Data
buku kumpulan puisi
Judul : Lambung
Padi
Penulis : Heri Maja Kelana
Cetakan :
I, Maret 2013
Penerbit :
asasupi, Bandung.
Tebal : 102
halaman (38 puisi)
ISBN :
978-602-176141-0
Desain
cover : Langgeng Prima Anggradinata
Tata letak
: Mochamad Latif Faidah
Lambung Padi terbagi dua bagian, yaitu Kitab Kekecewaan Lelaki (14 puisi) dan Lambung Padi (24 puisi)
Beberapa pilihan puisi Heri Maja Kelana dalam Lambung Padi
Jatitujuh
sejarah bukan hanya pada sawah. malam
yang
hampir punah. atau burung-burung berpindah
ke
kebun-kebun binatang. malam. tepat aku singgah
di kotamu.
tak ada bulan. sungai mirip muntahnya
orang-orang
serakah. malam: kotor dan busuk. padahal
orang-orang
berbicara cinta. api menyala dari tungku surabi
seperti
tak ada yang aneh. padahal disentri, demam berdarah kerap
menyerang
kota ini. malam. begitu kiranya sejarah
bukan hanya
pada sawah atau tujuh jati yang tinggal dua
malam.
gelisah. sungai cinamuk tetaplah berwibawa
setelah
menghanyutkan makam bagus rangin
leluhur
jatitujuh, tempat orang-orang datang meminta
keselamatan
atau asihan. sederhana. sangat sederhana
seperti
kita mengagungkan cinta. sekedar malam
Januari
yang Cantik
aku
menyapa lambung yang sakit
kaki yang
terhenti di pintu ke 5
pintu
rambut dan kenangan
antara kau
dan aku terjebak di tanah ayah
januari
yang cantik, rambutmu lilin
aku
menjaga setiap cerita
lalu
kembali terjebak di tanah ayah
januari
yang cantik, aku menyapa
setiap waktu-waktu
dan tak mengenalmu
Nyi
Rambut Kasih
siapa saja boleh datang ke tanahku, subur
serta
penuh wibawa. bulan batik langit
menarik
tubuhku setiap doa panen tiba
tubuhku hapa
rambutku
hutan, siapa saja boleh datang
siapa saja
boleh memetik buah maja
buah yang
tumbuh dari rambutku
buah yang
membuatku merasa terasing
: bulan
datang, hening berundak
wajahku
melampaui usia
aku
mencintai kemenyan
aku
mencintai setiap kepulangan
dan
kembang
siapa saja boleh datang ke tanahku
sertakan
kemenyan juga kembang
aku berada
di gunung haur
siapa saja boleh datang
ke tanahku
aku akan
menemui tubuh kosongmu
Variasi
Bulan: Bait-Bait Perjalanan
(bagaimana apabila kita menukar arloji
menukar kenangan dengan bara api
supaya semuanya menjadi hilang entah ke mana)
di 12 malam, wajahmu hilang
mungkin di
belakang awan atau ke balik pohon-pohon
atau entah
ke mana. suara serta harum asap rokok kretek
menutup
kenangan serta apa saja yang melilit jari-jari manis
juga
pundak yang ditutupi angin. angin yang kemudian
bernyanyi
dari pundak ke ibu jari yang resah
seperti kura-kura hilang rumah
siapa yang
sebenarnya mencipta asmara, di riak kolam
yang penuh
ikan dan angsa. bunga-bunga melilit jantung
dan seakan
tidak mau kembali bertemu dengan musim
yang
menjatuhkan kupu-kupu atau loncatan perasaan
yang tidak
terduga. perasaan yang tidak sampai terbawa
oleh
tangan-tangan malam, gedung-gedung tua
tebing
pembatas jalan, jembatan, atau rumput trotoar
malam
selalu tak pernah jujur
juga kau
ketika lewat di depanku
ketika
semua berubah menjadi sumur-sumur
kosong.
luka memanjang
luka
memanjang. malam hampir tua
wajahmu
muncul bersama parfum keringat seorang pelacur
lelah.
seakan menukar dengan adzan subuh
seperti
pernikahan yang tak pernah jadi
siapa yang
mencipta asmara
semua
memanjat tebing-tebing kesedihan
sebaiknya
kita tak pernah bertemu
sebab luka
semakin seperti bulan, semakin penuh
dan
kemudian hilang kembali
mungkin begitulah aku
Langkah
Pulang
ia
siramkan air-air kerinduan pada tubuhku
melangkah pulangkan doa ibu
menggenggam
kenangan batu
berbagi
langkah. mari mengusir sepi semadi
kala hujan
membaringkan teratai
hatiku
tiga warna danau. nama dari segala doa
ia
sabarkan tubuhnya. berkelana di hutan
jantung
langkahku
semakin jauh untuk pulang
kabarkan
Sundamala
siapa yang percaya dengan semua hening
apakah ada
lingga atau yoni dalam kidung sundamala
mereka
misteri seperti batu. seperti kelahiran kita
Surat
Cinta untuk Pratiwi
wi,
ingatkah ketika kita melihat orang
buta
di pinggir
jalan. dia melihat dengan kaki
tangannya
kompas. rambutnya tahu isyarat angin
sedang
kulitnya memberi tahu siang dan malam
wi,
ingatkah ketika kita melihat orang bisu
jari
membuat kata-kata merdu. semerdu adzan
kita
dengar di antara suara knalpot
wi,
ingatkah ketika kita melihat orang pincang
matanya
menjadi kaki, terus bertualang
tak pernah
ada ujung. ketika lelah, hidungnya
mengganti
mata mencium kehidupan. lewat aspal
rel yang
panjang. aku mencintaimu wi
mereka, juga
(Bandung,
Suatu Ketika)
bandung
memang istimewa untuk kita adili
dengan
mata terbuka. mungkin indah mungkin juga
sebaliknya
diantara bangunan neoklasik, ada yang
tertidur
dengan alas kenangan. ada yang menggoda
ada juga
yang sinis tersenyum. juga menangis
kusampaikan padamu. tentang cinta yang tidak pernah
selesai kita
bicarakan. cinta lampu-lampu, gedung
dan udara
yang begitu setem. cinta kutemukan di antara rel
jalan-jalan,
gang kota raya. menghubungkan kenangan
menuju
perpisahan. cinta yang kutemukan pada gadis-gadis
kecil
kelaparan. para pejalan yang kehilangan.
ada yang ingin
kusampaikan
padamu, namun aku tidak bisa
sebab
bahasaku reklame lembut dan sensitif. kadang-kadang
sinis,
seperti kota ini memandang setiap waktu.
bandung
mungkin
kuucap terima kasih. di kota ini aku telah
menemukanmu.
meski harus berpisah. cepat. bisa juga
lambat.
namun pasti terjadi pada setiap kata abadi
suatu
ketika, bandung
Aku
Menemukan Nama-nama
mengalir
bersama usia,aku menemukan jisim;
kerut di
wajah adalah jalan menuju rumah
tempat
istirah. merebahkan jasad kenangan
jasad
setiap keheningan, para pertapa
adalah
kesedihan seperti sketsa palawa
yang
menjadi karangan bunga. orang-orang berpelukan
kemudian
tiba-tiba menyerupai jalak batu
mereka
terkapar seperti perahu, di pelipis pantai
malam
datang dengan cuaca yang tak lagi biru, tua
aku merasa
menjadi rusuk tanah atau tebing-tebing goa
tubuhku,
tak pernah ada yang punah yang bernanah
ikan-ikan
pelus masih bermain di mataair ketiga belas
semua
berjalan biasa, bulan datang, angin datang
meski
keduanya mempunyai tujuh jarak
seperti
aku mencintaimu pada setiap nama rumput
kutemukan
lagi nama-nama
kubu suda kiara begitu tegas menunjuk langit
menunjuk
langkah leluhur, musim
begitu aku
memandangmu sebagai gelisah bayi
batu-batu
meretakkan diri
bukit-bukit
meremas sempurna
tak ada
suaka atau cerita naga
kita
adalah tanah
pada setiap keheningan
menuju rumah, para petapa
daun, dan
batu, dan laut, dan sisik bulan
adalah
naga
Lumar:
Wajah Pitaloka
pergilah
ke perbatasan, kabarkan
tentang
permusuhan
waktu reda,
hujan lindap. ke mana kau akan berangkat
membawa
syair setelah semuanya berakhir, luka-luka
disihir
menjadi kenangan yang melayang-layang
bagai daun
lepas entah ke mana. Pada kedalaman lumar
aku bagai manyar menebar debar, agitasi ke diri
pada tanah
yang mengandung tangis pitaloka
adakah kau
menerima sisi gelapku lagi, kekasih?
lorong
tubuhmu telah menyisakan asmara yang ganjil
serta
konde yang menjadi ujung sunyi
di mana
kau sembunyikan
hujan yang
lindap, api yang hilang harap
masehi
berganti, bulan sakit. sesakit ujung tombak
yang
ditancapkan, kemudian kau cabut dengan perlahan
di dada
kiriku. wajahmu wajah waktu
memilin
kisah yang terasah di pasir pasundan.
“pitaloka,
di mana kau sembunyikan kuda-kuda yang berlari
seperti
detak jantungku. mengejar persembunyian
sebelum
lumar benar-benar padam, sebelum keranda
berada tepat di mana kau menunggu”
harapan
mungkin lilin di kamar pengantin
menunggu
padam. Pitaloka, aku akan menelanjangimu
kau
seperti lenyapnya kubur leluhur
lumar di
tanah, sendiri
Kepada
Umbu
kenanglah
kuda-kuda putih dari tanah kelahiranmu
jika sajak
yang kau gali maka kehidupan selesai
di ujung
kata-kata. melepas keindahan tanah,
ayah
merangkum
keindahan dewata
tanah lot
pura
besakih
serta
kecantikan seorang perempuan
dengan
kebaya gantung
adalah
sajak-sajakmu yang merindu
di ujung
pengelanaan
maka
sejatilah padaku namamu
maka
sejatilah namamu
pada
daun-daun kering
pada pasir-pasir pantai
pada purnama
pada kata-kata yang menjelma
dan
sejatilah namamu
sejauh
pengelanaanmu
sebuah
perenungan panjang pada jiwamu
menitip
raga semesta
dalam
percakapan dua selat
sajak-sajak kecil
melodia
ibunda tercinta
serta
upacara terakhir
pertapaan
telah terukur
terusir
sunyi melepas pantai
detik-detik
menyulut kembali percintaan asing
di atas
asih asuh seorang pengelana
ada
kerinduan yang menggelora
maka
terusir gelisah purba
sejatilah
namamu
sejatilah namaku
pada sajak
pada pengelanaan
di atas
mahkota pulau dewata
di atas
singgasana tanah sunda
tumbuhlah
sajak-sajak tanpa batas usia
seperti
tujuh cemara
Kepada
Seorang Planolog
“sekali
waktu, memandangmu bukan dengan mata”
pagi. tegas aku menyampaikan salam.
selenting lagu
lonceng
atau jerit rem, akrab di telingaku. begitu aku
memandangmu
bukan dengan mata. berjalan di atas trotoar
maka akan
kita rasakan sesuatu yang lain, menghadang
seperti
berada dalam arsitektur yang lupa mata. segala
kenangan
menjadi warna telinga, sejarah baru
sejarah
yang rancang dengan tangan terbuka. seperti alinea
pidato
atau narasi koran-koran, yang membuat kota ini gaib
aku tidak
mengenalmu, hampir saja. barisan bangunan neoklasik
flamboyan
sekali memeluk. tak ada percakapan yang berkelanjutan
padahal
kita lahir dengan cara yang sama. dengar
apabila
selenting lagu suara lonceng atau jerit rem tidak pernah
sampai padamu, maka akan merasakan perih hari
pada titik nol
Naga
mengakrabimu
sebagai mite, mungkin
seperti ibu
yang menidurkanku
saat mencari
kutu di setiap lapis rambut
bercerita ksatria,
putri salju, timun mas
pitak sangkuriang, batu malin
perempuan sepatu
kaca. Aku tak sadar
telah lama
terlelap di pangkuannya
sebagai mite.
di sana ada api!
Tentang
Heri Maja Kelana
Heri Maja Kelana lahir di Majalengka. Pernah menjadi
ketua Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) Universitas Pendidikan Indonesia
periode 2008-2009. Karyanya tersebar di berbagai media dan antologi bersama.
Sekarang menjadi Ketua Pusat Kajian Sastra Institut Cikalong.
Catatan Lain
Heri menulis catatan di awal buku, yang dijudulinya “Lambung
Padi dan Heri”, berikut ceritanya: “Suatu malam seorang Ibu pernah bermimpi
pisang raja dan jam dinding tua yang tergeletak di depan rumah. Ia mengambil
keduanya dan disimpan di atas tumpukan padi yang belum digiling. Jam dinding
tua berbentuk persegi panjang tersebut berputar ke kiri, berbeda dengan jam-jam
yang lain. Ibu itu merasa heran, lalu ia memakan pisang raja yang semula
diletakkan di atas padi. Setelahnya, jam dinding yang dipandanginya berputar ke
kanan serta memunculkan nama Heri. Ibu tersebut adalah ibuku.”
“Cerita mimpi
kelahiran, saya dengar ketika berumur 4 tahun dan teringat kembali saat ini,
tepat ketika menulis pengantar puisi saya (Lambung Padi). Lambung adalah pusat
atau wadah (bisa juga sebagai jalur) berbagai makanan yang masuk ke tubuh. Saya
memandang lambung sebagai proses laju kompleksitas budaya yang kemudian
dialirkan oleh darah ke seluruh tubuh. Sedangkan padi adalah bahan makanan
pokok di beberapa daerah, bahkan hampir di seluruh daerah. Padi, saya pandang
sebagai pusat budaya yang memunculkan narasi-narasi besar. Oleh karena itu,
saya memilih judul Lambung Padi dalam
antologi puisi ini. Lambung dan Padi dapat mewakili perkawinan sosial, moral,
mitos, legenda, dongeng, dll. pada puisi saya.”
“Kelahiran
buku ini, mungkin ada kesamaan dengan proses kelahiran saya dan kemunculan nama
Heri Maja Kelana. Semuanya tidak terduga, hanya jam yang mengetahui segalanya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar