Data buku kumpulan puisi
Judul : Constance
Penulis : Shinta Miranda
Cetakan : I,
Oktober 2011
Penerbit : Mata
Aksara Publising, Jakarta.
Tebal : xxii
+ 173 halaman (109 puisi)
Perancang
sampul & fotografer : Handoko F. Zainsam
Penata letak
: Pakdhe Sam
Prolog :
Handoko F. Zainsam
Beberapa pilihan puisi Shinta Miranda dalam Constance
Rona Perempuan
: Komako – Tetirahnya Seorang Geisha
Menuruni bukit kecil berselimut salju
Ketika temaram petang memudar putihnya
Bagai kaki burung
bangau yang berjalan ringan
Dan menyimpan sayapnya di pinggang
Beriringan dengan jenjang bukit
Ia tinggalkan semakin jauh melandai ke rerumputan
Terurai rambut hitamnya lepas
Dari gelungan kecil menjadi jarum-jarum menisik angin
tipis
Tak pernah pipih tulang menunjang raga
Yang dibalut sutera bunga sakura
Oleh hasrat yang merekat sepanjang masa belia
Seperti dawai kuat shamisen
Yang dipetik jemari lentik sambil senandungkan nyanyi
Menepis dingin berlapis
Mengiringi malam akhir perjamuan langit
Dengan rembulan di matanya yang sipit
18 Juni 2010
Di Sisi Jalan Sawojajar
: Miriam
Berdiri di sisi jalan Sawojajar tanpa trotoar lagi
Pohon kenari telah tua dan tinggal sedikit lagi
Masih ada wangi jeruk limau dari dalam rumahmu
Seperti dulu ketika makan siang memanggil-manggil
Rumah sewaan jaman belanda yang cuma paviliun itu
Kini telah megah jadi penginapan tempat istirah
Bersatu dengan rumah besar tempat bekas panglima
Di masa penumpasan Kartosuwiryo jaman Soekarno
Berdiri di sisi jalan Sawojajar yang tidak sejuk lagi
Asap kendaraan berkumpul jadi polusi yang pekat
Dan curah hujan tak pernah mampu membuyar asap
Membuat matamu melihat diriku yang tak pernah lenyap
Kerikil-kerikil kecil di halaman rumah telah berganti
aspal
Menjadi tempat parkir mobil pengunjung kota hujan
Disambut wangi roti yang baru saja keluar dari pembakaran
Di toko roti jaman dulu yang tetap masih berdiri hingga
kini
Aroma jeruk limau lotek ibu, aroma roti tanpa pengawet
Aroma dirimu bapak guru kekasihku dulu tetap lekat
Ketika menggenggam jemariku di mesin tik buatan jepang
Aku tetap menyimpannya di dalam detak jantungku
08 Juli 2010
Bertemu Ibu
1
Ibu,
Seperti padi yang baru tumbuh aku rapuh
Bercermin di genang air diam aku bersimpuh
Menguatkan serabut agar kaki tak lumpuh
Mencari air kehidupan di percikan subuh
2
Ibu,
Aku meruing pucuk mimpi menenun hari
Irama lagu embun di daun-daun kenari
Tetesnya tergelincir jatuh dari buku jemari
Tanahku kering tak berjejak kaki menari
3
Ibu,
Lautan sepi sauh bertolak sendiri
Senja telah berlabuh di pangkuan hari
Air laut tak pernah surut oleh matahari
Namun di mana engkau harus kucari
4
Ibu,
Angin tak lagi bawa wangi air susumu
Di pudar kain batik trusni pemberianmu
Bagai selapis nyawa akan pergi berlalu
Bertemu dengan ribuan biru rinduku
03 Juli 2010
Cula dan Pa Paw
: Di Museum Layang-layang
Marilah kita menghindar sebentar dari angin yang
berkesiur
di ruang langit tak berbatas. Sejimpit angin akan kita
bawa ke
sebuah ruang kecil tempat kita bisa bernapas berdua.
Merangkai
kata yang telah berdiam lama dalam seribu bahasa di
jajaran
kalimat selaksa. Lalu kita akan keluar bersama-sama
dengan
segala kata yang seia dan senyata bahasa. Bentangkan
sayap
dengan suka rela yang tak berbatas dan mengarungi
cakrawala
satu warna.
Seperti cula
dan pa paw di atas pantai pataya yang
selalu berdua
terbang melayang-layang. Dua sejoli yang berhidup dalam
segala peradaban bumi sampai tiba saat semuanya lenyap
27 Maret 2011
Catatan: Cula dan Pa Paw adalah layangan tradisional
rakyat Thailand yang selalu diterbangkan berdua dalam satu temali. Cula adalah
layang-layang lelaki dan Pa Paw adalah layang-layang perempuan
Di Utara Negeri Ini
: Den Helder
Angin laut kencang hujan datang sebentaran
Kugenggam payung dan ia terbang melayang
Jatuh menyapa jalanan di sore yang lengang
Tawaku gamang berkejaran dengan angin dingin
Puisi laut para kelasi terdengar dari rumah kopi
Aku berdiri di atas tanah datar menutupi lautan
Di kota kecil utara negeri pada musim daun jatuh
Di mana kabut datang dan pergi ketika bibir terbuka
Di mana lagi akan kucari jendela besar berkaca lebar
Melihat bunda dan kedua putri duduk membaca puisi
Sambil minum creme
de menthe atau rose wijn
Sementara angin kencang mabuk bergoyang-goyang
12 Juli 2010
Constance dan Parkin
: Lady Chatterley’s Lover
Kekayaan padanya tak pernah sesemu saat ini ketika kau
berdiang pada tungku yang lidah apinya lebih jingga dari
matahari senja, yang anginnya menjalar kian kemari,
menerpa
tubuh lumpuh dan hatinya tak lagi bersimpuh
Constance:
Jenuhmu sangat penuh, penatmu pada keningratan berabad
mengalirkan magma yang turun ke hutan perawan,
hamparan pepohonan, gemericik air pegunungan dan engkau
menikmatinya perlahan-lahan
Naluri alami membuncah dari ketiadaanmu yang penuh di
dalam gubuk pinggiran hutan. Parkin penjaga hutan yang
hatinya dingin, tak berharap cinta sesiapa pun akan jatuh
dan
menjadi beku di kegelapan malam.
Maka kehangatan menjalar di antara sepatu butut, sekop,
pacul,
dan gergaji. Tarian alam digelar di atas karpet kumal, disaksikan
ayam dan burung peliharaan yang nyanyinya ditelan derai
daun-
daun yang bergesek kian kemari.
Maka di bawah pohon rindang senja kala, constance dan
parkin
bercinta dalam irama hutan hingga gerimis datang dan
engkau,
perempuan yang tiada pernah jalang tiba di rumah
kemalaman
melihat dia yang tetap duduk menantimu datang di depan
pendiangan yang sama
28 Maret 2011
Ijon
: Wawah dan Mpah
Melihat wajahmu lewat lumpur
Yang melumur pipimu dan kemudian retak
Saat kau coba tersenyum
Kecamuk hati membawa gelisah lewat mata
Namun tawamu lebih renyah terdengar
Dari tawa seorang anak kecil
Berkaca lewat cermin kecil di wadah pulas bibir
Nampak mata seloki anggur murahan
Namun tawamu lebih renyah terdengar
Dari tawa perawan kembang desa
Hidupmu kebun anggrek milik babah betawi
Yang datang pada akhir minggu
Buat menagih janji
Karena dihidupinya orang tua saudara saudari
Ketimbang hidup jadi petani
Di tanah garapan
Diberikan anak pada pengijon perawan desa
Tak mengerti dirinya tlah dibeli
Di kebun anggrek babah betawi
Ciriung-Cibibonong, 31 Agustus 2009
Ibu
Engkau tak pernah mengajarku
Mengatupkan kedua tangan kecilku
Meski langit gelap dan kesiap hati
Membawaku ingin berlari padamu
Wajahmu dingin matamu membuang kejora
Yang pernah kulihat dulu
Di mana jemari yang
dulu gemulai bermain di atas dawai benang
Menjalin lembar demi
lembar kehidupan tempat kita menabur
Lalu menuai berbagai
bulir bulir bernas seperti gugusan bintang?
Kemudian di hari hitam pekat
Kau pergi membawa kain kerudung
Menutupi wajah dan merentangkan kedua tanganmu
Ke atas langit
Dalam gemuruh angin menampung badai
Tiada kulihat kakimu gontai
Aku menyusulmu berlari
Namun kaki terjerat di tanah merah likat
Kupanggil engkau seperti di hari rahimmu
Menghantarku dahulu
Getar bumi bundar memaksaku menekuk
Kedua lutut dalam gemetar
Lambaian kerudung putihmu
Masih kulihat ketika air laut pasang
Semakin jauh sebuah sauh
Membawamu ke tengah lautan penuh
Dengan mata tertutup
Kukatupkan kedua tangan kecilku menyatu
17 Mei 2010
Mimpi Gadis tentang Ibunya
Di muka cermin ada musim gugur
Daun keemasan oleh cahaya matahari
Rela jatuh pada waktunya
Di atas tanah coklat yang basah
Saling menyapa dan berdesakan
Di muka cermin ada gadis kecil
Menanti gelap menghampiri
Bulan segaris lengkung membelai
Pipinya basah bertabur embun
Saling menyapa dan berdekatan
Di muka cermin ada mimpi
Tentang ibu yang jauh di sana
Seperti daun gugur yang jatuh
Berharap tanah coklat basah
Menemaninya setiap hari
Gadis kecil itu telah dewasa kini
Berteman dalam sepi dan sendiri
Menanti bulan tak kunjung purnama
Berteman embun dalam diam
Bersama menanti ibu pulang
06 Januari 2010
Ketika Imlek
Tak pernah kita alami musim semi seperti di negeri
leluhur
Kita cuma tahu musim hujan yang pasti memberi air
Dari hulu sampai ke hilir kita namakan rezeki
Kita pernah sembahyang di hadapan sebuah meja abu besar
Bertingkat tiga lapis sutera merah dan kuning keemasan
Berkumpul dari tertua sampai termuda di hari sama
Menyantap makanan yang hanya dimasak setahun sekali saja
Kita tetap lakukan meski berpuluh tahun tak lagi sama
Ada yang hilang karena telah melaku agama yang dibaku
Sebuah harus dan pengakuan supaya berhidup di tempat ini
Jadikan kita pelaku yang sah dan singkirkan kesah resah
Kita bercerai setelah setiap peristiwa
Mencekam cengkram hidup
Tangis dan luka, siksa dan derita, hina dan paksa
Sebuah negeri neraka
Di penghujung ketika kematian
Menjadi sebuah jawaban kelam
Kita bertanya ke mana mesti berjalan
Karena tak punya daratan
Musim penghujan, musim semi, bunga mei hwa
Sebuah perjalanan panjang kita
Turun temurun menempuh kebingungan
Celana pangsi, baju cheong sam, kain lurik, batik atau
kebaya
Siapa pun boleh pakai sesuai keinginan
Di mana saja dan kapan saja
Tetap kutak pernah tahu
Mengapa kita harus membedakan perbedaan
Tetap kutak pernah mengerti
Mengapa kita harus saling mencaci hina
Tetap kutak pernah terima
Mengapa kita harus
dianiaya dan dicerca
Dan akan seperti yang sama
Menyawa di tanah yang entah siapa punya
4 Pebruari 2011
Ayahku Diambil Penguasa
Penguasa yang berkuasa
Mengambil ayah dari bunda
Mengambil ayah
dari ketiga anak perempuannya
Di malam buta
Menutup kedua matanya
Di bawa ke salemba
Ayahku kuli tinta
Di sebuah kantor berita
Dia tak punya partai apa-apa
Dia tak tahu apa-apa
Dia tak buat apa-apa
Ayahku didera dan disiksa
Ayahku mati sia-sia
12 Agustus 2009
Yasmin
Bermain gendong kuda, Yasmin
Ketika rambut kita ekor kuda
Di halaman belakang rumah nenek
Saat pohon jambu berbunga penuh
Masih berbalut piama di hari minggu
Sambal memendam segenggam rindu
Pada rumah kita di belakang Roxy itu
Hari minggu adalah hari kita
Bebas dari meremas-remas hati
Masuk ke dalam gua buatan sendiri
Di bawah kursi malas dari rotan
Tempat kakek setiap pagi pukul tujuh
Membaca koran sambil minum kopi
Harihari kita adalah hari meraut wajah
Menipiskan daun telinga merapatkan bibir
Hari getir ketika mendengar caci maki
Bagai suara petir di siang meregang hari
Lalu kita berdekap bagai terperangkap
Dan bertahun setelah itu kita berpisah
Bagai anak-anak yang kalah dan lelah
Kita kehilangan ayah dan ibu rahim jiwa
Aku kehilangan yasmin di seberang benua
13 Juli 2010
Setelah Kepergian
: Willy
Duka cita adalah kebun bungaku
Rumput baru pagar ayu
Tahun-tahun berlalu
Pepohonan bisu
Aku mengenalmu
Waktu sekolah dulu
Aku murid, engkau guru
Menyapaku
Aku tersipu malu
Empat belas usiaku
Tak pernah kita tahu
Enam tahun sesudah itu
Kita bersanding satu
Tiga puluh dua tahun berlalu
Engkau tinggalkanku
Terbujur kaku
Jiwaku pilu
Bahtera kita yang satu
Karam pada batu
Ratapku ratapku
Aku kehilanganmu
Tak lagi membencimu
Akan peristiwa lalu
Cuma kebaikanmu
Walau ada tanyaku
Apa kau cintaku
Duka citaku
Adalah kebun bungaku
Rumput baru bagai layu
Tahun-tahun berlalu
Pohon bisu
Musim Panas di Amsterdam
Musim panas di Amsterdam
Bunyi lonceng gereja terdengar amat jelas
Di antara rumah-rumah bordil
Di antara rumah makan dan diskotik
Di antara kino-kino pertunjukan bebas
Suara riuh tawa canda orang mabuk
Terdengar di langkah dekat dan jauh
Kekasih, aku telah berdusta
Oleh menghitung banyak warna
Di remang malam yang hidup
Seperti menyapu nuansa kelam
Menggantang lentera tua
Tak mungkin tiba menemuimu kembali
Mencoba mencapai jembatan kanal
Mengayun tangan buat melambai
Musim panas di Amsterdam zeedijk
Bunyi lonceng gereja menggema perlahan
Di antara perahu-perahu rondvart
Kubaca sebuah nama yang amat kukenal
Dan ini saatnya …Selamat tinggal…
08 Juni 2007
Bertemulah Engkau dengan Mempelaiku
Bulan nopember saat angin lebih rajin menari salsa
Dan sulit buat diri ini mengikuti iramanya
Maka kedua kakiku lebih suka berdiam sekala
Untuk menekuk dan pergi terbang ke Pattaya
Mendatangi rumah para hamba
di tengah malam pukul dua belas
Mungkin mampu menimba secedok demi secedok air
Sebab telah menipis tempayan jiwa
Hamba yang hidup papa menyambut aku yang jelata
Menghampar ke pondok beratap rumbia
Tempat mereka menata nyata setiap hati
Menghampakan diri menajamkan telinga
Untuk dengar-dengaran sabda pandita
Hari kedua di pinggir pattaya yang panas berangin
Menyapu pasir menatap surya yang hampir terbenam
Menyapu air laut dengan jingganya,
Bagai pelukis berpamor, menunjukkan kepiawaian
Dan nafasku berhenti menatapnya
Ingin berteriak tak jua bersuara
Ketika ombak pattaya menyapu kedua kaki
Menyipratkan bau basah bergaram ke sekujurku
Maka aku menjerit sejadi-jadinya
“Kembalikan milikku satu-satunya…!!!”
“Penghuni laut laknat tak berhati…!!!”
Hari ketiga di pondok beratap rumbia. Seorang hamba
membawaku ke sebuah rumah di lahan yang sama. Sebuah
bangal berisikan enam buah ranjang, berbaris tiga tiga. Berisikan
manusia-manusia yang sedang sekarat menanti berkat.
Seorang laki-laki muda usia memanggilku dengan tangannya,
“Lady, lady, please
come to me. Your face, your face. My wife
My wife!” Menghampirinya dan memeluknya dalam tangis
pilu seorang suami yang menanti mempelai dalam penantian
kematiannya tak pernah kunjung ada yang dirindukan.
Hari keempat di rumah perawatan penderita aids
Makan bersama dalam bangsal
Bercerita dan bersenda gurau
Bagai tersekat raga dan jelaga hidup
Menampung setiap tetes air mataku
Memeluk laki-laki muda usia menghembus nafas hidup akhir
Meregang erat dalam jemariku
Hari kelima di Pattaya
Di tepi pantai siang panas berangin
Kumenuang air mata yang kutampung
Biarkan menguap oleh matahari yang menghidupkan
Melarung jasad hancur bertulang-tulang
Menyatulah engkau, bertemulah engkau
Dengan mempelaiku di tubir laut dalam
Atau terbang mengangkasa di langit besar
Tak ada jerit menyakitkan
Tak ada tangis mengisak
Semua merampung di saat teduh
Di haribaan bumi yang menjadi kecil
Thailand-Pattaya, Lamluka, Nopember 2008-St Claire Hospice di suatu desa 60
km dari Bangkok.
Sempurna
Malam menaiki subuh pada gema pencipta
Adakah hari dan haru bakal singgah di sini
Subuh mendaki
petang pada gema pencipta
Merakit raga di atas riak sungai berbatu
Waktu menjadi masa dan tinggal cerita
Waktu menjadi cerita tumpah menyerat
Mendera mewirit mendesak ajal
Semakin pipih bulir bulir doa
Menyelinap perih mencari nadi
Menjulur lidah ajal menjimpit
Menyirna sakit membukit
Usai sudah
Menjadi purna
Sebuah persembahan bagi para penderita kanker
Derita yang sempurna mencapai nirwana
Menjadikan diri ini untuk terus bergumul sampai
Tiba waktunya)*
26 Agustus 2009
Cukuplah Ibu
Aku melihat Tuhan di wajahmu, perempuan satu-satunya
Bulan malam tak pernah tenggelam meski di pekat malam
Kuraih bintang di langit membentang, keduanya menghuni
Kalau cinta itu fana, bukan cinta ibuku
Kalau cinta itu fana, pasti cinta bapakku
Kalau cinta itu fana, biarlah itu adaku pada Miriam
Aku kehilangan, karena kau tinggalkan
Aku mendapatkan karena begitu dekatnya
Cukuplah ini buat selamanya: Baka!
9 Maret 2011
Inspirasi dari Sons dan Lovers – DH Lawrence
Ziarah Jiwa
Lembar demi lembar kertas kusut masai
Bertebaran di meja tulisku
Berganti hari menjadi seperti itu
Hasrat lekat kuat melebur
Dalam bentang waktu tak pernah terkubur
Angan yang satu bagai awan satu dengan langit membentang
Kuingin meniti satu demi satu kata
Seperti melangkah dalam hidup kembara
Kuingin menganyam suara hati
Menjadi permadani puisi ziarah jiwa
Tak pernah lepas dari relung-relung batu karang
Yang terhempas ombak
Bila saatnya tiba
Bila saatnya tiba
Menjadi pelita bagi gelap yang pasti
Lembar demi lembar kertas kusut masai
Menjadi pustaka hadirat diri
Dalam lintang waktu tak berbatas
Cuma ini yang aku mampu
Persembahan sudra dalam kelananya
20 Agustus 2009
untuk ketiga anak-anakku
Tentang Shinta Miranda
Shinta Miranda lahir di Jakarta 18 Mei. Telah menerbitkan
beberapa buku antologi puisi bersama: Merah yang Meremah, Perempuan dalam
Sajak, Suara-suara Orang Kecil, Antologi bersama Dewan Kesenian Tegal, Radja
dan Ratoe Alit, Haiku Danau Angsa. Menulis puisi dan cerpen yang dimuat di
beberapa surat kabar.
Catatan Lain
Halaman persembahan buku ini ditulis
untuk ketiga sang anak, yaitu Arletta Gracia (Poppy), Lizbeth, dan Roland.
Bersama secarik pesan: “Ketika umur menyiapkan tubuh, maka inilah peninggalanku
yang setiap saat bisa kalian lihat dan baca.”
Tapi
sepertinya ada tambahan lain, kepada siapa buku ini dipersembahkan. Ini dapat
kita baca di Pengantar Penulis. Sebenarnya dalam Pengantar Penulis inilah dapat
kita temukan (semacam) ruh dari kumpulan puisi ini. Maka ini sebagian
kutipannya:
“Bahtera
kecil tempat kami berdiam tak begitu kokoh. Gelombang selalu ada, besarnya tak
menentu. Maka bahtera terbelah dua hadir dalam mimpi, saat usiaku sembilan
tahun. Mengapa kuingat terus peristiwa mimpi itu? Karena saat kuterbangun, aku
menangis tersedu-sedu. Pedih dan rasa takut mencekam, seakan ini adalah
perjalan hidupku ke depan.”
“Delapan
tahun setelah itu, mimpi menjadi nyata. Ayah pergi untuk selama-lamanya,
ditempa berbagai peristiwa yang melanda negeri ini. Demikian juga Ibu yang
harus membanting tulang demi ketiga anaknya. Mereka semua pergi ke daratan
Eropa dan meninggalkanku sendiri, persis seperti mimpi bahtera kecil yang
terbelah dua itu. Aku sendiri di separuh bahtera di atas gelombang malam yang
likat, berjalan seturut arah angin.”
“Tidaklah
mudah menjadi sendiri di usia belasan tahun tanpa keluarga. Pergumulan dan
pengalaman hidup yang penuh luka dan ketakutan itu, kutuang ke dalam sebuah
tulisan yang saat itu hanya berupa catatan harian atau potongan puisi yang
mentah”
“Berpuluh
tahun memendam rasa kecintaan pada Ibu yang mengenalkanku pada dunia sastra
tanpa beliau menyadarinya. Betapa luka dan benci itu silih berganti dengan rasa
cinta yang bergelombang. Saat bertemu Ibu bila ia datang berkunjung ke tanah
air, membahas banyak karya sastra bersama, entah itu puisi, novel atau pun
kumpulan cerita pendek, teriak panjang menggema di hatiku, “Aku inginkan dirimu
bersamaku!”
“Mungkin
terlalu lama kupendam keinginan untuk membuahkan hasil olah kehidupan diri dan
menuangnya ke dalam karya. Aku tak pernah punya obsesi untuk menjadi seorang
penyair atau pun pengarang. Di usiaku yang lebih ranum, setelah bersendiri, aku
dibawa hati untuk berusaha mewujudkan ingin yang kadang samar kadang nampak. Di
antara kenanganku kepada Ayah, suami, pengembaraan hidup di negeri yang
menuangkan air mata, aku akan ada dan selalu ada di buku ini.”
……….
“Secara
khusus, buku ini kupersembahkan kepada Ibuku, Elizabeth Winarta yang
berdomisili di Belanda sejak lebih dari 35 tahun silam. Sepanjang jarak yang
jauh, sepanjang waktu yang begitu lama, sedalam luka yang menganga, Ibu tetap
menjadi mata air kehidupanku di sungaiku yang sering kering.”
“Kepada
kedua adikku, Jasmin Sutrisna dan Fajarani Sutrisna, yang berdomisili di
Belanda. Meski amat jarang kita bersama, cinta tak pernah berdiam di sudut hati
setiap kita. Ia selalu mengalir, meski dalam sepi.”
“Hidup
adalah kematian yang perlahan. Aku masih
harus berjalan.”
Puisi-puisi ini, ibarat bunga angrek yang selalu menebar bau harum sepanjang waktu
BalasHapus