lamongan, Jawa Timur, 7 Oktober 1966. Pendidikan terakhir di
Pascasarjana UGM, Program Studi Sastra (2007). Menulis puisi, esai dan cerpen
yang terdokumentasi di berbagai media cetak dan antologi bersama. Bukunya: Rumah Cahaya (Puisi, 2003), Sastra Melawan Slogan (esai, 2000), Religiositas Alam: dari Surealisme ke
Spiritualisme D. Zawawi Imron (2002, skripsi yang dibukukan), Ijinkan Aku Mencintaimu (puisi, 2004), Tunjammu Kekasih (puisi, 2003), Beribu Rindu Kekasihku (puisi, 2004), Membaca Makna dari Chairil Anwar ke A.
Mustofa Bisri (kajian sastra, 2005), Sastra
Pencerahan (esai, 2005), Gandrung
Cinta (kajian sastra dan tasawuf, 2008), Analisis Struktural Semiotik: Puisi Surealistis Religius D. Zawawi
Imron (2009), dan Kepayang
(puisi, 2011). Saat ini menjadi dosen tetap di STAIN Purwokerto dan menjadi
dosen tamu di beberapa universitas.
Catatan Lain
Sepertinya puisi-puisi dalam kumpulan
ini disusun secara kronologis dari yang bertempat/tanggal: Solo, 1 oktober 2011
hingga Purwokerto, 27 Agustus 2012.
Lee
Yeon memberi pembuka sebanyak 4 halaman, dan mengutip utuh hanya 1 puisi, yaitu
puisi “Doa Pencinta”. Adapun Maman S Mahayana, menulis penutup sebanyak 23
halaman, dan mengutip utuh 5 puisi. Dan kelima puisi itu tidak ada di buku kumpulan
puisi kepayang! Setelah tulisan penutup, hadir komentar-komentar rekan, saya
kira ada 14 komentar, dan enam di antaranya ditulis lengkap dengan gelar
akademis.
Dan
berikut beberapa puisi yang menjadi bagian dari tulisan Maman S. Mahayana itu:
Awal Segala Ikhwal adalah Cinta
Awal segala ikhwal adalah Cinta
Dan dengan Cinta
Kata menyapa yang
Semula tiada
“Aku ingin dikenali, maka
Aku mencinta
Dan dengan cinta menjadi
Kau pun ada,”
Cinta sapa Kata
Kata sapa Cinta
Dalam kesendirian
Dalam kesunyian
Kata berterimakasih kepada Cinta
Tersebab hasrat yang
Menyala, Cinta
Menebar kasih sayang
Awal segala ikhwal adalah Cinta
Dan dengan Cinta
Kata beranak-pinak menjadi semesta
Dan di bumi, adam dan hawa
Memulai
Dan mengakhiri
Kata
Dengan Cinta
Yogyakarta, Desember 2008
Puncak Cinta
Rindu memang selalu sakit
Tapi pertemuan cinta akan mengobati
Puncak cinta adalah kerinduan
Karenanya kita bisa maknai
Harap-harap cemas
Pada kekasih yang dicintai
Karena cinta kita mengenali diri
Betapa aku membutuhkanmu
Kuhayati jatuh-bangunnya hatiku
Dalam mencintaimu
Tapi kunikmati saja kesakitanku
Karena merindukanmu
Seperti kurasakan nikmatnya cinta
Yang telah kucecap dari lidah hatimu
Warungboto, Yogyakarta, 27 Juni 2006
Wasilah Kekasih
Tersebab engkau cahaya
Barangkali aku tak pernah mampu
Melukiskan puisi untukmu
2003/2005
Wasilah Cahaya
Matahari membagi sinarnya
Ke segenap arah
Matahari menjadi ada
Tersebab oleh cahaya
Matahari menghidupi
Sekaligus dihidupi
Matahari wasilah cahaya
Sebagaimana cinta
Matahari wasilah cinta
Mencari cahaya
Matahari menjadi ada
Tersebab membagi sinarnya
Bukan kepada semesta
Tetapi bagi bumi
Hanya ke segenap bumi
Teruntuk kewanitaanmu
Sukmamu matahari
Membagi menjadi arah mataangin
2003/2005
Alhamdulillah, bisa menemukan puisi karya guru-guru di blog ini. Sangat bermanfaat sekali, barakallah.
BalasHapusnice post kak
BalasHapussuka puisinyaa :D
sesama penggemar puisi saling mampir donk kak hehe
andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn