Data buku kumpulan puisi
Judul : Sareyang, Lirik Penunggu Kesunyian
Penulis : M. Faizi
Cetakan : I, 2005
Penerbit : PT Dunia Pustaka Jaya, Jakarta.
Pemasaran : PT Kiblat Buku Utama
Tebal : 160 halaman (79 puisi)
ISBN : 979-419-332-1
Gambar jidlid : Muhammad-Affan
Beberapa pilihan “puisi” M. Faizi
dalam Sareyang
LIRIK SAREYANG
Akulah Sareyang.
Akulah anak kecil dekil yang berjalan
sendiri di pinggiran
sejarah. Tak ada orang yang menghiraukanku, kecuali
dengan
sebelah mata memandang.
“Untuk apa berteriak bagi kebenaran,
Sareyang?”
Tapi, aku tak mau diam. Walau telinga
tersumbat, biarpun
mata tersilap, aku akan tetap berdiri, sekalipun hanya
seorang
diri di hadapan kebisingan dunia, walaupun serak suaraku,
hanya gumam, bahkan mungkin cuma bisikan yang lenyap
terbawa angin.
Akulah Sareyang.
Sebuah tanju bagi gerhana sepanjang
waktu.
Air merta jiwa bagi kemarau seabad
lama.
Melalui malam dan sunyi, yang menjadi
guru dalam
mengajarkan cahaya dan kebisingan, aku menyeberangi
kosmis,
mencari percik api bernyala matahari.
“Di mana akan kautemukan itu, Sareyang?”
Dengan mata menerawang, meradai dan
menghilau atas
kekalahan, lindap di bawah bayang-bayang ilmu
pengetahuan,
aku mencari nyanyian di antara deru bising kehidupan.
“Tetapi, masihkah para wali membisik,
Sareyang?”
Dengan mata nyalang, aku menatap
langit, membaca
catatan masa silam; sejarah menyajikan tamsil dan
teladan,
namun mulut masih cedal. Walau hati merangkum rahasia
semesta raya, bahkan hingga ke sebalik fisika, tapi
kekuatan
sepasang mata cuma mampu menangkap gemerlap mayapada.
Akulah
Sareyang.
Sebuah
lagu bagi hiruk pikuk sepanjang waktu.
Cerita
pelipur lara bagi kemelut sepanjang masa.
***
Aku melambung lepas, menembus atmosfer,
melampaui
batas dunia, lalu melepaskan diri dari hukum bumi, tetapi
pada akhirnya hinggap kembali di dasar hati. Memanjatkan
doa untuk orang tua, para guru, kawan-kawan, serta mereka
yang mungkin telah terlupa; selamatkan kami dan anak cucu
kami dari kemarau panjang di dalam dada; kemarau di luar
musim, kemarau di dalam batin.
Berjalan tertatih menghitung langkah.
Hati merintih pikiran membuncah.
Manusia sepercik cahaya dari surga.
Tersesat di Kota Benda
yang gulita. Diberikan untuknya pelita. Namun, ia
terpasah
senantiasa. Diberikan untuknya air, dan ia tak
habis-habis
dahaga.
Sareyang.
Sebuah
tanju bagi gerhana sepanjang waktu.
Air
merta jiwa bagi kemarau seabad lama.
LIRIK SANTRI
Aku adalah seorang santri. Pesantrenku
alam raya, kiaiku
hati nurani, dan kitab kajianku tutur panjang para wali.
Aku adalah seorang santri: seorang
tawanan di penjara
dunia. Akan
tetapi, semangatku tak bisa dibendung, seperti
angin mencari arah, menelusup melampaui sekat, berkisar,
bertiup, melesat.
Aku
adalah seorang santri. Pesantrenku adalah sebuah
gudang besar di mana tersimpan berbagai macam pusaka,
sebuah rumah besar dengan banyak pintu yang selalu
terbuka.
Tetapi, setelah sekian lama aku pergi meninggalkannya,
kini
aku melihat, dari kejauhan jarak di peta, tapi sejengkal
jarak di
dada, diriku tak ubahnya seorang nelayan yang telah
menepi,
meninggalkan lautan di mana mutiara, ikan-ikan, dan
selaksa
misteri Tuhan tersimpan. Aku merasa, seolah diri seorang
perantau,pergi mencari sesuatu, meninggalkan sesuatu yang
membuatku akan kembali kelak.
Aku
adalah seorang santri: seorang musafir di negeri badai,
seorang miskin di kota benda. Orang-orang melihatku
kasihan
karena tak punya, walaupun sebenarnya aku kaya, sebab
hartaku tabah dan derana.
Aku adalah seorang santri dari sebuah
kampung bernama
kesederhanaan; tempat aku bertolak dan rumah untuk
kembali.
KEMELUT MANUSIA
Pergilah
manusia itu ke hutan kemelut. Katanya hendak
mencari, sayang ia tidak pernah menemukan. Tetapi, boleh
jadi ia memang hanya cukup puas dengan mencari dan tidak
perlu menemukan apa pun.
Pada
suatu waktu, sampailah ia di suatu belantara. Ia
merasakan semuanya. Rumput yang dipijaknya: keraguan.
Pohon-pohon yang mengepungnya: pertanyaan. Semak belukar
yang ada di kanan-kirinya: persoalan. Ia bingung.
Sendirian.
Tak ada teman. Hutan benar-benar menakutkan.
Pergilah
manusia itu mencari, tapi sayang, ia tetap tidak
menemukan. Dan sayang seribu sayang, ia tak cukup bekal.
Karena jalan masih panjang, sedangkan tenaga sudah habis
terbuang, maka dia pun pulang.
Sesampainya
di suatu tempat, di mana dari sana dulu ia
berangkat, ia bingung dan merasa tersesat. Mungkin karena
pertanyaan-pertanyaan dan keraguan-keraguan masih
menghimpitnya dalam ketidakmengertian. Maka, ia mencoba
menangis ketika yang lain tertawa, mencoba jaga ketika
yang
lain pejam mata, mencoba selalu meragukan ketika yang
lain
telah memastikan. Dia tetap mencari ketika yang lain
menemukan.
Manusia
itu, ia yang penuh kemelut, memutuskan untuk
samadi, mengasingkan diri dari dunia. Ia bertapa, memilih
diam daripada bicara. Bertahun-tahun lamanya, ia tetap
tidak
menemukan apa-apa.
Di suatu
malam, tiba-tiba ia marasakan panas melurub
sekujur badan. Kemudian, suatu pertanyaan muncul di ruang
terluas dalam benak kepalanya: di manakah letak
kebenaran?
Kapankah aku akan menemukan? Ataukah selama ini aku
tengah menghindarinya setelah sejak lama hidup
berdampingan?
Akhirnya,
manusia itu mencapai sebuah padang sabana.
Ia melihat hamparan permadani hijau rerumputan,
kupu-kupu,
bunga-bunga. Dia takjub, heran, tetapi entah pada apa.
Ia
meraba dada, bertanya.
Ia
mengerutkan kening, berpikir.
Adakah
aku telah menemukan sesuatu? Jangan, berhenti
berarti mati. Satu-satunya jalan bertahan hidup adalah
terus
mencari.
Manusia
pencari menangis. Ia, manusia seorang diri itu,
akhirnya pergi meninggalkan tempatnya semula. Katanya
hendak menjauhi kemelut dalam dadanya untuk menemukan
sesuatu yang tak terlihat mata, sesuatu yang tak terdengar
telinga, sesuatu yang tak pernah terlintas di hati
manusia, hingga
ia menemukan hal itu dan tak pernah lagi meragukannya.
Maka,
manusia itu, dia yang penuh kemelut, melalui hari,
menembus bulan, melampaui tahun, terus berjalan. Hingga
pada suatu masa, berjumpalah ia dengan seorang tua.
Rambutnya putih merata. Matanya sayu, namun tetap cerah
memancarkan sinar wibawa.
Inikah
akhir dan sebuah pencarian? Manusia pencari itu
lalu berkenalan. Kemudian, keduanya lama sekali
berbincang-
bincang.
Selang
beberapa lama, mereka memutuskan untuk berpisah.
Keduanya berjalan berbeda arah.
Manusia
itu, setelah bermungkin kalau saja orang yang
baru saja diajaknya bicara itu adalah Khidir, ia
membayangkan
dirinya Musa: orang yang telah lama mencari, setelah
menemukan, lepas kembali. Maka, dia pun duduk termangu
di bawah naungan. Membayangkan sesuatu yang tak tergapai.
Memikirkan pertanyaan yang tak terjawab, demi mencari
kebenaran untuk mengobati laparnya yang tak tertakar;
keraguan.
Hingga
pada akhirnya, manusia itu, ia yang penuh kemelut,
masuk kembali ke hutan kemelut, keluar ke padang kemelut,
lalu mati membawa kemelut.
KEBAHAGIAAN
‘’Aku hanya seorang miskin papa.
Kesabaran
adalah satu-satunya kekayaan yang kupunya.
Aku
hanya seorang miskin papa.
Tabah
menyambut derita adalah harta yang paling
berharga….’’
***
Pada awalnya, aku hidup kaya raya.
Harta melimpah, benda
meruah. Lalu, datanglah orang-orang mengambil kekayaanku
secara paksa. Mereka merampas rempah-rempah, palawija,
minyak, dan emas permata. Lama kemudian, mereka pergi.
Tapi, gantinya
justru saudara sendiri. Mereka mengambil
kekayaan alam untuk pribadi. Aku cuma melihat dan tak
berbuat apa-apa karena ketika itu aku masih kecil. Dan
setelah
aku dewasa, ketika aku menerti tamak dan loba, harta
benda,
kaya raya, kini tak ada lagi tersisa apa pun selain
kemiskinan
berkepanjangan. Hutang menumpuk tidak terbayar.
Pada
akhirnya, aku tahu. Kemiskinan adalah guru yang
baik. Ia mengajariku cara menghargai dan menghormati
sesama.
Karena kekayaan cenderung menganggap yang lebih miskin
adalah yang menghormati dan diperintah. Sementara yang
kaya
adalah yang disanjung dan berpolah. Kemiskinan
mengajariku
menggapai kebahagiaan dengan merasa cukup dalam
kekurangan. Ia mengajariku menikmati penderitaan dalam
mengarungi hidup dengan hati yang tenteram.
Pada
dasarnya, manusia dengan segala yang dimilikinya,
sama-sama mendambakan kebahagiaan. Seorang hartawan,
mendapatkan kebahagiaan dari kekayaannya yang melimpah.
Demikian pula, seorang miskin mendapatkan kebahagiaannya
dari bersabar dan tabah. Sesungguhnya, kebahagiaan bukan
milik kekayaan ataupun kemiskinan. Kebahagiaan hanyalah
milik hati yang tenteram.
LIRIK KEMATIAN
Aku terbaring. Dada sesak. Panas
sekujur tubuh. Dalam
Ketakutan yang maha, bagai seorang calon tamu malaikat di
dalam kubur, kurasakan kulit pori-pori mengisut. Mata
kuyu
menunggu maut.
Aku bangkit dari pembaringan. Melawan
daya yang tak
ada, melawan takut yang membayangkan. Tak akan pasrah
kepada
nasib. Tak akan menyerah kepada sakit. Aku tak mau mati.
Aku mau tidur dan bangun ketika tak ada lagi penyakit di
muka bumi.
Aku tak mau mati!
Ilmu pengetahuan melahirkan berbagai
teori, obat, dan
penemuan-penemuan di bidang kedokteran yang begitu
cemerlang. Dan dengan kecerdasannya, manusia punya alasan
untuk hidup abadi dan menolak untuk mati.
Lalu, muncul tanya dalam hati.
Gejala apakah ini? Bagaimana sebenarnya
tugas utama ilmu
pengetahuan menyelesaikan permasalahan? Bagaimana tugas
filsafat mencari persoalan secara mengakar? Adakah agama
sudah mempersiapkan jawaban?
Manusia takut mati karena daya pikat
dunia. Pesonanya
sungguh luar biasa. Hari-hari yang penuh gemerlap, suka-cita,
kesenangan, dan gelak tawa. Itulah dunia: rumah paling
mewah
tempat segala kenikmatan dapat dijumpa. Berhambur dan
berdansalah di halamannya. Karena bila ajal tiba, segala
impian
dan kesenangan akan menjadi percuma.
Setelah lama merenung, aku kembali
bertanya, bukankah
kematian diciptakan Tuhan untuk membatasi kemampuan ilmu
pengetahuan? Bukankah kematian diciptakan Tuhan untuk
membatasi nalar karena ia berada di luar batas capai
akal?
Dalam renung panjang, tafakur mendalam,
bertanya-jawab
dengan diri, tentang jiwa abadi, tentang alam semesta,
tentang
nyawa, hidup di dunia, alam baka, surga dan neraka, aku
menemukan kepastian
‘’Aku selalu siap pulang kembali ke
tanah. Dunia ini hanya
tempat sekejab singgah. Tempat melepas suntuk dan sekadar
lelah’’
Kini, aku tahu, bahwa kematian
diciptakan Tuhan untuk
menjelaskan pada manusia, agar dengan akalnya ia berpikir
dan dengan hatinya ia merasa, bahwa ada suatu keabadian
yang lebih indah daripada kehidupan.
LIRIK POHON TUA
Sebatang pohon tua, tumbuh dalam tahun
berpuluh-puluh,
di setiap halaman rumah kita. Akarnya menyelusup ke
lapisan
bumi, menembus ke sela-sela batu. Sementara pucuk dalam
tiap dahannya,menjulur ke segala penjuru. Pohon tua, buahnya
lebat dan runduk. Dengan kebesarannya, ia menciptakan
naungan yang luas, menutupi pohon-pohon kecil serta
rerumputan yang tumbuh di bawah bayangannya.
Aku hanyalah sejumput rumput, sesemak belukar,
atau
pepohonan kecil yang hidup di bawah naungannya. Entah
sampai kapan waktu akan memindahkanku ke tempat lain
agar dapat langsung merasakan sentuhan sinar matahari.
Itulah
awal yang menentukan; mampukah aku menghunjamkan
akarku sendiri mencari makan, menembus lapisan tanah dan
menjulurkan daun-daunku menyambut angin, atau mati karena
tak mampu bertahan?
Kelak, engkau juga akan manjadi
sebatang pohon tua, bila
tidak lebih dulu disapu topan, atau dicerabut banjir, dan
tidak
pula musnah oleh satu musim yang berkuasa berkepanjangan.
Suatu
saat nanti, bila Tuhan sudi, aku juga akan tumbuh
hingga menjadi sebatang pohon tua. Ia yang dengan
kematangan usianya, tahu betul bagaimana menjaga saripati
tanah guna mematangkan buah lalu menjatuhkannya. Ia yang
karena kebesaran batangnya, tampak gagah dan perkasa.
Meskipun setiap hari, ulat dan usia, terus
menggerogotinya.
Pada
suatu saat, akan tiba masanya. Kita semua akan
menjadi sebatang pohon tua. Lalu, ia pun berpikir, alangkah
indah jika tumbang kelak, pohon-pohon kecil lainnya akan
bertukar cerita, “Dulu, di sini pernah menjulang sebatang
pohon
besar yang wibawa. Mengasuh kami dengan cinta, menjaga
kami dari malapetaka. “Akan tetapi, pohon-pohon kecil di
sekitarnya terkadang juga bersedih jika mereka juga harus
tumbuh, berdahan, berbuah, berbunga, sama dengannya.
Sejatinya,
kita memang tidak tahu, seperti apakah pohon
terbaik itu? Pohon tua kaya batin dan pengalaman. Pohon
kecil penuh semangat dan keberanian. Namun, pada
prinsipnya
semua pepohonan sama-sama berbatang kayu. Yang membeda-
kan hanyalah kepadatan dan kehalusan seratnya.
LIRIK PENGEMIS LOBA
Berbarel-barel air telah kukuras dari
sumurmu, tapi engkau
tak surut juga. Aku menimbamu lebih banyak lagi, dan
engkau
makin melimpah saja. Berton-ton ikan telah kujaring di
lautmu.
Engkau memberiku banyak kakap maupun teri. Maka, kutebar
pukat agar semua ikan kudapat.
Dulu, engkau pernah memberiku sebuah
batu permata.
Aku memintamu intan maka engkau pun memberiku berlian.
Dulu, engkau pernah memberiku sabatang lilin. Aku
memintamu tanju dan engkau pun memberiku lampu merkuri.
Aku meminta, engkau memberiku berlipat ganda.
Aku adalah seorang pengemis yang rakus,
tamak, dan loba.
Lalu, engkau
memberiku fatwa. Berlarik-larik lirik, tentang
Keteduhan dan ketenteraman batin, tentang hakikat diri
sebagai
manusia. Engkau pun memberiku petuah dan sabda berbunga-
bunga, kata-kata penuh madu, tentang kesucian dan
kemurnian
jiwa, narasi panjang tentang jalan yangmembentang menuju
surga, tapi aku enggan mendengar, meski sepatah saja.
Beginikah
diriku, atau memang begitukah manusia; sang
pengemis yang rakus, tamak, dan loba?
LIRIK BENDA
Mengapa engkau begitu dahsyat memikat?
Apakah
rahasiamu hingga tampak penuh pesona?
Mengapa
daya gaibmu luar biasa hebat?
Apakah
rahasiamu hingga ajaib melebihi kemala?
Benda-benda
mengepungku dalam sebuah ruang fana,
tempat nasib diperjudikan dan aku selalu menjadi
pecundang.
Mempertaruhkan harga diri; dijual murah, tapi siapa
pembeli?
Mata
jadi kabur, takut jadi berani.
Hati
jadi lamur, malu jadi nyali.
Oh
Benda, rahasia apakah yang kausimpan sebenarnya?
***
Dalam
serba kesementaraan ini, benda-benda abadi.
Kemilaunya melampaui ratna mutu manikam. Pesonanya
menyihir setiap
mata memandang. Benda-benda mendekam
dalam setiap sudut hidup, dalam arus menuju maut.
Benda
membujuk, manusia terpedaya, lalu tertawan jadi
budaknya.
Pernah
di suatu waktu, aku, salah satu pemujanya, dengan
ragu campur malu bertanya, “Benda, engkau dipuja-puja
manusia hingga mereka menceburkan diri ke dalam lumpur
dunia. Apakah sihir dan teluh kaupunya, atau apa pun
guna-guna?”
Benda-benda
di sekelilingku menjawab,
“Duhai
manusia,
Aku tak
punya sihir ataupun pemikat,kecuali bagi mereka
yang lebih suka melihat dengan mata membelalak tapi hati
terpejam, bagi yang memilih kekenyangan karena takut
lapar,
bagi yang kuat namun tak tabah, bagi yang berani
sekalipun
salah.
Jangan
salahkan aku dicipta.
Jangan
hina aku kauanggap.
Jangan
agung aku kaujunjung.
Miliki
aku dan jadilah engkau tuan. Jangan jadikan aku
berhala dan engkau menghamba. Demikianlah manusia, punya
nafsu, punya ambisi, punya cinta dalam kesementaraan
hidup
di dunia. Tak salah menjadi pemilik benda. Tak keliru
menyimpan harta. Yang celaka hanyalah orang-orang yang
alpa.”
LIRIK ANGIN
Pergilah angin ke arahnya
Angin bertiup mambawa tenaga
Kincir berputar, turbin berjalan
Ombak bergulung, layar mengembang.
Tahukah engkau, di mana angin
bersembunyi ketika
malam?
Adakah engkau tahu, dari manakah ia
berasal, ketika pelan
berhembus atau murka menjelma badai? Bukankah dalam
kelembutan dan keganasannya terdapat sebuah kekuatan yang
maha?
Angin menghempas wajahku. Aku meraba,
mencari tahu
apa pesannya,
mencari arti ke mana arahnya
Aku berpikir melalui badai dan semilir.
Maka, kutemukan
jawaban ketika ia mendorong, menggerakkan segala yang ada
di hadapannya
Gerak berlawan diam.
Gerak adalah nilai hidup
Dan diam adalah unsur maut.
1887
Nenekku pernah bercerita tentang
asal-muasal tanah tempat
aku dilahirkan. Aku merasa perlu mencatatnya dalam
tulisan
untuk mereka yang kelak hidup setelah masaku, agar supaya
mereka tahu kisah tanah ini bermula.
Inilah cerita tentang tanah
nenek-moyang mereka:
“Alkisah, waktu itu tahun 1887,
datanglah seorang pejalan
dari jauh menuju tempat ini, tempat yang dia pilih
sebagai
ujung perjalanan. Di sini pulalah ia menetap hingga
melepaskan
nafas penghabisan.
Di tempati ini, sang pejalan itu,
membangun sebuah tempat
tinggal. Awalnya sebuah istal, di atas sebidang tanah kering
berbatu-batu. Tanahnya berkapur dan
kurang subur. Ia mulai
merambah semak belukar kemudian membikin sebuah langgar.
Manusia itu, dengan kesabaran sebagai
sumber tenaga yang
dipancarkannya, menciptakan kaki yang kuat untuk
mencengkeram agar tak goyah. Tangannya membuka dekapan
ke segala penjuru, menyambut siapa pun tamu. Pejalan itu
kemudian mendirikan sebuah rumah kecil tempat belajar dan
berjuang. Dan di tempat ini, ia mencurahkan segala
kemampuannya demi pengabdian.
Tahun demi tahun, semakin banyak murid
yang datang.
Tempat ini pun kian semarak. Ramai orang berdatangan
untuk
belajar. Waktu itu, suasana masih genting karena perang,
maka
tempat ini pun juga berfungsi sebagai markas para pejuang
melawan kolonial.”
***
Aku, di penghujung abad, memasuki dunia
luas teknologi
dan informasi, di hadapan geriap merkuri dan seliweran
pulsa
di pesawat telepon, dunia lain yang maha luas; cyberspace,
juga sebuah perkampungan raksasa: website, memandang
sebidang tanah yang dulu hanyalah kandang kuda dan kini
telah tiada. Sekarang, ia hanyalah sebidang tanah yang
menumpuk di dalam dada. Aku membaca ulang ingatanku
pada entah berapa tahun lalu, ketika jiwaku masih tak
dapat
jasad dan rohku masih dalam iradat.
Aku, di sebidang tanah, pada tahun
1887, di tempat itu
ketika udara bersih dan jantung sehat berdenyut, saat
dunia
sunyi dan hati bebas berkhalwat, memandang masa kini
dalam
tertegun; antara takjub, tadabur, dan tasyakur. Aku
saksikan
kecemerlangan perubahan, musim demi musim, tahun demi
tahun. Dari ruang yang sama, dalam jarak waktu berbeda,
aku
memandang masa kini, di mana jasad dan diri berada.
Kini aku melihat.
Dari sebidang tanah yang telah
berhimpit gedung, berdesak
bangunan dan berjejer rumah, aku melihat sebidang tanah
yang
berada jauh di masa lalu, di tahun 1887. Hingga kini, ia
masih
teronggok dalam ingatan sebagaimana kuwarisi dari kabar
dan
tutur lisan.
Kini, di sebidang tanah yang kupijak,
aku tak menemukan
apa-apa lagi. Di antara bangunan megah, di antara
batu-batuan
berkapur dan rumah-rumah besar, di antara pepohonan
rimbun
dan di antara sebuah pekuburan yang telah berselimut
lumut,
dengan makam tanpa tulisan, yang dalam kebekuan dan
ribuan
teladan yang dikandungnya selalu bercerita tentang
seorang
pejuang, yang tabah tapi gagah, kini aku telah menemukan
sesuatu yang lain.
Di sini, di tempat ini, tak kutemukan
apa pun, melainkan
makna terdalam bagi sebuah perjuangan, makna hakiki dari
sebuah kesabaran dan saripati dari arti segala bentuk
ketulusan.
PESAN SEBELUM BERJALAN
Ketika Sareyang hendak pergi
bertualang, sang ayah
memberinya pesan sebagai bekal di perjalanan.
“Anakku, di perjalanan nanti engkau
akan menjumpai
kerikil yang lebih tajam daripada pedang. Engkau juga
akan
menemukan semak yang lebih menyesatkan daripada rimba.
Di perjalanan itu engkau juga akan tiba di sebuah kota
dengan
penduduk yang bila tidak mencibir, mereka tidak akan
peduli
padamu sedikit pun.”
Tanpa menunggu puteranya bertanya, sang
ayah menerus
kan pesannya, “Anakku, dalam diri manusia ada sebuah
racun
yang lebih jahat ketimbang bisa, lebih getir daripada
empedu,
lebih anyir daripada darah. Tapi, tak banyak orang yang
sadar
bahwa racun itu selalu ada, bahkan membiarkan racun itu
menggerogoti dirinya tanpa sepengetahuannya. Itulah iri
dengki.
Ia tidak seperti mengumpat, mengutuk, dan mencaci. Karena
ia tidak butuh lidah untuk menyakiti lawan bicara, tapi
punya
banyak mulut di hati untuk membenamkanmu dalam celaka.”
“Anakku, ketahuilah! Racun tersebut
dapat membuatmu
terkulai sebelum mencapai cita-cita. Dengki adalah duri
yang
tidak mencucuk tangan saat kaupegang, tidak menusuk kaki
saat kauinjak, namun ia akan membuat hatimu berdarah
tanpa
disadari.”
PUNCAK
Mungkin engkau pernah mendengar kisah
tentang
pendakian Edmund Hillary dan Tenzing Norgay yang pertama
kali mencapai puncak Himalaya. Aku juga pernah mendengar
cerita tentang Neil Armstrong. Kabarnya, dialah manusia
pertama yang menginjakkan kaki di bulan. Mereka sama-sama
telah tiba di puncak yang berbeda dalam ketinggian,
tetapi
sama dalam kemauan.
Manusia selalu ingin mencapai suatu
puncak tertinggi di
dalam hidupnya. Masing-masing mereka memiliki puncak bagi
ketinggian maksud dan keinginannya. Bagi pedagang, puncak
adalah keuntungan dan kekayaan. Bagi seniman, puncak
adalah
karya besar. Bagi ilmuwan, puncak adalah penemuan. Dan
bagi politikus, puncak adalah pemecahan.
Namun, mereka semua dapat menjadi
pencinta; ia yang
tak memiliki puncak bagi keinginannya. Karena seorang
pencinta yang telah mencapai puncak akan hambar hidupnya.
Sebab itu, ia harus terus mendaki tanpa mengenal henti.
Manusia mendambakan kebenaran dengan
semangat dan
cinta pada suatu alam yang mana ia akan mencapai suatu
puncak yang menjadi akhir dari segala keinginan. Untuk
itu,
mereka harus terus mendaki. Dan pendakian itu cukup
banyak menguras tenaga dan pikiran. Mereka akan terus
berjuang menuju titik akhir yang tidak mereka ketahui
kapan,
di mana.
Setelah napas terengah, daya habis sama
sekali, bekulah
darah. Pada akhirnya, sampailah mereka di puncak
pendakian.
Puncak itu adalah mati.
LIRIK PEKERJA KERAS
Aku melihat peluh yang mengucur dari
pori-pori tukang
bangunan, para pemecah batu, kuli pelabuhan, abang-abang
becak di terik siang, saat panas memuncak, merembes di
punggung dan keletihan tergurat tegas wajahnya.
Aku melihat para nelayan di pekat
malam, di tengah laut
tanpa takut, menggigil menantang dingin. Juga para
pekerja
kasar yang lembur semalam. Tak peduli dingin mencekam,
demi upah untuk makan.
Mari rasakan beban yang membelenggu
para penyair,
pengarang, dan pemikir. Mereka menangkap ilham, memeras
pikiran, mengolah gagasan untuk menyampaikan pesan.
Mereka
membawa beban berjibun, memang tidak disunggi ataupun
dipanggul, tapi dalam pikiran merenung. Mereka bertugas
berat,
memang tanpa peluh merengat, namun dalam pikiran
terkuras.
Alangkah mulia para pekerja keras!
Betapa peluh, dingin, dan beban pikiran
itu akan begitu
nikmat sekalipun terasa letih dan penat. Betapa mulia
para
pekerja keras. Karena itu, aku akan menjadi pesuruh yang
gesit,
tukang yang giat, pelayan yang lincah, nelayan yang
tabah,
dan penulis yang gigih. Aku akan melunaskan semua permin-
taan jiwa agar bekerja keras membanting raga, menguras
tenaga
dan pikiran. Karena aku percaya pada pesan seorang imam:
“Bekerja keraslah, karena kelezatan hidup itu ada
padanya.”
Hidup menganugerahkan setarik napas,
sekejap jaga, dan
segenggam tenaga untuk bekerja. Betapa rugi bila semua
kesementaraan itu lepas saat mata terpejam, padahal ia
adalah
waktu yang begitu lama. Hidup memberikan udara segar,
tapi
aku tak sempat menghirupnya lepas karena tak tahu bahwa
selebihnya adalah sesak dan pengap. Ia juga memberi daya
dan tenaga yang terbuang percuma tanpa karya apa-apa.
Hidup
memberi peristiwa dan realita untuk diolah lalu dituliskan
dengan kata terpilih dan bahasa terbaik, tapi apa daya,
aku
tak punya apa-apa.
Benar, semuanya berlangsung sebentar
dan serba sementara.
Yang tersisa hanyalah kerja dan karya. Manusia hidup
terbuai
mimpi, mengumbar nafsu hingga esok ketika masa tua
menjelang dan ajal mengintai, barulah menyesal.
Kerja keras adalah cara manusia untuk
lebih bisa mengerti
makna kelezatan hidup sejati, di sini, atau nanti setelah
mati.
LIRIK KEADILAN
Bila keadilan adalah sebuah ruang,
apakah itu surga?
Bila ia adalah suatu gambaran, apakah
itu fatamorgana?
Jika demikian, alangkah kasihan apabila
penduduk dunia
adalah tuna netra yang mencari cahaya?
Manusia adalah ciptaan teragung. Dengan
jiwa ia bijaksana.
Dengan pikiran ia pintar. Manusia punya hati: tungku api
kehidupannya. Namun, jika manusia benar-benar mahluk
berbudi, kenapa penindasan masih ada di muka bumi?
Ataukah
karena ia tak mampu menyerap hikmah, membikin silap saat
dilihat, hingga berbalik dan membuat arah jalan terpasah?
Barangkali, keadilan seperti gambar di
balik kaca. Jelas
terlihat, namun dicapai tak dapat. Tampaknya dekat, namun
terhalang sekat.
Keadilan adalah sepercik cahaya dari
api kebenaran. Ia
memancarkan sinarnya. Menembus segala arah, semua sisi,
dan menjadi mercusuar bagi semua pelaut kehidupan.
Sesungguhnya, tak ada air dan angin apa pun yang mampu
memadamkan api kebenaran.
Keadilan senantiasa memancarkan cahaya,
tapi manusia
tersilau bila memandangnya, karena mereka selalu
menggunakan mata indera biasa. Setelah itu, keadilan pun
tampak kecil , mengerdip, bahkan hampir tak mampu
dilihatnya.
Keadilan adalah suatu alam di mana
penindasan dan
kelaliman tak ada lagi. Dan untuk mencapai keadilan
hakiki
manusia harus berjuang menghapuskan tirani. Maka para
pelawan tiran, adalah insan mulia karena merekalah yang
merambah jalan ke arahnya
Keadilan adalah keadaan terindah dalam
kehidupan
manusia. Ia memang terlalu jauh ditempuh, terlalu besar
direngkuh. Namun, dengan menjulurkan tangan untuk
menggapai, sekalipun kaki tak berpijak tanah dan tangan
tetap
mengambang, seseorang tengah berada di depan pintu
gerbang
keadilan.
AKU MENGADU PADA-MU
Gusti, engkau satu-satunya tempat aku
mengadu
Kadang aku ingin mengaku sungai yang
bila mengalir,
Engkaulah lautnya. Dengan begitu, aku dengan-Mu bisa
menyatu. Tapi, betapa aku malu bila air hanya menyatu
dengan
yang senyawa. Mungkinkah ia menyatu pada unsur berlainan?
Dan kalau dua unsur itu, Engkau dan aku, adalah serupa,
haruskah unsur yang satu menyembah unsur yang lainnya?
Gusti, Engkau tempat aku mengadukan
segalanya. Namun,
kadang terlintas di benakku nafsu dukana. Lalu, aku
bertanya,
apakah sebenarnya yang senantiasa terlintas di hati para
nabi,
wali, sufi? Apakah sebenarnya yang membuat tenteram hati
mereka? Kadang aku hendak mengaku pecinta-Mu sejati
dengan kepasrahan diri tak terperi. Sementara sedetik
kemudian, begitu kata terakhir dari tasbihku selesai,
nafsu
mengumbar dan tampaklah diriku seperti binatang jalang.
Aku telah mengadu pada-Mu dan engkau
lebih dulu
menjawab untukku. Cukup bagiku bertakwa untuk mengaku
seorang pecinta. Karena seorang pencinta bukanlah
pengumbar kata belaka, melainkan hamba yang sujud
pada-Mu.
Khusyuk bila berdoa
Ikhlas bila berkarya.
LIRIK PALESTINA
Palestina!
Wahai bunda bagi bermilyar manusia.
Gerangan apakah
yang membuat air matamu berlinang tak selesai-selesai?
Duka
maha laksana apa kautanggung sehingga tangismu bagaikan
drama tanpa penghujung; lakon panjang anak-anak
menyandang
senjata, bermain bersama martir, sementara para ibu
menjadi
janda di waktu muda, atau mati sebelum melihat anaknya
dewasa, para pejuang yang gagah karena cinta tanah air,
meskipun lemah karena hidupnya semakin rengkah?
Ke
manakah anak cucumu jauh melanglang? Adakah para
Yahudi itu tahu bahwa tanahmu selalu gembur karena basah
oleh air mata, sementara engkau, ibu pertiwi
yang menghidupinya, tersengal bila melenguh, tersendat
saat
bernapas, menahan sesak, memikul tragedi abadi semenjak
awal mula drama kehidupan dimulai? Adakah para Kristiani
itu membesuk engkau terbaring, terbujur, terlentang
menahan
sakit, mungkinkah mereka akan melupakanmu; tempat yang
sangat mereka agungkan itu? Mungkinkah kaum Muslimin
melupakanmu; tanah penuh sejarah tempat tonggak
perjuangan
ditancapkan?
Apakah
mungkin derita ini adalah hikmah mulia yang
terselubung kasat mata? Namun, mengapa mereka bertikai,
ataukah hal itu merupakan wujud rasa cinta pada bundanya
sebagai pembelaan?
Hingga
sekarang, kecuali lirik ini, aku tak punya sapu tangan
bagi air matamu yang tak habis berlinang.
Palestina!
Duhai
bunda bagi bermilyar manusia. Apa kabar Yerusalem,
yang kian tua oleh usia, tapi selalu muda untuk dicinta?
Para
nabi yang pernah singgah disini, kalau saja sekarang
mereka
ada, sanggupkah tidak menangis ketika melihat kota-kotamu
porak-poranda, bergelimang darah, bermandikan peluru,
sementara di lain tempat, anak-anakmu hidup mewah dan
pesta pora? Dan apakah pernah terbayang oleh nenek
moyangmu para Punisia, bahwa bumi yang dulu mereka
temukan itu bakal menjadi sebuah tanah subur bagi
tumbuhnya
pertikaian? Apakah mereka pernah menduga kalau tanah yang
mereka puja selalu menangis tak ada habis-habisnya?
Palestina!
Sampai
saat ini aku tak tahu, apakah dunia cukup kaya
menyediakan air mata untuk menangis atas drama lukamu
yang tak terhingga? Sampai saat ini aku tak tahu, dengan
doa
apa aku memohon kesejahteraan untukmu. Atau karena aku
memang tak tahu, jangan-jangan pada kesedihanmu itulah
terletak kebahagiaan semesta, dan di lukamu itulah, dunia
mencurahkan isi hatinya yang kancap oleh air mata?
Hingga sekarang, kecuali lirik ini, aku
tak punya sapu tangan
bagi air matamu yang tak habis berlinang. Sampai saat ini
aku
tak punya cerita untuk melipur lara ataupun kata-kata
yang
tepat untuk mengucapkan belasungkawa
Dunia, mari hentikan drama Palestina.
Turunkan layar dan
akhiri pertunjukan. Cukup pedih mata menangis. Cukup
perih
hati teriris.
Berakhirlah penderitaanmu, Palestina.
Damai dan sejahtera bagimu.
Amin.
Tentang M. Faizi
M. Faizi lahir di Guluk-Guluk, Sumenep,
Madura, 27 Juli 1975. Menempuh pendidikan hingga jenjang lanjutan pertama
(madrasah tsanawiyah) di lingkungan pondok pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk.
Dilanjukan ke Madrasatul Qur’an, Jombang, Nurul Jadid, Probolinggo, IAIN Sunan
Kalijaga dan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Kumpulan puisinya 18+ (Diva
Press, 2003). Kini bermukim di lingkungan pondok pesantren Annuqayah,
Guluk-Guluk.
Catatan Lain
Ada empat nama yang menghiasi sampul
belakang buku, yaitu KHA Mustofa Bisri, D. Zawawi Imron, Abidah El Khalieqy dan
Jamal D. Rahman. Kata D. Zawawi Imron: “Prosa lirik Sareyang menggambarkan
vitalitas hidup seorang penyair. Pernyataan-pernyataan filosofis yang puitis
menunjukkan bahwa penulisnya begitu akrab dengan kehidupan sehingga banyak
ditemukan sejenis aforisma dalam buku ini. Menghadapi karya seperti ini,
pembaca dituntut cerdas agar bisa menangkap hikmah-hikmah yang terkandung di
dalamnya.”
Oya,
satu lagi yang unik alias jarang saya temukan, biodata ada di halaman pertama,
begitu membuka sampul depan. Dan juga ada sari kata, semacam kamus berjumlah 9
halaman, untuk menerang-jelaskan kata-kata yang dipandang perlu untuk
dijelaskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar