Data buku kumpulan puisi
Judul : Dayak! Dayak! Di
manakah Kamu?
Penulis : Korrie Layun Rampan
Cetakan : I, November 2014
Penerbit : Yrama Widya,
Bandung
Tebal : vi + 210 halaman (101 puisi)
ISBN : 978-602-277-735-9
Ilustrasi cover : Ade
Mulyana & Dinni Tresnadewi
Lay out : Tito
Montase : Erna Rosmayanti
Kebanyakan dari puisi ini sesungguhnya
merupakan lirik-lirik slogan. Emosi, pikiran, tema, dan imaji-imaji yang
dominan muncul di dalamnya adalah nuansa ke-dayak-an. Saya menulisnya dalam
gelap karena mata saya tak bisa melihat sejak Agustus 2012 yang lalu. (Sepatah
Kata Penyair, hlm vi).
Beberapa pilihan puisi Korrie Layun Rampan dalam Dayak!
Dayak! Di manakah Kamu?
Tumbang Anoi 1894
Musim menuba
Hutan belantara
Kabut yang mengisahkan ngayau
Negeri Dayak zaman ke zaman
“Hentikan mengayau,” seru suara tua
Suara temenggung. “Headhunting itu bala!”
Lanjutnya. “Juga perbudakan,” katanya lagi
“Harus dihapuskan!”
Tumbang Anoi 1894
Waktunya hangat dalam purba
Sebanyak 223 masalah Dayak dihakimkan
Dan 152 persoalan dapat diselesaikan
Dalam tempo 18 hari saja
“Ramainya orang,” kata pendatang Kahayan
Melihat Kapuas, Barito
Hulu, dan Katingan
Menyemut di antara Malawi dan Sintang
“Orang-orang diundang Damang Batu
Semuanya berkomitmen mendirikan kebajikan!”
Perjanjian itu mencatatkan tujuannya!
“Tumbang Anoi! Tumbang Anoi!” seru suara kini
Bergema di telinga massa
Apakah inti nurani
Penjaga legenda memakluminya?
Inilah lambang
Inilah tambang intan permata
Inilah juang
Bersatu dalam napas Dayak tak alang kepalang!
Palangka Raya, 30/8/2013
Dayak! Dayak! Di Manakah Kamu?
+ Dayak, Dayak, di manakah kamu
Suaramu sunyi waktu
Di manakah kamu, saudaraku?
Masihkah di ranah nenek-moyang dahulu?
– Ini aku selalu di Indonesia Raya
Kau dengar suaraku ada di mana-mana
Kau lihat tarianku meliuk di manca Negara
Kau dengar nyanyiku bunyi hati Nusantara
+ Lagumu merdu seantero buana
Senyummu mengurai rindu dari dasar kalbu
Kata-katamu kearifan nenek moyang kita
Cinta yang bersuara dari dasar sukma
+ Dayak, Dayak, di manakah kamu?
Kini suaramu kudengar terbungkam persoalan
Di manakah kamu, saudaraku
Apakah masih di belantara waktu?
– Di sini aku di dataran kelimpungan
Terpinggirkan oleh jemari nasib dan kemalangan
Di sini aku dimarginalkan di hutan-hutan pedalaman
Menjadi kuli di tanah ulayat nenek moyang sendiri
– Kami tak minta berlebihan, tapi secukupnya saja
Kami hanya menuntut janji sederhana ditepati
Jangan lain di bibir lain di hati, hanya bermain
kata-kata
Kami hanya minta hidup bahagia dan sejahtera!
+ Dayak, Dayak, di manakah kamu?
– Ini kami di dunia, di seantero Nusantara
+ Dayak, Dayak, di manakah kamu?
– Ini kami ada di mana-mana tapi tak ke mana-mana
+– Kami ada di mana-mana tapi kami tak ke mana-mana!
+– Kami ada di mana-mana tapi kami tak ke mana-mana!
Samarinda, 2012-2013
Liang Saragi
Hayaping Liang Saragi
Membagi matahari
Kehidupan terbagi-bagi
Jaya bulan di langit tinggi
Dua burung
Dua-duanya terbang ke utara
Memilih udara
Matahari bulan bersaudara
Samarinda, 10/9/2013
Tanjung Isuy
Doyo1
yang kemarin telah dikirim ke Roma. Kau mau ke Jakarta?
Membawa akar bahar dan segantang minyak bintang2?
Kau mau
mendirikan rumah dukun? Menjadikan ramuan ramuan
nenek-moyang
komoditas berharga di zaman merdeka?
Cucilah doyo dengan air bersih. Dengan
kelarak yang tidak
merusak warna. Jangan cuci dengan deterjen. Kain tenunan
asli itu
akan segera kehilangan cahaya. Lihat buatan jari-jemari
perempuan
yang mengandalkan kerajinan. Indahnya hasil tangan-tangan
cekatan.
Lamin segera menggelar pesta tahunan
untuk memanggil
wisatawan dalam dan luar negeri. Bukankah Kakah3
Basa sudah belajar
bahasa Belanda. Itak4 Misis sudah mahir bahasa
Inggris. Ada yang
menguasai bahasa Perancis dan bahasa Jerman. Banyak yang
nyerocos
bahasa Cina dan Korea.
Apa yang
kurang?
Barang-barang siap dipajang. Kerajinan
kiang dan berangka.
Wase dan manau siap dengan tajau yang berisi air
penyambut tamu.
Ulap doyo disampiri pada rampa5 lama. Warnanya
menyala di dalam
tenunan benang asli.
Tangga tinggi sudah menanti. Alau6
licin bersih berkilau. Tak akan
Ada turis jatuh ke tepi waktu. Tak akan ada barang asalan
dipajang tak
Bermutu. Semuanya teruji oleh ahli.
Pelabuhan lama telah menyiapkan kapal
dan perahu. Dongku dan
gagak menunggu. Bahkan burung hantu ada di situ. Menanti
bus mini
yang dulu?
Ada
tarian bermacam ragam. Gantar7 dan tari belietn8. Ada
sentiu9
dan ngelele10. Ada ucapan selamat datang.
Poet-paper11 penyambut
rezeki di balai-balai pagi. Adat berserikat rekat. Ada
oles di dahi. Oles
pupur merah kuning. Telur ayam mendinginkan panas
matahari.
Mendinginkan zaman!
Turis telah datang?
Telah pergi?
Di mana pagi?
Di mana matahari?
Lagu-lagu rijoq12 melela ke
mana-mana!
Samarinda, 11/9/2013
1 doyo
= nama serat dan nama bahan tenunan khas etnik Benuaq;
2 minyak
bintang = minyak yang dipercayai memiliki khasiat penyembuhan, bahkan
dipercayai bisa membangkitkan orang yang sudah meninggal dunia;
3 kakah
= kakek;
4 itak
= nenek;
5 rampa
= plafon;
6 alau
= alat tempat berpegang pada tangga;
7 gantar = salah satu
bentuk tarian tradisional Dayak Benuaq dan Tonyooi;
8 tari belietn = tarian
yang mengikuti tata-cara upacara belietn;
9 sentiu = salah satu
bentuk tarian yang berdasarkan upacara belian sentiu;
10 ngelele = salah satu
bentuk nyanyian;
11 Poet-paper = penyambutan tamu dengan menggunakan
seberkas dedaunan dan air bunga, agar para tamu mendapat kemaslahatan;
12 rijoq = salah satu
bentuk lagu tradisional Dayak Benuaq dan Tonyooi.
Sendawar
Kau tahu macan dahan
Yang memetik babi
Menjadi simbol
Berapi-api?
Apakah yang kurang dari kerja
Apakah yang kurang dari belietn penyembuhan raga
Dari upacara kewangkey1 dalam wara2
Dan gantar tarian nenek-moyang kita?
Kau tahu puti atau rahaaq3
Yang menjadi istana
Macan dahan yang disebut kuli
Kau tahu inti filosofi naluri?
Pasti Dayak tahu madu
Manis rasanya
Gizinya tinggi
Kau tahu khasiatnya bagi badan manusia?
Tapi puti atau rahaaq
Terkepung galian batu bara
Terkepung onderneming sawit!
Di manakah puti menghidangkan kepintaran jaji4?
Zaman berubah
Lingkungan berubah
Tinggal bencana mengancam
Tajam menusuk dari kiri dan kanan!
Palangka Raya, 30/8/2013
1 kewangkey
= upacara kematian;
2 wara
= mantra kematian;
3 puti
rahaaq = benggeris; (puti = bahasa Benuaq; rahaaq = bahasa Tonyooi);
4 jaji
= cerdas;
Sungai Kahayan
Arus tak menanti
Di tepian pergulatan
Di mana amin
Perhentian kata-kata doa
Di suratmu tertanda darah
Yang mengiringi kejantanan
Tanah cinta yang abadi
Palagan hati
Rumah-rumah bong misteri
Berjaga dari pencuri
Di suratmu menanti menang
Tantang-menantang!
Keruh sungai di dasar dalam
Menanti air
Dahan-dahan menderu
Menanti anyir
Di manakah esok?
Di api pijar cahaya?
Di manakah jejak ke akanan?
Di antrean segenap keadilan?
Suaramu suara senyap
Tak bertapak susuran cahaya?
Palangka Raya, 31/8/2013
Purukcahu
Rahmat dan bahagia
Mengail belida
Negeri para kekasih
Di mana legenda
Di langit perunggu
Ada enggang – Unggom Tingang1
Di manakah Putir Bangking Garing2
Banama Bulau3?
Purukcahu
Negeri Dayak Siang dan Murung
Terlibat panas api saing-sinaing Perang Banjar
Bertahun-tahun hingar bingar!
Cakrawala membuka tirai
Jemari hujan yang rimis
Di dalam gua nenek-moyang
Katamu, “Berjuang! Berjuang!”
Landak dan trenggiling
Melubangi waktu
Lalu tekukur dan burung punai
Mengungsikan padi buah beringin tua
Buahan musim
Buahan raja
Menunggu lidah
Manis suara
Palangka Raya, 30/8/2013
1 Unggom Tingang = lengkapnya ‘Menyamei
Limut Garing Balua Unggom Tingang’ artinya sari pohon kehidupan yang dipatahkan
oleh tingang atau burung enggang;
2 Putir Bangking Garing = nama
lengkapnya, ‘Putir Kahukup Bangking Garing’, yaitu putri dari kepingan gading;
3 Banama Bulau = bahtera
emas.
Nansarunai
Berdiri di zaman pahit
Ma’nyaan dan Nansarunai
Gajah Mada di dalam Majapahit
Menyatukan Nusantara raya
Terlibas Nansarunai di jantung Kalimantan
Disatukan oleh Sumpah Palapa
Di manakah kau dengar ceritanya menggegar
Sampai orang Ma’nyaan eksodus ke Madagaskar?
Ratap tangis Dayak dalam sansana sasakala
Mandi danau air telaga
Di manakah kau berjaga jiwa mulia?
Saat kematian mengambil raga?
Di sisi zaman yang bisu dan tuli
Siapa yang berlalu bersama kutukan?
Sudahkah tuahmu memberkati
Betang rumah-rumah penuh keinginan?
Tak ada yang tak pergi
Juga cinta
Tak ada yang tak pahala
Juga ladang bumimu dunia
Hanya mulut yang terus bicara
Hanya hati yang tetap menggaungkan kata-kata
Pegunungan setia!
Palangka Raya, 30/8/2013
Gunung Bintai Awai
Gunung berbintang
Menerbitkan ruang
Tanda waktu nenek-moyang
Membenihkan padi
Beras yang lawas
Di dalam gantang emas
Terkecuali kuali
Tak ikut mempertinggi frekuensi
Asyik bicara asyik upacara
Membuang masa
Tergali tambang terbersihi lahan
Sawit di subur huma ibunda
Kegandrungan berlebihan
Pada lubang dan jala
Yang membersihkan cuaca
Sungai-sungai kehilangan muara
Banjur mengail toman
Di malam-malam pertunjukan
Kata-kata Singapura
Gita rupa Dewa Budjana1
Semangat sosialita
Kapan tercipta bahagia?
Urat-urat penakluk
Menekuk bahasa warna
Di sini hutan
Di sana langit
Bilakah langit dijunjung tanah dipijak
Selain persiltan dolar dan rupiah?
Hanya kata-kata bahagia
Membubung di angkasa
Samarinda, 5/9/2013
1 Tulisan Cokorda Yudistira
tentang pertunjukan Grup Dewa Budjana, Kompas, Minggu, 1 September 2013
Tenggarong
Kota tua mengurai waktu
Dalam sejarah
Kota Raja
Jalan-jalan padat biografi
Pulau Yupa
Pulau bertulis aksara negara
Pulau Kumala
Berbuku-buku abjad samsara
Tenggarong
Melahirkan Awang Long1
Kesatria yang mengenyahkan penjajah
Membangun jiwa kepahlawanan
Di dalam botol kegamangan ajaib
Terurai titik-titik nasib
Yang memalang-melintangkan jeroan
Mengerat-ngerat usia tak alang kepalang
Inilah anatomi
Akar-akar pohon merdeka
Laut tak pernah tumpah
Menggempa pantai segala
Inilah tema
Ruang-ruang istana jiwa
Putri juriat raja-raja
Bekerja di rimba-rimba menantang!
Swiss-Belhotel Danum, Plg,
30/8/2013
1 Awang Long = nama lengkapnya Awang Long Pangeran Ario Senopati; pimpinan
angkatan perang Kerajaan Kutai, tewas kerobohan tembok istana, 12 April 1844,
saat menghadapi serangan pasukan Belanda di bawah pimpinan Letnan I’t Hooft.
Tepulang
Tanda bahagia raya
Cungkup batur nisan kuburan
Yang menjadi kepastian
Kata-kata kekekalan
Inilah jalan pulang
Menuju pintu
Tak ada jalan lain
Yang menanak restu
Rumah-rumah piatu
Menuliskan yatim di pintu
Kebun tanaman membuka jiwa
Tak habis-habis kelola
Hanya lungun1 yang menerabas
Lou2 belakang hari
Rezeki berkomit pada sawit
Yang memeras putih tulang keluarga!
Jalan menyilang ke utara
Jalan rasa
Tertatih-tatih langit putih
Membersihkan ikan buntal3!
Ikan betutu
Tidur di batang4 lapuk
Kaukah di situ?
Meringkuk di hitungan tanah urug?
Samarinda, 10/9/2013
1 lungun = peti mati;
2 lou = rumah panjang orang
Dayak;
3 ikan buntal = ikan yang
berduri tajam, kalau disentuh badannya menggelembung bundar;
4 batang = kayu gelondong;
Malinau
Daun damar meranti jiwa
Luruh bersama goda
Yuvai Semaring dalam legenda
Mengurai benang kisah lama
Bayang di sisi murung
Seperti dinding suara hidup
Kapal-kapal burung laut
Memburu dendang yang tak kenal musik
Dayak memaknai lagu
Seperti kidung dewa-dewa kuasa
Kaukah di situ di rawa paya
Air mata tanpa suara
Ini Malinau
Tanah sejuta mulia
Tanah Adam
Di manakah: Hawa?
Swiss Belhotel Danum, plg, 31/8/2013
Danau Wengkay
Tatau Antik Konat1
Yang menikahi tulang rusuknya sendiri
Ave Bungen Tana2
Melahirkan anak-anak celaka
Didihan danau jiwa
Membuka perserikatan raja
Ke mana kehidupan juriat lama
Menuba sungai-sungai tak bernama
Orang-orang memalangkan pintu
Menghindari pengayau zaman dahulu
Kaukah Tatau Antik Konat
Yang menipu zaman baru?
Danau ini danau wengkay
Mendidihkan upacara
Di dasar segara
Inces zaman kita?
Tak ada hari
Biang pengendara loji
Tak berisi teka-teki
Ke mana pergi?
Segala yang kuno
Membaca toko
Segala yang menekan
Membaca swalayan
Hanya ketika3
Menunjuk-nunjuk data
Zaman yang buta
Tuli dan renta!
Danau buaya disangka mati
Birahi berapi-api!
Samarinda, 10/9/2013
1 Tatau Antik Konat =
menurut mitos orang Benuaq, merupakan manusia pertama yang diciptakan.
2 Ave Bungen Tana =
perempuan pertama yang dilahirkan dari tulang rusuk Tatau Antik Konat
3 ketika = tanggalan Dayak yang berisi petunjuk untung dan rugi, malang dan
bahagia, mujur dan nahas setiap harinya, berikut tanda-tanda khusus mengenai
pemberitahuan alam kepada manusia saat sedang beraktifitas.
Kuala Kapuas
Jalan lencangan walo1
Jalan pilihan berarah tak pasti
Jalan ke balik bumi
Jalan misteri
Di manakah jalan kahyangan
Gunung Lumut2?
Gunung para roh
Surga yang kekal?
Ada kisah wara3
Peyuyatn turu tengkatn4
Adakah kau benar pilihan?
Melangkah sesuai arahan?
Segala rebah segala berjalan
Segala bedebah
Memikirkan badan
Hancur di tanah roban5
Menilik dan menitik
Darah penghabisan
Titik-titik arti
Iman! Iman!
Samarinda, 5/9/2013
1 lencangan walo = delapan
simpang
2 gunung lumut = surga orang
Dayak
3 wara = mantra kematian
4 peyuyatn turu tengkatn =
surga pada tingkat langit yang ke tujuh
5 roban = nama hutan
Puisi Kepada Istri
Kutulis puisi ini
Saat perjalanan ke Palangka Raya
Menghadiri Rakernas MADN yang ke II
Membicarakan perjuangan Dayak semesta
Kutulis puisi ini
Di sela-sela pidato dan diskusi
Yang hangat dan kadang tajam seperti pisau besi
Dayak bangun dari tidur di abad-abad bahari
Kutulis puisi ini
Dengan mengutip suara diskusi
“Dayak tak mau lagi jadi objek
Dipinggirkan dari tanah nenek-moyang sendiri!”
Suara peserta entah dari Sukamara
atau dari Kasongan. “Kita telah bosan
Jadi penonton tak mendapat apa-apa
Di tanah merdeka!” lanjutnya berapi-api
Kata-kata lainnya meluncur tajam, “Saya protes terhadap
pernyataan, ‘Bahwa hukum adat ada di bawah hukum formal.’
Bukankah hukum adat sama kedudukannya dengan hukum
formal lainnya seperti hukum pidana dan perdata?”
Diskusi makin panas. Pemakalah menjawab mengambang.
Tentu saja meraka bukan pengambil keputusan. Itu yang
membuat peserta makin penasaran. “Kami ingin kepastian,”
kata seorang peserta, “Mudahkan kami mendapatkan
sertifikat!”
Katanya lagi. “Seperti kebijakan pada transmigrasi. Ini
kami
penduduk asli seperti belum mengeyam kemerdekaan.
Susahnya bukan main kalau mengurus itu dan ini.
Apalagi kalau mengurus tanah dan izin bangunan!”
“Apakah kami harus merdeka sendiri?” seseorang yang tak
jelas menyebutkan namanya. “Borneo merdeka?” lanjutnya
“Kami senang dengan NKRI. Tapi kami selalu dibuat tak
senang
Disusahkan oleh kebijakan. Oleh aparat yang suka korupsi!”
katanya
“Kami dipinggirkan ke hutan oleh nepotisme. Oleh kolusi
antara
pejabat negara dengan kaum kolutor. Kami dimiskinkan
secara
struktural. Kami memohon ini dan itu. Tak pernah didengar
Bahkan tanah kami dirampas untuk tambang dan sawit!”
“Itu betul,” kata pembicara lainnya yang segera merebut
mik.
“Anak-anak kami tak bisa sekolah. Mereka yang lulus SD
hanya
membantu orangtua di ladang. Tak ada anak-anak kami yang
membantu orangtua di ladang. Tak ada anak-anak kami yang
bisa masuk polisi, tentara, IPDN, bank, atau jabatan
strategis lainnya. Kami hanya menonton dengan hati
menangis!”
Kutulis puisi ini
Dengan mencatat kata-kata diskusi. “Itu sebabnya kami
mohon
Rakernas ini membuat rekomendasi dengan batas waktu pasti
Agar pemerintah pusat tahu bahwa Dayak itu ada!” katanya.
“Dayak memang ada,” peserta lainnya angkat bicara
Bukankah Dayak sudah ada sebelum ada Indonesia?”
lanjutnya
“Itu sebabnya Dayak sakit hati diperlakukan secara tidak
semestinya
“Seperti pelayan di rumah sendiri!”
“Ini persoalan hak,” sambut peserta entah dari Tanah
Bumbu
atau dari Murung Raya. “Hak kita belum diberikan.
Tapi kewajiban harus kita penuhi.
Itu namanya penipuan dan pemerasan!” katanya bersemangat.
“Bukankah tujuan negara itu mensejahterakan rakyatnya?”
“Benar demikian, saudaraku!” kata peserta dari Samarinda
atau Berau
“Kita harus berjuang meminta ke pemerintah provinsi. Atau
Pemerintah kota maupun pemerintah kabupaten. Untuk
memudahkan kita berinvestasi. Jangan seperti sekarang ini
Harus melewati seribu pintu.” Suaranya serak mungkin
karena
Emosi. “Kita memang tak ada kekuatan. Pinjam bank saja
susah.
Karena tak ada beking. Semua sekarang ini harus ada
beking
Tanpa beking kita akan terlunta-lunta!”
Kutulis puisi ini dalam suasana emosi
Peserta Rakernas memuja Dayak yang terpinggirkan
Menangisi ketertinggalan sepanjang usia terlilit
kemiskinan
Mencoba mencari solusi keluar dari keterpurukan
Kutulis puisi ini untuk istriku tercinta
Sebagai Dayak aku miris duduk di kursi panas kehidupan
Mengalirkan napas pemikiran
Di ruang-ruang peradaban
Aku ingat kata-kata teman seperjalanan
“Kalau Borneo merdeka
Bukankah kekayaannya berlimpah ruah?
Tapi kita sesungguhnya tak mau berpisah dari NKRI?
Kita mau bersatu
Tapi NKRI selalu membuat kita sengsara
Apalagi kehidupan di perbatasan
Hidup memalukan seperti pengemis ke negara tetangga!”
Kutulis puisi ini
Untuk istriku tercinta
Aku akan pergi ke Tumbang Anoi
Napak tilas perjanjian penghentian pengayauan
Kutulis puisi ini
Sebagai Dayak penyair
Aku cinta padamu istriku Dayak tercantik
Bunga terindah Tamiang Layang
Kata-kata tak berhenti di sini
Tapi Rakernas akan menutup pintu
Aku akan segera pulang memelukmu
Di cahaya pagi cinta kita yang satu!
Palangka Raya, Swiss Belhotel Danum, 31/8/2013
Loksado
Huuuuuu, erai dua tolu opat1
Balian menari di lantai balai
Bau depa perapenan akar wangi
Asap memenuhi udara
“Segala penjaga hunjur Meratus
Segala utus,” seru balian raja. “Penghuni gunung
Keseratus tak terlihat mata. “Datanglah datang
Menghalau penyakit kutil racun disentri….
Yang mematikan. Datanglah datang
Menuruni rentilui2 tabuhan gendang
Dan gong selepukng3 besar suaranya
Datanglah bersama suara.”
Suasana dalam betang4 riuh getang
Mantra diucapkan dengan kata-kata Lawangan
Sakaw makin sakaw
Meraja udara bau dupa
“Raja pegunungan apa salah dan dosa
Menjadikan hutan kami tanpa sisa
Huma tak menjadi dan langit menularkan
Hama,” kata kata balian menekan
“Penyakit bisul rajasinga
Pergi, penyakit kulit dan panu
Penyakit kanker serta lever
Diabetes penyakit darah tinggi!”
Tegang riuh. “Penyakit pusing asam urat
Malaria. Penyakit hernia masuk angin
Patah tulang. Penyakit lepra.
Pergi semua,” seru balian mengenyahkan
“Segala penyakit mata, pergi,” serunya
“Jangan lagi ditipu India. Jangan membuang uang
Percuma. Orang dalam orang siluman beri tangan
Jari-jari kuasa mengobati…”
Suasana hening genting
Balian membanting
Getang nyaring
Sreeeeengngng suaranya suara batang garing5
Gelap betang terang
Mata damar menyinar
Bau dupa harum dupa
Samarinda, 5/9/2013
1 erai dua tolu opat = satu
dua tiga empat;
2 rentilui = tempat
naik-turunnya roh-roh yang dipanggil;
3 selepukng = gong yang
diameternya paling lebar;
4 betang = rumah panjang
orang Dayak, sebutan dalam bahasa Ngaju;
5 batang garing = pohon
kehidupan dalam filsafat Dayak Ngaju
Kuala Pembuang
Jalan kuala
Jalan jin buang anak
Dibuang-buang sayang
Siapa memaling orangutan tanjung puting?
Kayu-kayu dibantai pengusaha
Berapa kerugian negara?
Rumah-rumah habitat hewan
Terpelanting ke tanjung miring
Di mana angsa
Di mana maleo
Orang berdansa di ruang dingin
Tak lelah mengaso
Jalan burung jalan murung
Jalan roh yang diusung
Kau beribu bingung
Kau selalu tak menangguk untung
Bual air bual sayur
Menunjuk-nunjuk ranah
Kau ngelindur di depan sipir
Menunggu-nunggu penjara
Tak ada kalender
Yang bertahan hari
Tak ada geger
Yang tak menyangkut nurani
Hanya jembatan kayu
Yang membantu
Jalan gang buntu
Menuju tempelaq1 rumah hantu
Samarinda, 5/9/2013
1 tempelaq = kuburan gantung
Dayak Benuaq
Long Apari
Ini perbatasan
Tak ada jung atau tongkang
Di sini gunung besi jurang tinggi
Tanah bukit dingin sekali
Tapi lebih dingin kesengsaraan
Yang melapis hidup di dalam badan
Di sini ruang hutan terbuka
Bukit-bukit lindap cahaya
Jauh ada patok negara
Yang berpindah setiap tahunnya
Kayu-kayu diangkut dengan heli
Pohon-pohon segera pergi
Kata orang ini beranda negeri
Tapi kaulihat sendiri
Beranda tanpa tiang tanpa palang
Dimasuki sesuka pialang
Pos remang pagi
Kemah perbatasan
Samarinda, 5/9/2013
Dayak, Dayak, Suaramu Sayup Suara
Dayak, Dayak, suaramu sayup suara
Di zaman purbani suaramu ria
Ada di mana-mana
Tapi tak ke mana-mana
Di angkasa tangismu meninggi
Habis hak ulayat dimakan sawit
Di manakah berhuma?
Di manakah susu ibunda?
Dayak, Dayak, suaramu kehilangan suara
Serak temanmu berkata, “Inilah nasib Dayak
Orang lain memiliki tanah
Tapi kita hanya memiliki air saja.”
Tanah air memuji bahagia
Tapi Dayak kehilangan kayu batu bara
Kehilangan ladang kuburan lama
Kampung kerbau kuda tertawa
Janji-janji pemerintah pusat dan daerah
Manis semuanya
Tapi kenyataannya hanya di atas kertas
Di bibir lidah tak bertulang
Dayak, Dayak, suaramu kehilangan suara
Di angkasa merdeka
Kapankah merdeka?
Dayak ada di mana-mana tapi tak ke mana-mana?
Samarinda, 4/9/2013
Sungai Lamandau
Kali yang abadi
Menusuk langit
Menusuk bumi
Membiakkan kehidupan
Siang dan malam
Samarinda, 5/9/2013
Tentang Korrie Layun Rampan
Korrie Layun Rampan lahir di Samarinda,
17 Agustus 1953. Merupakan pendiri dan pengelola Pusat Dokumentasi Sastra
Korrie Layun Rampan. Menjalani beragam profesi, mulai dari wartawan, penyiar di
TVRI dan RRI Pusat Jakarta, dosen, peneliti, dan anggota DPR. Telah menulis
sekitar 357 judul buku, meliputi sastra, biografi, kebudayaan, antropologi,
sosiologi, dll. Menerjemahkan sekitar 100 buku cerita anak dan sejumlah karya
klasik dunia. Kumpulan puisinya al. Arus Sungai Nyuatan (2014), Kaharingan,
Anomali, Ave Bungen Tanah, Tanah Bernyanyi, Jeram Jiwa, Kepada Angin, Ceruk
Musim, dan Tanah Terluka yang dikerjakan sejak Agustus 2013. (nb.
belum termasuk kumpulan puisi sebelum-sebelumnya). Novelnya yang terkenal Upacara
(1976), Api Awan Asap (1998).
Catatan Lain
Ada
beberapa hal yang baru saya ketahui dengan membaca buku ini. Salah satunya
tentang sang ayah penyair, Paulus Rampan. Di halaman 207 ditulis begini:
“Selama revolusi fisik, Paulus Rampan merupakan anggota militer dari Divisi IV
Kalimantan di bawah pimpinan Brigadir Jenderal H. Hasan Basry. Kemudian hari ia
mengundurkan diri dan menjadi veteran perang karena harus menggantikan tugas
ayahnya sebagai kepala adat.”
Ada
beberapa tempat dan bentang alam di Kalimantan Selatan yang menjadi inspirasi
dan judul bagi puisi-puisi penyair, al. Loksado (hlm. 15), Tanah Bumbu (hlm.
65), Sungai Barito (hlm. 71), Amuntai (hlm. 78), Marabahan (hlm. 99), Tanjung
(hlm. 148), Kota Baru (hlm. 171). Namun, tempat dan bentang alam tersebut hanya
dibayangkan, karena penciptaan puisi-puisi tersebut dilakukan di Samarinda dan
Palangka Raya. Sebaliknya, ada juga puisi yang dicipta di Banjarmasin, tapi
pikiran penyair melanglang jauh ke al. Sangatta (hlm. 29), Penajam Paser Utara
(hlm. 64), Ampah (hlm. 175), dan Muut (hlm. 186). Namun, kebanyakan, tempat
penciptaan puisi adalah di Samarinda.
Ada
dua sajak yang agak “membingungkan” dan membuat saya berpikir ulang. Puisi
“Tanjung”, sebenarnya isinya lebih tepat disebut sebagai demo memasak mie ayam.
Resepnya dikutip, menurut catatan kaki puisi, dari Koran Tribun Kaltim edisi
Minggu, 8/9/2013. Format penulisan menggunakan format paragraf. Dan penutup
puisi itu berbunyi: “Anda mau buka restoran mie ayam? Inilah zaman
keberuntungan./Anda akan mendapat untung dari resep yang ditulis dalam puisi
ini.//Selamat!”
Puisi
satu lagi membuat saya “ternganga”, yaitu puisi “Amuntai”. Ayah saya bertanah
air di Amuntai, setiap tahun pulang kampung. Jadi wajarlah, jika sedikit
banyak, saya ada pertalian batin dengan kota yang satu ini. Mari kita nikmati
dulu puisinya:
Amuntai
Indahnya Amuntai
Melebihi Roma
Selimutnya rohani
Azan bertalu musimnya
Indahnya Amuntai
Melebihi Paris
Sungai-sungai mengisi ikan
Di jamban-jamban peradaban
Lais belida baung julung-julung
Bersaing dengan bebek di api panggang
Jauh Singapura dekat Bandung
Kata-kata di antara riung gunung?
Amuntai dipanggil kota
Sejak Kuripan Negara Daha1
Kau ingat sejarah lusuh
Di sekolah tengah sawah?
Waktu memanggil-manggil rumah
Di mana Husida?
Di Tamiang Layang atau Tanjung
Negeri pertiwi Nansarunai2 abadi?
Sansana3 melagukan ratapan
Di mana Amundai
Indahnya melebihi Washington
Kota-kota tak berpantai
Tuah Amuntai
Tuah Putri Junjung Buih
Pangeran Samudera yang jaya
Samarinda, 5/9/2013
1 Kuripan Negara Daha = kerajaan sebelum lahirnya Kerajaan Banjar di
Kalimantan Selatan
2 Nansarunai = kerajaan etnik Dayak Ma’nyaan
3 Sansana = lagu sedih orang Ma’nyaan
Waktu
mengambil buku ini dari rak di rumah Hajri, dan terbaca sekilas. Dengan tertawa
saya tunjukkan puisi ini ke Hajri. Komentar Hajri singkat: “Katuju ni
bubuhan Amuntai!”. Luar biasa puisi ini.
Dalam penglihatan penyair, Amuntai lebih indah dibanding kota-kota dunia macam
Roma, Paris dan Washington. Namun belakangan saya merenung, bahwa ini bisa
terjadi pada siapapun penyair yang memandang suatu kota berdasarkan nilai
sentimentalnya. Sembari mempertimbangkan kemungkinan lain, jangan-jangan Bang
Korrie terpandang kota di alam gaib warisan kerajaan Negara Daha. Nah iya am…
Ba antalogi puisi asiknya, tarima kasih ,, ,,
BalasHapusWaaah kalimantan tengaaah sangat bagus
BalasHapusSangat membantu untuk mata kuliah kajian kebudayaan melalui analisis puisi ini
BalasHapus