Data
buku kumpulan puisi
Judul : Mata Air di Karang Rindu
Penulis : Tjahjono
Widarmanto
Cetakan : I, Juni 2013
Penerbit : SatuKata book@rtPublisher.
Tebal : 44 halaman (42 puisi)
ISBN : 978-602-7731-31-8
Pra cetak : PUSTAKA ILALANG
Cover : R.Giryadi
Mata Air di Karang Rindu terdiri atas 2 bagian, yaitu Zikir
Langit Zikir Bumi (21
puisi)
dan Mata Air di Karang Rindu (21 puisi).
Beberapa pilihan puisi Tjahjono Widarmanto dalam Mata Air di Karang Rindu
MATA
AIR KARANG RINDU
Engkau mata air itu
Segala rindu tinggal
di dasar malam
ingatkan sunyi adalah ke dalam sujud
kuteguk mata airMu
tak hanya untuk dahaga
juga membasuh luka
dari karang-karang jiwa
kuteguk
mata airMu
agar
dinginnya
membangunkan
tidurku
kuteguk
dinginMu
biar gurun
yang mengerak di hati
jadi
sabana tempat malaikat
bertukar
senyum dan sapa
/ngawi-kauman/saat subuh
TUBUH
KAMI MASIH SAJA DIJEJALI BATU-BATU
Di akhir
sunyi yang mengendap-endap
sepanjang malam
selalu
saja kami gagal mengeja tubuh sendiri
hanya batu-batu
resah menumpuk dalam tubuh
tsk bisa
jadi prasasti sebab huruf tak bisa dipahatkan
jadilah
kami musafir bisu yang mengutuki diri sendiri
gagal
membaca tubuhnya di setiap malam
gagal
menulis catatan-catatan di batunya sendiri
masih juga
kami bertanya
: kalau tak mampu membaca tubuh sendiri
Lantas
siapa yang harus membaca tubuh kami?
pertanyaan
itu, sia-sia yang membentur-bentur dinding-dinding langit
dan, tubuh
kami masih saja dijejali batu-batu
ngawi, bumi ketanggi
ZIKIR
LANGIT ZIKIR BUMI
aku berlari ke kamar mandi: serupa hajar
mencari mataair
:
merindu wudhu
segala
pintu kuketuk segala lembah kukeduk
gericik
air:, dingin sirami panasku
kemarau
dan musim zikir lail-dari langit ke bumi – dari bumi ke langit bergaunglah dalam
percik wudlu
:sungaisungai ayat
mengalirlah
ke nadi-nadi
berbiak
jadi di mataair tubuhku
belah-belah
aliri jantungku
jadikan syahbandar
lalulintas segala sampan perahu
menebas
kilat di pekat dari langit ke bumi
dari bumi naik ke langit
: jarum lesak di waktu
yang
mampat
mata
pedang itu
jumpalitan-berkilatan
di masyhar padang api
: jalan-jalan kembali tegak tak
bersimpang
garis-garis
itu. Pohon-pohon itu
menegak
aku tertusuk di
rantingnya, koyak baju, koyak celana
compang-camping
usia
lewat
wudhu
kuruwat
wajah
lari
hijrah dari gelap ke dalam gemeratap gairah
namun
tersesat
di sisir
dingin gemetar dicakar
dalam
selimut bercadas
: malaikat-malaikat
perempuan merobek perutku
Dengan
pisau uzur
Pohon-pohon pun tumbuh
api di daunnya
Seperti cendawan
Di akarnya
kujumpai cermin yang bergerak-retak dalam ricik air
Suara itu, oo suara itu
: “kelak, jika kau
tak mampu menetak takdirmu, maka biarkan waktu terus melarikan detaknya!”
bola mataku melompat-lompat mencari jejak
di antara sesak kilat yang berkerak
di dinding-dinding kamar
yang retak berlubang terperangkap dalam landscap jelaga
dalam subuh yang aneh
zikir itu tadahkan di dinding
bergetar
“ rumahku pergi ke mana?”
bisikku risau
sambil
menatap keluar pintu jendela
:pintu rahasia-pintu usia pintu doa
zikir
langit
zikir
bumi
mengajakku
hijrah
dengan
rambut basah
dengan
dada terbelah
“bukankah surga neraka mengalir di sana!”
aku pun
bergegas ke kamar mandi
mencari
wudhu di gigir air
namun
segala perigi telah kering,
tapi,
zikir ku tinggal lampau
(bumi
ketanggi)
ZIARAH
bertahun-tahun
kami selalu ziarah di sini
mengingat-ingat
kematian kami sendiri
yang tak
sanggup kami lafalkan
sebab
lidah telah kelu serta mata berembun
untuk
apakah setiap kepergian ditanyakan
apalagi
harus disertai air mata?
kami hanya
ingin memasuki lorong asing
dengan
riang sambil mengulum senyum
namun,
kami dapati tubuh telah fana
langit
menyimpan rahasia hujan
seperti
tanah dan taburan bunga sembunyikan rahasia usia
segalanya
akan kembali pada muasal
kembali
pada warna sunyi
:rahim
debu!
(Surabaya-perak)
DARI
BALIK MAUT KULIRIK CINTA
telah Kau
kabarkan maut mengendap-endap dari jauh
lampu di
kamar telah lama padam, tak ada lagi kitab bisa dibaca
semua
hangus dibakar detak memburu
zikir tinggal kelu
tahajud tinggal sajadah
namun,
rindu tak tertahan resah
sebab dari
balik maut kulirik cinta
mari,
renggut jiwaku
biar aku
berulat di mawar cintaMu
Tlatah kauman
JEMARIMU
MENGGARISKAN PETA-PETA DI DAUN JENDELA
jemariMu
tak putus-putusnya mengirimkan hujan
untuk
mengusir kemarau di bilik-bilik pertemuan kita
cuaca pun
mengatupkan pintunya memberi waktu pada hujan
menyiramkan
sejuknya di kuncup mawar di rongga hati
kau
menyapaku dengan bahasa diam yang indah
mengajak
bersenandung dan mataku khusyuk
menyerap
cahaya senja yang kian ungu
dalam
bilik ini telah Kau tunjukkan panorama semesta
terlukis
di pundak cakrawala segala pelangi
dan seribu
harum dikecup kupu-kupu
jemariMu
menggariskan peta-peta di daun jendela
tempat
segala taman penuh sulur dedaunan
bersama
pagi menetaskan kristal embun di sayap tekukur
sisa
percik rembulan kemilau oleh bait-bait doa
dibawa
semilir angin yang lena
untaian
zikir yang habis dieja
di bilik ini, sejenak sebelum waktu
beranjak, Engkau kirimkan kecup
tawangmangu-sarangan
BERSIMPUH
DI SERIBU SUBUH
aku ingin
terlimpuh sehingga lumpuh
sampai
sujud ini Kau peluk
: “sudah aku lewatkan pasrah patuh beribu
subuh
zikir berduka, syair yang bulirkan air mata
basulah
segala peluh, hisaplah segala keluh
aku terus
bersimpuh, telimpuh hingga lumpuh
“Kau
lihatkah lututku lunglai, beringsut, menggelepar seperti ikan di kailMu”
seribu
subuh tetap terlimpuh
kupukul-pukulkan
kening untuk tabuh memohon simpuh
ngawi-bumi
ketanggi
DI
SEBUAH SENJA
termangu
mendengar langkah degup matahari mengejar usia
angin tak
sanggup bergerak sendu, ingatan mengungu
ketika
sampai di batas senja, tubuh tinggal remang
tak lagi
sanggup meratap
jadi
kanak-kanak kering kurus dihisap bayang-bayang
O, rasa rindu merenung, berikan aku peta
biar kucari kitab
Yang menorehkan namaMu, agar bisa kueja
dengan lafal senyaring terompet
Awan
melayang bagai dendam dalam ingatan. matahari bergegas pergi, cahaya-cahaya
biru segera runtuh, bayang-bayang makin hitam, tapi telah serupa hantu
O, waktu,
beri aku mantra dan bahasa agar bayang-bayangku sampai pada senja untuk
bercakap denganNya
Ngawi-masjid
kebonsari
TANAH LIAT
aku hanya
tanah liat
tembikar
tempayan rapuh
sekedar
topeng kosong
engkau
hembuskan hidup
lebih
sekedar kuasa kata-kata
aku hanya
ruang kosong
musafir
yang selalu datang
terlambat
dari abad lampau
dengan
mata selalu tergenang
pandangi
Engkau serupa kanak mengharap permen
engkaulah
gembala itu
bernyanyi
dengan seruling merambati hati
nafas
nadaMu berhembus dari langit ke laut
melanda
segenap pantai dan bergaung di lembah-lembah
sunyi
aduhai,
Engkau Penggembala, aku sapiMu
ditenung
siul serulingMu
merambati
dinding-dinding beku
dilekuk
sepanjang nadi
ngawi-wareng
SYAHBANDAR
ini
dermaga asing, syahbandar tak tercatat dalam atlas
tak ada
lambai tangan, tak satupun pengantar apalagi kecupan
tak juga
feri kembali, hanya kabut menampar-nampar buritan
lokan-lokan
tertinggal di pasir tak satu pun nelayan menarik jala
langit
serba merah menyimpan bilik-bilik rahasia tempat sembunyi matahari
hanya
ngeri tak berkata apa-apa. Bau keringat dan sisa airmata bergetah
di tengah
pasang gelombang kian renta di bawah kolong langit gemuruh
namun, tak
satupun terjaga juga saat pasir di gerus gelombang pasang
Surakarta-ngawi
GUGUR
BADAI
jarum
arloji menusuk-nusuk
: kaukah yang terlambat
terjebak
dalam sangkarut tanda dan gugur badai?
genangan
air dan selokan
menyimpan
ketakutan
saat lagu,
baitnya hampir usai
kunang-kunang
kehilangan cahaya
ketika
hujan tak juga reda
dan malam
takjub, pada gulita
di pasar wareng
JENDELA
jendela kamar selalu terbuka
bisa
kutatap kelebat waktu lewat
isyaratMu menegur diam-diam
mengabarkan
ada tamu akan mengetuk pintu
mengajakku
menghitung helai uban di kepala
lantas
membujukku bergegas masuki sebuah perahu
berlayar
menuju dermaga baru
tanpa sempat bercermin dan membasuh muka!
bantaran kali solo
TAMSIL
KUPU-KUPU (1)
resahku
larut gugur bersama ranting
bisikMu
dikabarkan rumput dan jemari
di
kejauhan malaikat bergaun putih
berlari-lari
melintas taman tanpa tepi
di batas
langit kepak burung mematuk bayang-bayang
“mengapa Engkau tak kembali atau skedar
menengokku?”
“tak
tahukah Engkau aku berdebar menantimu?”
(akulah
kupu-kupu itu terpukul bau wangiMu)
Ngawi, klitik-ketanggi
TAMSIL KUPU-KUPU (2)
sepasang kupu-kupu letih beriring
: aku ingin kembali menjadi ulat
tidak terbelenggu indahnya warna sayap
ingin kembali berumah dalam kepompong
agar lebih arif menyimak musim!
Ngawi,
wareng
Tentang
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widarmanto lahir di Ngawi, 18 April 1969, bukunya
yang sudah terbit antara lain : Umayi (Antologi Puisi 2012), nasionalisme
Sastra Bunga Rampai esai sastra budaya (2011), Drama:Pengantar dan
Penyutradaraanya (2012), Kitab Kelahiran (antologi puisi 2003), Kubur Penyair
(antologi puisi 2002), Di Pusat Pusaran Angin (antologi puisi 1997) dan puluhan
buku antologi bersama. Menulis sajak, cerpen, artikel, dan esai di berbagai
media, antara lain Horison, Basis, Republika, Kompas, Suara Pembaruan Jurnas,
Koran Tempo Koran Sindo, Jurnal PERISA (Malaysia), bahana (Brunai darussalam),
dll. Seringkali memenangkan sayembara
dan lomba penulisan baik tingkat
nasional dan lokal. Beberapa kali mewakili Indonesia di forum sastra
internasional dan pernah meraih penghargaan seniman dan budayawan Jawa Timur di
bidang kesasteraan. Selain menulis juga nyambi menjadi guru dan dosen. Dalam
waktu dekat akan meluncurkan tiga buku terbarunya, yaitu kumpulan telaah sastra, buku cerdas menulis,
dan antologi puisi. Email: cahyont@yahoo.co.id.
Hp 085643653271
Catatan Lain
Pada awal buku ini, dibuka dengan Salam
Penyair, yang ditulis agak panjang. Pada bagian kata yang saya suka adalah “Puisi adalah ikan dan kehidupan adalah
kolam. Kedua-duanya saling bergantung. Kedua-duanya berkelindan dan
berselingkuh. Tak cuma saling bergantung, puisi maupun kehidupan menuntut
penafsiran. Setiap penyair menafsirkan kehidupan dan menuliskan kembali
penafsiran tersebut dalam wujud puisi. Saat penyair menggubah kata menjadi
puisi sebenarnya pada saat itu ia sedang menganyam tafsir dan perenungan atas
kehidupan untuk dirinya sekaligus untuk pembacanya”.
Buku ini merupakan kumpulan puisi beliau
yang ke lima Hampir keseluruhan puisi buku ini bernuansa religi atau sufi. Beda
dengan dua buku beliau yang pernah saya baca sebelumnya Kubur Penyair dan Kitab
kelahiran. Lebih matang dan sarat perenungan-perenungan tentang hubungan
vertikal dengan yang di Atas.Dalam buku ini di bagi dua bagian. Pada bagian
pertama di beri nama Zikir Langit Zikir Bumi, terdiri dari 21
Puisi. Pada bagian kedua di beri nama Mata
Air Di Karang Rindu pun
berisi 21 puisi. Sengaja penyair tidak menulis penanda tahun pembuatan puisi.
Tapi di akhir buku ada catatan kalau sebagian puisi-puisi dalam buku ini di
publikasikan dalam kurun waktu 2011- hingga paruh 2013 di berbagai media massa,
antara lain di Horison, Basis, Jawa Pos, Kedaulatan Rakyat, Jurnal Nasional,
Pikiran Rakyat dan Jawa Pos.
Yang menarik di dalam kumpulan puisi ini, ada
beberapa puisi tipografi yang ditulis tidaklah lazim, terutama pada puisi yang
berjudul Mata Air di Karang Rindu.
Pada bait pertama tipografinya rata ke samping kanan dan di bait kedua tipografinya rata ke
samping kiri. Begitupun tipografi pada
puisi Zikir Langit Zikir Bumi,
mungkin sebagai nilai tambah estetika dan keutuhan sebuah puisi tanpa
mengurangi aspek tema, diksi, rima dan gaya berkarakter dan memiliki daya tarik
sndiri di dalam menikmati puisi puisi ini
Secara keseluruhan kumpulan buku ini layak
mendapatkan apresiasi secara diksi, metafora, gaya tulisan dan terutama nilai renungannya. Tak heran jika
Puisi Mata Air Di Karang Rindu ini mendapatkan penghargaan sebagai Pemenang
pertama dalam Lomba karya sastra dalam rangka Pemberian Penghargaan Sastra
untuk Pendidik pada tahun 2014. (Fevi Machuriyati)
terimakasih mas Nahdiansyah, Bila banyak kurangnya dalam catatan mohon dimaklumi. Sebab masih belajar. Salam puisi... :)
BalasHapusWeh, catatannya bagus, saya aja sering tak punya ide harus nulis apa.... O iya, baru ingat. Pada puisi berjudul "Tanah Liat", bait kedua, kalimat 'terlambat dari abad lampau' emang diulang dua kali ya Mbak? Trims.
Hapusyang benar cuma sekali. bisa di revisikan mas Nahdiansyah?, terimkasih koreksinya. :)
BalasHapusSip. Sudah.
Hapus