Data buku kumpulan puisi
Judul : Sepanjang Tepian
Sunyi
Penulis : John FS. Pane
Cetakan : I, Juli 2016
Penerbit : Tahura Media, Banjarmasin
Tebal : xvii + 100 halaman
(95 puisi)
ISBN : 978-602-8411-37-7
Penyelia akhir : Hajriansyah
Tata letak dan desain :
Ibnu T.W.
Prolog : Jamal T. Suryanata
Beberapa pilihan puisi John FS. Pane dalam Sepanjang
Tepian Sunyi
ARTI SESUNGGUHNYA
kusapa kau dari hari yang sepi, begitu jauh
lebih selengkung jarak di titik terujung
sedang merangkai matahari dan senja
sambil menunggu malam-malam jatuh berlabuh
di matamu tumbuh ranggas berduri
dari kedalaman lorong-lorong kota
kau bercerita tentang hari-hari dan percintaan
sebuah pesan dari zaman-zaman yang telah usang
membatu di keningmu
sementara kueja sebait puisi, bulan setengah
tanda rindu yang pernah disepakati
sebab inilah arti sesungguhnya: kecuali mimpiku
semua menjadi cahaya yang kan berlabuh
mengupas lautan mencari negeri-negeri kenangan
seperti sebatang pohon ditinggal keteduhan
kau gelisah menunggu waktu
nafasmu adalah hembusan angin panah api
aroma luka dari musim-musim mengering
Kotabaru, 2005
PEREMPUAN YANG MENUNGGU DI TEPIAN SUNYI
apa yang kau cari sendiri di tepian sunyi
atau kah kau masih setia menunggu
seperti kabar yang terdengar dari dendang nyanyian
peziarah
yang pernah singgah di kotamu
kau selalu bertanya pada burung-burung besi
yang datang dan pergi membawa cerita rindu
usai menjelajah entah ke negri mana
sepanjang ingatan terbingkai jalan-jalan yang dilalui,
bangku taman yang mulai berkarat
saat kita saling mendekap,
orang-orang berkayuh menjual kegembiraan
sepanjang tepian sungai
masihkah kau ingat peramal tua yang berkisah
tentang gurat cinta
di garis tangan kita yang dibacanya seperti peta
“di sini telah tertulis arah dan rentang jarak,
tinggal kau melangkah
menyusun jejak atau sama sekali lupakan tanda
dan petunjuk”
di sungai ini telah melintas ribuan perahu
tak bersisa satu yang kau lambai singgah walau sekedar
menambat gelisah
apa yang kau cari sendiri di tepian sunyi
jika bayang-bayang senja hilang menyimpan kisah usang
seperti kisah kita yang tergambar di rumah-rumah kayu
telah terserak rapuh di sepanjang tepian
2013
SEKUMPULAN NAMA
ia terbaring dengan tenang
merabuk dalam hawa cuaca berdebu
berteduh angin berkalang tanah
hujan dan segala cuaca berlalu
menuliskan nama-nama di batang membatu
menganyam luka dari helai daun-daun berduri
yang lepas dari pelepah sunyi
tersisa kita yang hanya mampu terbata
membaca sekumpulan nama
dan mengirim sebait doa setumpuk kenangan
Kotabaru, Nopember 2015
EMPAT MUSIM SUNYI
Musim Dingin
Hujan turun menaburkan butiran debu
Hingga segala doa dan sunyi menepi
Mengalirkan rindu yang telah mencandu
Ke batang-batang waktu yang melepuh
dipapar cemburu dingin tak bersalju
Musim Panas
Sungai-sungai rindu telah kering di hatimu
Tak ada yang tersisa di waduk-waduk sunyi
Para pengembara telah melemparkan ribuan bunyi makian
Kepada matahari yang telah membakar cuaca
Kepada mata-mata air yang tak memupus dahaga
Lalu tersisa sunyi yang sama mengalir menggenangi bumi
Musim gugur
Seisi bumi seperti kehilangan suara, diam
Lembar-lembar senja jatuh ke pelupuk mata paling sunyi
Menyusupkan warna kuning gelap sampai ke ujung-ujung daun
Lalu ia gugur melayang seperti melambai
Mengabarkan kisah sepi yang terekam di batang-batang
Musim semi
Lalu ia datang untuk melukiskan garis pucuk-pucuk
Yang mulai tumbuh di tiap reranting waktu
Seolah menggenapi rindu yang tak usai dituntaskan
ketika semua kata-kata telah berubah menjadi batu
Namun sepi kian subur membiak di udara dan semua warna
Cemas dan risau tumbuh serupa cendawan yang memeram bunyi
Kotabaru, Nopember 2015
SEBELUM RIAK MENJADI OMBAK
Di ujung lidah kata-kata memikat cinta
Di titik mata cahaya mengikat bayang
Seperti aroma hujan yang memantulkan
sekejap rindu
Di dalam kepala pikiran mengulang-ulang kenangan
Jalan-jalan kota yang pernah kita lewati
Ketika malam membenamkan warna dan desah suara
Dan burung-burung gereja gegas menyusun sarang
Jadi pengingat segala mimpi dan cumbuan
Yang pernah kita tulis di garis langit
Di dalam hati telah kularutkan sisa-sisa cinta
Menjadi biduk sungai yang jauh
Menjadi biduk sungai yang jauh
Sebelum ia menyerbuk bunyi jadi riak
Dan riak menyusun bunyi jadi gelombang
2011
ADA KATA YANG HILANG
pada sebuah puisi kita saling bicara
bertukar aksara menanda makna
di situlah kita mengulang riwayat kalimat
yang tak lapuk oleh sunyi berabad-abad
di tiap angkatan ada sepi yang tercatat
nama-nama dan bunyi menyusun ayat-ayat kekal
dan mengendap jadi gambar peradaban
kini kita masuki sebuah puisi yang sama
tanpa pernah kita tanya
tentang gelisah zaman yang telah hilang di dalamnya
tentang simbol dan pamflet yang kabur
dibayang candu rindu dan khayal para pemimpi
Kotabaru, 2009
DI KEDALAMAN LAUT
di balik karang di kedalaman laut
telah tumbuh benih percintaan ikan-ikan
menyempurnakan malam segala musim
di bawah payung gelombang kita mengarak mimpi
masuk dalam rumah yang teduh
namun pada keluasan lautmu anganku menyempit
dan kita terlempar pada kesangsian yang dalam
terombang-ambing seperti gumpal buih
di balik karang di kedalaman laut
kudengar celoteh matahari
kata-kata hilang makna seperti sepi
terlalu sempurna angin dan gelombang menyatu
menjaring waktu dan kenangan
di balik karang di kedalaman laut
jadilah aku rumput bagi hamparan laut
yang menari dari ufuk ke ufuk
bersama deru badai dan gelombang pasang
tak tahu kemana angin meniupkan arah
Kotabaru, Desember 2006
JALAN SEPI
belum usai kau belajar tentang mencintai hidup
kepada perempuan yang kau anggap seperti malaikat
yang kau kenal sejak pertama kau membuka mata
ketika takdir membawamu hadir dalam kumpulan wajah
dan menyisipkan nama pada daftar silsilah
kubayangkan kau mencoba memahami tentang bahasa cinta
ketika lagu-lagu dari sudut malam terdengar selalu
memintal rindu entah pada siapa
ketika kau rasakan hanya sakit dari siksa yang mendarat
di tubuh
lemah tanpa daya,
hanya tangis yang kau bahasakan
juga bukan sebagai perlawanan
setiap malam kau hanya ingin memeluk sebentuk tubuh
dan hanya ingin melihat sorga yang lepas
di bola mata perempuan yang kau panggil ibu
tetapi perempuan yang kau kira bidadari itu
ternyata hanyalah peri jahat yang membawa kutukan
bahkan kau tak sempat mengadu entah kepada siapa
sebelum kau berangkat menuju jalan sepi sendiri
Kotabaru, Pebruari 2016
SUARA DARI KALIMANTAN
Akulah suara sumbang yang lahir dari lubang-lubang sisa
tambang,
akulah suara risau yang lahir dari pohon-pohon tumbang,
akulah suara getir yang lahir dari sungai keruh penuh
lumpur dan cemar,
akulah suara parau mendesau
yang coba bertahan membaca mantra
di antara bebukitan, balai-balai kosong, ladang-ladang
dan hutan-hutan keramat yang tersisa
adakah kau dengar suara yang terbata tengah membaca
Indonesia
adakah kau dengar suara-suara sederhana yang terasing
dari riuh Jakarta
yang tengah menapaki jalan-jalan setapak, menyesap sisa
cerita bahagia
di antara pohon-pohon damar, ulin, gaharu, padi-padi
ladang
yang kini semakin menghilang
bentanglah peta Indonesia hari ini, lihatlah Kalimantan
di tengahnya
seperti apakah wajah rupanya saat ini?
mungkin di matamu ia tak ubahnya seperti seorang perawan
berwajah cantik, bermata jernih, berbadan montok,
berkulit mulus
dengan bebukitannya yang indah selalu menggoda untuk
dijamah,
ah tapi itu dulu, dulu sekali sebelum mereka mengepung
kampung-kampung kami,
sebelum mereka meracuni pikiran kami dengan lembar-lembar
uang
Kalimantan hari ini tak lebih seperti perempuan tua yang
tertatih
menahan letih
lihatlah tubuhnya yang kurus, berdada rata dengan
luka koyak di mana-mana
tulang, daging dan darahnya telah tercerabut
terhisap monster-monster
dari negeri-negeri jauh di seberang lautan
Akulah suara yang berdesau mengumandang
memanggil kau datang
dengar; dengarlah suara kami
jangan hanya melayang-layang mengipas mimpi di awang-awang
Kotabaru, September 2014
TAK SEMUA SEMPURNA
di kaku isyarat tubuhmu waktu terasa begitu panjang
dan hidup ternyata bukan hanya sebuah lintasan
yang berakhir pada ujung yang sama
begitulah di matamu semua kutangkap menjadi indah
akhirnya kutahu betapa kau cintai hidup
tak pernah terukur dalam tarikan nafasmu
tak ada tangis apalagi sesal bagi ribuan tetes air mata
yang kering
kata demi kata kepedihan kau lagukan
jadi sembilu yang bisu
dan aku tak pernah tahu yang tertanam dalam hatimu
batu, baja, hujan ataukah cuma luapan air mata
yang perlahan akan menguap jadi embun
di kaku isyarat tubuhmu ternyata hidup adalah keindahan
tak terasa isi hatimu tak terukur lukamu
untuk apa air mata kalau tak ada tangis
untuk apa tangis jika hanya jadi sesal
Kotabaru, 2012
ADA YANG TERLUPAKAN
telah sampai pesan yang dikirim matahari
mengitari sunyi juga deru
bahwa telah usai seputaran masa
menandai waktu menjadi tahun yang sempurna
telah sampai jemu kepakan kupu-kupu
bagi putik yang menepikan warna gelisah
namun tetap jejakmu berlabuh jauh
meninggalkan tepian rindu
lalu kubaca riwayat cuaca yang membatu
ketika mendung menyimpan bahasa hujan
menyimpan tetes kesunyian bagi airmata
adakah badai selalu luruh riuh di hatimu
membutakan tanda dan angka
haruskah aku memberimu isyarat dengan luka
bahwa ada yang terlupakan, sekedar kata-kata
bahkan mungkin bahasa cinta yang paling sederhana
Kotabaru, 16 Juni 2007
SEBUAH PERJALANAN
setelah melewati kota-kota yang asing
masih kau simpan rindu yang samar
dalam gigil tulang dan redup tatap matamu
selalu kau coba meringkas waktu
jarak yang tak singkat
tanpa kepastian kau ketuk pintu cuaca
sebuah perjalanan tanpa tanda baca
di matamu masa lalu tersingkap lirih
gambar abadi bagi airmata, kemiskinan dan sepi lelaki
atas nama hari-hari yang hampa
kau rajut darahku sepanjang perjalanan musim
jadi saksi bagi tanda-tanda abadi
sementara jarak kian tak terukur
waktu pun merenta
dalam kesunyian liang matamu
kuselami rindu yang mengalir hambar
melintasi kenangan sampai batas tanah kelahiran
ketika di sini malam tlah jadi detik-detik yang asing
Kotabaru, 2005
KISAH SEEKOR KUPU-KUPU
Seekor kupu-kupu berwarna merah terang
Mengepak sayap menuju ke pucuk langit
Seolah ingin meninggalkan hutan dan cerita kepompong
Telah lama ia mencari bunyi kepak sayap kekasih yang
hilang
Tapi tak ada tersisa jejak warna tak terkecuali
bayangannya
Tak ada lagi ditemui nyanyian rindu di tepi-tepi hutan
Ia telah pergi entah ke mana atau mungkin tlah jadi
bayang-bayang
Ataukah ia terjebak dalam hutan-hutan yang terbakar
Sementara matahari juga seperti menghilang
Diam terperangkap, ditelan kabut dan asap
Ke mana akan sembunyi dan lari menyimpan warna sayap
saat mata-mata merah para pemangsa telah menunggu
saat mata-mata merah para pemangsa telah menunggu
Di balik semak dan liang-liang batu
Sementara tak ada tersisa daun-daun hijau atau bunga
warna-warni
Tempat sempurna untuk sembunyi dan istirah
Dengan segala keharuman dan putik yang bermadu
Yang tersisa cuma coklat, hitam warna yang terbakar
Juga aroma api dan bumi sepi yang terkapar.
Kotabaru, September 2015
MUSIM PANEN
kau sandarkan lelah di ujung-ujung batang
yang merunduk membaui tanah gembur
menarikan jemari bagi bulir yang sepi
sebuah tarian rindu di awal musim panen
telah genap hitungan waktu
sejak gerimis pertama meniupkan nafas
bagi mata-mata benih
di bawah guyuran peluh memupuk musim yang basah
diiring nyanyian burung-burung pipit
tangan waktu menepikan jutaan kisah
lalu bulir-bulir keemasan berkilau membenam lelah
sementara di ladang ini telah bermuara setakar mendung,
rumput berduri dan air mata
yang kemudian akan tumbuh menjadi semak gelisah
2007
NYANYIAN DARI LADANG
tergadai sudah ladang kecilku
yang dulu selalu kutanami mimpi dan benih rindu
dengan rumput liar tumbuh jadi hiasan tepinya
sebelum berpindah melewati musim demi musim
tergusur sudah ladang kecilku
yang dulu selalu kutugali dengan cinta dan kesederhanaan
yang menumbuhkan pucuk-pucuk dari basah peluh
dan air mata
sebelum embun turun membawa kicauan burung-burung
kini aku tak dapat lagi berpindah, melintasi hutan
sampai batas kearifan
angin dari kota-kota telah membakar jagad kesakralan
melarutkan tanah, batu, kayu dan dedaunan
di televisi bencana dan keprihatinan dikemas jadi
tontonan
di sini aku hanya bisa memindah mimpi dari malam ke malam
Kotabaru, 2006
ISYARAT MATA
selalu saja ada tersisa tanda tanya
di ujung jalan-jalan lurus
yang menepikan arah angin ke titik kecemasan
pun waktu tak lebih dari sebuah hitungan
dan aku yang tak pernah tahu
tentang isyarat matamu
mencoba masuk dalam ruang tak berpintu
kurasakan sisa gelombang mengalun tenang
dalam teduh matamu
di kedalaman hening sungai rindumu
telah mengapung beribu kenangan
memampatkan birahi kota di lintasan waktu
di sepanjang jalan tergambar jelas ribuan jelajah lelaki
seperti fragmen musim dan nyanyian trotoar kotor
berkelebat memapar kefanaan
demi sebuah kepastian, seperti yang kau pinta
kuingin jadi isyarat mata bagi jejak matahari
yang cahayanya kujadikan api
untuk membakar detik-detik waktu dan kenangan
Kotabaru, Desember 2006
SENJA DI SIRING LAUT
kubiarkan hatiku bermuara di sini
bernaung jauh dari amuk gelombang
dan berayun pada kepolosan makna hari-hari
ketika bayangmu tersembur seperti ribuan debur
ketika bayangmu tersembur seperti ribuan debur
ketika riak canda mengelupas senja
di siring laut
pada nyanyian gelombang pasang
kularutkan sunyi matahari, sampai puncak kesenyapan
sampai hilang jejak di batas senja
gerimis pun sesaat singgah sebatas basa-basi
seperti haluan yang pulang tinggalkan pelabuhan panjang
oh terasa lama memang jika menunggu
seperti waktu lelah mengekal sunyi
namun ingin kunikmati batas kesendirian
seperti kepak camar seberangi pulau dan laut
tak lelah menafsir puisi gelombang paada barisan buih.
Kotabaru, 2000
KEMBALI PADA JALAN GELOMBANG
Kau pun pergi meninggalkan mimpi dan kenangan
masa kanak-kanak
hanya untuk melihat para peri menari
dengan nyanyi yang tak kau mengerti
aku tak mau seperti serakan kerang yang terkungkung
oleh sepi, ucapmu saat itu
aku ingin terbang bersama angin ke negeri seberang
memburu kota-kota yang penuh warna, lampu dan cahaya
kau pun pergi tinggalkan jalan gelombang
dengan berpalung segala luka
tak ada yang bisa menahanmu bahkan gumpal pasir
dan kaki-kaki karang
setelah bertahun-tahun kau hanya bisa memunguti
sumpah di pantai sepi
tak mampu mengusir jemu, di antara perahu tua,
jembatan usang
dan gumpal jaring berbau ikan-ikan kering
di akhir pertemuan aku tetap berharap
kau tak beranjak pergi dari batas pantai
sebab di sini laut adalah rumah kita
dan ia tak sekedar tempat berlabuh
ia adalah darah bukan semata jarak pemisah
ayo kita berkayuh memancang angin di lembar layar rapuh
sebab masih ada rindu tersangkut
di antara ganggang dan
batu karang
di antara senyum perih nelayan-nelayan
miskin yang tak berdaya
ingatlah kita adalah anak-anak laut
yang terlahir dari rahim gelombang
yang memasang peta dan arah pelayaran
ada garis bintang dan cuaca
menepuk dada di langit malam saat bulan merah jadi
sandaran
ayo kibarkan lembar layar melaju kita melabuh kasih
meraih riuh dan mereguk segala gemuruh ombak
lihat pulau-pulau di depan menggoda untuk kita raih
angin jahat pun pergi berlalu karena semata cemburu
kepada laut yang tak pernah surut mencintai pantai
dan ikan-ikan
Kotabaru, Desember 2015
Tentang John FS. Pane
John FS. Pane, lahir di Kotabaru 16
Juni 1975. Menyelesaikan S-2 Magister Manajemen Pendidikan (2013). Merupakan
aktivis kampus yang pada Mei 1998 ikut turun berdemonstrasi menduduki gedung
DPR/MPR di Jakarta. Setamat kuliah, menjalani profesi guru di SMPN 1 Pulau Laut
Selatan (2001-2002), dan sekarang menjadi Kepala SMPN 3 Sungai Durian. Karyanya
tersebar di berbagai media massa dan antologi bersama al. Seribu Sungai
Paris Barantai (2006), Puisi Menolak Korupsi , jilid 1 dan 2 (2013),
Memo untuk Presiden (2014), Memo Anti Terorisme (2016), Gelombang
Puisi Maritim (2016). Saat ini tinggal di desa Bangkalaan Dayak Kec.
Kelumpang Hulu (75 km dari Batulicin).
Catatan Lain
Rabu,
13 Juli 2016, seminggu setelah Lebaran, saya ke rumah Hajri balikin buku. Saat
asyik ngobrol, datang berjalan kaki satu keluarga dengan menggotong-gotong tas.
Saya pikir yang datang adalah Randu. Ternyata bukan. Ia memperkenalkan diri
sebagai John. Hajri masuk ke dalam rumah dan mengeluarkan sekardus buku. Ya,
teranglah kemudian duduk persoalannya. Orang itu, John FS. Pane, mengambil
cetakan buku kumpulan puisinya: Sepanjang Tepian Sunyi. Perbincangan
berlanjut. Melebar ke banyak hal. Termasuk kesalahpahaman dalam pemilihan cover
buku. Dengan kata lain, cover buku di atas sebenarnya bukan yang dikehendaki
penyair. Dan Hajri minta maaf untuk itu.
Buku ini, dikasih
langsung sama penyairnya dan saya pun meminta goresan tangannya di buku itu. Selain
Sepanjang Tepian Sunyi, saya juga membawa pulang Kampung Halaman
(Imam Budiman) dan Melepas Tubuh dalam Cahaya (Antologi Tadarus Puisi
Banjarbaru, 2016). Terima kasih banyak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar