Data buku kumpulan puisi
Judul : Timang-timang Nak
Ditimang Sayang
Penulis : Jefri Al Malay
Cetakan : I, 2014
Penerbit : Seligi Press,
Pekanbaru, Riau
Tebal : 120 halaman (24 puisi)
ISBN : 978-6029-5683-8-8
Perwajahan/cover :
Abak/Nanda
Tata Letak : Rudi Yulisman
Beberapa pilihan puisi Jefri Al Malay dalam Timang-timang
Nak Ditimang Sayang
Timang-timang Nak Ditimang Sayang
Timang-timang
Nak Ditimang Sayang
Belum jua selesai
rupanya
Kau mengusung cucumu
Dijunjung-junjung
Diayun-ayun
Dilonjak-lonjak
Diangkat-angkat
Padahal diluar sudah
menelungkup kabut
Perlukah kita takut?
Aduhai dondang!
Nak didondang
sayang
Kemarilah...!
Perlu juga sesekali
kau dengar bisik
Jengah ke luar tingkap
Sudah berapa banyak
Teriak budak-budak
Tak lagi dengar kicau
bicau
Selain gumam
Berkepanjang
mengungkai risau
Sungguh aku menabung
hirau
Kutakut kacau balau
Sejambangan bunga
dicuri orang
Padahal adzan senja
baru saja berkumandang
Dong dong kak
Pekasam
labi-labi
Anak siapa yang
tebekah gelak
Mak bapak siapa
yang lupa mengaji
Jangan sampai jadi
induk ayam kau
Kebulur, santap telur
sendiri!
Yang terkiap-kiap
nantinya adalah nyawa
Tak sempat terpana
pandang dunia
Berkokok, siapa
sebenarnya yang berkokok
Pagi-pagi buta memekak
telinga
Di sempadan rumah
Atau di depan mata
Entah-entahlah
Mari sama-sama
menimang makna
Berganti-ganti kita
memangku rengek
Selama tak diam jangan
pernah redam
Hay...hay...
Diam-diamlah
Nanti datang musang
mengendap
Tutup pintu rumah
jangan biar terdedah
Timang-timang
Nak Ditimang Sayang
Jangan pula jadi
sebutir labu
Membiar diri dicerabut
hingga ke akar
Yang tekilan tentu
saja seredup harap
Dari pengikat hajat
yang belum juga dikebat
Sadarkah ada yang
sedang berkucah
Kebun kita di belakang
rumah semakin lecah
Bakul tersangkut di
dinding
Tak guna lagi nak
memetik buah
Labu hai si buah labu
Telah punah ranah
diangkut entah kemana
Sampai ke akar dah
rata di tanah
Busuk! Tinggallah yang
busuk
Tergeletak diparit
sempit
Semak belukar pandai
pula menghimpit
Sedikit-sedikit macam
ada niat
Nak memanjat kesumat
Terintai-intai
Kejap kemudian
tersadai
Tercekat tekak nak
teriak
Tak ada bukti dah
dirompak
Kan, ada juga yang
berdekah terbahak
Lalu pelan-pelan nak
mengelak
Wahai
Anak cucu
Moh tepuk
amai-amai
Belalang
kupu-kupu
Tepuk tangan
ramai-ramai
Tahun depan
disumpah waktu
Sayup-sayup di dapur
Lantai papan yang
dilap bekas perah santan
Kurindu bekinyau
nandung
Sudahkah terselubung
mendung
Tapi sesekali dengar
juga rentak
Titah ada yang
bertitah
Racau mak tuo kah?
Atau sisa anak yang
baru pandai berkeletah?
Timang-timang
nak ditimang
Timang si buah
hati
Sayang-sayang
nak disayang
Sayang si
jantung hati
Mimpi
bertampi-tampi
Harap jangan
sampai tengkurap
Asa hendaklah
menjulang dunia
Doa panjatkan
kepada yang Esa
Sebelum jadi ampas
jelantah
Di dalam botol
tersumbat koran basah
Mari menutup rambut
tergerai
Pakai kopiah tutup
sulah
Berkemban anak beranak
di depan teras
Berpimpin sepakat tak
pernah memelas
Timang-timang nak
ditimang
Jangan pula membayang
Tengok lesot jemari
yang masih mengepit bayi
Tak jemu merapal
azimat
Dan senandung itu
Adalah pesan keramat
menyambut masa depan.
Pulau Rindu,
22-23 November 2011
Puuuaahhhh!
Pucat malam yang kau
kirimkan semalam
Tak sedikitpun
menghadirkan gelap di sini
Dengan sisa lantera
yang menyala
Aku membangun
singgasana
Menyuluh langkah
gontai di sepanjang jalan
“Langkah-langkah
kekalahan” katamu
Tapi siapakah yang
benar-benar inginkan layu
Sedang hujan bermusim
mengemas rindang daun
Mungkin saja kita
telah alpa
Menyeduh harum juang
yang terpatri dalam hikayat
Marilah...
Genggam zaman yang
melaju di antara derit waktu
Jangan lagi tertidur
di pangkuan mimpi
Masa lalu itu adalah
tikaman yang menyantak
ke jantung
Takutkah kita meraut
untung
Dengan keris di tangan
lepaskan sarung
Mungkin saja kita
terburu-buru
Menanggalkan niat
dipembuluh semangat
Jejak nestapa yang
tersidai di laman lama
Jangan jadikan nandung
untuk bermurung
Dan disini
Di tanah yang menjadi
saksi sejarah
Mari kita papah
mayat-mayat lelah
Menjadi secebis senyum
merekah
Untuk didaulat
menjelma mahkota
Ada dan tidaknya
cahaya
Adalah kita yang akan
menyulutnya
Agar menyala menerangi
jagat
Puuuaahhhh!
Pulau Rindu, 13 Agustus 2010
Tikar Mak Anyam Malam
Tak usahlah kita
bertikai di atasnya
Sungguh, dari dulu mak
menganyamnya
dengan setali persaudaran
Yang dirajut menjadi
sehamparan malam;
menyimpan deretan
mimpi di kesenyapannya.
Cemas yang bergelayut
di pucuk air mata kampung
Turut mewarnai
hari-hari setelah kematian bersama
Lalu kita terbangun
kembali menjadi asing
dari sekian banyak noktah
Yang telah menjarah;
hilang kita dari
ingatan masa lalu
Kemudian mencari
sepai-sepai kenangan
di bilik rindu
Atau di muka pintu
yang tertutup waktu
Dan tingkap yang
berjuntai daunnya
Roboh tak pernah
terdedah setelah sekian lama
kita memanjat kesumat
Jatuh berdebam jua,
sebelum sempat mencapai
puncak khianat
Di hari itu, tepat di
anyam terakhir mak berpesan
Kalau malam
datang jangan kau mengangkang
di depan pintu:
Jika sempat
menjengahnya
Setitik keringat jatuh
di tikar malam
Bercampur asinnya
hidup dengan sehelai pandan
Mak tak larang keluar
menyantak pagi
Tapi jika mengangkang
kau
Dari pintu akan
berjelaga sungutlah yang muntah
Jangan
mengurung diri,
selubung di
kain pelekat itu:
Di tahun terakhir
sebelum mematri niat
Duduk mak berselendang
kain pelekat
Katanya itu yang
tersisa
Dari janji ayah yang
hilang di lingkung waktu
Maka hendaklah engkau
menyimpannya di lemari
Yang telah terpajang
di kamar tua
Bukankah di dalamnya
ada juga baju kebaya
Sudah semestinya
sepasang pakaian itu
kita sarungkan
Di usia mak yang
rempuh menanggung beban
Kenapa pula kau yang
berselubung mengurung
untung?
Sesekali
rebahkan dirimu di pangkin pilu:
Setelah jengah kau
membeliakkan nafsu
Di anjung malam dengan
tawa yang bergelegar
Sebaiknya menabung
benih kau di pangkin pilu
Belajar merayu rajuk
yang ternganga
dari buah dada istrimu
Berhentilah
bertengkar!
Ciumlah kening sambil
ucapkan sahadat
Menjelang jatuhnya
talak yang terlanjur berkarat
Tidakkah kau lihat !
Sedulang kasih itu
dijamu-jamukan dalam pesta
pilu berabad yang lalu
Apa lagi yang tersisa,
kalau tak rengek budak-budak
Tidak !
Aku tak hendak
menetaskan marwah yang karam
diterjang gelombang sengak
Membusungkan mercusuar
sedang pelita
yang menyala
Sudah mengawinkan
malam dan kepiluan
Dan ketuklah
pintu sebelum memulai cumbumu
pada sekujur
tubuh yang teduh:
Kiut lantai dari
langkah kaki menuju pintu
Ketuklah dulu !
Di dalam kelambu telah
terbujur tubuh subuh
yang teduh
Sedulah olehmu
Sepuas-puas hingga melengkingkan
gaduh
Pancutkan sampai
melekat di atap rumah
Jadi lukisan
Jadi harapan yang bisa
ditafsirkan oleh mak
Sebab tak ada lagi
senandung yang patut
Selain simpuh anak
mencium kaki
Demikianlah, mak yang
telah berjanji
Di atas hampar tikar
Sedang malam kembali
digelar.
Pekanbaru, 2009
Tujuh Angin Singgah di
Hati yang Berkampung
1)
Inilah dia belaian
angin itu
Angin si carik kafan
Mengibas tak kenal
musim; kami tiba-tiba terjaga
di ranting-ranting.
Adakalanya terbangun di celah
tingkap rumah atau
suara jerih itu dari pelarian lelah.
Mungkin memang lebih
sering pasrah ketimbang lari
tak tau arah,
mengalah; sejarah yang sudah-sudah.
Tapi di sinilah
mulanya kami membuat layang.
Menerbangkan
bayang-bayang, kadang memang tak
pulang, hingga tali yang
terlilit di batang putus tak
terurus. Kami juga
bermain di tanah lapang sambil
mengira-ngira sejauh
mana sudah berjuang di kancah
perang yang tak pernah
usai, terjajah; di batas waktu
yang terdedah.
2)
Ini dia sapuan angin
itu
Angin si tajam tembilang
Menyengat seisi
kampung. Pekik lolong itu menyuruk
di celah-celah
dinding. Tak pahamkah kita menangkap
makna; di hati ini
beraja ketakutan yang sama.
Senenek, secucu,
semoyang. Bilakah saatnya pulang
dan pulang…
Membagi cerita dan
hikayat memang tak pernah
sempat. Apalagi
nestapa yang terujung di lidah
tak kunjung ada saat
yang tepat tuk dimuntah.
Terlanjur dilenakan,
hanyut tak sampai ke tepian;
tempat istirahat
menyembangkan lelah. Tetap saja
membangun
bangsal-bangsal berselembayungkan
kegagahan, tidak
muakkah kita berpura-pura atau
lantangkan saja
pengakuan kekalahan diantara tajam
angin yang menikam
wajah, sebelum terulang lagi dan
lagi; pengkhianatan
yang disebabkan hal serupa.
3)
Ini dia pusaran angin
itu
Angin si puting beliung
Datang padanya
berpusing-pusing. Kadang tersadai
kami di pucuk kayu,
atau terjaga di laman luas seraya
memandang mata-mata
tak kuasa menahan perih
yang teriris-iris.
Tapi tak jua jera, memang asin lidah
orang tua dahulu hanya
legenda; kisah-kisah malas
yang tak hinggap di
daun telinga.
Mengutip papan sejarah
yang bersepai serupa
mengumpulkan sejumlah
igau yang tak selesai
kemudian memahatkannya
menjadi tugu luka, patung
sengsara.
Akhirnya kenduri di
ujung kampung terlaksana tanpa
upacara tanpa doa.
Hanya senandung teduh-teduhan;
memujuk rindu tuk
pulang di pangkuan Melayu;
sebuah label
kegemilangan yang kandas di ceruk
kemiskinan.
Tak percaya!
Lihat pucuk nyiur
melambai di pantai jika sempat
berlayar di genang
darah berlinyang. Atau dengar
ilalang-ilalang mengaji
tika petang sepanjang jalan
aspal yang terlentang
bersebelahan dengan tubuhtubuh
kami yang menjelma
kebun-kebun tak bertebas.
4)
Ini dia tebasan angin
itu
Angin si bedil
berjanggut
Menembakkan harapan,
memaut jadi mayat hidup.
Berpawai keliling kampung,
menggumamkan
dengung risau dan
mencapakannya di tanah-tanah
basah, berharap tumbuh
ia menjadi pucuk ubi meski
hanya secangkul pilu
ditemukan di belakang rumah.
Hutan kampung mungkin
saja tidak punya kita. Tapi
puaka jembalang telah
bersarang, tak mungkin dapat
dihadang. Meski racun
busuk berpucuk di laut, takkan
lengah mulut-mulut
menyumpah mantra penunduk.
Hanya itu yang bisa;
saling menyilang sindir serupa
tengkar. Hei…! Ada
yang terbunuh di rumah pengulu.
Keris itu keris
cintamani yang sengaja dipinjam tuk
melindapkan sorak
kompak. Telah menusuk hati
yang berkampung, pecah
menjadi butiran bintang,
selebihnya terbang
datang saat malam; serupa kunangkunang.
Mari terbang sama,
genggam lesut jari. Angin yang
membantai, berbegas
kita mengeja rupa-rupa
semah, buang ke muara
sungai. Semoga air pasang
menghanyutkan sesal
atau menjadi sesai; tertumpuk,
terasing di pantai.
5)
Inilah serbuan angin
itu
Angin si payung Ali
Mengokah tangan yang
sedang bertengadah. Sedari
dulu hanya mencari
wajah sendiri. Telah dicurikah?
Atau terpelanting ia
hingga sampai pada keaiban
menyamudera. Lemas
ditelan arus, tenggelam;
mungkin kelak menjadi
situs-situs sejarah.
Barangkali kutukan.
Atau niat tak pernah menyelinap.
Tembok-tembok itu jua
yang dipanjat, sekedar
mengintai bentuk tubuh
yang tak lagi dibungkus baju
kurung. Lalu tumpahkan
saja birahi di tumpukan
nafas, dan sama-sama
kita berkabung.
Jika lena
diperpanjang, mungkin kita tak lagi saling
mengenal. Tujah sesama
tujah di selat kemarau yang
digenggam menjadi
takdir. Begitu saja kita menerima;
tanpa mengoyakkan
tabir silam, adalah sebetul-betul
kabar menyiarkan silau
menyilau puak. Tapi semak
yang merindang tak
mempan dilibas. Hai angin…si
angin payung Ali kirimkan hempasan
sekali sentap
selepasnya lenyap…!
6)
Inilah terjangan angin
itu
Angin si laut tulang
Mengalun-alun serupa
gelombang ia datang. Kampung
pun menjadi
tebing-tebing rapuh runtuh hingga di
seberang pulau
terjengah; tabiat dikerubung kelu lidah
dan kematian masal
telah ditaja genap sepurnama.
Kita menjadi bangga
dengan pentas laut. Berbasahbasah
dengan simbah darah
atau terhujam dalam
makian panjang. Memang
untuk menang harus saling
menjengkang. Sejak
saat itulah tubuhku dan tubuhmu
terbelah menjadi cinta
yang berbagi.
Ke hulu membawa tuah, ke
hilir menjulang khianat.
7)
Inilah hantaman angin
itu
Angin si hampar rebah
Saatnya tenang-tenang.
Sehamparan teduh menyepuh
kepala. Tunggu saja,
sebab pokok hari di utara telah
meniupkan tanda.
Ternyata sekejap saja, kemudian
mati rebah di
puing-puing cerita.
Kau tahu ulah siapa?
Sampan dan dayung
terapung di tengah laut. Bangkai
siapa tersepit bakau.
Ikan membusuk tertimbun sesai.
Burung raja udang
merajuk. Daun nipah layu sebelah
barat. Ketam menyuruk
ke ceruk tanah terdalam.
Daun tematu malu-malu
jatuh di tanah busut. Jambat
terjengkang. Sungai
menyingai…
Kau tahu tingkah
siapa?
Surau tumbang. Rumah
bersemepai. Tiang ampai
terjungkal. Pohon senget-menget. Pasar senyap.
Sampah terhumban.
Pekik sayup. Parit tumpah. Tiang
listrik kayu runtuh.
Geban ayam tunggang langgang.
Kebun sawah lintang
pukang.
Dan hutan tertawa…
Lantas kita hanya
tersenyum.
Bangga atau cemas
dengan senja.
Remang yang seragam
dikisahkan dari bibir keriput
Mereka memungut
semangat basi
Dari sedulang sajian
istana
Entah siapa yang
menghantarkannya di teras rumah
Sedang hati berkampung
telah luncas disinggahi ke
tujuh angin bermusim.
Pekanbaru, 2009
Rembulan Kematian
Ia berkata
“Bunuhlah nyawa di
ranting waktu”
Tak perlu ragu
Sudah saatnya
Tamat cerita
Ubun-ubun yang kau
cium
Jangan disangka
Ada cinta di bibirku
Kematian lebih penting
Lebih dekat
Sedekat malaikat
Catat segala cacat
Berita apakah akhirnya
“selain hasrat yang
menunam ke surga”
Kau sebut kulari
Dari jarum waktu
Sedang kaki
Mencipta jejak
Biar anak cucu
Mengeja kisah
Di ambang pintu
Dan nostalgia dosa
Jangan disingkap
Kain kafan itu
Telah membelitku
Mengantarkan ke
makam-makam pengasingan
Kukecup putriku
Di atas sajadah rindu
Mantra-mantra perawan
Jangan lupa disimpan
Kupersembahkan padanya
Matahari senja
Biar cemburu
Terkelupas luncas
Jangan kau sebut aku
pergi
Tapi hidup
Dalam ucap
Sebab cap cinta
Telah kurekat
Tepat di ciuman
terakhir
Di sana telah kusandar
Cita-cita purba
Agar di kota
Orang menyebutnya
“Surga”
“Surga dunia”
Sedang di kampung
Tempat sunyi
Di hulu dan hilir
Mereka sepakat
Memekakkan telinga
“Untung”
“Untung dunia”
Tapi biarlah
Rembulan kematian
Yang kusangkut
Di dinding sumur
Bukan langkah kalah
Hanya sengak di dada
Yang kubunuh
Di dini hari
Dan keris yang
menghujam
Telah kusarung
Di pinggang laksemana
Engkau mungkin ingat
Dendam yang kita
taburi
Di ranjang ujung malam
Sayup setelahnya
Hanya desah
Ya desah…!
Persetubuhan usai
sudah
Pekanbaru 2009
Ataukah Hanya Doa?
Ucapkan sebelum
termakhtum
Atau cakap sebelum
pecah di perut
Tak ada rahasia
Selain engkau dan dia
Yang telah berjanji di
alam sana
Inilah sebenarnya ruh
yang ditiupkan kemudian
menjelma sebongkah
kesombongan. Atau kealfaan
dalam menyebut
nama-namaNya. Keseimbangan
yang tertata menjadi
lintang pukang, keindahan yang
bermekaran menyusut
seiring surutnya gelombang
iman lalu bencana dan
bencana… siapa sebenarnya
sutradara?
Lihat ke dalam malam
Apakah gelap
mencengkam
Sementara di bilik
keberadaan
Melambai-lambai,
apakah tangan
Atau hanya bayang
Terbit dari impian
yang hilang
Lantas kita lupa
mematikan kemelut nafsu barang
sejenak. Padahal kita
tak pernah tahu di dermaga
manakah berhenti.
Seolah layar yang terkembang akan
melambai gagah di
setiap celah angin yang menerpa.
Seakan-akan gelombang
yang datang akan kita
taksir dengan
pandangan yang sebenarnya, olenglah
nantinya jika hanya
menyumpah di genangan darah
yang ternyata masih
basah
Kemelut yang tak surut
Apakah langkah menuju
tenang
Serupa mereka yang
meregang
Kembalikah ia dalam
pelukan yang tenang
Mencium kedamaian
dalam pelukan kasih
Inilah jalan menuju
keridhoan katamu. Setelah lama
menterjemahkan
kesengsaraan. Diri yang dipagari
nestapa berulam sesat
yang pepat. Entah ke mana
selama ini membawa
seonggok dosa yang beranak
pinak. Hati yang
mencengkam memeram dendam.
Dilabuhkan ke mana
sampai.
Lalu yang berdentum
dentam
Adalah maut
Adalah perang
Adakah kita di sana?
Ataukah hanya doa?
Pekanbaru, Awal
tahun 2009
Terpampang di Daun
Tingkap, Air Mukamu
Kado
yang kau kirim telah kutunaikan
seperti pintamu
Meski
berabad lamanya kusimpan,
kupampangkan
jua di daun tingkap
Sejelas-jelasnya
ia jadi tontonan riuh
seperti
tepuk tangan orang kampung
menyaksikan
pentas bangsawan
Tak ada kemenyan,
tak
ada jong yang dihanyutkan
Hanya
pesan cinta terbakar menjadi bingkai
Disaksikan
mata-mata yang mengisyaratkan
kegembiraan
semu
(tafsir
atas keinginan sendiri)
Membelinya di kedai-kedai reot
yang
menjual harga diri per kiloan
Sedang penjualnya mengulurkan
sisa Rupiah
dengan
mata terpejam
Takut menatap pembeli yang rakus
Gemar mengarungkan anak haram
yang
ditemukan di dalam laci uang
Lalu sebulan kemudian
kuberanikan diri
memajang
wajahmu
Wajah lelah itu dengan
menyembunyikan air muka
di
tiap keriput kulit
Jauh di garis waktu terbelakang
memang
sudah ditakdirkan
Engkau kembali dengan nyanyian
sebatang kara
Begitu
sesak kesendirian itu
Hingga muntah yang ikut serta
dalam bungkusannya
juga
ikut berdendang
Lagu tentang resah yang menyemak
hati
Tapi
sewaktu gerimis jatuh di atap rumah
Justru
daun tingkap itu menyimpan
air
mukamu
Hingga
aku mencarinya bermusim-musim
Lalu kutemukan di saat
kemarau tiba
Itupun dibantu daun-daun kering
di laman rumahku
yang
berguguran
saat
hendak kubakar, kusirami
minyak
tanah yang kucuri sendiri dari tangki
Seiring
itu azan maghrib meluluh-lantakkan
perasaan
Ketika itulah kabar tersiar bahwa
engkau tenggelam
dan
hanyut di sungai-sungai
Setiap rumah penduduk di
tepiannya
Tiap
malam mendengar tangisan pilu
yang
menyayat-nyayat
Seperti
sayatan asmara yang kau torehkan
di
keping hatiku
Dan kini jalan memang tak lagi
pernah sepi
Mungkin seri air mukamu itu
adalah bulan bagi
orang-orang
yang rindu untuk pulang
Remang yang kau tawarkan menjadi impian
tuk
dipeluk
sepasang kekasih
Di
ilalang-ilalang kampung itu mereka membuat
cinta
Aku memang pernah menyaksikan
rambut yang
tersibak
dari balik semak
Lalu dikirimkannya nafsu yang
tersungkur
lewat
tatapan
Aku pun menjadi yakin setiap pandangan
ada
dosa yang tersimpan
Mungkin saja suatu saat ia
merekah
Menjelma menjadi hadiah
Seperti yang pernah berkali-kali
kau titipkan padaku
Dan aku menganggukkan kepala
Mengiyakan sekaligus menidakannya
Tapi sekarang lihatlah di daun
tingkap itu
Janji !
Telah aku tepati
Pekanbaru, 2009
Halau Hantu di Hakulah*
Aku tak mau
mati kau !
Aku tahu asal
jadi kau !
Mati kau tahu
aku!
Asal aku tak
kau tahu!
1
Tanahku
Jangan kau tetak
Tak kan retak
Secuil pun
Tak kuizin
Kami duri
Ujungnya racun
Jangan diasah
Akan berpadah
Kelak
Menyesal tak dielak
Hapak niatmu
Tercium dulu
Hajat besarmu
Petakaku
Nak langkah kau
Maut!
Cobalah beringsut
Jangan kata mataku
buta
Hinggap kau harapkan
iba
Humban kami jika dah
senak
Lena!
sececah pun tak jua
kujinak
Hadir kau seperti
angin
Kuhancur kau serupa
air
Simbah bismilah
tawarku
Jauhkan kau dari jejak
tapakku
2
Boleh kau berlalu
lalang
Tapi ingat batasku
Itu tanah tak bertuan
Tidak untuk meretas
jalan
Hutan kusut biarkan
Parit sumbat tak
hiraukan
Paya kerontang tak
risaukan
Tinggi lalang saksikan
Katanya kami puak
terpelanting
Jangan sesekali
dijinjing
Jika pulasku terusik
Bising hulu
Riuh hilir
Kiblat kau tak berhala
Sujud kami menohak
langit
Perlu kah aku
tancapkan keramat
Sangkutkan bengis di
pinggangmu
Lalu diam
Jangan sangka padam
Jelmalah ia jadilah
sindai
Tak pulangkan engkau
ke alamatku
Tasik pauh janggi
rumah kau
Alam terbentang
rumahku
Temu kita di laman
luas
Kibas !
Yakinku kau tak
membalas
Lupa kau tuk berhias
Hari-hari gelak dan
tawa
Sedang aku bersilat
duka
Inilah kami sebaris
doa
Halaukan kau di
batas-batas
Hendakkan kau tibalah
masa
Kami terlanjur memeram
jera
Engkau hantu engkau
jembalang
Engkau berupa jasadnya
orang
Kami menyuruk di
semak-semak
Sedikitpun tak tinggal
jejak
Engkau tahu lenguk dan
lengak
Sampai paham makna
tersedak
Sentak !
Nyanyi kami serapah
laut
Nandung kami jejampi
darat
Jerat kau joran
terkulai
Jebak kami kait
jerambai
Kau nak kan
jantung nak kan darah
Kutadahkan
pawang si halau-halau
Berdarah kau
jantung kutadah
Nak halau kau
kupawang-pawang
3
Pintu langit
Talakku bergantung
Sanggakan alam
Alas bumi
Tanah ini belum dibuka
Jangan mulai
Kalau tak sepai
Mimpiku berjemput maut
Lintang lenganmu tak
kutakut
Hujam ke hutan
Tikam ke tanah
Lari tersurut
Surut kah engkau
Putri bunyian teman
berkencan
Mencipta dunia kami
berasmara
Anak kami anak jin
Anak kau anak setan
Manusia!
Tunggu saja celaka
Berpeluh-peluh tubuhku
rukuk
Balut luka kainku
buruk
Pesan datang dari
nenek moyang
Jaga hutan jaga tanah
Kampung kami milik
siapakah?
Lantang kau baca
sejarah
Kuberikan kitab yang
salah
Tuduh menuduh telunjuk
seru
Aku puah kau hilang
tujuh penjuru
Wahai !
Jemputlah aku di
anjung-anjung
Sangkut rohku di
ranting-ranting
Intaikan hantu
jembalang orang
Nak tikamkan raga tepat di jiwa
Ulamnya beretih dan ampas kelapa
Humbankan di perigi
berlubang buta
Lailah ha’ilallah…
4
Niatku
Luluhkan diri
Sepikan hati
Insyafkanlah
Wujudku
Wujudmu
Kembali
Jadi kau jadi
Asal muasal kembali ke
asal
Basuh dosa di telaga
kubur
Basuh nista di
samudera syurga
Kalam
Inginku tenggelam
Sedalam-dalam
Menyemah kelam
Di pusara Adam
Asalku disulam
Campakku ke alam
Suaku di ujung malam
Kelam
Kembalilah kelam
Ada hantu
halau-halaukan
Jauh-jauh undurkan
Taman kami tempat
berkampung
Duduk sembang terjemahkan
rembang
Petang-petang jika kau
datang
Saksilah!
Tangis kami
Menghala ke muara
Hanyutkan senyap
bersampan-sampan
Tak kah kau kasian
Tanah itu memang tak
bertuan
Tanah itu memang tak
dibuka
Sebab tahu kami akan
celaka
Jangan kau mendurhaka!
Pekanbaru, 2009
Hakulah: tanah
tak bertuan, tanah belum dibuka
Dan Cinta, Biarkan Ia
Lewat Sambil Memberikan Salam
Cinta yang membuncah
di dada ini tak perlulah
aku letupkan di
telingamu
Bagaimana pun jua
engkau sudah memercikkan rindu
yang berapi-api
Bulan kusam di mata
anak-anak kita menjadi terang
karenanya
Lalu sedemikian berat
juang untuk melarikannya
ke bukit malam
Tertatih-tatih sampai
pula kita
di lembah-lembah
gamang
Tempat di mana tak ada
alasan untuk
memekakkan gema
Hanya pantulan bunyi
yang lesap seketika
Sementara letih yang
bergelayut di pundak ini
Menjadi antah-antah
dan semangat itu menjadi
mentah lagi dan lagi…
Sedang maut serasa
semakin mendekat
Dan cinta, biarkan ia
lewat sambil memberikan salam
Wahai masa lalu yang
pergi menjadi tugu
Aku datang menjelma
pengantin
Hendak mengantarkan
tanda percintaan terakhir
Dan berlarilah aku
mencarimu
Meraih-raih kehampaan
ini ternyata pedih
Kadang kukutip
berhelai daun jatuh
di sepanjang jalan
sunyi
Mengumpul debu yang
melekat di kaki
Dan peluh yang
berkelopak telah kupetik
serupa mawar yang
hilang seri
Demikian air mata
menjadi telaga
Adalah tempat aku
menggenangkan duka menganga
Aduhai,
percakapan mesra bagai
di lamunan
Batu harap tak
terpecah jua
walau lengan
menghayunkan waktu ke depan
Bibir ucap-mengucap
sesama tapi hanya suara risau
yang berderap
Melangkah kita tak
menghiraukan hala,
sementara hujan tumpah
jua di laman
Derasnya hilangkan
jejak,
lenyapkan peta
Keraguan memajang,
mendekap ke
wajah-wajah kita yang lugu
Di antara kelenaan
menemuimu dan cinta berkarung
yang setia kutating
ini
Aku berubah manjadi
pokok kayu meninggi
Mengintip di atas
angin,
menjengah di
celah-celah awan
Barulah kusadari sudah
berapa jarak yang kau ciptakan
Hingga sesayup-sayup
memandang hanya keasingan
yang terlalu akrab
Dan tapak yang
tertancap di belakang adalah
sebuah kekalahan
Malu nak menolehnya,
apalagi sekedar
menjelingkan mata
Lantas nak salahkan
siapa lagi sedang sudah kita tiduri
seluruh musim
Sudah dijamah tubuh
sejarah yang tergeletak
di sudut pintu
Bagai foto usang ianya
tersenyum
tak membilang kenangan
Tak menghitung telah
berapa banyak tujah yang
dihujamkan ke liang
hatinya
“Hidupku bagai air
sungai sedangkan sampah-sampah
memenuhi arus”
Tepian dangkal itulah
tempat budak-budak keletah
menerkam kisah
Jangan disalah apalagi
dikutuk
Kain buruk itu memang
setiap saat hanyut
Dan lengan-lengan yang
menggapai
tak pernah sampai itu
Yang selalu mengeja
telunjuk semu
Berebut jambat nak
merapat
Atau sekedar
melemparkan kail biar tersangkut jua
Sekarang telah belajar
mengayuhkan bahtera di lautan
Hingga ribut petir
menerkamnya
Hilang ditelan angin
musim barat,tenggelam sewaktu
air naik pasang
Yang tersisa adalah
gelombang kesunyian yang
menghantam tebing
Sedang maut serasa
semakin mendekat
Dan cinta, biarkan ia
lewat sambil memberikan salam
Pekanbaru, 2009
Kau Titip Langkah Pada
Lembar Sejarah
Alm. M.Yazid
Bermula dari tingkap
usiamu yang terdedah
Hingga sampailah senja
mengusik lamunan
Engkau masih saja
mengatur rentak
Merapal gerak
Apakah sekedar
menghalau muak?
Tidak !
Ikhlasmu mencumbui
tengkah
Tanpa harus berhelah
Maka biarkan jari
jemari
Meliuk lentukan gerak
rindu
Rentak kaki yang
memperhitungkan langkah
Dan tubuh-tubuh yang
menari itu
Adalah simpul makna
Yang tersembunyi dalam
gemulainya.
“Berzapinlah di pantai
meski landai” agakku.
Hamparan sesai jangan
dijadikan alasan
Untuk tidak kau
haturkan barisan
Sebab gambus yang
mendentingkan hasrat
Dan tengkah meruas
dengan bunyi memepat
Adalah awal ritual
untuk saling mengenal
Manakah rindu manakah
celaru
“Berkinjaklah di lemah
lepai yang hinggap” ingatku.
Tikar semangat
membentang sudah
Memanjang di alur
tubuhmu yang tak kenal lelah
Takkan tergulung oleh
waktu
Dan huyung tubuhmu itu
Jadi tikaman dalam
ingatan
Betapa dapat kubaca
kitab jejak
Yang menghujamkan alfa
pada diri
Sejauh manakah
kulayari
Helah ini yang memang
tak bertepi
Wahai...
Semalam masih
kusaksikan langkah serentak
Demikian ianya berarak
Mengusung kebersamaan
dan kepedulian
Kudengar serunya
Lewat serangkaian
tarian
Sesuaikan hentakan dan
pukulan
“Inilah tari si tari
zapin
Nukilan tradisi
hiaskan negeri”
Di kampung ini tak
bisa kuhitung saksi
Nyiur menjulang tinggi
mengintaimu dalam gerak seri
Tanah lecah pun jadi
alas peluhmu yang tumpas
Dedaun dan batang kayu
getah itulah
Selalu mengantarkan
angin ketika layu kau kunyah
Dan panggung mana yang
tak dirapah?
Yang tertinggal kini
hanyalah kenang yang menyenak
“Jangan tangisi dan
usah ratapi”
Kepergian itu adalah
pesan
Langkah telah
dititipkan
Jangan biarkan sejarah
itu menjadi kalah
Sebab di sekian lembar
hari
Adalah jejakmu yang
menujah kisah
Kini
Sebaris lagu yang
masih sangkut di hati
Adalah ragam azimat
Senantiasa ‘tuk
himpunkan restu
Kami pun mengirim
talqin rindu
Dan mengantar
kepergianmu
Dengan sedulang harap
dan doa
Kelak bersemayamlah
disana
Dalam keharibaanNYA.
Pulau Rindu,
24-26 Septemberr 2010
Sajak ini untuk
mengenang Alm. M. Yazid yang dikenal sebagai seniman senior tari zapin tradisi
di Bengkalis yang kembali menghadap Yang Maha Kuasa pada 23 September 2010.
Tentang Jefri Al
Malay
Merupakan nama pena dari
Jefrizal, Amd.Sn. Lahir di Desa Sejangat, kelurahan Sungai Pakning, Kecamatan
Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis-Riau, pada 16 Oktober 1979. Menamatkan kuliah
di Akademi Kesenian Melayu Riau Jurusan Teater. Selain menulis juga aktif di
teater sebagai penulis naskah, pemain dan beberapa kali menjadi sutradara. Saat
ini bekerja sebagai reporter di Koran Riau Pos dan sedang menyelesaikan S1 di
Universitas Lancang Kuning jurusan sastra Melayu. Puisi dan cerpennya tersebar
beberapa media cetak dan antologi bersama. Kumpulan puisinya yang pertama: Ke
Mana Nak Melenggang (2013).
Catatan lain
Saya menemukan e-book ini beberapa waktu lalu, mengunduhnya, namun sayang,
formatnya bukan pdf yang saya familiar. Belakangan Ahmad Fauzy (AF) menyarankan
buku ini ditampilkan. Langsung saya sambar, punyakah yang versi pdf? Dijawab
punya. Kata saya, e-mailkan ke saya dan saya yang akan ‘bereskan’. Maksudnya,
saya yang akan memilih dan mengedit puisinya untuk ditampilkan di sini.
Sebenarnya AF menunjukkan tempat dia mendonlot buku ini, kalau tak salah di
sagang.com. Saya mencoba masuk ke sana, tapi tidak bisa. Lamannya tidak
ditemukan. Begitu. Jadilah saya minta dikirimi tadi.
Sayup-sayup, pernah saya
dengar nama penyair ini jauh sebelumnya. Namun tak pernah baca puisinya. Begitu
membuka e-book ini, alamak, puisinya panjang-panjang! Di sampul belakang ada
dua nama memberi kesaksian, yaitu Martha Sinaga dan Nana Riskhi Susanti. Kata
Nana Riskhi: “Puisi Jefry akan sangat sukses bila dibacakan dalam pentas
atau panggung. Latar belakang sebagai deklamator membentuk gaya kepenyairannya
yang selalu mempertimbangkan rima, irama, dan estetika ketika sajak-sajaknya
dibacakan.”
apakah buku itu ditulis oleh satu org atau lebih? slnya ada yg bilang kumpulan puisi dari beberapa penulis
BalasHapusMantap pak
BalasHapus