Data
buku kumpulan puisi
Judul : Tarian Burung-burung Laut
Penulis
: Andi Jamaluddin AR. AK.
Cetakan : I, 2015
Penerbit : Tahura Media, Banjarmasin
Tebal : xiv + 90 halaman (72 puisi)
ISBN : 978-602-8414-28-9
Penata letak, perancang sampul : Ibnu
Teguh W
Kata pengantar : Ali Syamsudin Arsi
Beberapa pilihan puisi Andi Jamaluddin AR. AK.dalam Tarian
Burung-burung Laut
OPERA LAUT
dan kepak angin yang
menerbangkan bulir pasir
menggiring gelombang dalam
arus laut
ketika gendang senja ditabuh
di cakrawala
nyanyian sunyi pun mengalir
ke sudut-sudut muara kecil
yang airnya pasang
laut teduh di dalam sini, di
dalam dada ini
mengayuh perahu jiwa dengan
layar secabik doa
ada matahari yang membias
sepanjang pesisir
krikil pun menusuk jejak
wahai, angin bagang
kemudiku goyah
gelombang terus bertalu pada
pendar malam
jaringku kaku
menggeras ikan-ikan bilis
menanti pagi, esok
untuk anak-anak
yang masih menetek di puting
waktu
dan kepak angin yang
menerbangkan bulir pasir
menggigil ketika gendang
senja
berganti getaran senar
kecapi
laut berembun, di dalam dada
ini
menggenggam nestapa
pantai semakin panjang
dan pulau-pulau semakin jauh
dengan daratan.
* Bagang :
alat penangkap ikan di laut
Ikan-ikan bilis :
jenis ikan kecil di laut
TARIAN BURUNG-BURUNG LAUT
burung-burung laut bertengger di sayap perahu
alir air berkecipak pada gamelan pasir
dan angin menabuh gendang senja
semilir dayung diayun dalam tarian nasib perjalanan ombak
burung-burung gegap merakit jaring asa
dalam tarian arus pantai
jauh buritan perahu mengenduskan nafas
sepanjang alur hati membentang layar
burung-burung laut tak henti keciakkan tarian
gerincing ombak bertalu dalam gendang angin
setiap hari
mengalirkan buih pada pesisir
meski untuk hari ini saja
burung-burung laut tak ada yang bisa menghentikan geraknya
siapapun jua
April 2012
ANAK-ANAK PUNAI RIMBA
Anak-anak punai rimba
sayap-sayapnya basah di rimbun semak tanpa daun
tanpa ranting
tak bisa terbang, apalagi ke hati
keciak-keciak sepanjang angin berlalu
hingga segala senja menjelma
tapi tak pulang jua bunda
mengantar sebutir nasi-nasi
Anak-anak punai rimba
berhari-hari hanya menatap hutan kehilangan pohon
semakin mereka tak bisa terbang
pandangnya lepas ke langit panas
ke mana lagi sarang tempat peraduan
bunda tak pulang-pulang jua
10-07-2014
RINDU INI HANYA MENGALIR DI ARUS SUNGAI KUSAN
entahlah, sampai kapan jukung ini
hanya bertambatkan di tihang dermaga waktu
karena memang aku tak punya
dayung apalagi mesin
sementara ketinting hilir mudik dari muara ke hulu
atau dari hulu ke muara
mengangkut para penumpang memecah alir sungai
menuju peraduan nasibnya
masing-masing
rodanya yang terus berputar
membelah arus
tak tahu lagi di mana pernah
pusar air menenggelamkan
batang-batang rumbia
entahlah, mereka hanyalah
perindu, barangkali
ketika matahari membuka
jendela angin
aku tak tahu ke mana akan
kuhanyutkan kerinduan
aku coba mendayung jukung ini dengan sehelai purun
meninggalkan dermaga
menyusur pesisir nipah dan rambai
berhari-hari
tak peduli hempasan riak
yang bakal menenggelamkan jiwaku
sewaktu-waktu
tapi tak jua rinduku bertemu
waktu
entahlah, rindu ini hanya
sebatang gadang, barangkali
sungai kusan yang meliuk
seakan membuat aku lelah
kedua kakiku lepuh meredam
rasa,
nyeri bagai seluang mabuk karena menghisap asap
knalpot mesin ketinting,
dan burung punai tak jua mau
terbang
walau telah kulabuhkan ancak cinta di sini, di tebing sini,
di dekat akar-akar bakau
yang silang menyilang belukar
ternyata hanya tinggal arus
yang dicakar-cakar kepiting
entahlah, rindu ini hanya
mengalir di sungai ini, barangkali
jukung tak sampai-sampai, menepi
muara seperti semakin jauh
di antara teluk sukma
pasir-pasir mengendap dan
terus mengendap
ah, jangan biarkan ragaku
jadi gusung, di sini
sebab aku tak kuat lagi
mendayung
apalagi ketika rasa mulai surut dan ombak terbahak
muara oh muara sungai yang
jauh
jukung ini kuhanyutkan saja, biarlah !
Biarlah, tak perlu hilir
mudik mengantar pusaran air
hulu sungai ini masih
bermakna
dan rinduku pasti bertemu di
antara telukmu.
Pagatan, 051011
* Jukung: perahu, sampan kecil
* Ketinting: kelotok, perahu kecil dengan
menggunakan mesin tempel
* Rumbia: pohon sagu
* Purun: jenis tumbuhan rumput gelagah yang banyak digunakan untuk bahan anyaman
* Nipah :
jenis tumbuhan rawa yang sering digunakan untuk atap dan sebagainya
* Gadang: batang pisang
* Seluang: jenis ikan tawar
* Ancak :
talam yang terbuat dari bambu atai nyiur
* Gusung:
tumpukan pasir atau lumpur di sekitar muara sungai atau laut
* Surut :
turun, susut, berkurang tentang permukaan air setelah pasang
BERI AKU JALAN SETAPAK
Beri aku jalan, biarpun
setapak
sebab sudah dua puluh
tahun lebih aku tinggal
di gubuk di tepi ngarai
hutan kejenuhan ini
sepanjang waktu jiwaku
hanya bergumul krikil senyap
tak ada alir sungai
yang menghanyutkan sebilah ranting
meski kering
sebagai petunjuk sebuah
jalan
aku ingin melangkahkan
kaki rapuh ini
mencari lereng-lereng
gunung
yang barangkali bisa
kutanami sebongkah puisi
Beri aku jalan, biarpun
setapak
sebab di sini, setiap
hari
aku hanya bisa menatap burung-burung plastik
beterbangan
dengan keriak
ketidakpastian
tak ada pepohonan nipah
untuk membuat sarang
sekedar menetaskan
sebutir telur kerinduan;
kerinduan yang tak
seorangpun memahami
apalagi memberi makna
Beri aku jalan, biarpun
setapak
jangan biarkan jiwaku
menjadi batu kutukan
Pagatan,
2011
IBUKU, PERAHUKU
ternyata telah
kau siapkan perahu
itu
untuk mengarungi laut
yang membentang
sepanjang hembusan gelombang
nafasmu,
ibuku, perahuku,
beribu riak menantang
dan menghempas
tiadalah badai dalam
layarmu menggundah
kelana, semata aku
bisa nanti
berdiri di haluan, menatap
panas menatap
dingin menatap hujan
menatap awan
menatap bulan menatap
segala yang
menerpa, ibuku, perahuku,
berkayuh dengan
titik keringat mengalir
angin bisu
yang berkesiap di
aliran
jiwaku, ibuku, perahuku,
tiada gentar tiada
galau meski perahu terbelah
berkeping-
keping, ibuku,
perahuku, di jejak kau
pijakkan beribu alamat pembuka
jendela
dan pintu,
sebab di situlah
rahasia
kedamaian dan kedalaman
surga.
Pagatan, 21 Desember 2013
JEJAK BUIH
gelombang itu,
berhari-hari menuliskan puisinya
di atas buih
melantunkan ritma angin
yang selalu bertiup
dalam nafasmu, berat
riak mengguncang
buritan hening
ketika rona laut
memerah
dan puisi-puisimu pun
hanyut
hanyalah haluan kapal
yang memberimu sehelai kertas
pada jejak malam
dan lentera bulan
menyabit waktu
gelombang itu, memang
tidak punya rasa
(karena kitalah pemilik
rasa)
hanyalah nyali yang
tergadai karang
sementara jejak buih
adalah alur nadi
kapal melaju bentang
asa
yang tersimpan di
alun-alun
sepanjang mimpimu masih
melangkah
Pagatan,
15-04-2013
PRAGMEN SEPI
entah kenapa burung-burung
mulai enggan
membuat sarang di
rimbun karamunting ini
seakan kering air
sungai dan laut
mengasinkan negeri
pandawa
masa silam yang semakin
karam
padahal telah
berkali-kali kita mainkan
semata peran yang tak
berkesudahan
di panggung sepi yang menikamkan
sebilah pisau rindu
sementara pesona senja
telah merilis bulan
menjadi sebingkai purnama
pada gamelan angin
adalah kerinduan kita
memang sejak lama
hanya saja sungai dan
laut
tak pernah mau
menyatukan airnya
kita hanya bisa duduk
bersila di serambi pantai
menatap burung-burung
terbang
mengepakkan
kesepiannya, sejenak
kita telah tulis
berlembar-lembar alur arus ombak
yang menggelinding di
jejak angin
tapi tak pernah
menghabiskan sepiring nasi putih
dengan seekor cumi-cumi
kering
hanya tirai membentang
cuma
pragmen menjadi pentas
sepi semata
mengapa
Pagatan,
01-07-2014
MEMBACA RIAK OMBAK
wahai angin, senja yang
berdiri di pucuk buih
mengeja riak
batu-batu pasir diam
merajut kerikil
tak pernah selesai,
manakala ombak
menuliskan bait-bait rindunya
pesisirpun melantun
sejenak
ketika riak menghentak
wahai angin,
kapal-kapal berlayar lagi
membelah riak
bercak-bercak buih yang
dilewati melukiskan kedalaman laut
tak satupun dapat
menghitung
berapa karang terlindas
hanya warna ombak
mengubah harapan
mencari sebait cinta
wahai angin,
burung-burung yang pulang
melintas di kepak layar
malam
tak pernah nyeri
sendi-sendinya
pun pepohonan yang jauh
kaku dan menggigil
menanti dingin
dalam keremangan
secarik mimpi
wahai angin, ketika
malam menyepi
membaca riak ombak
satu-satu
tak pernah
selesai-selesai juga
jengah laut menepi
kedalamannya
pada bias waktu
yang selalu berhembus
Banjarbaru,
04-06-14
PERAHU, KE MANA LAGI DERMAGA
Ke mana lagi haluan
perahu ini, kita
tuju, sungai-sungai
semakin berliuk
membagi arus
airnya keruh,
berputar-putar menghentak kemudi
dan angin galau bertiup
melimbubu layar. Berhari-hari
Demaga, di sana hanya
menjadi bayang-bayang
seperti tak akan
tersinggahi
cahaya lampunya
meremang dihempas ombak
perahu ini tak sanggup
merapat
Ke mana lagi
barangkali hanya hati
yang menjadi alur arah
angin
perahu bakal tiba
dituju
Pagatan,
7-6-2013
SAATNYA KITA MUDIK
Perjalanan ini ternyata
terlalu pendek
jalan-jalan menyempit
berkelok-kelok
jauh dalam tatap
sekejap
kaki-kaki telanjang
terus berpijak
tetapi tak berjejak
Kampung nun di sana
terhenyak semak
sawah dan ladang
seperti hanya sebuah jejak
dalam mendung tak
berhujan sesaat
Perjalanan ini teramat
singkat
bahkan lebih singkat
dari detik
terkadang nafas yang menyesak
keluar dari pasungan
jengah yang selalu menyentak
memburu angin
didesaunya purba
Memang mungkin saatnya
kita mudik
menjamah kampung yang
kian lama tersaruk-saruk
karena pasti kita
terkubur di sini kelak
Pagatan,
22-07-2014
KAPAL-KAPAL DAN NELAYAN
kuberangkatkan kapalku
menuju laut, biarpun
kemudinya gamang dikilir
ombak
angin mencintaiku dalam
kukuhnya layar
begitu keras
dan kapalku terus melaju,
tanpa gundah
seorang nelayan kulihat
lemparkan kailnya
tanpa batu pengaram, dan
seekor
ikan memberikan makna
hidupnya
menggelinjang dalam terik
kekerasan
minyakNya
kuturunkan sebuah pelampung
sambil duduk
menghitung waktu di antara
titik langit
sementara laut padam,
datangkan pelataran sepi
Sungguhkah ini sebuah
perjalanan keberanian
tanyaku ketika bulan mengendap wajah
lantas
Apakah kapal-kapalku, dan
kapal-kapalmu, dan kapal-
kapal mereka, dan
kapal-kapalNya
selalu sekutub
nelayan telah pulang
tapi kapalku masih merentang
laut dan ombak
begitu pula hati ini
kukubur dalam-dalam
di antara rindu yang
kurindukan
YANG DICARI
apa yang kutemukan dan
kulihat
adalah tumpukan batu
menjulang
menggapai langit
pohon-pohon kaku
terbungkus aliran darah panas
yang membuncah setiap
saat
kesibukan yang serba
sibuk
dalam kesibukan diri
mencari hari
menggapai awan
seperti roda yang tiada
henti berputar
dan rel waktu merenda
hasrat
inikah hidup yang
dicari
atau yang dicari hidup
dalam ruh
mengalirkan ambisi
Yogyakarta,
30 April 2014
PERAHU PLASTIK DI ATAS DANAU
Perahu plastik di atas
danau
mengambang galau
menanti hembus angin
layar yang tercabik
kemudi
hanya memandang
burung-burung yang terbang lewat
di atasnya
tanpa menoleh sekejap
Perahu plastik di atas
danau
airnya meriak tanpa
muara
perahu oleng mencari
menara
Perahu plastik di atas
danau
angin cuma diam tak
bergeming
danau mengering pada
tiap sudut
dan perahu cuma
berlayar mengikuti arus
Pagatan,
21 Agustus 2014
RAWA KEHILANGAN RAWA-RAWA
(sungai-sungai mulai
bungkam
ketika hasrat bergeming
menatap arus yang hanya
mengalir
lewat kaki-kaki zaman
seperti tak berair, di
dalamnya)
dan rawa memelas
terpaku sesaat
manakala ilung
merunduk, pasrah
dan ikan-ikan sepat
menguburkan dirinya
sendiri
tanpa pelayat
dan pepohonan rawa
meredup
kehilangan
kunang-kunang
yang terbang
ke peradaban rembulan
sebab rumah-rumah
memenjarakannya
Kayutangi,
28-09-2014
*
ilung = enceng gondok
DOA
Tuhan,
puasa telah mengalirkan
air terjun
dari pegunungan yang
menghijau. Sejuk dan dingin
menghanyutkan dahagaku
dari terik panas yang
membakar
tiadalah hausku kering
pada tandus dunia yang
senantiasa hiruk,
tanpaMu yang
menyiramkan belas kasih
di dalam ruh jiwa
tiada kepenatan
sekalipun aku menggayutkan puja dan salam
karena itu aku selalu
ingin kesejukan
meniti hari tuaku
Tuhan,
puasa telah
membentangkan berpetak-petak sawah
menguning padinya
sepanjang hari
meneduhkan setiap mata
memandang
tiada lapar
mengetuk-ngetuk rasa dan nafsu
pada keangkuhan semata
karena itu aku mau
laparku
memupukkan makna pada
setiap langkahku
menuju sebuah pematang
Tuhan,
puasa ternyata banyak
memberikan pelajaran
mengajarkan berbab-bab
segala;
tentang mulut
tentang mata
tentang telinga
tentang hidung
tentang tangan
tentang kaki
tentang hati
tentang nafsu
tentang tubuhku yang
makin renta
tentang diriMu yang
tiada tara keesaannya
karena itu izinkan aku
kembali
menikmatinya tahun
depan
Pagatan,
27 Juli 2014
GELOMBANG
gelombang itu mensayat-sayat
pasir
pantai yang telanjang
merenta
hari-hari membakar lukisan
pelangi
dan kapal-kapal nelayan
hanya bersimpuh di pelataran
teluk
muarapun membisu
siapakah di sini yang telah
memberi selembar layar angin
menukikkan derai-derai arus
pada lampu-lampu bagang
padahal kita tahu pantai
sudah lama selingkuh dengan malam
tapi gelombang tak pernah
tahu sejarah rindu
hanyalah pengabdiannya
terhadap laut
tak ada lagi
dan kapal-kapal nelayan
mencoba tak peduli
sebab beribu duka siput
hanya melunjur angan
di sana, di sepanjang
pesisir senja
di sana, di pelaminan jiwa
dengan keciak perihnya
Pagatan, 091011
* Bagang: sejenis alat
penangkap ikan di laut
DALAM PERJALANAN DARI
KANDANGAN MENUJU BATULICIN
memandang sekeliling dalam
perjalanan
dari Kandangan menuju
Batulicin
gunung-gunung sepanjang sisi
jalan cuma duduk tafakur
dalam selimut dingin akar
pepohonan
membisu merengkuh waktu
sesekali kulihat orang
kampung berjalan
menyusuri lereng dan semak
dengan pakaian lusuh
entah mau mencari apa
atau entah pulang dari
mencari apa
sepanjang jalan yang sempit
meliuk-liuk, turun naik
menggundahkan rasa
konon, gunung-gunung di sini
melumbung berton-ton emas dan intan
belum lagi batubara dan biji besi
dan hutan-hutan perawan yang belum terjamah
tetapi entahlah
lima atau sepuluh tahun esok
mungkin ada banyak lelaki perjaka tua
yang berani meminang
dan membawanya berumah di kota-kota
dan pasir coklat
serta batu-batu hitam
pasrah dalam erangan bolduser sepanjang hari
entahlah!
Tentang Andi Jamaluddin AR. AK.
Andi Jamaluddin AR. AK.
lahir 14 Februari. Mulai aktif menulis sejak awal 80-an, terutama puisi dan
cerpen. Kumpulan puisi tunggal maupun antologi bersama adalah Kehidupan, Domino, Matahariku, Pidato Seekor
Kakap, Zikzai, Wasi, Seribu Sungai Paris Barantai, Tarian Cahaya di Bumi
Sanggam, Konser Kecemasan, Tragedi Buah Manggis, Sungai Kenangan, Bentara
Bagang, Tadarus Rembulan, Bait-Bait 7 Februari (sebagai editor), Mappanretasi di Radio Dalam Lingkar Lilin
Kecil (kumpulan cerpen: editor), Memo
Untuk Presiden, Siluet Rumah Laut, Tentang Kota YangMenjaga Takbir Dalam Degup
Dada, Membuka Cakrawala Menyentuh
Fitrah Manusia, dan Jalan Mulai
Terang yang merupakan buku pemenang ke-2 Sayembara Penulisan Naskah Tingkat
Nasional tahun 2000 dan telah diterbitkan oleh Analisa Jogjakarta. Menerima
hadiah seni dari Gubernur Kalsel Tahun 2012. Sekarang tinggal di Jalan Karya II
RT.03 Desa Batuah Kecamatan Kusan Hilir, Pagatan, Kabupaten Tanah Bumbu,
Kalsel.
Catatan Lain
Saya kira, saya tak akan
menulis banyak catatan. Buku ini merupakan persembahan khusus untuk sang
isteri, Fajriah, S.Pd, dan Ananda Andi Muhammad Ramadhani. Ali Syamsudin Arsi
dalam pengantarnya menyebut bahwa puisi Andi Jamaluddin berada dalam
tarik-menarik antara keraguan dan kepastian. Atau semacam itu. Ia pun menjuluki
si penyair sebagai Si Burung Laut (lihat hal vii). Dan seperti biasa,
ulasannya ditutup dengan salam gumam asa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar