Data
buku kumpulan puisi
Judul : Obituari Rindu
Penulis
: S. Arimba
Cetakan : I, 2013
Penerbit : Intan Cendekia, Yogyakarta
Tebal : xviii + 72 halaman (56 puisi)
ISBN : 978-979-9857-36-1
Kurator : Indrian Koto
Cover : Melia Tri Pamungkas
Ilustrasi isi : bag.1 Melia Tri
Pamungkas, bag.2 : Widya Prana Rini
Pracetak : Anes Prabu Sadjarwo
Prolog : Prof. Dr. Faruk, S.U (Jerat
Seorang Pencinta)
Obituari Rinduterdiri dari 2 bagian,
yaituObituari(24 puisi), dan Rindu(32 puisi).
Beberapa pilihan puisi S. Arimbadalam Obituari Rindu
Tak Ada Lagi Sajak Cinta
Aku tak punya sajak indah untukmu kekasih, malam temaram
menggantikan senja yang ragu-ragu. Bahkan sudah sejak lama
ketika percakapan tak menghasilkan sesuatu kecuali tangismu.
Hidup yang begini saja, mendaur waktu, dan kekalahan-
kekalahan. Lalu apa yang ingin kau tangkap dari gelisah angin.
Beku dan dingin. Jemari yang lelah. Tembok-tembok
mengelupaskan debu. Sejarahnya sendiri. Tapi kau masih
meraba dada yang mungkin nyeri. Ah, bicaralah bicara. Lampu
kota yang malas akan menyeretmu pada kepastian. Yang tak
pernah berubah hanyalah cinta.
Tak ada yang tak pulang. Senja merapat.
Kian hangat.
2011
Surat Putih
– Iswara
(1)
Kukirimkan kabar dari tanahku
di bawah batu nisan yang terukir namamu
kekasih, aku merindu
seperti tanah retak di pelataran pada hujan
sebagaimana kuncup bunga pada matahari
aku menziarahimu kini
lalu saat gelap datang
aku menanti di langit malam
berharap engkau muncul di antara ribuan cahaya
seperti janjimu dulu
menyandingku saat sepi menyergap jiwa
seperti biasa angin membawa harum tubuh
mengabarkan engkau di sana memandang bintang
utara, seperti juga aku di sini
ribuan malam berlalu
dari atas atap rumahmu
kau kirim isyarat rindu
(2)
Engkaukah itu puisi senja yang melewati semburatnya,
saat hari telah lelah menyapa
dan terasa waktu menghampiri kita
menghadiahi harum kamboja.
aku memelukmu agar kau terjaga
dari mimpi panjang yang celaka
kitapun mati di antara kehidupan ini
hidup di sela kematian-kematian
mencipta senja yang bertuan
2006
Rahasia Dendam
Biar embun menjadi uap yang mengendap dalam mendung
dan turun padamu sebagai butir cinta dari langit. Tak perlu
kau sampaikan kabar air mata yang kini bahkan tak tersisa,
walau yang tersobek jadi perca kenangan atas luka. Di mana
letak sakitnya? Bukan sebab pertemuan atau perpisahan itu
sendiri bukan, atau hari-hari yang terjamah. Kau aku tahu itu
hanya soal ingatan, yang kita hidup padamkan. Maka andai
nyala, tidak sekadar menjadi pelita, tapi membakar diri dan
semua yang pernah singgah pada bibir mengembang,
bukankah kita lebih kehilangan. Siapa akan berlalu usai lunas
semua rindu. Barangkali pengembara. Kisah jalanan yang tak
perlu dituliskan. Agar tiada tercatat semua luka. Biarpun kau
remas jantungku, meski kuremas jantungmu tapi detak telah
menyatu. Benci dan rindu tiada seteru.
2013
Obituari
Yang tak bisa kita hentikan adalah waktu
yang tak bisa kita kejar adalah bayang
yang tak bisa kita raih adalah mimpi
sepi menyeret kita kembali
masa lalu yang berlarian dalam kejaban
kala kita duduk di sana
memandang luasnya kota
masih terasa harum rambutmu
menikam tepat jantungku
2009
Perempuan Itu
Bukan semata karena waktu, batu kikis di kolam-kolam
dia takkan mengabarkan bagaimana kelembutan
menyatu dengan lumut-lumut sebagai dzikir meruntuhkan
keangkuhan
karang-karang jadi pasir di pelabuhan
tempat sandar perahu datang dan pergi
dia takkan mengabarkan dengan siapa dia bercumbu
hingga laut jadi garam yang menyedapkan lidahmu
sawah-sawah yang rekah dipeluk matahari
jadi lumpur tempat menyemai harapan kembali
dia takkan mengabarkan kapan dia datang dan pergi
hidup adalah keringat yang menjadi sungai
: seharian aku memandangmu
bukan semata karena waktu
2006
Kekasih
Aku gelisah menantimu
mengapa engkau tak muncul di balik pintu
atau menyelinap dari jendela
menghapus jejak air di kaca
sehabis hujan semalam
tubuhku dingin dirayapi sepi
mengapa kau biarkan aku sendiri
tubuhku inginkan nyala
yang membakar jiwa membeku
pulanglah engkau kekasih
ke dalam rumah jiwaku yang kosong
pulanglah sebelum malam kedua tiba
pulanglah sebelum jalan sunyi kita masuki
menyapu kenangan yang pernah singgah
dan kau tak pernah tahu
aku selalu memaafkanmu
2009
Ujung Perjalanan
Kini usai perjalanan kita
setelah lama mengembara
dalam sepi dan diam
dalam rindu dan dendam
semua terkubur dalam kenangan
kau aku tak lebih sekadar bayangan
2008
Sajak Langit
(1)
Pada tapak aku kehilangan jejak
lukaku lukamu ke mana?
Mengapa tanya mengambang
di antara ranting dan rumputan
menyudutkan kita pada kenyataan
cinta bukan lagi kata bermawar
(2)
Pandanglah ke utara orang-orang sejenak terjaga
memandang Merapi menyala
dari bibir jembatan, dan kilau air memantulkan cahaya
mengingatkan betapa malam dan purnama
tak dapat ditiru
dan kita telah kembali menziarahi diri
mengenangkan segala yang berarti
(3)
Pada semburat langit tiada dapat kueja
selain nama dan sisa luka
maka di embun dan matahari mana lagi
bisa kutepati janji?
2006
Menuruti Nasehat Anes Prabu
Aku bukan samudra yang tak mendengarkan ikan, kerang,
karang, angin, dan perahu-perahu yang berlayar. Meski kau
hantu sekalipun, aku tetap mencintaimu.
Tapi tahulah aku asin, akan jadi garam, mungkin. Jangan
tenggelam kumohon. Kau boleh meregukku, meskipun tak
tuntas hausmu.
Kau boleh bawa tempurung-tempurung itu. Kau boleh
melempar segala yang tak kau rindu. Mungkin gelombang
akan pasang, dan bidukmu tergoncang. Tapi kau harus
tenang. Aku mencintaimu. Masih mencintaimu.
2012
Simulakra
Bagaimana aku harus meminta apa yang kau pinta, bahkan
aku tak dapat melepas apa yang kau lepas. Bagaimana dapat
kuberi yang tak kau ingin, bahkan rindu menjadi senyap.
Barangkali nasib kau serahkan. Sedang doa hanya ranting
yang patah, dan usaha adalah sia
2012
Kampung yang Tertinggal dalam Diri
Sejauh mana perjalanan dapat kau tempuh
demi mengecap rindu para perantau
barangkali kita memang tak hendak pulang
sebab kampung itu selalu kita bawa
tertinggal dalam diri
lalu apa yang ingin kau ucapkan tentang hari depan?
2012
Benarkah
Benarkah kau mutiara yang dilahirkan kerang-kerang
di cangkang yang dalam, tanpa gelombang
tanpa tangis tanpa senyum
benarkah kau janji yang tak pernah diucapkan
yang terpatri dalam butiran sumsum
putih tak tersentuh kata
benarkah kau yang jatuh di ujung daun
ketika matahari belum sempat merekah
ketika angin belum menyapa halaman pendapa
benarkah kau yang kukenal itu?
2013
Sebelum Kau Pahami
Sebelum kau pahami aku
pandanglah sepasang kupu yang berkejaran di halaman
usai gerimis bunga-bunga bermekaran
menebar cinta pada semesta
kau dan aku hadir dalam perjamuan itu
tak ada yang bisa kujanjikan saat hari senja
tiada kata dalam hari sepi yang kutempuhi
sanggupkah kau pahami aku yang luka ini?
2009
Tak Ada yang Kucari
Tak ada yang kucari di kedalaman hatimu selain cinta
sebab apa lagi yang dapat menawarkan rindu
selain pertemuan.
kaupun tahu pada cadas terjal aku mendaki
apa yang aku miliki selain rindu
menatap langit dan laut di matamu
saat terang menyapa kita di puncak pendakian
tak ada yang kucari di wajah angin tempatku berpijak
seluas taman yang kau tawarkan
semerbak kembang yang kau hadirkan
aku tak mampu berpaling meski seribu topeng kukenakan
aku tak mampu pergi walau seribu langkah kuayunkan
aku tak mampu terbang biar seribu sayap kukepakkan
daun dan embun juga telah bersaksi cintaku sebanyak
lukaku,
maka ijinkan aku sekali ini merengkuh di kedalamanmu
meski tahu
aku pasti tenggelam
2006
Mata Cahaya
Kutitipkan mataku di matamu untuk melihat dunia
dan meraba makna yang bukan sekadar warna,
bukan hanya kata yang tereja atau terlontar berdesing
di belantara sajak. Aku menitipkan padamu cahaya
yang mengisi retina yang datang dari perjalanan jauh.
Lalu hari-hari yang berlari kuabaikan dalam ruang semedi,
kugantungkan celurit keberanianku di dinding sepi.
Aku tidak ingin menjadi apapun lagi kecuali kesunyian itu
sendiri. Lihatlah aku dari jauh dengan mataku, pandanglah
sesukamu memandang hingga aku menghilang.
Kini ini bukan rindu, bukan siapa-siapa!
2010
Catatan Akhir
Tiada kepastian dapat terucap, di telapak takdir diri buih,
samudera pilihan lindap, jadi senyap. Ah, biarpun nasib coba
mengelak. Siapa angan, siapa ingin, siapa duka, siapa kau aku
yang memilih meronta. Sia tangis, sia luka, sia sepi, sia
tangan-tangan mengepal. Kemarin yang tak akan menjadi
hari ini atau esok, kemarin yang hanya kemarin, hari ini yang
hanya hari ini, esok yang barangkali. Tiada kepastian dapat
memilih, bayang-bayang semakin panjang, pagi dan petang
berakar pada remang, pada teka-teki, rahasia bersilang.
Dalam tarikan nafas tinggal harap, pada hembusan nafas
tinggal cemas.
Kata-kata dan kerja dilibas usia, stasiun yang tak berawal
akhir, dan tak ada yang pulang setelah pergi, dan selalu saja
tanya, benarkah ada dunia di seberang samudera. Tempat
segala letih berhenti, tempat segala tangis reda, tempat
setiap luka mengering. Semua kini hanya saksi atas
kedatangan dan kepergian. Sampai batas kelelahan. Pada
tanah yang merah, pada abu yang hanyut, pada kenangan
yang mengambang. Siapa kau aku sebelum sesudahnya. Di
mana kau aku pernah berada dan akan berada.
Tiada kepastian yang dapat terucap dalam genggaman waktu.
Perjalanan dimulai lagi!
2013
Tentang S. Arimba
Suharmono Arimba, lahir di Pagar Alam, Sumatera Selatan.
Dibesarkan dalam lingkungan keluarga perantau. Sejak 2001 tinggal dan
memutuskan Yogyakarta sebagai kampung halaman kedua. Tahun 2004 mendirikan
Lingkar Sastra Kreatif, 2009 mendirikan komunitas Gress bersama Anes Prabu dkk.
Pendidikan terakhir, Paskasarjana Ilmu Sastra di Universitas Gadjah Mada.
Pernah menjalani profesi sebagai wartawan, guru teater, editor jurnal
Bulaksumur dan Jurnal Poetika . Mendirikan dan menjabat sebagai Direktur
penerbit Gress Publising. Karya puisinya tersebar di berbagai media massa dan
antologi puisi bersama. Obituari Rindu (2013) adalah kumpulan puisi
tunggalnya yang pertama.
Catatan Lain
“Bila dilihat secara
kronologis, “kata Faruk, “dalam puisi yang kemudian ini tampak pergeseran dalam
tarik-menarik antara dunia pengalaman dengan dunia sistem. Kalau dalam
puisi-puisi awal tampak puisi lebih berat ke dunia pengalaman, dalam
puisi-puisi yang kemudian tekanan tampak lebih kuat ke dunia sistem, ke dalam
konteks, interteks, legenda, wacana yang perlahan-lahan sekaligus meninggalkan
lirisisme: cinta personal mulai berubah menjadi cinta kultural dengan jeratnya
sendiri-sendiri.”
Faruk
sendiri menguraikan bahwa dunia pengalaman adalah dunia yang ada di sini dan
kini, dunia momentum, tempat waktu berhenti. Karena itu, dunia tersebut
bertentangan dengan hukum waktu yang tidak bisa dihentikan. Dunia pengalaman
adalah juga dunia tindakan, proses seperti mengejar dan meraih yang
bertentangan dengan hukum mengenai bayang yang tak bisa dikejar dan hukum mimpi
yang jauh tinggi di sana. (lihat halaman xiii).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar