Data
buku kumpulan puisi
Judul : Zikir Rindu
Penulis
: Ersis Warmansyah Abbas
Cetakan : I, Januari 2011
Penerbit : Wahana Jaya Abadi, Bandung
Tebal : xiv + 154 halaman (133 puisi)
ISBN : 978-602-97240-3-5
Setting/layout dan desain sampul : Ersis Warmansyah Abbas
Zikir Rindu terdiri dari 6 bagian,
yaitu Dalam Rindu Mahakasih (27 puisi), Rindu Kekasih (31 puisi),
Oh Cinta, Kumerindu Kekasih (25 puisi), Malam Kerinduan (18
puisi), Rindu Negeri Ini (19 puisi), Memahat Rindu di Paris Van Java
(13 puisi).
Beberapa pilihan puisi Ersis Warmansyah Abbas dalam Zikir Rindu
Malam Kesendirian
Kesendirian bukanlah penjara
sebab, ia juadah kalam merdeka
balada panjang kasihNya
dialog sujud tanpa penghalang
Kesendirian adalah gapura
batas-batas tidak berpenghambat
telaga pembasuh jiwa
nyanyian pesta penghambaan
di malam-malam panjang
Kesendirian adalah pencarian,
dalamNya
Kata Katakan Rindu
Rinduku bukan kata-kata
kata-kataku adalah rindu
menjangkau jantung hatimu,
Kasih
Kata-kataku bukan rindu
rinduku bukan kata-kata
rinduku adalah aku
aku yang merindukanmu
Kata, Katakan rindu
Rinduku
Selazar Rindu
Angin … cubitkan awan untukku
bawakan inginku mengharungi angan
menyeruak lembah mendaki puncak-puncak
dan katakan padanya:
“Jarak adalah mutiara”
Oh … angin nan lalu
sampaikan canda dalam diam
sejukkan di ubun-ubun
bahwa kasih tak berkesudahan
di jarak yang menyatukan
Wahai angin …
labuhkan ingin anganku
di selazar rindu
Awan Cinta
Awan itu berarak menebar senyum, kasih
menumpang angin membawa pesan
harum rindu yang kau titipkan
ke pori-pori ke kuala rasa
lubuk jiwa
Inginku mengantar angan membawa asa
kukirim bersama cahaya matahari
ke pelabuhan hatimu
yang tak berjarak
dalam cinta kita
Nebula Rindu
Tertegun di pusar sudut hati
sajadah panjang memekik rindu
melumat angkuh sumur tak berdasar
risalah Rasulullah
Nafas nurani mengangkut mata hati
melejit ke Arasy cintaMu
kedip-kedip nebula membentang halimun
lipatan kasih kembang perjalanan
jarak tak berarti di pangkal qolbu
persuakan ya Rabbi,
Siti Hajar membasuh nafsu
panggil-panggil di danau jiwa
syahwat cinta bendungan birahi
TanahMu rumahMu di Bumi Suci
Rinduku cintaku hadirMu
Malam Adalah Nur
Kemana resah kan dilabuhkan
diciptakan malam dan siang sebagai pembeda
malam adalah malamku
Kemana risau kan kukirimkan
siang melambai malam, mesra
waktu memburu ketika
saling memberi
Kukatakan pada siang:
siang adalah cahaya
Kukatakan pada malam
malam adalahnur
Pagi Menyapa
Lembut pagi menggetarkan dawai-dawai
damai, ketika air kesucian bersimbah jiwa
elusan rindu membasuh hati
sajadah menyapa Arasy
dalam diam pada sunyi di lubuk jiwa
nyaman tak berkesudahan
menyapa dada menyiram nafas
La Illahaillallah Muhammad Rasul Allah
Gempakan Qalbu Kami
Tanah ini, Ranah Minang
Tuhan tersenyum ketika mencipta
Tanah ini, Nusantara
Tuhan menitip pesan …
kami Sang Khalifah
Hatta, Syahrir, Hamka menangis ke dunia
kini, mata kehabisan air jernihnya, sendu perih
sore itu Bumi bergoyang batuk-batuk, entah marah
masih adakah sisa kepongahan di dada-dada kami?
Ya Allah … tangis itu … dan kemudian sunyi
senandung anak-anak kami adalah keperihan
Ya Allah … lolongan itu … dan kemudian, diam
nyanyian derita tak berkesudahan
dalam gelap kelam mencari-cari cahayaMu
kami yang pelupa
Lapangkan sadar kami
degupkan jantung kami
gempa, gempakan qalbu kami
agar terbangun dari lelap panjang
mengingatMu
Tanah Berkah ini
Tanah ini, negeri ini
berkah Khatulistiwa
tumpah darahku
Tanah ini, negeri ini
negeriku, negerimu, negeri kita
mengguncang jiwa menghantam qalbu
senandung parau tak berkesudahan
Tanah ini, negeri ini
memeras air kesedihan
ketika pohon-pohon ditumbangkan
ketika kulitnya dikubak
ketika isinya dicongkel,
matamu melotot bak ikan mati
Tanah ini, harum Ibu Pertiwi
yang tergadai dalam ayunan gelombang
yang memerihkan merahnya darah
yang menyembilu putihnya jiwa
ketika auman tak bermakna
Ya, di negeri ini
tanya semakin panjang
Bandung, 15 Mei 2010
Pendongeng Kata
Lalu apa yang harus kukatakan
ketika aku tak hendak mengatakan
tak ada yang harus kau katakan
karena aku tak hendak mendengar katamu
kau tak tahu kata apa yang harus kuberikan dalam kata
kau tidak pernah tahu kata yang harus kuterima dari kata
… ketika kau katakan kata tidak berbuat apa pun katamu
kata takkan menjadi apa pun tanpa kata-kata
kalau kata kau dongengkan dalam kata
Kau katakan aku tak mengatakan apa-apa
ketika tanganku menganyam kata-kata
kau katakan kata untuk dikatakan
kata yang harus kau katakan kau katakan
kau berkata-kata tanpa menyulam kata-kata
dan, tetap berkata-kata
sekalipun kau dikata-katai
Kau katakan aku hanya menulis kata
kata yang seharusnya kau katakan
kata yang terkatakan adalah kata-kata
kau katakan kata-katamu
kata sebenar kata
kata yang mengatakan kata
bukan kata-kata yang menjadi kata
sebab, kau hanya mendongengkan kata
Innalillahi Wainnailaihi Rajiun
Tentu kau ingat
ketika janggut kita baru tumbuh
anak-anak belum lahir, belum bersua ibunya
di Kota Air malam-malam kita terhempas
bergantian menimba air kehidupan
dengan buku digenggaman
Kau masih ingat kawan?
pembunuhan jiwa bertumpang-tindih
kita berpencar memburu buku, buku, dan buku
dalam cemoohan mereka yang membaca yang mengantuk
kesalahan adalah milik kita
bagi mereka boleh bagi kita tidak
para pemegang kebenaran
Kau tertawa terbahak-bahak ketika kutulis:
Prof. Dr. Ersis Warmansyah Abbas, BA, M.Pd
Prof. Dr. Daud Pamungkas, BA, M.Pd
Prof. Dr. Bambang Subiyakto, BA, M.Pd
Prof. Dr. Bedjo, BA, M.Pd
Dengan satu ketabuan
Haji … haji Ersis Warmansyah Abbas
itu ibadah
kini, aku tak mau menulis satu gelar pun,
Tidaaaaaaaaaaaaaaaak dalam puluhan karya,
simulacra kawan,
kau tidak bisa menyimak (lagi)
Ketika kenangku menjangkau bekas rumah rektor itu
kita yang bercanda yang membaca
di Isola menebus dosa cita-cita
kenapa SMS dan dengungan suara di telinga berkhabar:
Innalillahi wainailaihi rajiun
Kawan, tenanglah kau disisiNya
doa-doa dilabuhkan
dalam baikmu yang tak bermuara
keteledoran dihapus di rongga dada
kembali ke fitrah
Ya Allah yang Mahapemurah
lipatgandakan amalnya, kebaikannya, senyumnya
Hidup adalah perjuangan untuk kembali
pagi ini, ya Yang Mahakuasa
Innalillahi wainailaihi rajiun
*** Sahabatku yang meninggal dunia pagi ini, Bedjo
Di LangitMu
Ya, Yang Mahapengasih. Mozaik awan tersenyum lempang
di hamparan kasihMu. Menggetarkan qalbu menghentak
jiwa ditepuk dendang nyanyian andromeda. Atmosfir
anggun menatap bumi berayun di putaran elipisnya
menghancurkan komet-komet. Tanda-tanda KebesaranMu,
ya Yang Mahapencipta.
Di langitMu, ya Rabb. Mata tidak menjangkau, telinga
terdiam, qalbu bertawaf, bahwa kehidupan adalah
penyadaran. Kami ada karena Kau adakan. Masih
pantaskah pertanyaan diajukan? Masih wajarkah kewajiban
didiskusikan? Masih perlukah keluhan dikumandangkan?
AmpunanMu, wahai Sang Pencipta.
Hadiah terbesarMu. Wahai Yang Maha Penyayang,
kehidupan. Kau bentangkan bumi dengan segala isinya
dalam fitrah. Pikiran tidak terbatas, kecuali dalam
melawanMu, balutan qalbu dalam menjangkauMu. Kau
hanya memberi, memberi, dan memberi.
Bagaimana akan kami pahami bahwa bumi ini secuil debu
di hamparan ciptaanMu. Angan pun tidak mungkin
menjelajahinya. Berlaksa-laksa planet yang Kau susun
dalam tata surya pada tawaf sejak kejadian dalam irama
syahdu nyanyian indah alam fana sebagai pertanda, agar
kami berpikir, tafakur memahamiMu. Lalu, apa yang pantas
kami banggakan, Ya Rabb? Membaca tanda-tandaMu?
Di langitMu
Ya Allah Yang Maha Pemberi. Terlalu banyak abai
membelenggu jiwa, memenjara qalbu, membutakan hati,
mengabaikan titah-titah yang Kau titipkan pada Rasulullah.
Terlalu banyak, Ya Yang Mahapengasih, torehan alfa bahwa
amanahMu adalah kewajiban. Teguran-teguranMu lecutan
mesra mata hati.
Siang ini, pada ketinggian 36.000 kaki, kebesaranMu adalah
jiwa mengikis keraguan. Ya Allah kuatkanlah neuron-
neuron hibahMu, mata jiwa agar menorah kalam-kalam
bagi sesama. Lempangkan jalan agar jari-jari tangan hamba
dari hati fitrah. Berilah hidayah pembersih qalbu,
pembuang amarah, menjauhi dengki membakar hasad.
Limpahkan rahmat sehat untuk membasuh diri
sebagaimana Kau tunjukkan pada orang-orang yang
beruntung sebagaimana Kau amsalkan.
LangitMu dalam jangkauan batas pandang adalah hakikat,
bahwa keterbatasan adalah hikmah. Mata kami, rabaan
rasa dan pikiran, takkan mampu menjangkau tanpa
hidayahMu. Tanpa hidayahMu kami adalah debu-debu tanpa
makna. Jadikanlah kami, tunjukkan, mudahkan dan
lempangkan hati dan jiwa kami dalamMu.
Dalam pencarian yang tiada henti mendekatMu, kalaulah
pongah masih membalut, sombong mencintai batin, iri dan
serakah membalut qalbu, bersihkanlah Ya Yang
Mahapengampun. Dalam kebodohan, cinta kami adalah
kekuatan padaMu. Di langitMu sapaanMu merasuk jiwa.
Dalam RahmatMu, instalkan kalamMu agar pikiran
lempang, lobang qalbu semakin menganga, jiwa tergadai,
mencumbui rahmatMu. Hanya dengan hidayahMu
perjalanan menuju ‘Alam Perjanjian” menjadi.
Nyalakan neuron mahkota diri, sinarkan lubuk jiwa,
terangkan rangkaian pikir, agar termudahkan niat, menulis
atas namaMu. Menulis kalamMu. Kehebatan terbaik hamba,
Ya Yang Mahapemurah, hanya meminta padaMu.
Di langitMu, ya Yang Maha Kuasa, doa hamba. Amin.
Nafas Cinta
Memandang matamu, duhai Kekasih
kuselami samudera jiwa
menjelajah angan yang terpenjara
meniti pelabuhan yang dijanjikan
Mereguk nafasmu, duhai Kekasih
luluhkan jalan darah
menjadi kita
nafas yang tidak usai
Senandung Rindu
Lalu ke mana kan kuhempaskan angan
ketika aroma nafasmu mencium paru-paru
menindih huruf-huruf melambai-lamabi
melipat jarak di sajadah panjang ini
dalam doa padaNya
kutorehkan
senandung rindu
Memanah Lubuk Jiwa
Hujan palu menggedor-gedor
menampar jelajah tafakur, terhuyung-huyung
menikam istana qalbu, membentak-bentak
membungkam nikmat
Gelombang menghempas-hempas
tak tertolak tak menyudahkan, mengiris-ngiris
melumpuhkan gerak-gerak, menyayat-nyayat
terpatung di lamunan sunyi
pirantiMu terlecehkan, Ya Rabb
menyesakkan ruang dada
memahat tanpa pelabuhan
dungu membantu
Wahai Sang Kuasa penitah As-Sobur
suburkan tanaman pada DNA di semaian neuron-neuron
Titah-titah Agung ketika roh ditiupkan
senjata yang melupakan ketika perang berkecamuk
hentikan kebodohan dalam sinarMu
wahai Sang Penguasa
memanah lubuk jiwa dalam kemilau mesraMu
Waktu Berhenti dalam Cinta
Aku bukan pencuri hatimu
bukan pula perampas rindumu
karena aku adalah kamu
Rinduku bukanlah kamu
jangan pula kau merindukan aku
rindukanlah kita
dalam helaan nafas cinta
Kasih, jangan torehkan kata-kata
jangan kirimkan dongeng tentang asmara bersama awan senja
keluh kesah tentang alfa tentang jarak
yang memanah sobekkan tanda, sebab
jarak tidak memisah
waktu pun berhenti sudah
dalam cinta kita
Zikir Rindu di Rumah KasihNya
(hadiah HUT Iche)
Awan syahdu melipat mentari yang membakar
puting beliung mengharu gelombang
menjaga kapal yang kita layarkan meniti buaian samudera
tertoreh di dinding jiwa,
lukisan perjuangan
Terlalu laju kaki dilangkahkan
jangan tanyakan ke mana roket menuju
tanamkan sauh dalam-dalam bersaksi air mata suka
dalam amar amanah kasihNya
Ya, Rabb Sang Pemberi
jangan karamkan bahtera di dermaga
satukan kami zikir cinta,
dalam kasihMu
Tali Rindu
Kukatakan pada malam:
dinginmu menghangatkan
beban yang menginjak pundak,
takkan kutepis
Wahai malam:
takkan kukabarkan padamu, bahwa
kesendirian adalah kebersamaan
dibuhul tali rindu
Pedang Malam
Pedang malam mencubit sukma
aroma sajadah menari-nari
di perantauan ini ingin semakin mendenda
di lubuk hati di danau doa
menggeliat di makrifat rindu
Ya Ar-Rahman Ya Ar-Rahim
Negeri Asap
Asap menghitam menyapa lobang ozon
kalahkan pekat awan
melenggang dari panggangan bumi
di kuburan pohon-pohon bertumbangan
mengantar tanya:
“Korban tangan-tangan kita?”
Bumi merintih
mengapa kalian kubak kulitku
mengelupas, mencongkel menohok tulang:
“Belum cukup luaskah Kalahari?”
Asap,
ah, negeriku negeri asap
Tentang Ersis Warmansyah Abbas
Ersis Warmansyah Abbas lahir di Muaralabuh, Solok
Selatan, 15 November 1957. Merupakan dosen FKIP Universitas Lambung Mangkurat.
Menulis di berbagai media massa. Setidaknya sudah 33 buku ditulis/dieditori.
Merupakan motivator menulis. Bukunya antara lain: Surat Buat Kekasih
(puisi, 2006), Asap (novel, 2010), Zikir Rindu (puisi, 2011). Berumah
maya di www.webersis.com
Catatan Lain
Puisi yang berjudul Memanah Lubuk Jiwa, hadir 2
kali, yaitu di halaman 4 dan di halaman 143.Jadi kalau dihitung, sebenarnya
cuma ada 132 puisi. Menulis di Juadah Kalam (nb. semacam pengantar, hlm vii dan
viii): “Dalam pada itu, manakala membaca karya sastra, puisi, cerpen, novel,
atau apa pun namanya, dari karya anak-anak sampai sastrawan terkenal, dirasakan
sungguh menggetarkan lubuk jiwa. Bahkan, adakalanya ‘memahami’ karya sastra
sebagai puncak intelektualitas.// Kekaguman pada HAMKA, hikmah dendang Kahlil
Gibran, atau kelana Karl May, dan puluhan lainnya mengantar menjadi ‘Pecandu
Sastra’. Ketika ‘berkenalan’, misalnya dengan Albert Einstein, terperangah
dengan ‘mega puisi’, E=MC2. Notasi Einstein dimamah sepadan dengan
anyaman sastrawan; bebas tafsir, membuka peluang untuk dieksplorasi. Sesuatu
yang mendorong perenungan.// …. Yang saya tekankan, muatan antologi puisi ini
bukanlah karya seorang sastrawan. Dengan demikian, kiranya dapat dimaklumi
kalau ‘nilai sastra’ kandungannya rendah. Begitulah adanya. Saya cukup
tersenang dengan kehendak menulis tersalurkan.//Akhirul kalam, mari menulis,
menulis, dan terus menulis. Salam menulis.//Bandung, 17 Januari 2011./Salam
hangat:/Ersis Warmansyah Abbas/Pecandu Sastra.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar