Data buku kumpulan puisi
Judul
buku: Pelajaran Berlari
Penulis: Didik Siswantono
Pengantar:
Joko Pinurbo
Editor:
Candra Gautama
Perancang
sampul: Aldy Akbar
Penata
letak: Aldy Akbar
Penerbit:
Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta
Percetakan:
PT Gramedia, Jakarta
Cetakan:
Pertama, Februari 2015
ISBN:
978-979-91-0822-7
Tebal: xx
+ 100 halaman (83 sajak)
Pelajaran Berlari terdiri dari 3 bagian, yaitu Sajak Rindu Sepanjang Malam (27 sajak), Pada Suatu Perpisahan (21 sajak), dan Pelajaran Berlari (35 sajak).
Beberapa pilihan puisi Didik Siswantono dalam Pelajaran Berlari
Sajak Perpisahan
Angin kecil selalu
mengajakmu bercakap
tentang kehilangan yang
menjadi senyap
dengan kata-kata halus
mengasah sepi.
Seberapa heningnya
perpisahan yang sunyi
tetap saja menemukan
sebutir isak
bersama kesadaran yang
enggan pergi.
2014
Padang Halimun
Malam ini kutanggalkan kacamata
saat detak jam tua begitu tergesa.
Aku tak kuat lagi berteriak
saat airmataku menetesi dada kirimu.
Hanya doa yang bisa kupanjatkan.
Bukankah kita selalu meyakini:
tiada kalimat paling indah selain doa?
Aih, andai boleh kupilih satu bahagia
kubawa kau ke padang halimun
dengan rumah berjendela tiga
dan bunga matahari di sampingnya
angin semilir akan menjatuhkan
airmataku ke dada kirimu.
2003
Jerami
Kita adalah
sepasang jerami di padang ilalang
embun pagi menguyupi sekujurnya
panas mentari melunasinya
tersisa sekerat rindu
yang selalu kau sebut:
dosa.
2014
Bus Nguing Nguing
: jokpin dan para guru yang ikut menumpang
Kita sekumpulan orang yang suka memunguti kata
dari sebuah bus tua yang menjerit nguing nguing.
Ke asapmu yang hitam, aku berlarian masuk angin
menyelamatkan penumpang yang lupa jalan pulang.
Ke badanmu yang kecil, aku menelusupkan kepala
bermanja-manja kepada guru-guru yang menumpang.
Ke jantungmu yang debar, aku tempelkan tangan
mencari kehangatan yang mungkin masih tersisa.
Aku, siswa baru yang suka memunguti makna
dari sebuah bus tua yang menjerit di tanah Minang.
Batusangkar, Desember 2014
Denting Little Things
: One Direction
Dan musik pun tak pernah mengingkari janji. Bagi hati
sepi
di malam sunyi seperti ini. Denting Little Things mengalun
dalam kepala yang tak mau tidur. Menunggu imaji apa lagi
yang tersaji di Cafe depan penginapan kami.
Ada haru di suaranya. Sejenak kami hening di nada ini.
Sampai ketika Niall memetik gitar dan Liam menyapa.
Kami pun terpana, ruang remang itu tercengang. Cinta
mampir tiba-tiba, semakin menggema saat Harry bersuara.
Zayn memilih nada-nada lain, dan kami mendengar orkestra
alam saling bersahutan. Lantas Louis menutup komposisi
seperti suara angin menyelinap dalam malam hujan. Terima
kasih, Little
Things telah menghibur kami di malam sepi ini.
Den Haag, 2014
Rindu Ibu
Perihal jarak yang begitu jauh;
seorang ibu diam-diam melipat waktu.
Lalu aku singgah di gadget
usang
menitipkan rindu melalui kabel-kabel itu.
Mencumbui ibu
yang tangisnya jatuh satu-satu.
Den Haag, 2014
Kidung Ibu Pertiwi
: Nancy Martasuta
Kesunyianku yang kisut berdiam di ujung sofa merah
sebuah hotel yang dihamburi salju saban hari. Sambil
menunggu kau turun ke lobi di mana sofa itu
sendirian dan kedinginan, seperti aku.
Kemarin kau di sini menanti pagi sembari bernyanyi
tentang Ibu Pertiwi. Melipat-lipat koran menjadi pesawat
terbang dan sebuah bendera. Sebelum aku sepi dan
sunyi.
Sekarang kau mungkin belum bangun pagi. Namun
nyanyianmu membekas dalam hati. Sebuah kidung
yang akan kulipat menjadi dasi sebagai bekal ngantor
di rahim Ibu Pertiwi.
Amsterdam, 2014
Pelajaran Berlari
Ketika malam merasuk jauh ke lebat hujan
kutitipkan jemariku di hangat pendiangan
dapur Ibunda. Menyelesaikan pelajaran berlari
hari ini, diakhiri sebutir isak yang melelahkan.
Kali ini pelajaran berlari amatlah menguras airmata.
Seminggu ini, kecepatanku tak lebih dari dua puluh
lima ribu setiap
hari.
Setiap
hari, seperti dituahkan Bapak
dari mulutnya
yang merah jambu semua, kecepatanku harus
mencapai lima puluh ribu per hari. Ditakdirkan
sebagai anak sulung beradik empat orang,
aku harus kuat berlari sepanjang hari. Musim lari
yang melelahkan, semoga jadi suluh segala doa,
jadi silih semua derita.
2014
Sajak Malam Hari
Aku suka menulis sajak pada malam hari
di bawah belai angin dan segelas kopi
ditemani nyamuk-nyamuk satu kompi.
Tuhan menjagaku di satu sisi
nyamuk menemaniku di lain sisi.
Gigitan dan cubitan nyamuk
adalah obat ngantuk paling manjur
mengejutkanku dari pelukan lelap,
agar aku tetap bercakap dengan Tuhan
muasal sebuah sajak dituliskan
melalui urat nadi ayat-ayatNya
2014
Keluarga
Inikah keluarga;
tempat segala cinta dilabuhkan,
segala kasih diombakkan
riaknya berkecipak tawa
deburnya menghantam dada?
Inikah keluarga;
alasan orang purba
rela memahat batu
di dinding-dinding goa?
2012
Banjir Kata di Dadaku
Kau tak ada dalam dadaku
saat malam mulai turun
dan hujan lebat sekali,
kubiarkan kau berjalan-jalan
dalam hujan yang banjir
memunguti kata dari dadaku,
gajian nanti akan kubuat
gorong-gorong di dadaku
agar banjir surut dari matamu.
2014
Annora
Setiap menyusuri matamu, Nak
aku melihat angin yang begitu tenang
semilirnya bagai kicau burung
di dalam dadaku.
2010
Gerimis Senja di Jembatan Ampera
: Gatot M. Suwondo
Jembatan senyap di malam sehabis senja
gerimis doa menulis namamu tanpa tinta
sebab kau berikan tongkat bagi ibu-ibu renta
juga petuah tua kepada bocah-bocah muda
mengumpulkan serpih cahaya dari gulita
lantas menuai debar sampai ujung kepala
perihal pengabdian di sepanjang usia.
Palembang, 2013
Keringat Ayah
Keringat Ayah;
yang kutanam di ladang doa kami
suburkan bebunga tabah
di dadaku.
Tuhan menyiraminya
setiap hari.
2006
Sajak Orang Jakarta
Aku penat hidup sendirian di depan lampu-lampu kota,
yang panasnya bikin sakit kepala, dilipat sekujur uang
dan jeritan mesin-mesin sepanjang aspal.
Aspal jalanan berkilat mulus, menjulur di sekujur kota,
membikin manusia Jakarta bergegas dengan kepentingannya.
Kepentingannya belaka yang selalu melanda benak mereka,
tiada tahu jeritan pilu perjaka kesepian yang kadang
jenuh
kadang pula rindu.
Rindu adalah jerit hatiku saat ini, rindu bapak dan emak
yang sudah tua di desa, rindu rengginang dan ikan mujair.
Ikan
mujair yang berenang di empang
bapakku, kini
membayang lagi, mengalahkan tekadku ingin
menaklukkan kota Jakarta setahun lalu.
Setahun
lalu, aku ingat emakku
bertetesan airmata
dan bapakku bergelimangan peluh demi keberangkatanku
ke
Jakarta.
Ke Jakarta ternyata dan sebenar-benarnya, tidak lebih indah
dari kilau keringat bapakku saat memanen ikan mujair di desaku.
Desaku, pada pelukmu aku berpulang, esok pagi aku kembali,
memanggul tas yang penuh keringat dan air mata dari
Jakarta.
2014
Bocah Pinggir Jalan
Jumat pukul dua siang yang teriknya mencubiti
kepala seorang bocah tertidur di sofa usang
pinggir jalan, ia begitu penuh perhatian:
tak ada tempat ramah di sekujur Jakarta.
Jakarta pukul tiga siang matahari mulai lelah,
ia masih terlelap di sofa tua pinggir Jalan Pramuka
lelapnya hening menelan habis kata-kataku
napasnya mengalun di silir debu jalanan.
Jalanan semakin padat pukul empat petang,
ia makin pulas karena kelelahan
baginya: sofa usang adalah singgasana
yang paling menenangkan.
Jakarta, 2014
Sekelumit Kisah Keluarga
/1/
Ayahku berambut keriting berkaki sedikit miring
setelah kecelakaan yang bikin badannya gering
lebih suka memanen jagung di ladangnya yang kering.
/2/
Ibuku seorang wanita sederhana bermata angsa
lebih suka menyelam di keteduhan airmatanya
menjahit malam dengan doa-doanya.
/3/
Kakakku seorang lelaki perkasa berdada garuda
kepak sayapnya berkeriap di angkasa
terbang ke negeri Amerika bersama keluarga.
/4/
Adikku ada tiga perempuan semua
lebih suka memintal pecahan kain perca
demi menyusun sebuah keluarga bahagia.
/5/
Sedangkan aku adalah lelaki sangat biasa
ingin memanen makna di ladang kata-kata
demi kebaikan umat manusia.
2014
Buku Tabungan
“Bolehkah aku membantumu, Pak?”
Bapak tak menjawab, terus membuka buku tabungan
yang berguguran, menghitungnya lalu melupakannya.
Bapak kini mencoba melihat kalender sebuah bank.
Sia-sia tapi ia terus melakukannya.
“Bolehkah aku membantumu, Pak?”
Bapak lalu pergi menahan gerimis di dadanya.
Pura-pura tabah sambil memandang buku tabungannya
yang isinya mulai dimakan usia.
Nganjuk, 2014
Pengakuan Musim Gugur
Aku telan sebait doa
dan minum tetesan airmata
tiga malam di kafe Latei,
denting rinduku mencari arti
memantul di semesta matamu
tinggal perih yang menghinaku
menari indah di tangisanku.
Aku cuma ingin mengaku:
“Adakah yang lebih menggetarkan
dari getir cinta patah di musim gugur?”
Setelah itu terserah padamu.
Amsterdam, 2014
Senja Beku di Zaanse Schans
Melihat senjamu adalah melukis siluet jingga di dinding
kenangan,
yang menarik nelayan untuk bergegas menambatkan perahunya
Mencicipi minuman hangat di tepian bening perjalanan
Perjalanan melagukan nyanyian angin tepian Zaanse Schans,
memiuhkan dingin dalam goresan awan-awan rona jingga,
menjadikan tiga kincir angin seperti tiga kunang-kunang
berpendaran menuju dahiku.
Dahiku mencatat nikmat senjamu yang berusaha menyimpan kaki
angin ke dalam mataku, lalu mematahkan satu-satu untuk
dipasang lengkap di kedip anganku. Menjelajahi lagi
ketersediaan waktu mempertahankan senja jiwa, senja kata
dan senja beku.
Senja beku di Zaanse Schans bagaikan pundi-pundi musim paling
tersenyum yang telah kumasukkan di saku kenangan.
Semesta gemar menggoda senja dengan segala keindahan.
Senja bekumu adalah cahaya paling pijar di wajahku.
Wajahku memijar dalam kata-kata indah perihal senjamu, hatiku
mendadak jadi beku.
Sungguh sekali.
Enggan beranjak dari sisiMu.
Amsterdam, Agustus 2014
Tentang Didik Siswantono
(Dirangkum & diringkas dari majalah Horison edisi Februari 2015 dan buku Pelajaran Berlari). Didik Siswantono
lahir di Surabaya dan tinggal di Jakarta. Karya tulisnya yang berupa puisi,
cerpen, dan esai tersebar di berbagai media nasional dan lokal, diantaranya: Kompas, Sinar Harapan, Horison, Jawa Pos,
Indo Pos, Surya, Jurnal Sajak, Investor
Daily, Jurnal Nasional, beberapa koran daerah, juga beberapa website online. Saat ini bekerja pada
sebuah bank. Ia adalah pengelola Kampung Nurani Sastra (Kanusa) di Jakarta,
bergiat di Komunitas Bait Puisi dan menjadi Ketua BNI Pena. Buku puisinya: Sejuta Alunan Cinta (2014), Sajak Sayap Pelangi (2014), dan Pelajaran Berlari (2015). Senang
“berkencan” dengan puisi.
Catatan Lain:
Perkenalan pertama saya dengan penyair
ini lewat 5 puisinya yang dimuat dalam majalah Horison edisi Februari 2015 (yang berjudul Balada Pegawai Bank (namun di buku Pelajaran Berlari judulnya Balada
Seorang Pegawai), Banjir Kata di
Dadaku, Doa bagi Airmata, Selamat Pagi Jakarta, dan Namira.
Seperti yang dapat dibaca di atas, ciri khas dari karya
penyair ini adalah diksi yang sederhana. Seperti yang diungkapkan Joko Pinurbo
dalam pengantar buku:
“JUDUL buku puisi ini kiranya
lebih cocok menjadi judul sebuah buku pelajaran olahraga. Judul yang tidak
puitis, tapi menarik.
Di tengah berbagai media
sosial yang setiap hari dilimpahi puisi, di mana segala hal bisa
dipuitis-puitiskan, sejumlah sajak Didik Siswantono dalam buku ini seakan akan
ingin membawa kembali puisi ke dalam kebersahajaan. Didik menunjukkan
potensinya sebagai penyair justru pada sajak-sajaknya yang tampak “sederhana
dan apa adanya”. Namun, sajak-sajaknya bukanlah sajak-sajak yang lugu. Dalam
kebersahajaannya, sajaknya tetap menyediakan ruang pikir dan ruang imajinasi
yang menggoda dan menantang untuk dijelajahi.”
Dan salah satu
tema yang cukup sering digarap si penyair dalam kumpulan ini adalah kehidupan
perkotaan. Sebuah tema yang biasa digarap para penyair modern. Salah satu penyair
yang dikenal akrab dengan tema ini adalah Afrizal Malna. Kalau anda klik dan
baca postingan buku Malna di blog ini, anda akan mendapatkan imaji-imaji yang
berbau kehidupan urban. Malna membuat puisi dengan ciri khasnya yang (bagi
orang awam seperti saya) bisa dibilang rumit. Pengolahan imaji puisinya ibarat slide-slide berbeda yang ditampilkan
bergantian dalam sebuah presentasi dengan Power
Point, namun masih dalam satu tema.
Berbeda dengan Malna, Didik memilih menggambarkan
kehidupan kota secara sederhana saja, namun tidak menjadikannya lugu (seperti
yang diungkapkan JokPin di pengantar). Imaji puisinya mengalir lancar jika
dibayangkan. Namun, itulah puisi, begitu mempermainkan penyair dan pembacanya
dengan suasana dan gaya berbeda-beda sesuai dengan ciri khas masing-masing para
penyairnya (^ ^).
Buku yang saya beli di T.B. Gramedia Veteran, Banjarmasin
seharga Rp. 46.000,- ini diberi komentar oleh Taufik Ismail, Agus R. Sarjono,
dan N. Syamsuddin Ch. Haesy pada belakang cover. Terdiri dari 3 bagian, yaitu: Bagian Pertama: Sajak Rindu Sepanjang Malam
(27 sajak), Bagian Kedua: Pada Suatu
Perpisahan (21 sajak), dan Bagian
Ketiga: Pelajaran Berlari (35 sajak).
(AHMAD FAUZY)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar