Data
buku kumpulan puisi
Judul : Rel Kereta dan Bangku Tunggu
yang Memucat
Penulis
: Galih Pandu Adi
Cetakan : I, 2012
Penerbit : Kendi Aksara, Yogyakarta
Tebal : viii + 145
halaman (69 puisi)
ISBN : 978-602-99907-3-7
Pereka Sampul : Kang emte
Penata Aksara : Moh. Fathoni
FotoIlustrasi : Day Milovich, Yudho “Gusur”
Widodo & Rahmat Hari “Adi Karnoe”
Lukisan Ilustrasi : “Waiting of Mahdi” karya
Ahmad Kekal Hamdani
Epilog : Hudan Hidayat
Rel Kereta dan Bangku Tunggu yang Memucat
terdiri atas 3 bagian, yaitu rel kereta yang terus memanjang (7 puisi), kota
yang tumbuh di kolong ranjang (47 puisi) dan bangku tunggu yang memucat
(15 puisi).
Beberapa pilihan puisi Galih Pandu Adi dalam Rel Kereta dan Bangku Tunggu
yang Memucat
Peta di Kolong Ranjang
aku jadi ingin rebah di kolong ranjang saja
sunyi dan kita lebih menerima bahwa kita memang sendiri
biar cahaya menyeruak di ranjang dan bantal
aku tak perduli jika luka makin mengental
aku ingin tidur di kolong ranjang saja
memintal benang-benang sepi
menjadi peta menuju kotamu
yang kerap kukunjungi dalam mimpi
Semarang, 2009
Pulang
tuhan, luka dalam sajakku bertubi-tubi menujumu
lantas, malam yang entah kelak
gelas-gelas kosong tanpa arak atau sajak, kutenggak
di rumahmu, aku pulang tanpa wajah
di ranjangmu, kulucuti satu persatu tubuhku
aku demam bergetar-getar
seperti sejak mula kelahiran sampai ajal
dadaku ini zikir detak
menghentak-hentak
tanpa hitungan,
tanpa bilangan
Semarang, 2011
Arloji
memasuki rumah, dan detik arlojiku kembali berhenti
di rumah ini memang tak ada satupun jam dinding yang berputar
segalanya usai dan mesti diawali
detik yang beralibi
terus berbiak, mencatat
dan sembunyi
rahasia-rahasia yang terkekalkan
sedang di luaran wajah-wajah terlanjur bergegas
kemari dan mukimlah,
kau akan mengerti, bahwa di sini
ada banyak hal yang tak dapat lagi kau kenali
seolah mesti terus berseteru dengan waktu
dan saat kau sadari, kita akan sama-sama tak tahu
siapa yang sebenarnya telah diburu?
Semarang, 2011
Rel Kereta dan Stasiun di Telapak Tanganmu
dan kita, memang telah memilih jalur kepulangan sendiri
rel-rel kereta yang melintang
aku kau melaju tanpa doa atau erangan
tanpa peta atau kenangan
dan stasiun pemberhentian di telapak tanganmu,
tak ada penumpang yang datang
bangku-bangku di punggungku memucat
menulis nama-nama di baris rubaiat
“sesepi inikah jalan kembali?”
jantungmu berdentang-dentang
serupa lonceng yang memaksaku berangkat
dan kembali dengan terlambat
Semarang, 2011
Malam yang Jatuh di Bangku Kota
“langit lengang,
malam adalah kesepakatan atas rasa sakit”
aku terduduk,
kau melumer di tiang lampu
angin tertirah,
kau singgah
pada kota yang tumbuh di keningku
yang semua penduduknya berwajah serupa wajahmu
kau membatu,
angin memukul wajahku
kau terduduk di bangku kota,
aku mencair
menjelma ribuan kunang
dengan cahaya sesak
yang tak putus-putus melindap
yang tak putus-putus menelusup
ke sudut-sudut matamu
“langit lengang,
malam adalah kesepakatan atas rasa sakit”
Semarang, 2011
Tentang yang Terduduk di Bangku Penumpang dan Bangku
Jemputan
lalu saat pintu-pintu kereta itu mengatup
suara peluit,
tubuh-tubuh hilir mudik,
sisa nafas yang tertahan di lokomotif
kau akan mengerti
betapa sepi peron ini
Semarang, 2010
Malam yang Lupa
kita telah datang pada riak sungai dan kekal batu
segala tumpah di sini
juga tangis sepenuh rindu
ah, aku mendengar detak-detak di jantung waktu
menyebut namamu
lalu kita serupa daun-daun yang hanyut ke hilir
sesekali kita lupa
ke mana hendak bermuara
Eloprogo, 2009
Di Antara Bangku Kereta dan Pancaroba
di bangku kereta, aku mengukur jarak pada kota yang tumbuh
di kolong ranjangmu. seperti detik yang tirakat, akupun
berangkat. kau masih menyusun duka paling nisbi. entah
dendam, entah rindu tapi aku sepenuhnya demam sejak
mengenalmu. maka aku pergi, tanpa peta atau jarum kompas.
tersesat di stasiun yang entah ke berapa. dan tak pernah
sampai pada jantung kota di jantungmu.
tetaplah dinda, kau serupa itu. kita tak perlu bersepakat.
sejak bilangan-bilangan pergi dari halaman buku. kita hanya
menyusun kecemasan di balik pintu. kau bisu, aku bisu. di
telinga, lonceng kereta bertalu-talu.
adalah doa sepeninggal kita. malam-malam tua. bangku-bangku
dan lengking kereta. kau berbiak dari musim yang purna.
aku sembunyi,
terus terlipat di bilangan nisbi
terus kau ingat,
semacam riwayat yang putus dan cacat
di luar, angin meruncing dan bersiap
menikam dadamu
di bangku kereta, aku mengukur jarak langit
dengan matamu
“musim apa ini sebenarnya?”tanyaku
“ini pancaroba,”jawabmu
“hujan bisa datang kapan saja dan selalu tiba-tiba”
Semarang-Bekasi, 2011
Wanita Kuli Bangunan dalam Rumah Pasir
dalam rinai hujan di siang jalang
wanita dengan garis trotoar di keningnya
tempat pejalan-pejalan membuang ludah
dan bermimpi menuju jalan kebenaran yang indah
kau lelah sepertinya?
bahwa hidup memaksamu memanggul batu-batu
menyetak peruntungan nasib di kertas semen,
tumpukan batu bata dan debu-debu.
“kutanam mimpi seabad lalu di rumah pasir.
tapi angin mengirim kabar tentang anak-anakku yang tak
pernah kenyang.
inilah kebenaran”katamu.
Semarang, 2009
Sebuah Jalan dan Nama di Tubuh Daun
pada jalan, lengang kita tak terpautkan
deru-deru dari nasib waktu
melumat kita,
menjadi serupa debu
bulan menepi di kaca-kaca matamu
aku mencoba untuk sempat memotongnya
menjadi sabit
yang menetak tubuhku satu persatu
aku menghitung bilangan ganjil
dan mereka-reka kembali ingatan
pada gaib
yang menyekutukan kita
dan melarikan sunyi di kantong-kantong mata
sesekali aku melihatnya di sisi jendela
kau masih berdiri tanpa menoleh sedikitpun
menjabat angin yang resah menyibak daun
dan meruntuhkannya saat hari makin matang
menghitung satu-persatu yang gugur
“adakah namaku di tubuh daun?”
Solo, 2009
Sebuah Aquarium dan Ikan-ikan yang Selalu Berlari
;
Lusriana Rahayu
aku tak ingin lagi menulis puisi, tentang masa depan kita, Rhi
mengajarimu pergi atau kembali
sebuah tirakat perihal ziarah atau rumah
di ruang tamu, kita berdiri
menatap aquarium yang tetap sepi
ikan-ikan menetes dan berjatuhan dari matamu
“tetaplah seperti ini,”bisikmu
“ikan-ikan ini akan hidup atau mati atau mungkin
menelusup
ke bola-bola matamu”
sepasang bocah dari masalalu
lahir dari rak-rak album foto yang lembab
mereka yang hidup berbahagia
bersenang-senang dan bertengkar dengan bahagia
karna itu, sekali waktu aku ingin berhenti menulis puisi
memadamkan lampu
duduk dengan sederhana
menatapmu biasa saja
dan membiarkan ikan-ikan dari mataku menetes,
berlompatan,
merenangi gelas-gelas kopi kita
Semarang, 2012
Aswatama
maka aku kembara, sebagai badai atau doa yang tak tahu
sarangnya. sejak usai perang sampai habis kaliyuga, akulah
yang tetirah dan tak putus-putus singgah. dari meja-meja
altar sampai ke ranjang paling darah.
setiap subuh yang sekarat. demamku berangkat, dendamku
menetap. maka kucuri kembang mawar dari nisan-nisan para
Bhatara, dan kukalungkan ke arcamu. kukalungkan jantungku.
akulah yang dikutuk sampai remuk. ribuan tahun menanggung
hampa, sejak kutikam dada anak-anak Pandawa dan kupenggal
kepala Drestayumna. sumpahmu kuterima. akulah Aswatama
Semarang, 2011
Sebuah Ode di Ruang Tamu Kepada Tamu
sebagai pintu kawanku,
bacalah nama-nama yang mengetuk tubuhku
saat angin menulis cuaca
ruas-ruas jalan adalah tubuh lelaki memar
dan aku tahu, kita cuma takut kesepian bukan?
sejak mula bilangan menancap di telapak kaki
atas ziarah di tubuh kita sendiri,
kita telah sama meramal
bahwa pada akhirnya kita akan saling membenci
benci pada sepi
atau sepi yang membenci
dan kita pintar merawatnya
sepintar kita melahirkannya di gelas-gelas kopi
tertawalah di sini,
tertawalah di sini,
di luar kau tak butuh botol lagi
karena kenyataan lebih memabukkan ketimbang api
terbakarlah di sini,
pecahlah di sini,
kepada rumah yang menyimpan jalanan tak berujung,
siapapun yang bertandang adalah ia yang pejalan
tak ada yang lebih tinggi atas apapun
selain kenisbian,
dan sejak mula
tembok-tembok aksara mencatat
bahwa muasal kita hanyalah berpura-pura waspada,
berpura-pura perihal siapa yang menjadi tuan rumah
siapa yang menjadi tamu
dan siapa yang menjadi bangku
Rumah Labirin, 2012
Banjaran Ramaparasu
;
Sigid Ariyanto
kau kekalkan ajal ibu di mata kapakmu. seperti itu pula waktu
telah menajamkan mata panahnya ke pundi-pundi jantungmu.
bukankah hidup membuat kita terus membatu?
jika malam, lonceng di dadaku berdentang-dentang. urat di
nadimu mengirim tiktak jarum jam. benarkah sekarat itu waktu?
sampai detik-detik bilangan yang kuhitung
kau masih terus tualang
dari halaman doa
sampai ke anyir bangkai para sentana
laku pungkasan sejati
tumuju ing seda jati
dendammu kang nyawiji
lahir dari rahim ibumu Renuka,
yang mesti bergetar-getar di ranjang Citrarata
“ibu, aku bukan binatang. tapi wajah kematianmu telah
menggaris tajam di mata kapakku,”
teriakmu dibilik sunyi itu
Ramaparasu, kayon telah loncat dilempar ke angkasa
di sini, takada langit
waktu terhenti,
tapi peristiwa tetap jadi-menjadi
di dada, sesak menjeda-jeda
kau masih terus bertanya: kenapa?
di sini, tak ada dewa
tak ada Rama
tapi kita terus tualang
membilang duka
menyusun air mata
jika malam berdentang-dentang, Bhargawa
barisan carita itu, sebisa mungkin kita ringkas
kemarilah,
pulanglah,
ada yang mesti lunas
waktu mendesak kita
di dadaku, di dadamu
sesak
menjeda-jeda
Semarang, 2011
Sketsa Bulan Retak di Atas Ranjang
bilamana bulan meretak, lalu kuhirup itu pendar cahaya
keperakan dari ruas-ruas dadamu. ada yang menyesak dan
penuh di paru-paru. sedang kau memang tak pernah cukup
dalam puisi, dalam halaman-halaman buku yang menulis
namamu namaku untuk kesekian kali.
“dinding-dinding kamar dan ranjang ini memang telah
terlampau basi,”ucapmu.
“bagaimana dengan tikaman belati itu, sayang?
apakah cukup untuk sekedar mengenal
betapa dendam dan rindu adalah hal paling nisbi?”
bisikku
sembari menggeliat erat menyusuri punggung pundakmu.
kaupun tahu bagaimana malam telah berubah menjadi mata panah
yang melesap cepat dan meruncing tajam dalam kepala kita.
lalu derik udara menjadi begitu sepi,
ada yang berdenging dan membuat kita terus berpusing
menekuri debu-debu yang disisakan ranjang itu
tempat segala dendam dan rindumu menetes
membentuk peta sungai
menderas,
melarungkan batang-batang doa
yang beranak-pinak di garis-garis mata
lalu muara biru bernama laut itu tercipta
menyelimuti tubuh kita dalam ombak,
dalam sesak yang menggeliat
melempar bilangan-bilangan almanak
menyeret nama-nama pada kedalaman paling tua
di dada kita
selebihnya, dermaga sepi di garis tanganmu selalu memaksa
perahu dari tulang punggungku kembali, melambat ke tepian,
melempar tali pancang dan tertambat untuk kesekian kali.
sedang ingatan adalah mata logam paling runcing yang
menajam sampai retak bulan itu. garis-garisnya membentuk
peta wajahmu.
melesap lindap cahayanya,
kita hirup
penuh dan sesak.
“setelah ini adakah yang disisakan waktu untuk kita,
sayang?”
selain rindu dan dendam yang terus membatu meruntuhkan
puing-puing tubuh kita pada bau busuk masa lalu. dan logam-
logam itu terus berjatuhan dari langit malam paling sialan. saat
tak lagi kutemui kau sebagai kekasih, sebagai laut paling dalam.
Semarang, 2010
Saat Mengaji
Hijaiyah Awal
dan bulan merah di dadamu, saat kugenggam sepasang aksara
Alif yang jatuh di reranting tak sempat kita eja
Nun panjang dari luka yang remang
aku mengaji dalam tembang-tembang ganjil
di sela almanak sebelum jatuh adalah tiada
yang kekal hanyalah tanggal
yang sesaat adalah nyata
maka bulan tak habis di sini
maka roh-roh adalah dzat yang sepi
kuterima mereka menetap di jisimku
sebagai musafr-musafr yang menagih janji
kelembak dupa dan doa-doa dihabisi di sini
dadaku rumah sunyi
Hijaiyah Akhir
dan tembangkan Nunmu dalam-dalam
agar tegak Alif di tubuhku
kitalah yang samar sebenarnya
karena gaib adalah nyata
tapi tak ada lolong anjing di kolong ranjang
karena aku yang menjelma bayang-bayang
saat santri-santri mengaji kitab kuning
imriti, nahwu shorof
kita belajar membaca yang tak pernah usai
langit di atas kepala berwarna jelaga
tak lekang, tak rindang
hitam putih sepasang
kita gamang
Ayat Pembuka
dan tiba-tiba detak udara melemah di bawah lampu
saat kupu-kupu berjatuhan serupa gerimis yang matang
kau membatu di sudut gang,
para pendusta terbangun dan menari di makam
menggenggam bulan tembaga
mengarak berhala berwajah kembar tiga
sebelum akhirnya Ibrahim mengalungkan sebilah kapak
di leher kita
Ayat Api
dan masih kita genggam kitab itu tapi tak hendak
kita baca isinya
karena sekeping kaca di dalam hanya memantulkan
luka-luka
sayatan yang dalam dari huruf-huruf purba
Sodom dan Gomorah,
malaikat-malaikat membuang muka dari nama
sebuah kota
seorang nabi menziarahi dendam di atas bukit
ada sungai di bawah kota
ada telaga di mata
ada api di jantungnya
ada kutuk menebar tiada
seorang bocah lahir dari rahim batu
bertulis Kaf Fa’ Ro’ di keningnya
Ayat Tengah
dan gaib tak tahu hendak menjelma apa pada malam di
tengah gurun
lelaki bertongkat kayu mengacungkan jarinya ke langit
laut menjadi batu
sungai-sungai mengalirkan batu
angin-angin menebar batu
gerimis dan rintik-rintik batu
orang-orang mencetak tuhan dari batu
berwajah lembu
Ayat Luka
seorang gadis perawan melahirkan bintang
kembara dari rahimnya
muara angin-angin tak berumah
luka dari huruf-huruf ganjil yang tak ramah
tapi kita tetap sesat di rumah sendiri
menatap timur kepada barat
membaca langit di atas tanah
dan tiba-tiba harus menyerah di atas sajadah
“Lihat, seorang disalib altarnya sendiri saat requiem
dan misa arwah!”
sedang langit di atas betapa nisbi
tak terjamah
Ayat Muara
seorang lelaki melemparku ke dalam kitab abu-abu
bahkan padanya aku tak tahu hendak ke mana puisi ini menuju
Semarang, 2008
Tentang Galih Pandu Adi
Galih Pandu Adi lahir di Rembang, 1 Agustus 1987. Pernah
tercatat sebagai mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia UNDIP angkatan 2005. Menulis
puisi, cerpen dan naskah lakon. Aktif berteater al di Teater EmKa (F.
Sastra Undip), Teater Lingkar dan Komunitas Panggung Semarang
(Kompas). Bergabung dengan Kethek Ogleng Baca Puisi di Rembang. Puisi
dan cerpennya tersebar di berbagai media massa dan antologi bersama. Buku ini
adalah kumpulan puisinya yang pertama.
Catatan Lain
Halaman persembahan bunyinya begini: “teruntuk rumah,
tempat pulang dan menampung kalah;/Yon Suprayoga, Suyamti/Galih Panji Aji &
Johar Woro Putri Yanti.” Di halaman 139, ada Catatan Penulis yang
menjelaskan posisi orang-orang di atas. Yon Suprayoga, yang di lipatan sampul
depan disebut dalam kapasitasnya sebagai “Teaterwan dan Pegiat Budaya, Terlibat
dalam komunitas Kethek Ogleng”, di catatan ini berubah posisi. Bunyi lengkapnya
sebagai berikut: “Terima kasih kepada bapak, Yon Suprayoga yang
mengenalkan saya kepada Tuhan, kepada puisi dan mengingatkan saya untuk
bersyukur. Kepada ibu saya Suyamti yang merawat, menuntun dan mengajari
saya perihal banyak kebajikan dan apa saja yang mesti saya kerjakan. Saudara
kembar saya yang baik Galih Panji Aji dan adik perempuanku yang cantik Johar
Woro Putri Yanti.” Ada beberapa endoresemen, di lipatan sampul depan muncul
nama Sitok Srengenge dan Yon Suprayoga. Di halaman depan ada Drs. Agus Maladi
Irianto M.Hum., Mulyo Hadi Purnomo, Gunawan Budi Susanto, Ahmad “Adin”
Khoiruddin, Timur Budi Raja dan Ahmad Kekal Hamdani. Foto penyair dengan latar
bangku tunggu dan rel kereta muncul di lipatan sampul belakang. Sampul belakang
buku sendiri memuat petikan puisi “Di Antara Bangku Kereta dan Pancaroba”.
terima kasih mas 😊
BalasHapusSaya yang mesti berterima kasih 😊😊. Matur Sembah Nuwun 😊.
Hapus