Senin, 05 Desember 2016

Jamal T. Suryanata: SAJAK SEPANJANG TROTOAR




Data buku kumpulan puisi

Judul : Sajak Sepanjang Trotoar
Penulis : Jamal T. Suryanata
Cetakan : I, 2015
Penerbit : Tahura Media, Banjarmasin
Tebal : vi + 58 halaman (37 puisi)
ISBN : 978-602-8414-32-6
Penyalin : Hamsinah
Penyelia : Hajriansyah
Tata Letak & Desain : Ibnu T.W

Sajak Sepanjang Trotoar disusun berdasarkan titimangsanya, yaitu Sajak-sajak 1988 (3 puisi), Sajak-sajak 1989 (7 puisi), Sajak-sajak 1990 (11 puisi), Sajak-sajak 1991 (7 puisi), dan Sajak-sajak 1992 (9 puisi).

Sepilihan puisi Jamal T. Suryanata dalam Sajak Sepanjang Trotoar

SAJAK

jika ada cahaya pagi yang bergetar sebelum senja
pastilah sejengkal kalimat tengah menerbangkan dunia

ketiadaan makna adalah kemarau sepanjang tahun
yang mengering bila kedalaman telah mendasar
bila sungai-sungai kecil telah terbujur bangkainya

jika ada sedetik waktu bicara tentang kabut
pastilah cahaya yang datang menghangati kebekuan

bermula pengakuan ini karena matahari telah dingin
warna perak bercabang meniti dada pohonan yang meranggas
lukanya telah lama dibiarkan alam tanpa cinta

jika ada sepenggal pengakuan alamat jiwa sebenarnya
pastilah seekor pungguk bersyair di malam buta

sedang bayang manusia tak lagi tampak di jendela
sedang pintu-pintu kita terbuka untuk waktu yang lama
sedang segala nafas terhenti seketika

jika suatu api tak lagi mampu membakarku
pastilah jiwanya yang menghalangi panas jiwaku

jika suatu kali dada bergoncang mendengarnya
pastilah rohnya yang meronta dalam hidupku

kukenal ia di sebuah pelabuhan sepi
baiklah kupilih mati daripada lepas dari cintanya

1988



SAJAK PENGANTAR SECABIK RINDU

wajah itu kian pias diperangi bau lumpur
dari kehormatan sesosok jasad kenisbian
segala yang diterakan sebagai hakiki
maki diri lahirkan roh dinabikan kembali
buat sekejap malam pengantar arti tidur kemarin
tidur yang digulung jubah malang melintang di sudut sunyi
selagi kerinduan ini masih terbuka – rindu segala rindu:
angin dan laut karang, siapa kalian semua?
rinduku adalah warna kebajikan yang karam

masjid masih dingin di tepi kelapukannya
raut tua dibias suara kefanaan dunia raya
mengerut dinding hujan menepis dingin suatu malam
yang keraguannya telah lama kita pendam di dada
mari lumpuhkan diri dalam pekatnya darah semesta

semua nama pohonan yang disebutkan adam kepada kita
sebut sebut sebut dan sebut selalu dalam rindu

semua nama pesakitan perang yang dicatatkan sejarah
catat catat catat dan catat selalu dengan resah

1990


SAJAK ILALANG PINGGIR JALAN

malam memangsa kami dalam warna keremangan
ganti-berganti mangsa-memangsa
hujan api di pelukan salju
gelap pun tersiksa

sajak lama di makam nabi-nabi tersungkur ditinju ruang
orang-orang hanya terbaca di remuk kaca jendela
penyair bergelimpangan di peron peradaban
darah mengucur bahasa kematian

malam ganas memangsa untuk dimangsa kami
dunia ilalang dunia pinggiran, dunia yang kejam
sampai beribu hari kami masih dalam luka
wajah-wajah pun membeku dalam doa

1992


SAJAK KEPADA TUAN PRESIDEN

yang mulia,
kami sampaikan pesan-pesan semut dari banyak lubang
yang menyimpan sebutir remah setiap hari
“sinaran lampu kota memijar bumi kekekalan
kami gotong-royong dan musyawarah demi kerakyatan
lapar yang kami tanggungkan adalah tumbal demokrasi
sedang kami buta tentang alu ekonomi saat ini”

yang mulia,
kami ulurkan kelam dalam segala malam pendaki
dari cericit-cericit tikus yang menangis di tikungan
“air sungai masih keruh di kebisingan deru pembangunan
wayang kulit melompat-lompat tanpa pelita tanpa dalang
dan perahu-perahu kurus itu merapat di sudut-sudut kapal
melayah dingin malam dalam kesia-siaan”

tuan presiden yang terhormat,
kami bermantra karena kekalutan yang merajalela
di mana semesta menuding dengan tawa sinis
tak lebih bijak bila tugu-tugu mau bicara
kami memang kerbau bajak yang patah kaki
kamilah cendrawasih yang kehilangan kilaunya
tapi mantra adalah mantra

tuan presiden yang terhormat,
wayang kami mainkan dalam gelap; bukan untuk diri
perahu kami lenggang di sudut kapal; memang amoral
warna hitam memang yang kami perisaikan
malam di bulan patah bukan kami dambakan
maka siapa lagi yang sudi mendengarkan mantra ini
kalau bukan karena bias kemanusiaan itu,
tuan presiden?

1989


SAJAK KALENG SUSU

sempurnalah apa yang berdiam dalam bangunan kebisuan
segala debu memburai menjelmakan kaca hati
menjarah ini ruang menguras roh sekaleng susu
tanah: menghilang ditelan kebisingan dunia bayi
bayi-bayi petaka yang tangisnya menggemakan peradaban
merontakan ethiopia, armenia, apa, mana, perang!

dari daerah ruang persidangan yang sendiri
artileri menjerit membawa darah, nanah, dan tulang-tulang
dalam irak, kuwait, apa, mana, dendam!

kita lari berkali-kali dalam tawaf siti hajar
merindu bayi melonjak kaki menggaris sejarah
zami zami zami, sedang kemanusiaan tinggal sendiri

(dalam kaleng susu semua memanggil mikail)

1991


SAJAK DALAM TOILET

mengelucak ini ruang penuh luka
terjaga aku dalam bising bangunan ketiadaan
di puncak alp sunyi menggerus iman
o kabut pengembaraan yang sayup berarak
zarathustra luluh jadi bayi manusia
luka, luka
sedang dengan darah kita enggan berkaca
luka, luka
serupa tantalus menggapai-gapai di altar dahaga

1992


SAJAK DARI SEBUAH PLAZA

sajak ini mengalir dari mulut sebuah plaza
diri bertukar pada kilau cahaya lusinan warna
pijar menggenggam kaca hati tak seberapa antara kita
parkir lengang dari debu kaki dekil manusia purba
udik merasa kisruh naik tangga merah bara
sahabat masih setia mencari bau huma

senyum pramuria membajiri iman memangsa
dada: siapa tak terkungkung dalam ‘krisis teluk’ saat ini
dan kematian itu cuma seharga bir dunia

balon-balon kemenangan ditiupkan sampai melupa
swalayan dan restoran bolehlah kita sebut sunyi sejak lama
yang kesunyiannya masih dipertaruhkan buat segala
bumi langit yang keduanya sama tergiur dalam diam
karena lelaki-lelaki iseng juga berlompatan naik surga
menafsirkan kalam kehilangan makna di dirinya
maka kita nisbikan kebenaran bila cahaya masih berpendaran
memutar hari-hari mengitari diri ke diri
rasai abang-abang becak melantai larut di lampu diskotik
sajak o sajak yang berlari tanpa nama tanpa kepala
kini aku tak kuasa lagi membaca cahayanya

1990


SAJAK PERDAMAIAN

begitulah balada perih bumi sepanjang pergeseran musim
pelepah kurma beberapa sudah mulai lapuk
kebisingan deru dan debu yang mengakar rasa
penggalan-penggalan cinta terserak tanpa rupa
maka tulislah prasasti di tugu-tugu perdamaian
biarkan luka terus berkayuh menuju senja

di beberapa sudut persimpangan
rongsokan logam merebahkan diri dengan resah
tak ada manusia merokok di bawah tiang listrik
mantel dan topeng menghambur mencari arah sendiri
seribu wajah berlalu dengan pedih dengan perih
pasir pun basah menutup lembar sejarahnya

mari bangkit segala hitam segala kelam
tengkorak-tengkorak kita pancang di setiap sudut jalan
biar cinta sendiri yang menuntut harga sepucuk nyawa
yang terendam dalam laut kelatahan

mari teriak segala darah segala merah
manusia kita pulangkan ke altar kemanusiaannya
dirikan nisan-nisan kematian sebaagai perhitungan
demi cinta kasih ilahi yang kita tanggungkan

tanah: perdamaian itu hanya bergema dalam kata

1991


SAJAK DARI KEBUN TEBU

menanti kelahiranmu
sajak-sajak kuhamilkan seribu bulan
cari jabang bayi di pinggiran jalan kota
kertasku masih ngorok di kebun tebu
binar mata naga berjalan di cakrawala
menembus cahaya lubang wayang di gema suara dalang
sinden melaju mengungkap nama-nama neraka
menggelitik perut malam; perut-perut setan

mari kubangunkan roh manusia yang tidur di restoran
matahari telah mandi lebih pagi dari guruh waktu dimanjakan
hujan biarlah meniduri hati malam ini; kebimbangan
berdiam di putih malam di cahaya lampu seribu upacara
bergabung segala suku menari, menari, dan menari
menarikan kebimbangan tak bernama

akhirnya siang dan malam tak kenal lagi kapan kepergiannya
sedang kumerindu setelah membacakan sajak malam ini

sajak-sajak kuhamilkan di kebun tebu
kini kulahirkan engkau di pintu-pintu kota

1990


SAJAK ORANG-ORANG DI SEBUAH RUANG-WAKTU

tak tahu basah itu telah kembali kepada hujan
karenanya kusinggung sedikit lagi tentang cahaya
lalu dari suatu keraguan muncul seribu lagi
di mana siang kemarin tempatnya begadang
atau di mana malam sering tidur kesiangan
tetapi selalu saja siang terbuai mimpi di kaki lima
bersama sosok orang-orang yang tak pernah punya nama
dan aku sendiri tersandar di dinding-dinding mereka
mereka yang tersebut sebagai “kami” tanpa ruang-waktu
meski gemetar di atas keterbelahan hiroshima-nagasaki

orang-orang sembahyang dalam larik puisinya sendiri
terasa asing aku membaca menara-menara masjid dan gereja
yang tergelar di lembar pertama sebuah tabloid ibukota
sedang manusia di dalamnya hanya memahat kepurbaan
dalam gemuruh potret adam dan ketelanjangan hawa
dia yang menelanjangi dunia atas wajah yang kian renta
lihatlah bagaimana kuda pun telanjang di papan catur

orang-orang pun lelah menggotong wajah tak bernama
yang juga ada karena keberadaan tak sengaja
maka kemustahilan itu menggantung di cakrawala

orang-orang yang mempertanyakan gema sepantun puisi
engkaukah itu yang tak memiliki ruang dan waktu?
sedang “kami” selalu memburu diri sendiri

1990


SAJAK KECIL DARI DUNIA KECIL

kami tulis sajak ini dengan darah dan nanah
dari luka dan kekesalan tak jua landas
dan dari kebosanan ninabobo demokrasi

kami tulis sajak ini dengan jari yang lunglai
karena cinta kini mengatasnamakan segala
dan karena kebijakan terucap dari hati serigala

kami tulis sajak ini dengan beribu harapan
hingga kebenaran dan keadilan tak lagi diperdagangkan
dan orang-orang kecil mendapatkan pengayoman

kami tulis sajak ini dengan kata bersahaja
agar bapak-ibu semua mengerti dan berbuat
tak sekadar memberi pengertian-pengertian palsu

sajak kecil dari dunia kecil
cuma menuntut masalah-masalah kecil
bahkan tetek-bengek yang paling kecil

1992


SAJAK HITAM

telah kubaca rindumu dalam kenangan yang nanar
di sunyi cahaya yang membakar pendakian musa
rupa tiada pengelana tersungkur di kaki tursina
pohon-pohon hitam menulis manusia berkali-kali
menekur cinta, di kejauhan iman kapal angkat sauh

penyair seribu tahun luluh tinggal rebah
di gelanggang, jiwa diperkuda dalam ruang saling binasa
di karet, masjid beku, mangsa tuhan dalam kuburmu

engkau pun orang sunyi di amuk kapak, o amuk kapak
memuas kucing perangkap tuhan di amazon dan kota-kota
sebelum akhirnya berdepan-depan dalam tegukan zam-zam
serampung mantra meraung darah diigau risau
husspuss, berpeluh iman dalam pelukan senja

yang terbongkar dada kau di getar jarum waktu
kawan cemas kawan gemas pinjami orang sebait tuhan
berbagi matahari sampai mendesir di tanah terbuka

aku orang resah kembali ke kegelisahan semesta
menuruni lereng-lereng peta keilahian
kembara sisyphus tak jemu mengusung kemutlakan tartar
sedang hari melaju begitu nyata
membaca, membaca, dalam lari betapa susahnya

1992


SAJAK ANAK SEGALA ZAMAN

sering kuingin begitu laju bergerak ke arahmu
cahaya sang fakir mencari-cari jalan tuhan
yang tak lagi berembus di malam-malam kelam
langkah terbata mengeja sembilan puluh sembilan
dari sunyi bukit-bukit hitam di kejauhan

sering kuingin begitu laju bergerak ke arahmu
ciri pembeda matahari dan bulan di hutan-hutan
bila lagi padaku kuseru kematian
menunggu sangkakala hikayat akhir kebebasan
benarkah kami punya luka abadi, ya ilahi?

demikian kuinginkan
bersumpah kepada diri menunggu dalam kamarmu
bersimpuh melipat jiwa menuju teluk kubur
pada dunia yang terlanjur kurebahkan dalam langkah
sedekat urat leher –biar segala mati
bagi kebenaran semesta –kemunafikan hidup atas bara
yang menyala sepanjang perjalanan meniti syahadatnya

hanya kuingin begitu laju bergerak ke arahmu
sang fakir yang sunyi menyapa jiwa sendiri
membaur dalam tubuh sajak anak-anak zaman

wahai, kembalikan aku kepada rahimmu

1990


SAJAK PARA PENGUNGSI

tempat ini tak lagi asing bagi kami, para pengungsi
lembayung yang meraung di kegersangan
mandi bara berselimut salju keangkaramurkaan
laut pasir dan sabana merelakan sepinya

ribuan tenda merah bercumbu di bawah lingkar matahari
yang telah lama melupa tak mengedar pandang
rasai kemerdekaan dalam seteguk arak
makan jantung berkawan binasa

sekali lagi kami mati dan mati di tempat ini
juga karena dendam anak adam yang kami kenal sejak lama
kebencian kami pada bau mesiu dan amunisi
manusia telah berpura-pura menjadi manusia

sekali lagi kami mati dan mati di tempat ini
tanah: di mana batu-batu menerawang nama tuhan
membaca bising angin gurun yang menukik curam
sedang jiwa kami telah tersungkur di teluk malam

tempat ini tak asing bagi kami, para pengungsi
daerah  perbatasan bernama kematian

1991


SAJAK SEPANJANG TROTOAR

/1/
aku diri bagi waktu
bersenyawa membentuk ribuan bayang yang berlari

cari ke kediaman batu-batu dan pasir
cerca alam menderas ke arahku, nyanyi ragaku
cinta atas keadaan yang begini seribu kali lagi, o
coba jamah aku dalam waktu dalam hari-hari telanjang
cukupkanlah, habiskanlah jasadku di atas trotoar ini

dari kesunyian yang merindu hutan syair
dendam kubacakan di sebuah pentas jalang
di mana dekor-dekornya tak lagi cuma mayat-mayat
dosa alam menangis perih dalam semilir doa
dunia telah jadi bagian dari keterpencilan: penyair!

endapan sajak membaur lugu di kehitaman aspal
enyah rasa diri dalam aku dalam waktu dalam lari
entah apa lagi yang kubaca depan tuhan
entah apa pula yang kutulis di keakuan
entahlah, sedang depanku kematian-kematian

fakir telah beku dalam panorama belasungkawa
filsafat berkubur sambil menjilati dosa-dosa agama
fitnah kian tebal memoles lipstik atas segala-gala
fosil kemanusiaan dan hukum menghukum manusia
fana o, dan ketiadaan menyungkam atas perjalanan

genggam aku dalam waktu yang liar
hingga jamalku remuk tercambuk cahaya syairmu

/2/
ini waktu
jamal berlari berkali-kali dalamku

kepak nadiku tinggal sejengkal di jalan kota
kutawarkan dalam berbagai persekutuan bayang
kertas lusuh menuliskan jatidiri
kurun dalam langkah mengukur kau yang terdinding
kematian kematian kematian, masih senada

langit kita berkeliling menjajakan rahasia
larutkan getah kekerdilan yang mengakar
liukkan ini waktu perpanjangan: tanah
lindap berulang-ulang selimuti matahari
luka o, sendiri di ujung jasad sunyi

musik riuh dari teriakan anak zaman
muntahkan berita kesenjangan yang menganga
minta segala dalam telanjangnya sendiri-sendiri
membaca daging menulis darah mengucap sajak
manusia manusia manusia, wajah yang luka

neraka masih melukis dosa atas kanvas hitam
nama-nama dalam kapal nuh terus berlompatan
nuh yang memadu dua dalam satu dari seribu
namun tak sepenggal kata yang terbaca: tanah
noda hari atas muasal perpanjangan diri

o, waktu yang berlari
pacu jamal di jalannya

/3/
quran menyiramku atas waktu
rintik ayat-ayat ribuan lagi memburu dalam lari

satu episode telah tuntas dipanggungkan
setelah segalanya basah sampai tulang-tulang sajak
sintal, wajah yang luka dan darah yang mengental
sujudku mendaki syahadat sepanjang jalan sunyi
sampai kematian ini lahir berulang-kali: tanah

tanpa bahasa aku membaca dan menulis sejarah
tanda-tanda menderu melingkup sepi di jendela
tikam aku dalam rahimmu seribu kali o, tanda-tanda
trotoar, trotoar, ada langkah perih mengeja hari
tercabik terkoyak dari rahim ribuan mata luka

untuk apa kupertanyakan lagi arah langkah ini?
umur aspal cuma segurat kuas lukisan keabadian
untuk apa bermimpi hidup seribu tahun lagi?
usia chairil telah memangsa dalam luka dan bisa
usai berkubang bergumul sampai di teduh karet

wahai pelajang yang berdiam di kedalaman sajak
wanita dalam ilham kita telah mati sejarahnya
walau ada pijar nafas membahana sekujur diri
waktulah yang menyeret kita ke sunyi teluk kubur ini
waktulah yang mengekalkan langkah dalam iman

yojana bisu menjarah nama tinggal sejarah
zona abadi pengasinganku: tanah!

1992


Tentang Jamal T. Suryanata
Jamal T. Suryanata lahir di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Kumpulan sajak ini adalah buku ketujuh belas yang lahir dari tangannya, memuat karya puisi yang ditulis di masa awal kiprah kepenyairannya (1988-1992). JTS juga menulis cerpen, novel, kritik dan esai sastra, serta artikel pendidikan dan kebudayaan. Ia juga menulis karya dalam bahasa Banjar. Kumpulan puisi lainnya: Debur Ombak Guruh Gelombang (2009) dan Kitab Cinta (2014).


Catatan Lain
Buku ini tak diantar oleh tulisan penulis dan endoresemen apa pun. Juga tak ada halaman persembahan. Hanya ada Pengantar Penerbit, yang sepertinya ditulis oleh Hajri. Sampul belakang memuat bagian /1/ petikan puisi Sajak Sepanjang Trotoar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar