Data buku kumpulan puisi
Judul : Kepak Sayap Rasa, Kitab Puisi
Penulis : A. Rahim Eltara
Cetakan : I, Juli 2011
Penerbit : Kendi Aksara, Sleman,
Yogyakarta.
Tebal : 136 halaman (101 puisi)
ISBN : 978-602-99907-0-6
Pemeriksa aksara : Moh. Fathoni
Desain sampul, tata letak : artsara
Ilustrasi sampul : icarus on abiator
collection
Prolog : Ahmad Kekal Hamdani (Biografi
Kata yang Menulis Sayap)
Beberapa pilihan puisi A. Rahim Eltara dalam Kepak Sayap Rasa
Sajak
Waktu
Gemercik
gaib air pancuran
Menyapa
penghulu batu
Hujan
sesal pusat mawar
Tak
henti-henti mengetuk jendela kealpaanku
“Mari
kita tukar mimpi dengan gerak kekangenan suci.”
Sumbawa,
2003
Pesan
Begitulah
setiap hari daun-daun itu
Gugur
merayap mencium telapak akar pangkal
Setelah
tutur ceritanya lengkap dan
Hanya
satu kuncup pesan terbuka untuknya:
“Suburkan
rindang kasih bunda”
Sumbawa,
1989
Introspeksi
Barangkali
inilah deras air fardhu
mengalir
dari keringat-Mu
menyaring
keruh haus dahaga
dari
seribu jerat jari-jari pelangi
yang tak
mengenal waktu ataupun ruang
semua
rupa semua rasa
akhirnya
kembali berakhir menyurukkan muka
pada
timbunan daki-dakinya sendiri
bersimpuh
rapuh pada batas waktu dan ruang
dan
patuh pada selingkar angka pasti
yang
memburunya sampai kalimat:
“Innalillahi
Wainnailaihi Rajiun”
Sumbawa,
1984
Di
Subuh Menjelang Fajar Memijar
Di subuh
menjelang fajar memijar
Aku
menggigil sepi
Aku
memanggil nama-Mu
Aku
meraba selimut kasih-Mu
Dalam
riak air wudu fardu
Dalam
doa tulus ikhlas
Dalam
diam membatin
Dalam
kicau burung, aku memburu kasih-Mu
Di subuh
ini
Aku
tersedu istigfar
Aku
bersimpuh zikir
Aku
berteduh
Di bawah
tapak-Mu
Di bawah
telunjuk-Mu
Di bawah
firman-Mu
Untuk
menggapai rahim-Mu
Di subuh
ini
Aku
memanggil-Mu
Dalam
gerak rapuh
Dalam
sujud khusuk
Dalam
wirid sendu
(jatuh
di akhir katupku atas sajadah)
Sumbawa,
1998
Asmara
Loka
Menetes
gerimis bening kasihmu
Di bawah
kerling langit biru sejuk
Bulan
sepotong merekah selingkuhi pucuk-pucuk daun
Ada
katup menutup simpul tali kasih
Merangkai
musik ombak dalam kaset batin
Merajut
cinta yang telah kita reguk
Aneka
kembang menebar wangi cinta
Di
belantara liar
Pelangi
melingkar intan berlian
Di dada
persada
Jubahmu
warna-warni tersangkut di kedua bahu
Capung-capung
yang manis dan manja
Mengukir
ukiran di jambul bangau
Menandai
cinta kasih.
Nangatallo,
1999
Rindu
I
Imajinasi merontah-rontah dalam sangkar resah
Paruh rindu mematuk-matuk tempurung batin
Kelopak mata meluruhkan gerimis duka lara
Di sela-sela rumpun rerumputan
Menuding dengan tajam naluri:
“Sajak adalah beban air mata bening nurani”
II
Kemarau ini terasa sangat panjang, Riyan
Pucuk-pucuk daun musim semi telah senja
Disengat bara rindu membisu
Jauh di mata langit biru
Dekat di benak kalbu.
III
Saat pertama kau menjadi kijang buruanku
Mimpi-mimpi liar berkeliaran di padang sunyi
Mengendap di rimbun rahasia kamar senyap batin
Mekar merekah kelopak bunga taman hati
Harum menguap sejuk memeluk jenang raga
Mewarnai ranum rona pipi spoi angin
Kaki-kaki gunung berlumut hijau subur
Sampai ke punggung-punggung batu deras air
Menjalar dari putik sari kasih-Nya.
IV
Sejuta benih kangen
Bersarang di jaring-jaring otak
Menggedor pintu lanskap dini hari
Ingatkan aku pada pidato dan fatwa:
Bung Karno, Buya Hamka, serta Kahlil Gibran
Yang nyala jernih nan tak kenal padam
Menyalak tungku jatidiri yang mandiri.
Sumbawa, Desember 2001
Ramadhan
Ramadhan Ya Ramadhan
siang malam sayapmu mengepak
cahaya
yang berkibar-kibar atas sajadah
meredam lapar dan haus
pijarmu menuntun mengeja Alif Ba
Ta-Mu
yang menggetar kuba langit
Seruan firman-Mu menyeru seru
‘kendalikan segala naluri dan
rasa’
merasa sejuk menyejuk kalbu
menyemai kasih
sama rata sama rasa
Semoga jelaga batin terkelupas
lepas
oleh busa Ramadhan-Mu
Sumbawa, 2003
Lebaran
I
Embun pagi menetes lekat
pada pucuk sukma insan-insan
yang sarat gema takbir, tahlil, dan tahmid
menuju lapangan kemenangan.
II
Arus damai mengalir jernih lewat
jabat tangan yang tulus
setulus mekar doa puji pada Ilahi
kasih lembut-Mu menenun
benang sari nurani.
III
Dendam kesumat tak lagi tergurat
menoreh wajah rembulan dan matahari.
IV
Senda gurau berderai
mengikis kerak iri dan dengki
yang melekat karat pada dinding hati
insan kamil tak lagi punya jarak
ahli kerabat tak lagi menjadi orang asing.
Sumbawa, 1989
Pijar Suara di Ujung Lorong Dusun Kelahiran
Pijar suara di ujung lorong dusun kelahiran
Kelelawar terbang lancip memotong bias cahaya
Getar udara kepak-Mu mengibas
Siapa yang akan menuai ?
Insan hamba serentak melipat sayap
Berenang dalam deras sejuk belai-Mu
Ujung Ramadhan 2001
Bulan dalam Tempayan
Kemilau kelopak cahaya berpendar dalam riak sejuk mendayu
dalam bening jaring sarang laba-laba langit yang pijar
mekar cahaya, berenang dalam pigura gerabah kehidupan
melejit takjub memompa kagum rohani batin
sambil memandangmu bersolek di mana-mana
Jangan simpan bola matamu
aku suka menatap pesona rona cahayamu
sebelum fajar menutup kerudung wajah
yang sarat menyimpan potret jelita.
TBM, 2001
Tu Ganua Galang Sopo
Sepanjang malam mimpi-mimpi bersandar di kedua tangan
tergadai pada dengkur gerbong-gerbong hening
sembari rangkulkan batang gejolakmu
yang menggeliat dalam jerat jaring nyala geloraku
dan dahagamu alirkan bisa takluknya
pada deras alur anak sungai nadi dan sendi
menguap wangi tanah padang
diguyur hujan sari pati
dipintal jadi tali kasih
ditenun jadi “Awi Lompo”
Malam dan mimpi berderit
seperti ringkik napas ranjang pengantin
bias-bias sayap langitpun gemetar
menabur jamur manik-manik di kening purnama
dan wajahmu gerhana dalam raut kesenjaan
bersama instrument-instrumen erotik
bergema lewat corong tempurung rahasia
pisau rintih memenggal leher resah
membelah pinisi perahu kertas koran lokal
kau memboncengku berenang menuju muara
sepanjang malam “Tu Ganua Galang Sopo”
merangkai tangkai sukma menjadi seikat segenggam
mengawin putik sari menjadi sedahan sepangkal
menjadi secicip serasa
senapas
sedesah
sejiwa
senaluri
dua wajah terbingkai jendela cahaya
terpana fajar mekar
di reruntuhan letih kelam
Sumbawa, 2001
Tu Ganua Galang
Sopo : Tidur sebantal = kemesraan, penyatuan diri
Awi Lompo: kain
lebar berwarna putih = sebagai sarana penguji kesucian
Menganyam Pita Suara Menjadi Kaligrafi Zikir
Rinduku buat: D. Zawawi Imran
Telah sekian sejuk air fardu membeku
menempel kemilau di jeruji waktu
tak terhitung derit daun pintu membuka kelopak kuba cahaya
memancarkan jejak suci, menyebar wangi surga-Mu
mengibas kepak sujud, menumpah rindu putih jernih
merebut ruang pesona-Mu, merakit sarang di ranting iman
melisan aksara firman-Mu yang tak pernah berpaling
dari titah tahta langit ke tujuh
Telah sekian gelembung cermin dai dan kiai pecah di udara
saat mengetuk pintu benak hati, menyolek molek warna sukma
memoles raut wajah batin, membatinkan keyakinan
serta memfasihkan gerak lidah melafazkan ejaan tauhid
menganyam pita suara menjadi kaligrafi zikir
di kampas nurani, sebelum buah iman gugur
ke rahang kegelapan, sebelum pantulan Nur Ilahi
menjauh dari kening hening sujud
dan sebelum kita tersingkir dari halaman firdaus
Telah sekian jasad fana lepas tangkai tanpa maklumat
terbujur dalam penantian panjang di liang genggaman-Mu
dipahat tangan-tangan halus malaikat, melebur tanah liat
menjadi adonan bubur susu atau menjadi bara merah tembaga
tempat bermula tudingan tanya dan interogasi
sebelum melewati titian gerbang taman mekar bunga
Sumbawa, 2002
Kata
Laparmu
tak akan kenyang
Gusarrmu
tak akan reda
Cicitmu
tak akan henti
Dahagamu
tak akan hilang
Lambaimu
tak akan sampai
Pelukmu
tak akan erat
Pada
hasrat
Bila kau
tak akrab
Dengan
imajiku
Sumbawa,
1996
Jemari
Putih Suci-Mu Memetik Senar Batin
Jemari
putih suci-Mu memetik senar batin
getarnya
lantunkan sejuta syair sejuk embun
zikir
dan wirid ilalang mengalun ke kuba biru awan
lancipnya
mencakar kulit ari nurani, bumi meneguk bening
perasan
jubah-Mu
kelopak
mengepak berebutan mekar
harum
merebak taman kalbu
selokan
cinta kasih gemercik deras
guyurkan
air wudhu ke muara pintu rumah-Mu yang lapang
:
“Berikan
kami lahan sejengkal buat menanam pohon iman
dan
keyakinan
agar
kami dapat memetik buah ranum amalan
sebagai
ransum kembali pulang ke dangau-Mu.”
Sumbawa,
2003
Segerombol
Laron Melingkar Getar Dada Udara
Segerombol
laron melingkar getar dada udara
padamkan
genta nyali di ketiak kap lampu
sayap
batin menyapa kemilau kunang-kunang
mengepak
sujud di atas sinar gelar sajadah.
Sumbawa,
2003
Isyarat
I
Kugapai
gerendel daun pintu rumah-Mu
menangkap
isyarat katup usia di kedip rembulan dan matahari
arus
denyut nadi mulai meletih
petak-petak
persawahan organ haus dahaga.
II
Di sini
angan-angan melintas
saat
menapaki halaman rumah-Mu
untuk
melunasi utang piutang
sebelum
kau menjemputku.
III
Tatapanku
hangus dalam kobaran
sinar
mata-Mu.
IV
Kau dan
aku
tak lagi
saling berpaling
kita
berdialog dalam keakraban
di
beranda kasih-Mu.
V
Derai
sejuk hujan kasih-Mu
kilat
blitz cahaya mata-Mu
menampar
debu kaca jendela batin
aku
makin tak sanggup menanggung kerinduan.
Kepak
Sayap Rasa
Saat
gayut tak lagi mampu bertahan
berayunan
di leher jenjang putih sukma
kepak
sayap rasa terasa menjauh
dari
dahan gelantungan batin
Gua
kalbu sepi
dari
kicau kelelawar.
Nangatallo,
2003
Aku
Saksikan
Aku
saksikan angin menebar nasib
Mengemas
kecemasan
Adalah
kecemburuan merebut serambi rumah-Mu
Yang
kemilau di serabut-serabut cahaya
Pelita
kasih-Mu.
Sumbawa,
2003
Ketika
Firmanmu Mengalun Syahdu
Ketika
firmanmu mengalun syahdu
Irama
gendang dan kecapi putus pita suara
Runduk
tunduk menyimak kemilau gema aksara-Mu
menuntun
santun
Menyemai
aqidah-menuai gerak ibadah
Merebut
pijar pancaran kasih
Dari
kobar obor alif-Mu.
Sumbawa,
2003
Badai
Tengah Malam
Di
antara rasa asin tetesan keringat
kauseduh
dengan bening saripati
pada retak-retak-retak tanah kemarau
pada gemercik pantai dahaga
pada gemersik daun sunyi
angin
berkesiur menebar aroma mawar dari cuaca gerhana
kelam
pun menebar aroma candu dari pusat sepi gua batu
mengobar nyala api tungku
menyuguh geliat dan gerak
memperaga gemulai tarian rasa
pada riak gelombang air pasang
dan
perahumu berlayar tanpa secarik layar
terseok-seok
di antara nyerih dan lirih
serta
dari pori-porimu menggerimis keringat
basahi
ladang suburmu
Tangkai
kemudi masih tergenggam erat
“Badai
akan datang,” bisikmu sayup
tambang
dan jangkar kulempar ke kedalaman dermaga
Kita
berlabuh dalam mimpi dinihari.
Sumbawa,
2004
Tentang
A. Rahim Eltara
A. Rahim Eltara lahir di Sumbawa 16 Oktober 1962.
Menulis puisi mulai tahun 1980. Publikasi puisi di berbagai media massa dan
antologi bersama. Berdomisili di Desa Baru Kecamatan Moyo Utara, Kab. Sumbawa,
Nusa Tenggara Barat. Bergiat di Forum Penyair dan Apresiasi Sastra Sumbawa
(FPASS).
Catatan Lain
Halaman persembahan ditujukan untuk ayah
bunda, saudara, isteri, kedua anak dan seorang cucu. Eltara sepertinya nama
keluarga. Dimulai dari sang ayah, Haji Lewa Tara, kemudian sang kakak semata
wayang, A. Karim Eltara. Diturunkan kepada anak, Karya Mudzakkar Eltara dan
Desi Merdekasari Eltari.
Di bagian
belakang, hadir enam photo yang memakan tiga halaman. Ada yang bersama
keluarga, juga bersama sejumlah sastrawan, al. D. Zawawi Imran, Dinullah Rayes,
Hardjono WS, Halim HD, R. Timur Budi Raja.
nice post kak
BalasHapussuka puisinyaa :D
sesama penggemar puisi saling mampir donk kak hehe
andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn andriabn