Data buku kumpulan puisi
Judul : Air Mata Kopi
Penulis : Gol A Gong
Cetakan : I, September 2014
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Tebal : xvi + 71 halaman (49 puisi)
ISBN : 978-602-03-0867-8
Copy editor : Rabiatul Adawiyah
Desain cover : Shutterstock.com
Ilustrasi isi : Aeny Asma
Setter : Fitri Yuniar
Pengantar : Fikar W. Eda (Perjalanan Kopi Gol A Gong)
Beberapa pilihan puisi Gol A Gong
dalam Air Mata Kopi
Air Mata Kopi
Aku si pengembara
resah
semakin jauh
membuat titik
di peta perjalanan
riuh dunia
tapi belum juga
menemukan
peristirahatan
abadi
“Dunia yang hendak
ditaklukkan
harus dijauhkan
dari wanita,” kubaca
prasastimu di
dinding Gateway of India.
Meninggalkanmu
mencari rasa kopi
berjumpa luka
orang bernyanyi
berdansa tanpa
busana diri
wajahmu yang sedih
saat menyeduh kopi
hadir di mimpi
Pergi ke Colaba di
jantung kota
memaksa pemilik
kedai menyeduh kopi
walau kutahu hanya
ada teh susu tanah liat
wajahmu membayang
di keruh hitam kopi
Kehadiranmu di
tikungan kota
mengingatkanku
menuju asal biji kopi
berharap mencium
aroma itu
yang kutemui di
setiap Jumat
oh, pemilik biji
harum kopi
air mata kopi
tumpah dari cangkirku
Mumbai, India, 6 April 2012
Jangan Minum Kopi
Setiap pagi di
meja makan
Bapak bertengkar dengan
Emak
soal secangkir
kopi
boleh kuminum atau
tidak
itu disebabkan
masih balita
“Kita berdosa pada
petani kopi. Kita
bukan tengkulak,”
Bapak menyeduh teh.
“Lagi pula ngopi
bukan tradisi.”
Terlalu jauh Bapak
memikirkan
kopi berarti
kemelaratan
Emak berbeda cara
pandang
warung tetangga
dimakmurkan
“Kakekmu dikirim
Belanda. Membuka
kebun kopi di
seribu bukit,” Bapak masih
menyeduh teh.
“HIngga kini tak ada pusaranya.”
Ternyata Bapak
punya alasan
panjang kali lebar
kebun kopi
sampailah pada
panen biji kopi
selain Kakek tak
ditemukan
petani pun tak
merasakan
Kubuktikan
kebenaran
ratusan bulan
kuseduh kopi plastikan
hingga kopi luwak
harum kotoran
terasa apa yang
Bapak resahkan
kenapa ku tak
boleh minum kopi
karena di cangkir
ada air mata kopi
“Pernahkan
kaurasakan
secangkir kopi di
lidah terasa asin?”
Bapak tak boleh
lagi meminum teh.
Kini tak ada lagi
ribut di meja makan
karena Bapak telah
berpulang
Emak kini kesepian
aku minum
cappuccino sendirian
Serang, 20 Maret 2008
Kopi Ini Pahit Sekali
Aku si pengembara pucat tersesat
berenang lemah di pinggiran Lut Tawar
melihat Bapak perih mengukir tabir batu
satu persatu di kirim ke negeri kepala ratu
dijadikannya ranjang emas biji kopi
tempat pertemuan rasa tubuh Ibu.
berenang lemah di pinggiran Lut Tawar
melihat Bapak perih mengukir tabir batu
satu persatu di kirim ke negeri kepala ratu
dijadikannya ranjang emas biji kopi
tempat pertemuan rasa tubuh Ibu.
Aku si pengembara lugu termangu
menyaksikan upacara agung tanpa mantra
menari suci di pekarangan rumah
biji kopi remuk ditumbuk remuk diteguk
berserah diri pada cangkir porselen milikmu.
menyaksikan upacara agung tanpa mantra
menari suci di pekarangan rumah
biji kopi remuk ditumbuk remuk diteguk
berserah diri pada cangkir porselen milikmu.
Dermaga Takengon, 8 Mei 2013
Embong Malang, Surabaya, 1 Juli 2013
Negeri Kopi
Air matamu
mengerak di penggorengan tak berminyak
Suaramu mengepul
mengiris malam.
Tubuhmu berdetak
berkeringat direguk ditumbuk
“Wait a minutes, Mister. Without sugar,
ya.
Ini arabika harum
sekali. Seperti negeri yang Tuan singgahi.”
Cangkir kayumu
membungkuk deritamu diseduh dikeruk.
Kau masih kental
pekat rasa gula tak kauingat.
Kau sembunyi di
seribu bukit, lars mesiu tubuhmu sakit.
“Sudahlah, Tuan.
Tubuhku capek. Mari bersulang saja.
Ini robusta pahit
sekali, seperti negeri yang Tuan gagahi.”
Tubuhmu mengurai serbuk,
dicambuk disegel
dalam plastik.
Bangko, Jambi, 4 Juni 2013.
Kita Pura-pura
Kita
pura-pura bermimpi kehidupan dimulai saat biji kopi
ditanam.
Kita pura-pura tak merasa perlu menyiraminya. Kita
pura-pura
tahu langit mengatur semuanya. Kita pura-pura
berdiri di
Sabang dan berakhir di Merauke menghitung nasib.
Kita
pura-pura memanennya dengan gembira. Kita pura-pura
bersahabat
dengan empat penjuru mata angin. Kita pura-pura
merasakan
kopi itu manis sekali. Kita pura-pura menyampur-
nya dengan
gula. Kita pura-pura tidak terkena diabetes. Kita
pura-pura
jadi tengkulak. Kita pura-pura tak punya kebun
kopi. Kita
pura-pura miskin. Kita pura-pura.
Hotel Pum, Sabang, Pulau
Weh, 3 Mei 2013
Didong
Nyanyianmu
menumbuhkan biji kopi nomor satu.
Melawan rantai
tangannya, mengusir takut tidurnya
Hari ini berulat,
lupa menyanyikannya.
Matahari terbit di
malam purnama tak berbulan.
Angin tak memiliki
kekuatan negeri terdiam.
Kau bercermin, tak
lagi memiliki mulut
Lubuk Linggau, 8 juni 2013
Kopi Joss
Malam purnama tanpa bulan
kita duduk di Warung Lek Man
di sebelah utara Stasiun Tugu Yogya
memesan kopi plastik bara arang
orang suka sensasi suaranya
Bergelas kopi mengeluarkan bunyi
ibarat kereta api yang hendak pergi
mengantarkan harapan ke kota baru
walau hanya sekadar jadi babu
“Silakan diteguk kopinya.
Jujur saja ini kopi pabrik,” suara itu
menusuk di telinga.
Malam itu kau menolak kopi arang
memilih membakar tubuhmu di tungku
minta dimasukkan ke gelas kopi
bunyinya membikin ngilu di pipi
Kau menyuruhku mengaduknya
membuang segala racun kafein
meminumnya dengan sate bintang
agar mengerti rindumu kepadaku
tak berbalas perih hujan
“Aku tak mau ke kebun kopi.
Aku ingin café kopi,” kau keluar
dari gelas kopi. Tubuhmu berlumur tanah.
Malam purnama masih tanpa bulan
kita menyusuri Yogya hingga ke selatan
melarungkan tubuh sendiri
kami terapung bersama ribuan plastik kopi.
Yogyakarta, 22 Februari 2010
Anak Kopi
Aku singgah di
Pangkal Pinang
bau timah kedai kopi berebut tempat
di jalan ternama jantung kota tua
merebut tradisi kacang segelas susu
Kudengar seorang perantauberkeluh,
“Kasihan benar anak-anakku
untuk pintar harus ke ladang kopi
memilih biji terbaik pedih tak sekolah
memamah rumput plastik memakan telivisi
lupa jalan pergi meninggalkan kami.”
Kupesan dua gelas kopi tung tau
menghibur si perantau agar segera pulang
kampung halaman menua dalam cangkir
diaduk mengabur dalam pusaran waktu
Masih kudengar si perantau meratap,
“Kasihan benar anak-anakku
untuk mencintai harus menjemur kopi
memilih hari baik bergantung warna langit
menumbuk mimpi menyeduh cita-cita
lupa jalan pulang kepada kami.”
Kutinggalkan kedai kopi tung tau
menyeberang menuju kopi tiam
aku berharap ada arabika di sana
walaupun tak ada kebun kopi di sini
Jalan
Singapur, Pangkal Pinang, 22 April 2013
Petualangan Kopi
Perkenalkan: si petualang
ada di gelisah jiwa muda
merdeka menyanyi cinta
merdeka merasakan rindu
merdeka menyeduh pahit kopi
Akulah si petualang
menyeret nyeri kampung halaman
mencari akar pohon muasal
kumulai dari merah kebun kopi
Ya, aku si petualang
meninggalkan petak indah sawah
menuju kota di seribu bukit
yang selalu kunyanyikan
bersama panas kopi pagi
Oh, aku si petualang
berdiri di jantung
Masjid Raya
mengenang air bah di telivisi
menggenggam dunia baru
dalam plastik kopi
Hey, kulihat banyak petualang
di setiap perempatan jalan kotamu
dengan rasa malu menanyakan
bagaimana nasibmu hari ini
setiap panen kopi tiba
Ah, aku si petualang luka
rencongmu hilang bentuk
golokku lupa ilalang
perempuanmu menabuh genderang
perempuanku merias wajah
kotamu megah menjulang
kotaku kelam tenggelam
pada serbuk hitam kopi
kopiku sudah lama dingin
aku tak berani meminumnya
Banten – Banda Aceh, 1 Mei 2013
Tak Ada Kebun Kopi
Ketika sampai di Dermaga Baloang
ramai sopir angkutan menawarkan tumpangan,
“Pengembara, pengembara! Ayo naik motor becakku.
Tak berlaku syariat di Sabang. Mari kita bergembira.”
Kota Sabang menyambutku dengan gerimis
wajah keriput Hokkien ada di saku baju
satu alamatnya kutemukan di lipatan kertas kopi
kuserahkan ransel lusuhku untuk diperiksa
apakah kita masih bersaudara?
Kususuri gedung tua tak bernomor
memantulkan tubuh renta kakekku
yang dikirim Belanda sebagai pesakitan.
Kuketuki pintu reyot pertokoan
ruang kosong menahan rindu tanah leluhur
tak kulihat kebun kopi di dalamnya
Hokkien renta menawarkan malam kepadaku
menyeduh kopi plastik di trotoar jalan
sudah bergelas kopi malam ini dihabiskan
untuk harapan digantung di lampu jalan
“Pemimpinku tak paham pergaulan.
Dermaga kosong. Pulauku ketinggalan zaman.
Aku katak dalam tempurung,” kauaduk
kopi gelasmu hingga keruh.
Kuhirup seteguk kopi rasa gula aneh di lidah
yang kuminum tadi pasti bungkus plastiknya.
Hotel Pum, Sabang, Pulau Weh, 3 Mei 2013
Menimbang Kopi
Aku si pengembara lelah
ransel lusuh penuh biji kopi
panen raya tahun lalu
Semua berebut menjadi paling pahit
apakah tubuhmu padat berair
apakah tubuhmu pekat derita
Tak perlu kaucicipi
hidup ditumbuk segenggam
hirup reguk aromanya
seduh roboh tubuhnya
Kau tak perlu mabuk serbuk kopi
tak perlu menukar berat timbangan
tak perlu menyembunyikan kebun kopi
tak perlu tergesa menimbang biji kopi
kecuali arah angin memihak kepadamu.
Takengon, 8 Mei 2013
Kertas Kopi
Anak-anak petani kopi
melipat kertas kopi
berupa buntalan bola.
Menendang halaman kosong
tak bergaris tak bergawang
merusak panen kebun kopi.
Kertas kopi
teronggok di amis gudang
melipat tubuhnya sendiri.
Ketika kubuka
anak-anak petani kopi
tertidur di dalamnya.
Hayam Wuruk Hotel, Padang, 3 Juni 2013
Ziarah Kopi
Beribu kebun kopi memaksa penyair
kerja rodi bagai sapi membuat puisi.
Di kedai kopi tikus rayap berkelahi
berebut memakan kertasnya.
Setiap penyair meminum kopi robusta
satu huruf di kata hilang.
Jika kopi arabika terlalu pahit
kalimat kekurangan kata.
Ketika membubuhi gula rendah kalori
titik dan koma salah ditempatkan.
Akhirnya penyair membakar kedai kopi.
Dia menguburnya di kebun kopi.
: aku menziarahinya
Lubuk Linggau, 8 Juni 2013
Gudang Kopi
Lampu di kota mati jika panen kopi tiba.
Aku takut bunyi aneh di kegelapan.
: Apakah itu serdadu?
Segera ajak aku menari balet.
Cangkir porselen membuatku jatuh cinta.
Pagar Alam, 11 Juni 2013
Orchad Road
Aku menggandengmu
siang malam
menyusuri panas
trotoar bermerek
kotak-kotak hasrat
bernomor huruf
mengantarkan kita
ke palsu peradaban
kau ingin meminum
manis parfum
“Terlalu banyak
gula,” kau meludah
Kau meminta mas
kawin kepadaku
menyulap apartemen
jadi kebun kopi
mengganti kucing
dengan luwak
mengusir Starbucks
ke negeri asal
melemparku ke
kereta bawah tanah
“Tubuhmu penuh
luka,” kau berteriak.
Aku ingin kau
meminangku saat purnama
meniduriku di
ranjang pengantin negeri awan
menyeduhkan kopi
buat pelanggan kedai
milik kita di
kampung halaman berdebu
tapi purnama
kembali tak bercahaya
aku terkurung di
etalase tanpa kaca
memasang beragam
harga di tubuhku
Aku masih ingin
terus di sini bersamamu
siang malam
menyusuri trotoar menganga
menguburkan mimpi
kita tentang kebun kopi
: aku mencari-cari
pusaramu!
Singapura, 20 Maret 2012
Tentang Gol A Gong
Gol A Gong (dulu ditulis Gola Gong) menulis puisi, cerita pendek, 120
novel, esay dan scenario tv. Pada umur 11 tahun kehilangan tangan kirinya.
Pernah bekerja sebagai wartawan di majalah HAI (1989-1990), penulis scenario tv
di Indosiar (1995), senior kreatif di RCTI (1996-2008), asisten manager di
Banten TV. Mendirikan komunitas literasi Rumah Dunia, sebuah pusat belajar
jurnalistik, sastra, film, teater dan seni lukis pada tahun 1998 di Serang
Banten. Kumpulan puisinya: Dunia Ikan
(Gong Publising, Mei 2010), Membaca Diri
(April, 2013) dan Air Mata Kopi.
Catatan Lain
Kumpulan Air Mata Kopi merupakan
oleh-olehnya selama tur Sumatera pada 1 Mei hingga 23 Juni 2013. Sebelumnya
diterbitkan di bawah bendera Gong Publising.
Fikar W. Eda menulis:
“Ketika modal besar mulai masuk dan merampas kebun petani, maka seketika itu,
kopi menjadi asing di kebunnya sendiri. Para petani terjerembab sangkar ijon
kontemporer yang telah memberangus kemerdekaan para petani.” Dikatakannya,
bahwa perjalanan penyair Gol A Gong, tidak saja menghirup harum kopi, tapi juga
harum luka, dari tiap napas petani dan juga kedai sepanjang Sumatra.
Demikianlah, Fikar W. Eda,
anak petani kopi di Gayo itu kemudian menutup pengantar yang hanya sejumlah 6
paragraf itu dengan sebuah puisi:
“aku menyaksikan
wajah gelap bapakku
pada kopi yang kalian seduh
dalam cangkir porselen”
puisi nanti
BalasHapus