Selasa, 01 September 2015

A. Rahim Eltara: KEPAK SAYAP RASA




Data buku kumpulan puisi

Judul : Kepak Sayap Rasa, Kitab Puisi
Penulis : A. Rahim Eltara
Cetakan : I, Juli 2011
Penerbit : Kendi Aksara, Sleman, Yogyakarta.
Tebal : 136 halaman (101 puisi)
ISBN : 978-602-99907-0-6
Pemeriksa aksara : Moh. Fathoni
Desain sampul, tata letak : artsara
Ilustrasi sampul : icarus on abiator collection
Prolog : Ahmad Kekal Hamdani (Biografi Kata yang Menulis Sayap)

Beberapa pilihan puisi A. Rahim Eltara dalam Kepak Sayap Rasa

Sajak Waktu

Gemercik gaib air pancuran
Menyapa penghulu batu
Hujan sesal pusat mawar
Tak henti-henti mengetuk jendela kealpaanku
“Mari kita tukar mimpi dengan gerak kekangenan suci.”

Sumbawa, 2003


Pesan

Begitulah setiap hari daun-daun itu
Gugur merayap mencium telapak akar pangkal
Setelah tutur ceritanya lengkap dan
Hanya satu kuncup pesan terbuka untuknya:
“Suburkan rindang kasih bunda”

Sumbawa, 1989



Introspeksi

Barangkali inilah deras air fardhu
mengalir dari keringat-Mu
menyaring keruh haus dahaga
dari seribu jerat jari-jari pelangi
yang tak mengenal waktu ataupun ruang
semua rupa semua rasa
akhirnya kembali berakhir menyurukkan muka
pada timbunan daki-dakinya sendiri
bersimpuh rapuh pada batas waktu dan ruang
dan patuh pada selingkar angka pasti
yang memburunya sampai kalimat:
“Innalillahi Wainnailaihi Rajiun”

Sumbawa, 1984


Di Subuh Menjelang Fajar Memijar

Di subuh menjelang fajar memijar
Aku menggigil sepi
Aku memanggil nama-Mu
Aku meraba selimut kasih-Mu

Dalam riak air wudu fardu
Dalam doa tulus ikhlas
Dalam diam membatin
Dalam kicau burung, aku memburu kasih-Mu

Di subuh ini
Aku tersedu istigfar
Aku bersimpuh zikir
Aku berteduh
Di bawah tapak-Mu
Di bawah telunjuk-Mu
Di bawah firman-Mu
Untuk menggapai rahim-Mu

Di subuh ini
Aku memanggil-Mu
Dalam gerak rapuh
Dalam sujud khusuk
Dalam wirid sendu
(jatuh di akhir katupku atas sajadah)

Sumbawa, 1998


Asmara Loka

Menetes gerimis bening kasihmu
Di bawah kerling langit biru sejuk
Bulan sepotong merekah selingkuhi pucuk-pucuk daun
Ada katup menutup simpul tali kasih
Merangkai musik ombak dalam kaset batin
Merajut cinta yang telah kita reguk

Aneka kembang menebar wangi cinta
Di belantara liar
Pelangi melingkar intan berlian
Di dada persada
Jubahmu warna-warni tersangkut di kedua bahu
Capung-capung yang manis dan manja
Mengukir ukiran di jambul bangau
Menandai cinta kasih.

Nangatallo, 1999


Rindu

I
Imajinasi merontah-rontah dalam sangkar resah
Paruh rindu mematuk-matuk tempurung batin
Kelopak mata meluruhkan gerimis duka lara
Di sela-sela rumpun rerumputan
Menuding dengan tajam naluri:
“Sajak adalah beban air mata bening nurani”

II
Kemarau ini terasa sangat panjang, Riyan
Pucuk-pucuk daun musim semi telah senja
Disengat bara rindu membisu
Jauh di mata langit biru
Dekat di benak kalbu.

III
Saat pertama kau menjadi kijang buruanku
Mimpi-mimpi liar berkeliaran di padang sunyi
Mengendap di rimbun rahasia kamar senyap batin
Mekar merekah kelopak bunga taman hati
Harum menguap sejuk memeluk jenang raga
Mewarnai ranum rona pipi spoi angin
Kaki-kaki gunung berlumut hijau subur
Sampai ke punggung-punggung batu deras air
Menjalar dari putik sari kasih-Nya.

IV
Sejuta benih kangen
Bersarang di jaring-jaring otak
Menggedor pintu lanskap dini hari
Ingatkan aku pada pidato dan fatwa:
Bung Karno, Buya Hamka, serta Kahlil Gibran
Yang nyala jernih nan tak kenal padam
Menyalak tungku jatidiri yang mandiri.

Sumbawa, Desember 2001


Ramadhan

Ramadhan Ya Ramadhan
siang malam sayapmu mengepak
cahaya
yang berkibar-kibar atas sajadah
meredam lapar dan haus
pijarmu menuntun mengeja Alif Ba Ta-Mu
yang menggetar kuba langit

Seruan firman-Mu menyeru seru
‘kendalikan segala naluri dan rasa’
merasa sejuk menyejuk kalbu
menyemai kasih
sama rata sama rasa

Semoga jelaga batin terkelupas lepas
oleh busa Ramadhan-Mu

Sumbawa, 2003


Lebaran

I
Embun pagi menetes lekat
pada pucuk sukma insan-insan
yang sarat gema takbir, tahlil, dan tahmid
menuju lapangan kemenangan.

II
Arus damai mengalir jernih lewat
jabat tangan yang tulus
setulus mekar doa puji pada Ilahi
kasih lembut-Mu menenun
benang sari nurani.

III
Dendam kesumat tak lagi tergurat
menoreh wajah rembulan dan matahari.

IV
Senda gurau berderai
mengikis kerak iri dan dengki
yang melekat karat pada dinding hati
insan kamil tak lagi punya jarak
ahli kerabat tak lagi menjadi orang asing.

Sumbawa, 1989


Pijar Suara di Ujung Lorong Dusun Kelahiran

Pijar suara di ujung lorong dusun kelahiran
Kelelawar terbang lancip memotong bias cahaya
Getar udara kepak-Mu mengibas
Siapa yang akan menuai ?
Insan hamba serentak melipat sayap
Berenang dalam deras sejuk belai-Mu

Ujung Ramadhan 2001


Bulan dalam Tempayan

Kemilau kelopak cahaya berpendar dalam riak sejuk mendayu
dalam bening jaring sarang laba-laba langit yang pijar
mekar cahaya, berenang dalam pigura gerabah kehidupan
melejit takjub memompa kagum rohani batin
sambil memandangmu bersolek di mana-mana

Jangan simpan bola matamu
aku suka menatap pesona rona cahayamu
sebelum fajar menutup kerudung wajah
yang sarat menyimpan potret jelita.

TBM, 2001


Tu Ganua Galang Sopo

Sepanjang malam mimpi-mimpi bersandar di kedua tangan
tergadai pada dengkur gerbong-gerbong hening
sembari rangkulkan batang gejolakmu
yang menggeliat dalam jerat jaring nyala geloraku
dan dahagamu alirkan bisa takluknya
pada deras alur anak sungai nadi dan sendi
menguap wangi tanah padang
diguyur hujan sari pati
dipintal jadi tali kasih
ditenun jadi “Awi Lompo”

Malam dan mimpi berderit
seperti ringkik napas ranjang pengantin
bias-bias sayap langitpun gemetar
menabur jamur manik-manik di kening purnama
dan wajahmu gerhana dalam raut kesenjaan
bersama instrument-instrumen erotik
bergema lewat corong tempurung rahasia
pisau rintih memenggal leher resah
membelah pinisi perahu kertas koran lokal
kau memboncengku berenang menuju muara
sepanjang malam “Tu Ganua Galang Sopo”
merangkai tangkai sukma menjadi seikat segenggam
mengawin putik sari menjadi sedahan sepangkal
menjadi secicip serasa
            senapas sedesah
            sejiwa senaluri
dua wajah terbingkai jendela cahaya
terpana fajar mekar
di reruntuhan letih kelam

Sumbawa, 2001
Tu Ganua Galang Sopo : Tidur sebantal = kemesraan, penyatuan diri
Awi Lompo: kain lebar berwarna putih = sebagai sarana penguji kesucian


Menganyam Pita Suara Menjadi Kaligrafi Zikir
Rinduku buat: D. Zawawi Imran

Telah sekian sejuk air fardu membeku
menempel kemilau di jeruji waktu
tak terhitung derit daun pintu membuka kelopak kuba cahaya
memancarkan jejak suci, menyebar wangi surga-Mu
mengibas kepak sujud, menumpah rindu putih jernih
merebut ruang pesona-Mu, merakit sarang di ranting iman
melisan aksara firman-Mu yang tak pernah berpaling
dari titah tahta langit ke tujuh

Telah sekian gelembung cermin dai dan kiai pecah di udara
saat mengetuk pintu benak hati, menyolek molek warna sukma
memoles raut wajah batin, membatinkan keyakinan
serta memfasihkan gerak lidah melafazkan ejaan tauhid
menganyam pita suara menjadi kaligrafi zikir
di kampas nurani, sebelum buah iman gugur
ke rahang kegelapan, sebelum pantulan Nur Ilahi
menjauh dari kening hening sujud
dan sebelum kita tersingkir dari halaman firdaus

Telah sekian jasad fana lepas tangkai tanpa maklumat
terbujur dalam penantian panjang di liang genggaman-Mu
dipahat tangan-tangan halus malaikat, melebur tanah liat
menjadi adonan bubur susu atau menjadi bara merah tembaga
tempat bermula tudingan tanya dan interogasi
sebelum melewati titian gerbang taman mekar bunga

Sumbawa, 2002


Kata

Laparmu tak akan kenyang
Gusarrmu tak akan reda
Cicitmu tak akan henti
Dahagamu tak akan hilang
Lambaimu tak akan sampai
Pelukmu tak akan erat
Pada hasrat
Bila kau tak akrab
Dengan imajiku

Sumbawa, 1996


Jemari Putih Suci-Mu Memetik Senar Batin

Jemari putih suci-Mu memetik senar batin
getarnya lantunkan sejuta syair sejuk embun
zikir dan wirid ilalang mengalun ke kuba biru awan
lancipnya mencakar kulit ari nurani, bumi meneguk bening
perasan jubah-Mu
kelopak mengepak berebutan mekar
harum merebak taman kalbu
selokan cinta kasih gemercik deras
guyurkan air wudhu ke muara pintu rumah-Mu yang lapang
:
“Berikan kami lahan sejengkal buat menanam pohon iman
dan keyakinan
agar kami dapat memetik buah ranum amalan
sebagai ransum kembali pulang ke dangau-Mu.”

Sumbawa, 2003


Segerombol Laron Melingkar Getar Dada Udara

Segerombol laron melingkar getar dada udara
padamkan genta nyali di ketiak kap lampu
sayap batin menyapa kemilau kunang-kunang
mengepak sujud di atas sinar gelar sajadah.

Sumbawa, 2003


Isyarat

I
Kugapai gerendel daun pintu rumah-Mu
menangkap isyarat katup usia di kedip rembulan dan matahari
arus denyut nadi mulai meletih
petak-petak persawahan organ haus dahaga.

II
Di sini angan-angan melintas
saat menapaki halaman rumah-Mu
untuk melunasi utang piutang
sebelum kau menjemputku.

III
Tatapanku hangus dalam kobaran
sinar mata-Mu.

IV
Kau dan aku
tak lagi saling berpaling
kita berdialog dalam keakraban
di beranda kasih-Mu.

V
Derai sejuk hujan kasih-Mu
kilat blitz cahaya mata-Mu
menampar debu kaca jendela batin
aku makin tak sanggup menanggung kerinduan.


Kepak Sayap Rasa

Saat gayut tak lagi mampu bertahan
berayunan di leher jenjang putih sukma
kepak sayap rasa terasa menjauh
dari dahan gelantungan batin
Gua kalbu sepi
dari kicau kelelawar.

Nangatallo, 2003
                       

Aku Saksikan

Aku saksikan angin menebar nasib
Mengemas kecemasan
Adalah kecemburuan merebut serambi rumah-Mu
Yang kemilau di serabut-serabut cahaya
Pelita kasih-Mu.

Sumbawa, 2003


Ketika Firmanmu Mengalun Syahdu

Ketika firmanmu mengalun syahdu
Irama gendang dan kecapi putus pita suara
Runduk tunduk menyimak kemilau gema aksara-Mu
menuntun santun
Menyemai aqidah-menuai gerak ibadah
Merebut pijar pancaran kasih
Dari kobar obor alif-Mu.

Sumbawa, 2003


Badai Tengah Malam

Di antara rasa asin tetesan keringat
kauseduh dengan bening saripati
pada retak-retak-retak tanah kemarau
pada gemercik pantai dahaga
pada gemersik daun sunyi

angin berkesiur menebar aroma mawar dari cuaca gerhana
kelam pun menebar aroma candu dari pusat sepi gua batu
mengobar nyala api tungku
menyuguh geliat dan gerak
memperaga gemulai tarian rasa
pada riak gelombang air pasang
dan perahumu berlayar tanpa secarik layar
terseok-seok di antara nyerih dan lirih
serta dari pori-porimu menggerimis keringat
basahi ladang suburmu

Tangkai kemudi masih tergenggam erat
“Badai akan datang,” bisikmu sayup
tambang dan jangkar kulempar ke kedalaman dermaga

Kita berlabuh dalam mimpi dinihari.

Sumbawa, 2004


Tentang A. Rahim Eltara
A. Rahim Eltara lahir di Sumbawa 16 Oktober 1962. Menulis puisi mulai tahun 1980. Publikasi puisi di berbagai media massa dan antologi bersama. Berdomisili di Desa Baru Kecamatan Moyo Utara, Kab. Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Bergiat di Forum Penyair dan Apresiasi Sastra Sumbawa (FPASS).


Catatan Lain
Halaman persembahan ditujukan untuk ayah bunda, saudara, isteri, kedua anak dan seorang cucu. Eltara sepertinya nama keluarga. Dimulai dari sang ayah, Haji Lewa Tara, kemudian sang kakak semata wayang, A. Karim Eltara. Diturunkan kepada anak, Karya Mudzakkar Eltara dan Desi Merdekasari Eltari.
            Di bagian belakang, hadir enam photo yang memakan tiga halaman. Ada yang bersama keluarga, juga bersama sejumlah sastrawan, al. D. Zawawi Imran, Dinullah Rayes, Hardjono WS, Halim HD, R. Timur Budi Raja.

1 komentar:

  1. nice post kak
    suka puisinyaa :D
    sesama penggemar puisi saling mampir donk kak hehe

    andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn

    BalasHapus