Data
buku kumpulan puisi
Judul : Pulang ke Hulu
Penulis
: Zulkarnain Siregar
Cetakan : I, Januari 2015
Penerbit : Yayasan al-Hayat, Medan,
Sumtera Utara.
Tebal : xxii + 250 halaman (196 puisi)
ISBN : 978-602-71638-1-2
Penyunting : Sartika Sari, SS. dan Mukhlis
Win Ariyoga, SS.
Desain Sampul dan Tata Letak : A. Hafiz
Harahap, M.I.Kom
Prolog : Dr. Asmita Surbakti
Epilog : Irwansyah Harahap, MA
Pulang ke Hulu terdiri atas 6 (enam) bagian, yaitu Sang
Pengail (20 puisi), Balonku Ada Lima (21 puisi), Sajak Alif
(32 puisi), Pesan Ateh (31 puisi), Inang (38 puisi), Selamat
Pagi Puisi (54 puisi).
Beberapa
pilihan puisi Zulkarnain Siregar dalam Pulang ke Hulu
rindu melayu awal merayu
susur sungai riau ke hulu
mencari asal bandar awal
kampung rebah itu dahulu
jejak istana sultan tinggal
dari penyengat lalu ke bintan
dengan biduk labuh ditambat
titian isyarat melayu kuantan
pepatah disusun di balai adat
sejak dahulu malaka ternama
puan dan tuan masih teringat
walau melayu pemula bahasa
marwah negara dijaga hormat
sultan riau melancong ke johor
mencari permata intan baiduri
beribu pantun negeri kesohor
perawi gurindam raja ali haji
hulu riau hunian pulau beribu
rumah berdiam puak-puak hulu
tepak dan sirih pemula melayu
adab dan santun perisai maju
tanam bakau di selat panjang
benih dibelikan para saudagar
ingat melayu di tanjungpinang
purna perangai adab berakar
pada masa-masa bersiar
di tanjung pinang, 2011
sang pengail
ada tekun yang ditabur
dalam setiap umpan dan
sepotong asa nantikan
tiba melongok riak muka
air dan gemericik kailkali
pada pinggiran rumpun aur
di sepanjang hulu wampu
yang sejuk dan menghijau
tenang dalam wajah kali ini
lalu cahaya mentari mengintip
petang dan menebar sabar
bagai menyulam mewarna
pesona pada sutra lembut
tak berserat di setiap denyut
waktu hadiri utuh diri
pada setiap episode
renung yang panjang
detil kail yang coba kau
pahami hingga lalu lalang
kanak-kanak jurung depan
umpan yang menarinari
oleh liku beningnya air
telah memecah seluruh
gundah kalbu yang dalam
melubuk tak berhingga
oh... kau ajari aku hidup
dari semesta sabar yang
tak terbilang lalu padukan
seluruh waktu pada bingkai
yang bijak: "waktu adalah
air yang mengalir di kali
dan riangnya kanak jurung
menikmati aroma bening
tak terlalu keruh oleh hijaunya
lumut di bebatuan setiap
rasa"
hmm... aku lalu menyurut
dalam seluruh saku kailmu
kepulauan riau, 24
oktober 2010
siapa melayuku?
lalu aku mencari tahu
dari rumpun-rumpun bambu
yang rimbun di gunung-gunung batu
tempat aksara ditulis pada pelepah kayu
dan tangkai daun-daun di belahan waktu
benarkah itu ibuku?
lalu aku mencari tahu
pada semua tarikan garis yang
pernah ada di bingkai ornamen kayu
yang menghitam pekat dilapisi waktu
sebelum prasasti diukir pada batu-batu
benarkah itu ibuku?
lalu siapa melayuku yang kunjung tahu
berabad-abad lalu datang menegur sipu
dari rahim seorang ibu menurunkan aku
lalu siapa melayuku yang bersenandung merdu
membujuk rayu dari masa-masa yang tiada ragu
persuntingkan ibu bagi melayu anak-anakku
siapa melayuku?
ibu yang menurunkan aku
ibu yang menurunkan anak-anakku
4 agustus 2010
bukan cermin hendak
retak
andai kata hendak disangka
mengapa aksara sepi disapa.
lalu sudikah makna hendak diduga
bilamana kata tak turut menyerta
kadang cerita tinggal di pustaka-pustaka
jarang dicerna jadi kelakuan yang nyata
padahal moyang ajarkan luhur sediakala
bukan masa yang pergi tinggal sisa usia
biar masa membentuk jiwa perkasa
tapi bukan bimbang puncak berjaya
kalau kelak ingin jadi bangsa berjaya
mengapa warga tak luput diperdaya
terkesan cerita tentang saijah dan adinda
oleh kisah max havelaar seorang belanda
membetulkan harkat rakyat manusia semata
walau susah sengsara menghadap wilhelmina
26 september 2012
dari jendela apartemen tua
siang ini
langit melukis
garisgaris kristal tiris
seperti hujan
ia lalu menemukan
tubuhnya tertampung
helai daun
menetas tetes
dari selokan talang
serambi depan
awal gerimis itu
ia bersimbah garis
tiraitirai tipis
nan awan berbarisbaris
gerimis menipis
hujan melukis hari
dalam rindu tak berbagi
dari jendela apartemen tua
ada desah nafas yang menghela
seperti hujan
ia memecah awan
dari kesendirian di langit siang
membasahi jalan
menyepuh dedaunan
ranting dan dahan
siang ini
langit melukis
garis garis kristal tiris
seperti hujan
siang,21
mei 2013
menulis langit
buat : kawan zul (zulham), loper koran di
kampus usu
32 tahun bergulat loper bersama sepeda
botot
berkalikali tuan ini negeri berganti
mengulang janji untuk yang ini:
esok hidup lebih pasti
dari harihari yang dilalui
tapi ia tak pernah menanti
dan tak ingin mengerti
sebab hidup bukan mimpi
sebab setiap mulut ingin diisi
dari kursi yang tinggi
berita-berita dikemas setiap pagi
pembangunan berhasil di sanasini
gedunggedung menjulang tinggi
bukti kemiskinan teratasi
tapi, ia harus mencari
sesuap nasi
di tengah hurahura korupsi
kadang huruhara demonstrasi
membawa berita setiap pagi
buat dibaca kaum akademisi
ia lelaki kota ini
berkacamata tebal selalu
bertopi
tak bergeming dengan janjijanji
beritaberita yang ia bawa setiap pagi
kabar sukses negeri ini
mahasiswa ikon komoditi
hingga kampus jadi pusat industri
ia terus mencari sesuap nasi
sebab anak bini telah
menanti
koran terjual perut terisi
ia
bukan lelaki sekolah tinggi
tahu isi kepala pemimpin negeri
dengan segala taktik dan strategi
duduk di kursi tinggi bergengsi
mau dibawa ke mana ini negeri
ia sadar sepenuh hati
setiap pagi korankoran telah
menanti
untuk diantar sebelum
sarapan pagi
mengayuh sepeda melawan
matahari
ia memang bukan lelaki
terbuat dari besi
hidup meloper satu generasi
negeri sukses tak pernah ia
cecapi
sebab keringat dan daki
setiap hari untuk penuhi
janji
kulit hitam terbakar
matahari
tak pernah membuatnya harus
menagih bukti
dan tak ingin mengerti apa
isi
beritaberita yang ia bawa
setiap pagi
walau janji mainan ilusi tak
ubah nasib ini
juni 2013
sebuah penghargaan buat kesetiaan pada
hidup
janji seorang lelaki loper
pun
pun malam telentang
sepanjang jalan
langit merah
tak pernah lekang
cahaya rembulan
temaram di balik gaun awan
lelaki tak berparas
keras menyabit sangkur di trotoar
menikam pada langit
yang diam di atas tiangtiang keangkuhan
pun malam semakin berang
jalanjalan lengang
bintang kemerlap
seperti ingin pulang
perempuan dengan dahi birat
menghunus pedang
merobekrobek mulut malam
yang mengumbar kemiskinan tanpa kesungguhan
hanyut ke laut tanpa turut
dibawa ombak yang berpasangsurut
pun apa yang ingin dipuisikan
bila katakata telah hilang dari makna jeda
23 april 2013
perkusi
malam
sekejap perjumpaan
dalam rintikrintik hujan
basahi pucuk dedaun
dari sela ranting pohon
dan pekatpekat debu
yang bertengger di tusam
malam ini lahirkan hujan
memainkan perkusi alam
pun denting dawai di aras
bertalutalu di atap rumbia
malam tak hendak berbulan
dan dinding kemarau selatan
bau debu menyeruak jalan
yang terbakar terik siang
menjala angin menahan dingin
uap jalanan merasuk tubuh
lalu sepi tanpa suara malam
hujan mengalir ke selokan
walau pekat debu jalanan
kata pun seakan harapan
walau sekejap perjumpaan
16 maret 2011
dan pulangkan aku pada laut
angin lelah lalu cakar aku
dari celah mangrove puih piuh
merumbai di pesisir kampung
istana lama hulu riau,
jejak kaki menghentak titi kayu
jalan setapak dan bau rumput
yang menggoda lantunkan
rampak melayu tua di bekas
reruntuhan istana lama sultan
di hulu sungai kampung rebah
guratkan jejak di ujung rawa
lalu aku meracau bercumbu bakau
cemburu pada elang sambar
anak belanak dalam cengkeram
kaki telanjang lalu terbang riang
tinggalkan rampak laut di pusar air
lalu riaknya berkerutkerut di susur
sungai laluan sampan nelayan
menunggu jingga mewarna senja
mabuk aku pada laut yang membentang
juta khayali ditangkup rayu pulaupulau
kata yang menyecahkan lidah makna pada
jilatan air jadikan api sukma membara membakar
jentera yang mengepul di atas singapura
lalu aku siuman
sebelum jingga memupus senja
di ufuk cahaya barat sana
jadikan laut sebagai tinta
menuliskan kisah melayu lama
yang tak habishabis digerus usia
dalam gurindam sejuta rupa
dan pulangkan aku pada laut
yang selalu mengasuh keluh
jadikan teguh
18 november 2010
derrida
kalau kutuliskan rindu hati
dengan katakata, aku mulai
berbohong pada dunia
kalau kutuliskan pikiran
dengan ungkapan kalimatkalimat
lalu aku mulai merintis jalan absurd
bagi siapasiapa
kalau kucetuskan kehendak diri
dengan wacanawacana
janganjangan aku sedang
memanipulasi apa adanya
menjadi ada apaapanya
sebab kata tak selalu ada dalam rasa
sebab kalimat bukan pikiranpikiran yang sesungguhnya
sebab wacana adalah perselingkuhan pikiran dan bahasa
lalu kutulis dengan apabila kata kehilangan rasa?
lalu kutulis dengan apabila kalimat hilang di
persimpangan
makna?
lalu kutulis dengan apabila wacana jadi tak lagi
dipercaya?
bukan kata yang tinggal jadi kerangka
bukan kalimat yang jadi tak terang nyata
bukan wacana yang mendedah pikiran dalam bahasa
sebab derrida membongkar tameng bahasa
12 agustus 2012
bila bersepeda sudah di hati
kutunggu minggu di ujung pagi
kawan seusia terus menanti
mengayun pedal mengurut nadi
jelajah kampung pinggiran kali
jalan tuntungan mulus sekali
berkelokkelok ke pajak melati
siapa pula tak meminang hati
bersepeda jadi tali silaturahmi
jauh bersepeda tanjakan didaki
peluh terpecah mengaliri sendi
dapat silaturahmi juga sehat diri
apalagi buat lelaki penjaga pagi
laju sepeda di hutan kanan kiri
hirup udara embun tanpa polusi
rute ditempuh dapat inspirasi
modal bangun pagi bahagia hati
semangat pagi rute lancung dicari
mengubah arah biar ganti berganti
kalau bersepeda jadi damai di hati
setiap pagi hidup jadi terus berarti
7 februari 2012
merantau
datang dari rahim
berayun di tangan ibu
tetas kasih titisan air susu
dari hari ke hari menyulam waktu
menimang jantung belaian rindu
usia meninggi lincah cecahkan kaki
awali diri dengan berlari, lalu pergi
ke dunia luar mencaricari
memulai perjalanan kaki
tinggalkan janji
18 maret 2011
merantau 2
pergi
pergilah belia
tinggalkan pusar
tanah asal kelahiran
ke jalanjalan menikung
dakian tak beraspal, lumpur
cadas bebatuan dalam pelukan
bukitbukit yang hilang meranggas
luruh dedaunan diguyur angin siang
bawa jejak kakikaki lelaki terarak awan
menyulam angan dan harapan di depan
temui badan bertuah nasib penuh pencarian
tiada lupa kampung semasa alam kian terkembang
pergi, pergilah siapa
lupakan pematang yang sebentar lagi dipenuhi ilalang
kemelut raut ladangladang kering kerontang jelang petang
walau resah terus menghadang, lalu bimbang datang
meradang
bawalah siang dalam pelukan , malammalam menyulam
harapan
25 menit sebelum
23032011
Merantau 4
mencari pecahan matahari di celahcelah
belantara gedung yang dingin dan beku
serpihan debu dan asap knalpot memoles
pagi yang sedang berbenah dari peraduan
kadang nafas dan bau keringat rantau
lekat di haltehalte, penuhi pedestrian
tanpa jejak kaki rembulan yang mengintip
dari gordin jendela rumah kontrakan tua
lalu masa menyulam makna dari setiap
tetes hujan yang datang menemani alam
begitu riuh rendah suara di sekitar tubuh
namun tak satu pun merias raut, menyapa
kota yang hilir mudik dijejali ambisiambisi
tapi dengan laku kerja tekateki buat pundi
kembara kata menyelinap ke dalam benak
bertanya : "siapa aku dalam jagat tatawaktu?"
apa yang kau cari pada siang hingga tubuhmu
berdebu, penuh luka dan dekil ke ujung jalan?
harihari pun telah jatuh ke tangantangan
tak bertubuh manusia gen adam dan hawa
para pendusta mulai meracun pikiranpikiran
para petapa dan katakata merias pesona
kasta pada seolah kitabkitab yang dijanjikan.
seolaholah ada kitabkitab yang membahagiakan
jejak waktu yang mengejar entah mengapa
terus mengembara dalam duka dan nestapa
mencari kata dan merawat angkaangka jadi
kasta dalam rumahrumah tak berjendela
dan berpenghuni sesungguhsungguh manusia
mengapa kuasa begitu bermakna. butakan
hakikat yang ada. merantau membuka sukma
31 maret 2011
hikayat pejalan
ia tetas dari tetes hujan
yang memecah awan
langit yang berselendang
tiga warna
membasahi bumi
tumbuhkan pepohon
dan berpinak hewan
dalam garis lurus, lengkung
membentang ruang
dari bukit-bukit tua
kawah letusan gunung toba
ia bercerita tentang suara-suara
sepi yang membentuk kata
sepi yang mengalirkan makna
sepi yang meruwat pora-pora
sepi pula yang menumbuhkan hariara
ia tetas dari tetes hujan
yang dibawa angin dari tenggara
langit cuma tiga warna
ketika awan memecah membasah rura
dari batu-batu tua
ia menulis cerita tentang toba
dalam lak-lak beraksara
doa-doa, kerja dan ajaran setia
yakin pada waktu, dosa dan usia
dari ornamen di rumah bersama
ia melukis makna tanda-tanda hewan
dan warna-warna pilihan tiga warna
alam yang meriwayatkan asal usul kata
dari bahtera yang melarung danau
ia menghitung waktu dengan memutar
sepi yang melahirkan huta
sepi yang melahirkan marga
sepi yang menabuhkan suara-suara
dalam gondang, hasapi, sulim dan
legenda
17 maret 2013
lelaki peniup sulim
ia datang dari langit yang teduh
ia datang dari riwayat oda yang tumbuh
di batas rumpun-rumpun aur sepanjang huta
meniup sulim memainkan bunyi-bunyi umpasa
di tanah batak sebagai somba debata
lelaki yang sederhana
lelaki yang ada dari orang biasa-biasa
menyalin pesan-pesan dari jejak bukit toba
melukis asa pada jendela dari setiap tanda-tanda suara
yang setengah terdengar dihalau tebing hariara
dari sisa cemara yang menghalau rindu tanah ibunda
sepanjang danau membentang selatan ke utara
irama sulim membahana dalam sukma
mengusung rindu anak rantau dari legenda raja-raja di
kota
haru biru tebing-tebing curam penyangga sepanjang tapian
toba
bersenandung "andung-andung" ketika
senar hasapi dipetik begitu saja
bukan karena matahari tak lagi memantul cahaya kebeningan
toba
lelaki yang bersahaja
lelaki yang acap kali merawat bunyi yang telah sunyi
dan menyulamnya dari ranting-ranting yang jatuh di
tepi-tepi
terdengar lenting berdenting di daun-daun rerumputan
kering
bukit-bukit pangururan, rurasilindung dan
hamparan porsea
ia anggun menyapa telinga sesiapa
memaknai kantata dalam syair-syair oda
dari tanah yang meriwayatkan si singamangaraja
dari desau angin yang bercerita tentang bakara
ia lelaki peniup sulim yang terus menjaga suara
untuk hikayat dan legenda hatani debata
ia penyulim yang masih setia
pada bumi dan mata air yang masih bersuara
walau air mata pora-pora yang tinggal di
kolong-kolong keramba
kering ketika senja tiba, menanti malam-malam diam tanpa
suara
ia merajut bunyi di tengah suara-suara yang serak dan
luka
15 hb doea
@doeariboutigabelas
inang
:buat inang, istri
pejuang di medan perang
masih kuingat inang...
ceritamu itu terngiang di telinga
ketika seorang lelaki gagah
datang dari kampung seberang
ingin meminang walau cuma
mahar kain panjang
yang diselempang
pada pinggang
dia datang dalam seribu bayang
rasa di angan memutik lalu taburkan asa
semerbak merona pada holong ni roha
di tangan merekah hati bagai mawar mekar
menghias jambangan di taman halaman
yang kautanam aneka kembang
dekat rumah berkolong lapang
di sudut jalan bersimpang
batangkuis, deli serdang
lalu mawar mekar di bawa pulang
ke kampung seberang, tanah lelaki
peminang, luat tapian nauli
bagas ni oppung, sisi kiri mesjid
belum sampai titi pinangsori
dia datang dari seberang
seorang lelaki serdadu perang
berwajah garang
pergi ke medan juang
tak berkabar pulang
hingga terdengar hilang
tinggalkan inang
membanting tulang
demi semata wayang
masih kuingat inang...
manetek ilu mi
saat cerita itu terkenang
pada lelaki peminang yang
terngiang hilang di medan juang
tak berkabar pulang
hingga petang menjelang
jangan kau hapus air mata itu
biar dia mengalir menyejuk
mawar yang dulu mekar
selalu menghias jambangan
di taman halaman yang sempat
kautanam aneka kembang
4 desember 2010
holong ni roha: kasih di hati
bagas ni oppung: rumah kakek
manetek ilu mi: menitik air matamu
pantun kota
terbang rendah si burung puyuh
hinggap di dangau ke hilirhilir
datang sudah musim tengkujuh
jalan berpulau digenang banjir
2014
pulang ke hulu
dari dahanmu
yang rendah daun kupetik
kugulung seperti tabung
mirip kerucut
kupincuk pakek tusuk
lidi runcing menusuk
mengikat rusuk
kutampung pecahan air
pada pelepahpelepah pisang muda
sisa hujan kemarin petang
pula
sebelum senja mengantar malam yang
hendak
bersemuka
air kusimpan dalam ruas
bambubambu
kugantung di bahu
dengan tali pengijuk sapu
siapa tahu?
dahaga tiba sebelum ke hulu
2014
pulang ke hulu 2
dengan berakitrakit aku kembali ke ibu
yang
melayu
ke batubatu dan bambu
yang turuntemurun menjaga malu
...
perempuan jelata
yang bersahaja bukan dari tangga istana
2014
pulang ke hulu 3
berenangrenang aku ke tapian nauli
susuri jejak bapak yang batak
...
darah lelaki serdadu yang hidup keras
mati karena pilihan tegas
2014
pesan ateh
adat pantun bersandi bunyi
sampiran dirangkai bertauttaut
petuah disusun rangkai padi
alam berhimpun di jamu laut
hendak ke laut bulan purnama
usah dilepas biduk tertambat
pepatah apa nak diberi nama
buat negeri yang tak dihormat
takzim syair bermuka muka
setali makna tersusun tanda
mantra dibaca arah samudera
kuasa manusia tiada berguna
pilihan kata mengapa disengaja
biar sodap kata tu kugak dirasa
andai niat hati ondak berkuasa
usah durhaka pada suarasuara
riuh gelocak melandai pantai
anak laut memungut kepah
banyak sudah bidal teruntai
adab di kata beda ditingkah
bila hendak menulis kata
datanglah awak ke puakpuak
biar gurindam warna india
tetap melayu pembuka tepak
tanah melayu pusaka lama
dari madagaskar ke andalusia
hilang malu, syahwat berkuasa
jadi pemimpin cuma cobacoba
11 agustus 2013
Tentang Zulkarnain
Siregar
Zulkarnain Siregar
lahir di Medan, 1 Januari 1961. Kuliah di IKIP Medan, FS USU, dan Psikologi
UMA. Mengajar di beberapa beberapa perguruan tinggi. Menulis di rubrik budaya harian Waspada sejak 1961. Kumpulan
esainya: Coretan-coretan Kebudayaan Noktah (1986). Kumpulan puisinya: Selendang
Berenda Jingga (2011) dan Pulang ke Hulu (2015). Juga menulis di beberapa
antologi puisi bersama. Kadang memakai nama pena Lela Jingga (Lentera Langit
Jingga).
Catatan Lain
Irwansyah Harahap menulis Sepeda:
Perjalanan Mata, Telinga dan Kata dalam epilog buku ini. Ia memberi
kesaksian:“Dengan sepeda ia mendengar apa yang dilaluinya. Dengan sepeda ia
melihat apa yang dijalaninya. Dengan sepeda pula ia menuliskan bait demi bait
puisinya. Di beberapa puisi ia menceritakan satire tentang kehidupan kota dan
manusianya. Di puisi-puisi lain ia bercerita tentang prilaku hedonisme dan
hipokrasi bangsanya. Ia juga menorehkan ingatannya pada tokoh dan filsuf masa
lalu yang mungkin telah menginspirasi hidupnya. Puisi-puisinya juga tak lepas
dari cerita tentang alam, bahasa dan manusianya. Ia mengembalikan sebuah tafsir
dan perenungan tentang “ibu” sebagai sebuah kata yang melampaui ujaran
keseharian.”
Dan
ini yang berbeda, penyair bisanya memajang foto yang cenderung seragam satu
sama lain (saya kira). Barangkali ini yang pertama bagi saya, melihat di sampul
belakang buku, penyair bergaya dengan sepeda gunungnya, lengkap dengan helm dan
perlengkapan pelindung bersepeda. Sedang tersenyum lebar. Horas!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar