Data buku kumpulan puisi
Judul : Manusia Istana
Penulis : Radhar Panca Dahana
Cetakan : I, Maret 2015
Penerbit : PT Bentang
Pustaka, Yogyakarta
Distribusi : Mizan Media
Utama
Tebal : xviii + 166 halaman
(31 puisi)
ISBN : 978-602-291-047-3
Ilustrasi : Tatang Ramadhan
Bouqie
Perancang sampul :
Kemalreza Gibran
Penata sampul : Anisa
Meilasyari
Pemeriksa aksara :
Pritameani
Penata aksara : Martin
Buczer
“Aku akhirnya sampai pada
kesimpulan, politik adalah hal yang terlalu penting untuk ditinggalkan hanya
pada para politisi.” Charles de Gaulle, 1890 – 1970.
Beberapa pilihan puisi Radhar Panca Dahana dalam Manusia
Istana
KAMPANYE HARI KE-5
“wahai durga kala
hujani kami dengan ludahmu
pengapkan hidung dengan dusta
dan biar mereka, seratus juta telinga
mendengar: dunia milik mereka!
bangsa
jadi nasibnya
kuasa
adalah tuhannya
uang
untuknya menyerah
utang
seraplah dalam darah”
“rakyatku,
kalian bukan batu terinjak
bukan tanah tandus terbajak
bangkit rakyatku,
lawan pemimpin tipu,
pengempit hartamu,
penjajah palsu dan agama hantu,
sebab semua itu, rakyatku
semua itu … milikku!”
“hahaha … milikku!”
“demi pendiri bangsa ini,
aku bersaksi, kitalah bukti
kedaulatan sampai mati, hati
mengecoh nurani, dan ekonomi
= harga diri.
maka, lihat aku … lihat aku!!!
masa dalam mimpimu, pilihan
tanpa sangsi, penguasa segala
kroni, penyambung lidah korporasi
setia berjanji: makmurlah negeri
kokohlah jati diri, sejati dalam janji
untuk sendiri menanggung upeti
pada pemimpin abadi:
tuan modal bijak bestari.”
“hahaha …”
“pilihlah aku, tak salah lagi.”
POLITIK ITU HUTAN, ANAKKU
cahaya,
bila pagi benar kau mendatanginya,
ingatlah: setapak yang kau temukan
tak senantiasa penunjuk jalan
mungkin ia menuju gua ancaman.
atau pastikan: perdu yang menutupi,
onak dan batu tajam di langkahmu,
jurangjurang gelap di sial nasibmu.
tapi kau harus tetap berjalan
khalayak di belakang menututimu
di atas langit mengatapimu
bintangbintang mengawasimu
selembar peta menunjuk arahmu.
dan bersyukurlah,
peringatan ini kuberikan padamu
bukan melulu ular dan babi hutan
menyerang di gerak pertamamu
tapi akar bergayut, pohon tua,
buah jelita, hingga kadal jenaka
tangkas meracunmu, di detik kau
mengira mereka menyukaimu.
cahaya,
bukan pelajaran kuberikan
tapi darah kuwariskan
anyir yang tetap basah di hutan ini
di penjelajahan dan pengabdian
yang kini tinggal perang dan tualang
tinggal menang atau pecundang
di mana semua lawan dilenyap kawan.
bertaut jijik, segala kita rayu
semua kita akrabi
untuk akhirnya kita khianati
atau buktikan bila tidak
darah segar di perut dan kepalaku
jadi kekalahan bodoh yang tak perlu.
ya, hutan ini, anakku
rimbun, cantik, segar, menjanjikan
bila kau menikmatinya
hasut, fitnah, ingkar, dan dusta
bila kau merasa memilikinya.
maka bila siang ini,
kau berdiri di bukit pinus itu
buanglah pucuk cemara bergoyang itu
ambillah akar penuntunmu
nikmati kuasa tanpa nafsu
kecuali gemetar di tubuhmu
kecuali gentar di akalmu
dan gagah dalam jiwamu.
adab hutan ini, cahaya
adalah jarak tanpa senti
hatimu dengannya
semua daya hidup
bagi khalayakmu
adalah masjidmu
adalah usiamu
tapi bukan rumahmu
bukan rumahmu!
berumahlah di padang
di mana semua bermula berasal
di mana kau jumpa segala soal
di mana kau buang sesal dan kesal
di mana keluarga selalu berihwal
tumpahkan perjuanganmu
hasil manusiamu
dan riwayat kuburmu
padanya, padang yang lapang.
dan uh …
bila malammu tiba
tetirahlah di gua
temukan lenyap dan senyap
cahaya dalam dirimu
cahaya yang menggelapmu, cahaya
dari padang, manusia dan hutan ini
kecuali satu: Ia
tempatmu bertumpu dan menuju
dari padang rumahmu
ke hutan gelap itu.
SEJILID KOMIK KRITIK-POLITIK
tapi ia sudah jadi sinema
di bioskop dan dividi rumahtangga
hiburan murah tampaknya mewah
negeri indah di tumpukan sampah.
di paripurna perlemen, kursi kabinet
meja hakim, seragam polisi, tongkat
jenderal hingga pemimpin pilihan
publik, katanya.
cerita-retorika dimainkan
kebijakan diputuskan
perdebatan digulirkan
ramai benar rumah negara kita
seolah benar negeri ini ditata
tapi di ujung telepon
atau sudut ruang pemerintahan
tekanan tawar-menawar dan ancaman
mendahului semua cerita
melampaui segala prakira
hanya beberapa kepala berbunyi kapita
pakaian necis, rambut kelimis
membuat semua yang merasa kuasa
tak berdaya: jadi kelinci lucu
atau bidak-bidak yang berlagak lagu
membuat politik menjelma kronik
jadi gosip berpilin kritik.
tata negara kini tata kapita
ekonomi mesin: rakyat diperalat
konstitusi tinggal katakata mati
bukan lagi singgasana berkuasa
gergasi modal tak kasat mata
intelijen jadi darahnya
triliuner lokal makelarnya
dan komik pun terus cerita
pahlawan palsu genit bergaya
media massa memamahnya
kita mengunyahnya.
dan kemiskinan jadi jambannya
kebodohan hasil residunya
bencana di ampas masa depannya.
di kursi penonton
sinema itu tetap memesona
wanita cantik hero yang tampan
negeri kini tinggal hiburan
direproduksi untuk bisnis sampingan.
betapa lucu gaya pimpinan
pahlawan lugu tidur kemalaman
rakyat senang menjadi korban.
komik ini, komik politik
entertainment tak ada habisnya
kesenangan di sisa jiwa.
DEMONKRASI PAGI INI
belum lewat jam enam pagi.
2.100 kaki memadati garasi
seri E, alphard, camry, dan satu pintu
lamborghini, sejak subuh pergi
berganti spanduk dan slogan,
megafon, kamera dividi, dan
sarapan pagi, lengkap:
nasi padang, telor, sambal,
ayam panggang, dan tusuk gigi.
“saudarasaudara, mari kita mulai
dengan santiaji!”
keserakahan dan korupsi
jadi urat nadi di negeri ini
kita adalah darahnya saudarasaudara!
keparat dan bajingan asing
komprador yang melulu bising
mengisi kantor dan rekening
lalu kita, jadi nasabahnya, saudara!
jadi, janganlah bimbang
mari berjuang dan menang!
lawan perusak negara, lawan
ayo, bariskan ambisi
kuras habis negeri ini.
merdeka! merdeka!
merdeka kekayaan kita.
lewat sedikit jam tujuh pagi
2.100 bersalin 10.000 sepatu
memacu nafsu, mengepal tinju
hari ini parlemen, istana, mahkamah,
kejaksaan, dan ka-pe-u kita serbu!
turunkan penguasa dan penipu
benalu kesejahteraan
juga kerakusan kita.
hahaha … tak perlu ragu, saudaraku
semua ada ganjarannya
semua aman kantongnya
semua ikut saja denganku
elitelit yang demonkratis
demondemon yang bau amis
lipat 10.000 jadi 10 juta
jarah 10 juta jadi semiliar harta
selamatkan semua,
lengkap dengan subsidi, be-el-te,
hibah, pinjaman, valuta, saham,
dan kapital segala modal.
kabarkan pada semua
turun ke jalan naik singgasana
di bank terdekat kita bersua
berbagi rizki dan sedikit kuasa
tanpa tanya tanpa mengapa.
demonkrasi .. hidup demonkrasi
dengarlah aku bersumpah
kita akan jadi sejarah
membela tanah tumpah darah
demi bangsa tegak dan gagah
demi harta kita melimpah
bersekutu sedikit dengan penjajah
sekadar taktik, tak apalah
yang penting, kita tak pernah kalah
hahaha … tak pernah kalah.
demonkrasi …
hidup demonkrasi!
DI TOILET ISTANA
bahkan kertas tisu
harga sebulan susu anakku.
pukul empat sepuluh sore
dendang lagu membentak tembok tua
lampu kristal menggerutu,
siapa mengoyak wibawa sunyi?
“oo …
tuan rumah tengah bernyanyi …”
wastafel ketus membeku
sabun cair celoteh tak tentu
dan peturasan menggerojok air
dengan wangi mantan pacarku
di dinding, cermin besar tertawa,
“berapa
sudah orang besar
mematut
plastik wajahnya
mengemas
iblis ambisinya
di bening
jidatku, tanpa tersipu”
aku tersenyum,
meraba air hangat
merasa lembutnya mimpi istriku
dan membasahi rambut
“laiknya menteri akan diganti,”
hahaha … keramik impor terpingkal
cermin terbahak tawa
aku menyerapah sumpah
tapi senandung itu,
desibelnya menggetarkan
perempuan di kanvas sujoyono
dan kuda raden saleh memekik
menerobos lubang air
tempat ludah menyesali kedatanganku
aku meremas handuk hangat
seperti memeras rezeki keluarga
aku pamit pada air seniku
karena acara segera selesai
lagu mencari koda yang tak usai
toilet itu tersenyum
parfumnya menyengat, membuat
foto di dompetku cemburu
aku juga tertawa
tak mengira, 20 menit
aku berteater dengan toilet istana
panggung paling merangsang
sebab hati dan kepalanya terang
empat tigapuluh sore
kubelakangi pintu panggung itu
yang menutup tanpa debam
yang tersinggung tanpa dendam
cuma suara lagu terus mendengung
terpenjara dalam panggung
memantul antara cermin dan
peturasan, memberi hiburan
bagi orang besar, mana saja
yang segera masuk becermin
dan tak menyesali
kotorannya pergi
WARISAN AKHIRMU, SUKARNO
soetardjo boleh bicara
kalimatku berkabut dusta
prinsipku mentah di data
soetardjo telah bicara
tapi dengar aku, saudarasaudara!
bukan cuma tujuh kaki samudra
bukan hanya tuhan 25 bangsa
bukan semata seribu mantra purba
tapi juga berjuta dusta manusia
ratusan abad kekejian mereka dan kita
baphomet tua di balik tirai jendela
juga brutus yang berpeluru kata
bergumul di dadaku
berkedip di neuron otakku
bersayap di bibirku
aku, hai saudaraku sebangsa
memberimu lima, tak cuma
mencipta masa, tak hanya
tapi mengapa kalian bengong terlena
sekujur diri pasi tak berdaya?
silakan,
yamin bicara
kalimatku sementah buah palapa
soepomo bicara
mengurai negeri berpuluh bangsa.
tapi ingat padaku, saudara
sebelum pesan menguap di licin kepala
makna berludah ditimbun fitnah
dan syahwat menggadaikan kuasa:
ini negeri,
bakal runtuh dan belah
bila yang lima kau pecah
bila silasilanya berbuah serapah!
dan lihat jiwa di balik jubah barumu
matanya hijau penuh silau
bibirnya tipis cakap mengiris
di mana tanah sepeluk jiwamu
air yang menggarus zamanmu
tinggal remah remeh
di pinggan sarapanmu
bibirbibir menjadi salju
bayibayi mengejang kaku.
maka, sebelum ini darah
habis dan mengering sudah
peluk hatimu, padatkan pikirmu
lekat jadi satu, jadi tentu
selempang aku di dadamu.
rangkum yang lima jadi senjata
hardik mereka tepat di muka
tentang mereka mata ke mata
jadilah makna
jadilah tegak semua kepala
biar seiris nyawamu sisa
biar giris jiwa tersiksa
kita bersama
senatiasa.
UNTUK PENYAIR ASOS
ketika makna mereka direbut data,
dan pemahaman ditepis retorika
apa tertinggal dalam kata dan bahasa?
apa tercipta dari majas dan irama?
laut tiada ombak, pantai tak lagi andai
rumah di tepi hati, getir dan sepi
di situ para penyair sibuk dalam bir
mereka waktu menjadi tentu
merindu tuju tapi melulu lalu
bergumam pendek asos,
penyair tidur itu
”kebenaran itu melulu non-sens
di kebebasan aku ber-non-sens
dan pemahaman pun isinya non-sens
tapi puisi, tiada kan mati
untuk gadis, mimpi, dan tak peduli.”
lalu angin berkibar
bidadari menari
katakata terbit berlari gontai
ke taman kota ke pinggul aduhai
atau kelepak daun tak berhelai.
asos berseri, bibirnya tipis
kertaskertas ditulis, suaranya liris
dunia tak ada, manusia pun abai
asos tertidur, tak bisa lerai
lihat penyair kita,
di sakunya foto emak
rabun, lecek, ditimbun lemak
16 tahun ditinggal bapak
nasibnya kecut ciut tersudut
pasang hidupnya tak kenal surut.
lihat hidungmu asos,
tali dijempol kakimu
menarik tuas bom berwaktu
melumat jiwa berribu
hingga darah membeku
di jilidjilid bukumu
menipu harap dan
pujapuja pembacamu.
sore hampir habis,
tapi malam untukmu,senantiasa setia
dan penyairku, asos
menyulap bencana menjadi alpa
melupa manusia di semua kata
merangkai adab di parfum bunga
arak jadi tinta, wanita jadi pena
mengapa kau biarkan, asos
hidup bicara padamu
sepatu lars menendang syahwatmu
dan waktu membuatmu lalu
menyumpah namamu menjadi tugu?
hei asos, penyairku
simpan kini penamu
pendam semua kertas dan buku
lalu tebar mata dan khayalmu
ke rumah bahasa yang kini hancur
ke gedung nasib yang tergusur
dan mimpi indah tertinggal kubur.
damailah kamu di bukit itu,
di rindang bougenville dan jakatarubmu
biar kubangun untukmu perigi
ke mana cemas dan dirimu pergi
hingga senyummu tak lagi bergigi.
dan patahkan sudah penamu
sobek lembaran kertas itu
lalu lautkan semua kata
hingga ia berkelana, menghamba
dan bicara untuk tuan barunya.
tidurlah asos, penyairku
tidurlah ….
AIRMATA UMARA, 1
apa yang tersisa dari kemenangan?
anggur, pesta, dansa, wanita
salam, jabat tangan, dan harapan?
rasa syukur, puas, bahagia,
harta, kesempatan, dan kekuasaan?
dusta … dajjal itu semua
kemuliaan sebuah kemenangan
hanyalah amanah, kepercayaan
yang sisa: sepi, kepercayaan
dan airmata …
kenapa aku Kau pilih?
mengapa aku kalian percaya?
betapa rapuh dan lemah
dan hebatnya dengan kelemahan
manusia satu ini.
betapa berat sebuah percaya
betapa padat batu di kepala
di mana nyawa, jiwa, perut, rumah,
jalan raya, panen, dan harapan mengeras
memberat di dalamnya.
kemenangan adalah kegagalanku
melahirkan panutan baru
mengasah baja semua yang muda
hingga si tua bungkuk dan terbatuk
masih ditanami masa depan
masa yang mestinya subur
di kebun pikiranmu, yang
harusnya terang di matahari
jiwamu, anakku.
airmata … airmata ini
dalam sujud maafku
dalam zuhud hidupku
adalah tiga perempat hidup
tiada guna:
rakyat yang manja, pemuda terlena
semua terpenuhi, segala tercukupi
tapi bukan sejahtera kudapat
bukan masa depan kutambat
bukan jiwa merdeka, bukan semangat
membara … melainkan melulu nikmat
gairah terhela, lengah yang mewabah
dan kemandirian yang sirna.
aku menangis …
untukmu Tuhanku.
kakek ompong, peyot
dan tak berdaya ini
masanya berkhalwat
sekujur tubuh bertaubat
menyalin waktu dalam shalat
kepadaMu, aku mendekat
biar jadi bekal utang duniaku
menujuMu, menuju bilik kecil
di semesta istanaMu.
Tuhanku,
maafkan doaku
meminta waktuMu lagi
menunaikan amanah ini
menuntaskan sisa waktu
memanggul segunung batu
ke hari seberang semua orang
biar nyawa jadi arangnya
biar anak-istri jadi minyaknya
izinkan rakyatku menjelma dirinya
yang perkasa, menjadi umat yang kuat
dan mencipta bangsa yang berharga.
bersamaku,
makhluk yang renta
dan tak berdaya.
segala yang mulia,
hanya untukMu.
REFORMATI
saksikan
burungburung hinggap
di ujungujung atap
dan hidunghidung berasap
membuatnya lenyap,
dan mulutmulut menganga
bertapak
katakata
berotak
butabuta
perhatikan
bulubulu waktu ngambang
di kursikursi bergoyang
terlepas terbang
lima komplot jiwa
terguncangguncang
teve, koran, situs bergincu
mati … mati … mati anak berribu
pucat pasi adabku kelu
malaikatiblis datang kau tiba
di butirbutir peluhku roboh
yang tak
tubuh
takku
takmu
nantikan
kucingkucing menghitam jelaga
matanya kerja nafsu menghina
kita menggosok sama belati
tikamtikam hati bungkam tak mati.
burungburung tak jadi pergi
atap rumahku jatuh
menjelma kursi
langitku duduk bumiku remuk
bibir pecah tak bernanah
waktu nanti kautinggal mumi
sekampung mati kaujerat dasi
menyisa asap
tiada api.
DARI LAPITAN KUSUSU LAUTAN
dengan perahu bercadik tunggal
anak sukubangsa lapitan
menggampar badai mengepit lautan
5.000 tahun sebelum akukau ada
dalam kitab dalam aksara, dalam
legenda, dalam tanah terjajah
langit lapang berbatas cakrawala
layar terentang, ke hawaii ke afrika
anak lapitan bertukar rempah,
kamper, emas, pisang, dan palawija
dengan fir’aun mesir, tetua kabilah
di timur tengah, rajaraja sumeria
atau bandarbandar mediterania.
laut dan laut
dunia semua bertaut
hening dan air bening
tempat jiwa bergeming
ombak, badai, dan misteri
jadi gerak dan kata terberi
jadi muasal peradaban
jadi juru segala kapitan
dari anak suku lapitan.
aku menggapai papua
10.000 tahun lalu
menjejak fiji, paskah, selandia
menabur benih di timur afrika
jadi adab muasal nigeria
jadi adat zanj leluhur tanzania
jadi naga di tamil purba.
sejak pantai dan pinisi
kususun satu negeri
di bugis, sulu, maluku
di banjar, flores, madura
kujangkau tepi amerika
kuburu segala makna
hingga zaman bersahut
dan kususu semua laut.
di tepi ini samudra
di mana air gunung bermuara
di mana bersilang segala suara
di mana berkelir semua warna
kudapat kamu sebagai aku
kutemu hari, badan, dan pikiran
terbuka bagi semua aliran
bagi berkah semua tuhan
dalam riak tak henti
dalam semua materi
di induk segala lautan.
bicara apa hendak dikata
diri kelana kudapat bila
omong apa hendak kau bahasa
dari pantai adab lalu tertata
kita bermula sejak itu
sejak laut senyap kususu.
EKONOMI PLASTIK
bermula sebuah kisah
: setelah rumah
berharga selumbung gabah
dan pasar begitu ramah,
emas pun tiba mengukur harta
hingga cemas merutin kita
dan kaya bermakna kata
menjadi kata
ketika salib dan bintang beradu
kesatria datang kuda berdebu,
emas terpilin bersalin kertas
cemas merutin makin keras.
kata menggeliat berganti angka
manusia melihat dirinya luka.
harta lenyap pundipundi tiada
tercipta kapital sekuasa modal
dipimpin akal yang mokalmokal
awal mula manusia lupa
arti sejahtera bagi keluarga
kecuali angka dan huruf mati
di lembar kertas tak berhati
di mana harga tertera nilai tercipta.
tapi harga, siapa menera?
tapi nilai, siapa pula mencipta?
kuda berdebu, kesatria bersekutu
raja setuju, saudagar menipu.
tiada tahu, segala samar dan semu.
dunia kini melebar datar
gambarnya lucu di satu lembar
kertas yang mencuri kata bayar.
ekonomi pun lahir seperti mantra
mujarab membuat manusia lenyap
ajaib memilin makna menjadi raib.
meja di mana hidup kita hidangkan
jadi rumah kartu yang rapuh
sisa poker sesuntuk malam lalu
lalu, di mana aku?
aku mengonggok di gudang
bersama gula, tepung, dan beras kiloan
kadang direbus, bisa dicampur telor
dijual besok dengan harga tekor
atau jadi bonus komoditi ekspor.
ah … aku
saldo negatif nafsu kapital
grafik turun kurs dan bursa
anekdot pojok media massa
cuma berdaya bagi diri sendiri
cuma usaha meski pasti rugi
tapi tidak … tidak!
tenggok makhluk satu ini:
plastik!
ia tiba tanpa tibatiba
di saku baju kita, di perabotan,
piring sarapan juga harga diri kita.
biar dunia tetap datar
tetap saja satu lembar
dari plastik semua berbahan dasar
nafsunya genit grafisnya cantik
isinya digit fungsinya selidik.
angka kini tak lagi nilai
sekadar dan melulu data
nilai menjanin citra beranak ilusi
harga membeku
plastiklah penentu
plastiklah aku.
plastiklah hidup dan takdirku
plastiklah nenek dan istriku
biar waktu berlalu
gelisah berseru harap mendelu,
kesatria tetap jubah berdebu
menebar nujum di licin plastik
merangket dunia jadi penjara.
adat lunglai adab selesai
masa depan lunas ditunai
tersisa mimpi,
roman dan dot kisot.
masihkah aku?
sejumlah zombi dan avatar
di bar dan kafe hologramik
perkawinan dan seks virtual
atau satudua puisi
tentang—lagilagi—tuhan dan cinta
yang tak pernah ada.
tersisa punya tidur kita hanya
di mana gelap di segala lelap
beribu mimpi berayah surga
dan istri, rutin merajut usia
anakanak bergulir di kamar
merangkai dunia di silau mata
di makna yang kabur dari kata
tidur … tidurlah kita …
tinggalkan dunia
bunuhlah waktu
jadi selamanya.
pagi …
bunyi jangkrik
mengerik dari pita magnetik
tikustikus mati disiksa racun
tumbuhan berbuah putus asa
aku … termangu di jamban
belajar ngantuk …
mengajar khusyuk …
di luar …
angin tetap ribut
kudakuda masih menderu
kesatria hitam jubah berdebu
tiba kasar menggedor pintu
ah … apa lagi itu?
paket datang dari hari depan
kotak cokelat bersegel pandora
menebar kode berbatangbatang
rute baru ke masa datang …
hah!
apa lagi ini, hei pendatang?
satu kabar bagi semua orang
tuhan telah tiba
tanpa isyarat tanpa wahyu
tanpa sipu tanpa lagi tipu
(kesatria melepas jubah berdebu
dan menukas tak ragu),
itulah: aku.
Tentang Radhar Panca Dahana
Radhar Panca Dahana lahir di Jakarta,
26 Maret 1965. Lulusan EHESS Paris, Prancis dan pengajar Sosiologi di fakultas
Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia. Kini menetap di Tangerang
Selatan, Banten. Kumpulan puisinya Simfoni Duapuluh (1985), Lalu
Waktu (1994), Lalu Batu (2003), Lalu Aku (2011) dan Manusia
Istana (2014). Buku prosa Masa Depan Kesunyian (1996), Ganjar
& Si Leungli (1997), Cerita-cerita dari Negeri Asap (2005). Buku
teater Republik Reptil (2010), Teater dalam Tiga Dunia (2012), Pekcang
dan Marita (2014). Komiknya Mat Jagung (2009). RPD juga membukukan
esai-esai seni (4 buku) dan humaniora (5 buku).
Catatan Lain
Bukan halaman judul
yang kita temukan begitu membuka halaman pertama buku ini, tapi sekumpulan
endorsemen yang menghabiskan 4 halaman buku, yaitu dari Soegeng Sarjadi,
Muhaimin Iskandar, Rizal Ramli, Mahfud M.D., Anas Urbaningrum, Wiranto, dan
Pramono Anung Wibowo. Versi yang lebih pendek muncul di sampul belakang buku,
yaitu dari Ahmad Syafii Maarif, Mahfud M.D, dan Muhaimin Iskandar. Juga kutipan
dari puisi Sejilid Komik Kritik-Politik.
RPD
menulis pengantar yang dijudulinya Pengantar 2014. Saya mau mengutip beberapa
yang asyik : “Pada galibnya, kekuatan politik ada pada retorika, yang berakar
pada filsafat dan kemampuan mengangkatnya dalam simbolisme diksional. Politik
bukanlah sebuah transaksi, semacam perdagangan di toko-toko, melainkan
permainan simbol-simbol yang menyiratkan kenyataan dan pemahaman akan kenyataan
yang multidimensional itu. Di situ seorang politikus sejati, pada dasarnya,
adalah seorang pemikir, cendekiawan, bahkan lebih kuat lagi adalah man of
culture….//Keluhuran politik, dalam ide, niat, dan tujuannya inilah, yang
dapat menghindarkan politik dari pramatisme, bahkan oportunisme berlebihan….
Keluhuran politik mengejar kesejatian manusia, dan kesejatian itu adalah
pencarian tiada habisnya. Bukan sesuatu yang dapat dipertukarkan, bukan jasa
yang dapat dibeli.”
Buku
ini menyertakan 3 kutipan, yaitu dari Plato, Abraham Lincoln dan Charles de
Gaulle yang sudah saya tuliskan di atas. Dari Plato (428-348 SM): “Mereka yang
terlalu pintar untuk terlibat dalam politik, dihukum sebagai orang yang
diperintah oleh mereka yang pandir.” Kata Abraham Lincoln (1809-1865): “Kamu
bisa membohongi semua orang pada satu waktu, kamu bisa membohongi sebagian
orang untuk selamanya, tapi kamu tak bisa membohongi semua orang untuk
selamanya.”
Yang
unik dari buku ini, Judul Puisi ditulis di halaman sendiri, dengan huruf
berwarna putih dan latar halaman berwarna hitam. Ditulis di tengah-tengah
halaman, dan selalu di halaman ganjil, atau selalu di halaman sebelah kanan.
Begitu halamannya dibalik, maka yang muncul adalah ilustrasi sehalaman penuh.
Isi puisi ada di halaman berikutnya.
Di
bagian belakang buku ada Indeks Judul, yang urut berdasarkan abjad. Juga ada
Indeks Baris Pertama. Juga ada iklan buku puisi WS Rendra, Doa untuk Anak
Cucu dan novel Arafat Nur, Burung Terbang di Kelam Malam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar