Data
buku kumpulan puisi
Judul : Kampung Halaman
Penulis
: Imam Budiman
Cetakan : I, 2016
Penerbit : Tahura Media, Banjarmasin
Tebal : xii + 132 halaman (100 puisi)
ISBN : 978-602-8414-34-3
Desain cover : Ayatullah Jazmi
Ilustrasi : Ariesta Anindita & Nour
Hartani
Kampung Halaman terdiri dari 2 bagian,
yaitu Catatan Surat Kabar 2014 (51 puisi) dan Catatan Surat Kabar
2015 (49 puisi)
Beberapa pilihan puisi Imam Budiman dalam Kampung Halaman
Kampung Halaman
sesaat
kala sampan belum sampai kita labuh ke handil
kita
artikan setiap deru anak-anak angin perkampungan ini
mengartikan
sekian perjalanan dari jalan-jalan coklat setapak
pucuk
pandang, gunung meratus menghamba-ngemis langit
itik-itik
berbaris ke kandang, melepas waktu yang kurang
tetapi
si jinak nampak tak sependapat pada bayangnya sendiri
ada
yang sedemikian rupa di dalam kolam; wajah ibu
2015
Meninggal Dunia
jikalau
nantinya aku benar-benar ditetapkan oleh sangmaha untuk
rebah menyatu
dengan tanah yang membasah, kain kafan, serbuk cendana
dan juga nisan
batu serta sepasang kamboja yang ditanamkan di atasnya,
maka
perkenankanlah bait-bait puisiku tumbuh berkembang dalam hatimu
tidak lama,
hanya untuk beberapa waktu saja
atau
setidaknya, beri sedikit ruang agar sedianya
merawatkan
hingga puisi-puisi itu beranjak separuh dewasa
lalu
lepaskanlah, biarkan ia mencari hakikatnya sendiri tanpa ditunjuki arah
mata angin
sekalipun. Ya, walau tubuh ini sudah
tak bergerak
pasrah dilayapi gelap
paru-paru yang
hilang fungsi dan jantung yang enggan lagi memompa
tidak mengapa,
tidak perlu khawatir.
sebab ada
beberapa larik puisiku yang terus mengepakkan sesayapnya
untuk mendoakan
setiap pagi, saat sekawanan puisi itu bersua dengan
udara bumi yang
berhembus dari timur
maka, di situlah
aku kembali ada
2014
Dari Tiang Gantung Adipati Mangku Negara
-kepada Konservator Rijksmuseum van Volkenkunde Belanda
kakek moyang kita telah dipancung
darahnya mengering menjadi sejarah
sedang kita terlahir pengecut dan penakut
tak pernah mengenal, tak pernah berujar
bagaimana keberanian memadatkan tembaga
;kita hari ini, cucu-cucu penganut agama hedonis
dari sudut
cekung matanya yang paling dasar serta menyayu
kudapati sebuah
perkampungan yang ia jaga sebagai lalawangan
selain arus
sunyi sungai Martapura berperahu arkais dan kelam
kau pulang
menetas juang, menuntut hak hidup kanak lalang
di hari sebelum
seutas tali lekat mengakar di urat lehermu
oleh
serdadu-serdadu yang tak habis-habisnya berkelakar
“Dangar-dangar barataan! banua Banjar lamun kada lakas
dipalas lawan banyu mata darah, marikit dipingkuti Walanda!”*
kau lantang
menatap tatkala sketsa tentang dirimu di frame itu
usai
dirampung-lukiskan oleh perupa berkelingking putus
perbekalan
keris singkir serta kalibelah muasal tanah sumba
tetapi
perlawanan kepal pribumi mesti tetap mengental pekat
penyeru lantang
sabda-sabda keberanian lesap daging-tulang
demang lehman
yang tubuhnya tenggelam di lampau waktu
kalau kini kami
khianat menyembah pada akar pandulangan
kepalamukah
yang seharusnya rela mesti tergadai?
kalau hanya
sekadar setetes peluh di sawah orang tua kami
serupa pulakah
setetes darah yang jatuh di medan laga?
kembalikan
telunjuk rupa pada asalnya
kembalikan
seonggok jantung pada rusuknya
kembalikan
sebongkah kepala pada tubuhnya!
Banjarmasin, 2015
*Diucapkan Demang Lehman menjelang eksekusi di tiang gantungan, tanah
lapang Martapura 27 Februari 1864.
Akar Hujan
ini bukan tentang siapa yang lebih dulu di antara
kita yang menyeduh segelas teh di hari yang masih sepagi ini
kita yang menyeduh segelas teh di hari yang masih sepagi ini
katamu, ini terlalu manis, semacam resonansi tatkala hujan;
mengingatkan pada kita apa yang telah lalu dan tak dapat lagi mundur kembali
katamu juga, jangan pula tanpa butiran gula. manis harus bersebab.
mengingatkan pada kita apa yang telah lalu dan tak dapat lagi mundur kembali
katamu juga, jangan pula tanpa butiran gula. manis harus bersebab.
karena ini tak sama dengan perjumpaan larik puisi dan akar hujan
tak sama pula dengan sembilu luka dan aroma murka
2014
tak sama pula dengan sembilu luka dan aroma murka
2014
Dari Sebatang Bambu
bisa saja kita
beragama dari sebatang bambu
desir-desiri
gemerisiknya
seloroh
daun-daunnya
akar-akar
kesumatnya
yang berdiri
sepi di dekat hilir sungai kecil
agar kita
mengenal bahwa kesendirian
merupakan salah
satu cara berdekat
sedekat aku dan
Aku;
Kau
2015
Sajak Bunga-Bunga Kantil
Distikon//
di kebun kecil milik ibu
kembang kantil merajuk; berhenti menyusu
di kebun kecil milik ibu
kembang kantil merajuk; berhenti menyusu
Tarzina//
di pelatar, ada kami yang bermain layar
ujung kertak berhulu di sujud tanah banjar
nama ibu di pusara bercuaca michelia alba
Quatrain//
cempaka putih harum jambu
sedari kecil disayang dan digugu ibu
adalah musim dan sejagat raya di tapak kuda
cinta kita, benar adanya ‘lah tersilap kata
di pelatar, ada kami yang bermain layar
ujung kertak berhulu di sujud tanah banjar
nama ibu di pusara bercuaca michelia alba
Quatrain//
cempaka putih harum jambu
sedari kecil disayang dan digugu ibu
adalah musim dan sejagat raya di tapak kuda
cinta kita, benar adanya ‘lah tersilap kata
Quint//
tiada celaka perjumpaan daun angin
gerai rambutmu ialah sabda tuan pertapa
oh kantil, cintamu di kering batang galam
di pinta gerimis, duka dalam nyanyi shreya
cinta suara beraroma cendana bukit pekabar
tiada celaka perjumpaan daun angin
gerai rambutmu ialah sabda tuan pertapa
oh kantil, cintamu di kering batang galam
di pinta gerimis, duka dalam nyanyi shreya
cinta suara beraroma cendana bukit pekabar
2015
Kampung Loa
/I/
loa, siapa bermuka-tancap
nama dusun?
berputik dan
membunga pada kuncup kenanga
bukit
suku-suku, sulam perak songket kuala sutera
/II/
loa bakung
selembar daun perigi mahakam, loa
lahir, kecil
belajar mengaji dan menghafal aksara
loa janan
berupa bukit sawit berkelok jurang, loa
dung-dung-tang,
tratak-dung, padang bulan!
/III/
loa gagak
bersarang di lamunan penduduk, loa
lengang di
telapak bunga hutan dan teluh karma
loa buah kebun
kami waktu kecil memetik alif, loa
manggis
dipanggul bahu rentang jalan kalamur
/IV/
loa duri
pengantar lipan-mulawarman, loa
jembatan
runtuh, sudi jilat kaki aspal tenggarong
loa kerbau
membajak aksara di lahan batu hitam, loa
dusun dan rumah
panggung kita ini dikebiri siapa?
2015
Bohemian
seekor burung
pulang ke timur
tak kenal arah
tak kenal lelah
kafilah hantu
diusir ke sumur
upaya yang
tiada tampakan hasil
pujangga
berahang lumpuh
perangai senja
sanding bersimpuh
aku lelaki tak
beralas
haribanya; aku
ingin bebas
sampah santap
malam anjing
biduan serak
suara; mengunyah dosa
di panggung
fajar dan laki-laki nakal
aku kembara
tanpa disematkan nama
hidup, sebatas
aku dan aturan-Nya
2014
Seekor Kerbau
seorang anak menaiki seekor kerbau di padang rumput
di tangannya bambu toreh seruling kuning
ia menatap kosong; entah kemana memicingkan arah
seorang anak menaiki seekor kerbau di padang rumput
di tangannya bambu toreh seruling kuning
ia menatap kosong; entah kemana memicingkan arah
“alangkah dunia dipenuhi
oleh keheranan-keheranan suri”
ujarnya berseloroh, kata-kata itu
berjatuhan ke tanah
lalu kerbau itu mengunyah suara anak itu hingga remah
2014
lalu kerbau itu mengunyah suara anak itu hingga remah
2014
Kakanakan Banjar
;mengenang permainan masa
kecil
Ayun apan, I
ditegak-dirikan
tiang-tiang pondasi oleh tetuha
di usia yang
tak seumur rahasia kami dibesarkan
kurus menjulang
kekayu ulin di bubungan lantai
hasil bertarung
pada letih dan harimau jadi-jadian
sekeping papan
api tanah tahura lahirnya muasal
tanah kami bak
sepetak kebun kecil parahiyangan
kami beri tali
di kedua sisi, mengayun seisi udara
//ayun apan, pang ayun apan
hanyut saludang bawa badiri
ayunakan, dang ayunakan
babuku nyanyi awak nang bujang
bawa banyanyi bariang-riang..//
Cungkarampit, II
dalam tubuh
sungai yang sunyi,
di lembah hutan
yang kedap kami bersembunyi
mencari celah
terkecil di sela suara buak beringin
mengantar diri;
menyeterui puisi yang dibacakan
menghitung
jumlah tawa yang dikerah-beri kecapi
gilirannya
bertugas mencari,
giliran kita tak
tahu ke mana mesti rela berbagi
Ampar-ampar pisang, III
bukan rentang
tangan yang harus menengadah
akan tetapi
kaki kita yang semakna meminta
pada pemilik
nama, suara, bumi, ; dunia!
seorang anak
menghitung dengan ketukan birama
di baris akhir
nyanyi yang henti,
lipat kakimu
selipat kakiku di kaki-kaki cuaca
pisangku balum masak,
masak sabigi dihurung bari-bari
Lenggang-lenggok, IV
kami telah
dibesarkan dari keteraturan rahim arus
tak
diperdengarkan gelisah pusara mesin perahu
akar-akar nipah
menjadi dayung berpulang hilir
mengayuh arah
berlawan di sore yang paling sayu
melenggang
pelan perahu olahan kami ke tengah
kuat benturan
diterpa hingga purna di dasar karam
berceritalah
pada kelembutan hakikat air, karena
dijadikannya
masa kecil terulas dalam urat bakau
Bahahagaan, V
menghadang laju
si utuh yang piawai berlompat
garis demi
waktu, waktu demi garis dihantarkan
atau ia memang
tak diajarkan rasa lelah bermain?
seorang kawan
lain mengeluhkan, sebab karena
ia yang tak
usai-usainya berjaga di gegurat-garis
sepulang itu
membumbung sebuah tanya besar:
mengapa ia
tidak menghadang seekor babi,
yang senantiasa
meronta-ronta minta
dimakani di
dalam diri?
Baajakan, VI
tenggelam dalam
semak, menyatu lumbung rumput
tiada yang
pernah tahu bahwa denyut napas tercegah
haram menginjak
ranting, menimbulkan bekas bunyi
karena
persembunyian kita,
adalah alam di
mana kita ditidurkan oleh gelang dayak
dalam igauan
kita masih saja kerap mencari-cari
berlomba siapa
lebih dulu menanam pangkal tumit
menemukan permulaan
titik bercerai-pisah sajak ini
beradu
ketangkasan berlari selihai kancil lembah
ahli mengendap
di balik kata yang belum rampung
tetapi kita
selalu dapat melepas tawa yang lesat,
meskipun anak
kampung sebelah mengadukan
perihal
kekalahannya yang kerapkali berulang
pada sesepuh
yang terkenal pantai meneluh
kemudian kita
menonggak tanda lelah,
cung palangan, lamun tagatuk buruk tangan
2015
Puisi Untuk Sapardi Djoko Damono
; Genap usia ke-75 perayaan si pemilik Hujan Bulan Juni
usiamu kini di
pucuk puisi, telah menggantung di ranting senja
mari kita
rayakan sejenak, di batas napas kian ternak
di sisa sajak
dan puisi yang tak lagi memiliki jarak
mari kita,
aku-kau-dia bermain dan bertengkar pada bahasa
untuk bersimbah
kalimat, bait dan larik memintal sulam-sulam sapa
“Menyatulah pada tongkat puisi-puisi”
di hari
kelahiran Soekram, aku ikut serta datang dankau terlihat
bahagia
tetapi ia
merasa jenuh dan justru melompat dari karangan cerita
kaukabarkan
pada rumah kediaman kami, bahwa tak lama lagi
hujan yang
kerap kauceritakan tak sekadar menjadi jelmaan puisi
melainkan akan
berbentuk kembang-berbunga prosa
“Saya berjanji
pada diri sendiri,
untuk
menyelesaikan setiba bulan Juni nanti
persiapan tisu
sehabis-habisnya,” katamu sembari bersiul.
“Maka, menarilah bersama puisi-puisi”
20 Maret 2015
Isyarat Setiap Bahasa
ada banyak sekali yang harus kusampaikan
tentang pohon akasia yang urung berbunga
kemudian tercerabut, seakar-pangkalnya
padamu, bulan yang hampir tersandung kemayu
ada banyak sekali yang harus segera kusampaikan
tentang bunga dandelion yang pernah direkahkan
tanpa mengenali, bagaimana bentuk rona sukmanya
padamu, bulan yang mengandung anak-cucu kata
ada begitu banyak sekali yang ingin kusampaikan
tentang serampai bunga tanjung yang tumbuh
di ulu hatimu. serentak cermin, gumam luruh
padamu, bulan yang kehilangan bulir-bulir air mata
sungguh banyak sekali yang harus kusampaikan
tentang diam yang memiliki banyak arti dan makna
juga bahasa yang tak pernah terisyaratkan kalimat
betapa padamu, bulan. kuperdapati alur warna hidup
kutuntaskan rasa lelah memperhatikanmu, sebab
sungguh banyak sekali yang harus kusampaikan,
kita masih betah untuk mempertahankan saling diam
2014
Doa Pengarang
Tuhan, aku
datang, aku bersimpuh di pangku segala kuasa
dengan lampion
nabi-nabi, sekeranjang doa malaikat
sekian dosa
kupatri dalam hidup, bernyala-nyala
kuharap, sujud
ini adalah sujud penghambaan
dalam rendah
dan segala hina hakikat diri
Tuhan, jika
simpuh ini tak lagi kauterima
jika tangis ini
sebatas menjadi lagu di perapian
jika harap ini
sudah mengeras dan begitu pahit
kemana lagi
hamba mengadu?
maka terimalah
taubatku, Ya Allah
kau pengampun
segala kelengahan dan khilaf
kau pemilik
dari segala kepemilikan apapun jua
2015
Putri Hutan Gerimis
jangan dulu
kaupejamkan bunga taman edelweeis;
ungu-ungu
sewarna bunga abadi tebing pegunungan
karena aku
ingin sekali tinggal bersamamu di hutan gerimis
hutan yang
menyenandungkan sajak-sajak cinta
jauh di mana
perbatasan nama ibunda yang tabah menyusui
juga ayah yang
bercucur keringatnya mengalir keriput tua
sebab begini,
biar kujelaskan padamu: -semoga-
bulir napasmu
adalah sekuntum napas anak-anakku kelak
ya, anak-anak
kita! cucu ayah bunda yang dipinta
hujan telah
mengenal baik pula siapa perangaimu
dan aku tak
punya alasan untuk terlambat meminang
agar kita
rayakan pernikahan ini digubuk bahasamu
maka ragu,
bolehkah kuutarakan saja?
yang membalas
setiap rintik, putri hutan gerimis
2014
Sedaun
Kata Tak Berlengan
sebegini
rumitkah merumuskan sepatah kata padamu
bunga tanah, gemericik mata air yang tak sudah-sudah
bunga tanah, gemericik mata air yang tak sudah-sudah
tunas
baru dari selor bergoyang-goyang, menyapu semai
kemudian kita mengartikan dengan sesuatu yang paling musykil
sesuatu yang tak mampu dipaham-rahasiakan
kemudian kita mengartikan dengan sesuatu yang paling musykil
sesuatu yang tak mampu dipaham-rahasiakan
sebegini
sulitkah menempatkan sedaun kata padamu
memang suatu hari nanti, apa kau masih berani menyapa?
sebab cermin retak tak sanggup direkat janur pelaminan
lantas, hati perempuan mana yang mau didua-tirikan?
memang suatu hari nanti, apa kau masih berani menyapa?
sebab cermin retak tak sanggup direkat janur pelaminan
lantas, hati perempuan mana yang mau didua-tirikan?
---------
katakan padaku,
lebih dekat. coba katakan sekali lagi.
tentang sedaun
kata yang dulunya kau nyanyikan tempo hari
aku lupa
mengingatnya, tapi katamu itu sungguh syahdu sekali
tentang berapa
banyak akar kata yang sukar ditafsir-terangkan
tentang sulung
kata yang tak lagi memiliki keterikatan arti-arti
beberapa kata
justru tersangkut di tengah-tengah kerongkongan
tak mampu,
pijakan kalimat-kalimatku terlalu rapuh untuk disandari
deras urat-urat
tersayat, mengucur, bermuasal dari sembilu rindu
baik, katakan
padaku, sekali lagi
aku ingin
sekali menyanyikannya
2014
Di Linggau Hati
suatu hari aku pernah bercerita padamu tentang ulat naga,
suatu hari aku pernah bercerita padamu tentang ulat naga,
kampung bernuansa biru, rusa tanduk perak,
beruang hutan berkaki peri, sungai kopi,
hujan melati, duka berserak tanah,
kelopak nadi, jejak-jejak cuaca,
danau tak berpenghuni
musim gugur yang semerbak harum di
linggau hatimu
di linggau hatimu?
suatu hari aku pernah meminta
suatu hari aku pernah meminta
agar setibanya hari persalinan anak pertama
kita
–jika memang benar adanya aku dan kau
berjodoh –
disambut oleh daun-daun loktara yang
dahulunya
kupergunakan sebagai mahkota di hari
membuncahnya
bahasa isi dada untuk meminangmu
untuk meminangmu?
suatu hari, kita akan bersetuju untuk merajut hidup senapas bersama
kau lebih tahu, bagaimana bisa membuat setiap jawaban tertunda
2014
suatu hari, kita akan bersetuju untuk merajut hidup senapas bersama
kau lebih tahu, bagaimana bisa membuat setiap jawaban tertunda
2014
Bunga-bunga Kalampaian
aroma durian
menyeruak dari ladang cendawan hutan
anak-anak
kampung saling kejar dan enggan merasa kalah
mereka mulai
tak paham betapa mulia sebuah permainan
kaki menapak
bukit demi bukit di setiap kelok arah mandiangin
kita baca lagi
ayat-ayat daun ketela; mereka tetap saja berlarian
mereka mulai
tak paham bagaimana waktu maghrib begitu sakral
adalah
bunga-bunga sepanjang kalampaian yang masih mengerti
bagaimana
seharusnya mengeja sisa jejak-jejak sunyi
di sepadang
rumpun haluan berdetak kenari
Jakarta, 2015
Honorarium Menulis
baru kemarin, honorarium menulis masuk ke rekening
sudah sejak lama aku ingin, jika hari ini aku berniat
berpoya dengan uang yang tak seberapa itu; beli buku
baru kemarin, honorarium menulis masuk ke rekening
sudah sejak lama aku ingin, jika hari ini aku berniat
berpoya dengan uang yang tak seberapa itu; beli buku
---
kuselusuri setumpuk loak di toko jalan Tarumanegara
menelaah usang sekian nama dan judul yang kian purba
seperti mengingat masa muda penyair yang telah mati
yang berserak kini tertinggal lamunan buku-buku tua
menelaah usang sekian nama dan judul yang kian purba
seperti mengingat masa muda penyair yang telah mati
yang berserak kini tertinggal lamunan buku-buku tua
---
kubaca di tempat, akan tetapi si bapak penjaga itu
sudah terlanjur seringkali memarahi;
mengutukiku dengan sindiran sebab aku beku berlama-lama
sudah terlanjur seringkali memarahi;
mengutukiku dengan sindiran sebab aku beku berlama-lama
---
di pojok, tatapku terhenti pada suatu yang kukenali
aku tertarik pada patung yesus kecil melebar tangan
ingin kumasukan pula keranjang, tapi aku khawatir
pulang ke rumah, oleh bapak, aku malah dituding kafir
aku tertarik pada patung yesus kecil melebar tangan
ingin kumasukan pula keranjang, tapi aku khawatir
pulang ke rumah, oleh bapak, aku malah dituding kafir
2015
Fasal Kopi
Kopi, 1
semua orang tahu, secangkir kopi tidaklah pandai bicara
terlebih hingga duduk bersama memilin-sulam cerita
sebalik aroma, ia menjadi tokoh yang tak hitung pusara
pagi ini kuseduh lagi
dan namamu memanggil-manggil di dalamnya
Kopi, 2
Kopi, 1
semua orang tahu, secangkir kopi tidaklah pandai bicara
terlebih hingga duduk bersama memilin-sulam cerita
sebalik aroma, ia menjadi tokoh yang tak hitung pusara
pagi ini kuseduh lagi
dan namamu memanggil-manggil di dalamnya
Kopi, 2
hubungan apa yang terjadi antara kau dan warna kopi?
tengah resah sejumlah kata dan titik keinginan debu kota
tentang hidup yang senantiasa diperbincangkan; ladang-warung
kaukah yang mencemari udara dengan derai suasana?
Kopi, 3
tak seperti cuaca di dalam kopi kita
yang hilang di balik rerimbun toska
seperti hujan yang berdebar antara mereka
potongan kuku jarimu tersisa di dedak paling usia
2015
tengah resah sejumlah kata dan titik keinginan debu kota
tentang hidup yang senantiasa diperbincangkan; ladang-warung
kaukah yang mencemari udara dengan derai suasana?
Kopi, 3
tak seperti cuaca di dalam kopi kita
yang hilang di balik rerimbun toska
seperti hujan yang berdebar antara mereka
potongan kuku jarimu tersisa di dedak paling usia
2015
Sup Bulan, Hujan Kampung
dan Etalase
; hasil pergumulan
aliran impresionis-surealisme
Bulan bersih cerlang, selirik lagu diselimuti cahaya
kunang-kunang
Sama eloknya, seiring pendarnya, sejuta warna
Dan dalam pikiran, kau tak usai-usainya menjadi sandaran
Aku jadi ingat sesuatu. Bulan itu, yang tengah tepat di
jengkal ubun-ubun
kita, belum seutuhnya menjadi purnama. Bentuknya tak ayal
serupa
mangkuk yang biasa dijadikan wadah kuah sup oleh ibu ketika
musim-
musim hujan bertandang ke kampung kita. Hujan yang kerap
kali turun
mendadak. Dulu, semasa kita kecil. “Untuk sekadar menjadi pengantar
tidur siang selepas kita, anak-anaknya
sudah merasa kenyang,”
ujarnya
kepada salah seorang tetangga yang merebus batu untuk
mendiamkan
rengek anak-anaknya. Ia seorang tetangga yang datang dari
hikayat zaman
dahulu silam. Ia terlihat akrab berdialog bersama ibu,
saling bertukar
sengguk luka. Kami kerap mendengarkan percakapan mereka
diam-diam. Mengeluhkan, betapa hutan sudah bukan menjadi tempat berladang serta
memeranakkan air mata.
Kita, melampirkan cerita di masa lalu
dalam surat-surat kecil.
Sup yang haru. Di dalamnya hampir semua bahan terbuat dari
peluh-
tangis ibu. Ya, hampir semua. Rasa khas dan unik. Kini, kita
sekarang
sudah besar dan berusaha mengais kembali sisa-sisa kenangan
dari ‘sup
bulan’ buatan ibu itu. Entah apakah masih sama sedap
rasanya. Kita saling
bertanya. Aku tak tahu, yang jelas, aku suka sekali melihat
manakala ibu
sedang memasaknya. Aromanya ke mana-mana. Sedangkan di
pelataran
gubuk tempat kami tinggal, aku bersama seekor kucing yang
ditinggal mati
ketiga anaknya akibat dimangsa anjing kuduk, serta-merta
lebih memilih
untuk ‘membaca’ hujan dengan cara anak-anak menebak angka
yang baru
dihafalnya. Mengingat-ingat, begitu kesulitan dalam memaknai
setiap
rintik yang jatuh dan mendarat dengan cepat ke bebatuan
sebesar kepalan
tangan (atau yang dapat kita pahami hanya sekadar bebatuan
kerikil
berurat akar tanah?)
Konon, untuk sekadar membuat sup itu bukan perkara yang
mudah.
Kita tahu itu. Tak sama seperti menjerang air yang tanpa
bumbu
apapun. Tidak sembarang diracik. Bahan-bahannya berasal dari
ranting
senja, daun cahaya, kemiri basah, sejumput warna, sidaguri
layu dan
akar bunga dalam perjalan serat centini. Semua
dipadu-padankan
menjadi satu di dalam sebuah panci kecil yang –mungkin— sama
seumur
kita kala itu yang sedang ramai-ramainya mencari bambu hutan
tuk
dijadikan lelayang.
Dan malam ini, bulan itu masih terlihat bersih cerlang.
Seperti
semangkuk sup. Tak ubahnya malam kemarin. Persis. Tiada
dihalangi
segerombolan awan tenggara. Tiada pula disertai mata bayi
bintang
tsurayya. Dan kita, mewarta sekian puisi untuk
diperanakkan dalam
kandungan pekat hutan-hutan malam.
Kita, melampirkan cerita di masa lalu
dalam surat-surat kecil.
Namun bulan itu tak menjadikan dirinya sendiri diterkam
sunyi. Ia
selalu mempunyai cara. Cukup cerdik ia rupanya. Tubuhnya
seketika
menjelma berupa taman tempat anak-anak kurcaci negeri
dongeng
dengan bebas leluasa bermain kembang api. Perciknya ke sana-
kemari. Di telapak tangannya terdapat rahang bunga yang
tengah
mekar-mekarnya tumbuh. Meneduhi dari terik hawa. Ada salah
satu
kelopak yang tak biasa jatuh. Kemudian kita hanya
memandanginya.
Kita pun lantas mulai memperbincangkannya, bahkan untuk
hal-hal
yang paling tidak penting soal kelopak dan soal bulan itu,
kita saling
berseteru, saling bersikeras, meyakini bahwa bulan tersebut
sudah tak
lagi bernyawa. Ia hanya seonggok bola bernyala yang dilempar
oleh
malaikat untuk sekadar di pertontonkan pada etalase langit.
Kita tak perlu paham. Semua hanya dongeng pengantar malam.
Kita tak perlu mengingat. Sebab ibu, sudah rebah menyatu
pada pekat.
Darus-Sunnah, 2015
Tentang Imam Budiman
Imam Budiman lahir pada 23 Desember 1994, di Loa Bakung, Samarinda,
Kalimantan Timur. Ia menamatkan pendidikan Aliyah-nya di Pondok Pesantren
Al-Falah Putera, Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Kini berstatus sebagai
Mahasiswa Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Di waktu
yang sama, ia tercatat pula sebagai Mahasantri Darus-Sunnah International
Institute for Hadith Sciences, Ciputat, di bawah bimbingan Prof. Dr. KH. Ali
Mustafa Yaqub, MA. Beberapa cerpennya terhimpun dalam kumpulan cerpen bersama,
diantaranya: Iblis Tidur (Minggu Raya Press, 2013) dan Sang Penulis
(LPM Mercusuar, UNAIR Surabaya, 2015). Puisi-puisinya terhimpun dalam antologi
puisi bersama antara lain; Teriakan Bisu (Tahura Media, 2011), Ada
Malam Bertabur Bintang (Dewan Kesenian Kota Banjarbaru, 2015), Tifa
Nusantara II (Dewan Kesenian Tangerang, 2015), Pilunya Negeriku
(Oase Pustaka, 2015), Kalimantan Selatan Menolak untuk Menyerah
(Disbudparpora Kabupaten Banjar, 2015), Kalimantan Rinduku yang Abadi
(Dewan Kesenian Kota Banjarbaru, 2015), Pelabuhan Merah (Sagang
Intermedia Riau Pos, 2015). Sepilihan Sajak Kampung Halaman (2016)
adalah kumpulan puisi tunggalnya yang kedua setelah Perjalanan Seribu Warna
(2014). Beberapa cerpen dan puisi-puisi termuat di berbagai media cetak
Nasional dan daerah.
Catatan Lain
Di sampul belakang buku ada
puisi ‘Kampung Halaman’ dan komentar-komentar teman, yaitu dari Ali Syamsudin
Arsi (Banjarbaru), Daruz Armedian (Yogyakarta), dan Cikie Wahab (Pekanbaru,
Riau). Di sampul depan ada komentar Dimas Arika Mihardja. Komentar-komentar
tersebut muncul lagi di halaman iii. Halaman v ada ucapan terima kasih dari
penyair, bertanda Ciputat, 4 Februari 2016. Halaman persembahan berbunyi:
“Untuk adik perempuanku,/Salmiyatun Nufus”. Halaman 129-130 ada ‘Riwayat
Publikasi’ puisi-puisi. Ada 14 ilustrasi di dalam buku (yang masing-masing
menempati 1 halaman penuh) dan tak ada
foto penyair.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar