Data buku kumpulan puisi
Judul : malam, dengan sebuah tanda
Penulis : Tulus Widjanarko
Cetakan : I, Februari 2008
Penerbit : bukupop, Jakarta.
Tebal : x + 78 halaman (73 puisi)
ISBN : 978-979-1012-23-2
Rancangan sampul : Machfoed Gembong
Beberapa pilihan puisi Tulus Widjanarko dalam malam, dengan sebuah tanda
Pada
Sebuah Angkringan
kepada
ceret, anglo, dan kikil bakar
kepada
masa silam yang lunas
di pojok
angkringan
kutemui
engkau di setirai uap panas
bersama
melamar secangkir teh jahe
dan
menyandarkan sepunggung ringkih
pada
sepiring omong-kosong seharian
menantu
malam
senyum
simpul
pagina
gagu
weker
menunggu
Malam,
dengan Sebuah Tanda
kutinggalkan
malam dengan sebuah tanda,
sebatang
pensil di atas buku, mengingatmu.
Angin,
Kisah Sepanjang Jalan
kuperiksa
angin buritan,
layar
menimang ombak
mencarimu.
Maklumat
Sebiji Sajak
cukuplah aku sebagai ranting kayu
tergeletak sepi di rimba kalam
menyapih tanda-tanda
tergeletak sepi di rimba kalam
menyapih tanda-tanda
ingin mengantarmu ke penjuru mukadimah,
pada pintu-pintu memuara ke percabangan
pada pintu-pintu memuara ke percabangan
hening o hening
ingin kupasangkan sepasang sayap
agar kegelisahan mengembara di hutan makna
ingin kupasangkan sepasang sayap
agar kegelisahan mengembara di hutan makna
Sajak
Pakeliran
dan, bagai wisanggeni takon bopo
kita tak akan pernah melewati tengah malam
kita tak akan pernah melewati tengah malam
sebab kesejatian telah dicuri krisna
ketika mencegat asal muasal
sebelum menguncinya ke dalam peti ki dalang
ketika mencegat asal muasal
sebelum menguncinya ke dalam peti ki dalang
sebelum tengah malam,
kita tersingkir dari pakeliran
kita tersingkir dari pakeliran
Malam
yang Selalu Ditulis dengan Puisi
ialah
pertarungan
tanpa arena
pertaruhan
tanpa tanda-tanda
perhitungan
tidak untuk apa-apa
sepanjang
malam berbisik pada luka
tangis
tertahan yang mencatat setiap kejadian
engkaukah
yang bersimpuh di gigir ranjang
sedang
berahi milik segala duka?
ialah
pertemuan
tanpa tegur sapa
perpisahan
tanpa kecupan
peristiwa
tanpa catatan
seperti
debu yang tak kau hiraukan desahnya
tetapi
pelan-pelan mencacah setiap mimpimu
Relikwi
Yogyakarta
masih tersimpan di udara
derit pagar mengantarmu pergi
lalu kita bergegas merinci kenangan,
meminta masa lalu
lalu kita bergegas merinci kenangan,
meminta masa lalu
menggantikan kehilangan
selamat malam yogya
biarkan kelenengan andong dan siter wong mbarang
menjaga seluruh siang.
biarkan kelenengan andong dan siter wong mbarang
menjaga seluruh siang.
Lelananging
Jagat
mendongak
bagai arjuna sang lelananging jagat
mengeong
bagai kucing memicing jungkat
meratap
bagai jaka tarub kehilangan selendang
membusa
bagai kelelawar kemarin petang
para
lelaki berdada bidang,
menyimpan
jiwanya di benak paria
Ekalaya
hanya
pada angin selinapkan bayangan pandawa
pada
matamu terentang sepasang gendewa
ekalaya,
ekalaya
terbakar
harga diri sang lelananging jagat
dua anak
panah memercik api di medan laga
o,
keteguhan dan kesetiaan
palastra, palastra
janji seruas
ibu jadi di saku resi drona
anak
panah melaras kepahitanmu
“Ini busurku,
mementang dari bayangan sepi,
tunaikan
ajaran seupil tuturan,
melajak
liar di bilangan malam sendiri”
hingga
angin menangis beku
kitab
yang tak terbaca zaman demi zaman,
halaman-halaman
yang diungsikan kesombongan.
Nota
Kangen
:
nir
menyimpan
senyummu, dan
kesepian
teramat asing
gema
biji kapas retak di tandus tegalan
siang
terik sungguh
seluruh
kenangan tumpah, dik, asatkan
rinduku.
udara
tersayat rebab, aku terpejam mengingatmu.
senyummu
kelupas manggis
di tujah
jati terikat janji
sehangat
senja lama
damar
tungkai ilalang
sekali
waktu sisakan sepi, adinda, sematkan pada
kenangan
bocah angon menyeru angin, aku terjaga
menunggumu.
Menunggu
Kabar Kematianmu
Engkau
memperkenalkan diri di antara katakata
yang
merambat tua. Dari jalanan menghutan semak.
Namaku
kematian, katamu, seraya
mengangsurkan
kartu nama lusuh. Kudengar
para
penyair mencari kabarmu.
lihat,
aku baik-baik saja, duduk di lincak,
udud
rokok kawung, dan masih menenggak kopi
beberapa
cangkir sehari.
Tetapi,
ya,
nasib
mulai enggan mengikat janji.
pagi
selalu tergesa
malam
sibuk menyapih larut.
Tapi aku
baik-baik saja.
Kemerdekaan
di Atas Alismu
untuk
saidi xinnalecky
kemerdekaan
adalah secangkir kopi panas tengah hari
hirup
saja, untuk kesakitan yang khudus
atau
sekadar remah-remah percakapan senja kala
agar
kebosanan menjadi bernilai
tidak,
katamu tanpa keluh
aku
hanya ingin langit Dili di atas alisku
untuk
pintu yang kubuka setiap pagi
(inginkah
kau pungut kemerdekaan
dari
balik asap mesiu, tapi meja-meja redaktur
menyeruput
hanya
untuk sekerat palung imajinasi)
o,
bukankah
langit tak akan pernah ingkar dari atas Dili
meski
kau telah kehilangan pintumu
Sajak
6 Juni
menepi
dari arus kali
memandang
seorang melempar kerikil
dan
kusentuh lingkaran gelombangnya
dari
pepinggiran,
lalu
kudirikan tenda
melihat
matahari melepas bayangmu
agar
dapat kugariskan jejaknya
di atas
tetanahan,
kemarin
matahari mengabarkan pesanmu:
suratmu sudah kubaca, tangisku tersimpan
pada cuaca
tetapi
tenda telah kurakit, persis di persimpangan bukit
sejak
kenangan terusap fajar, agar hanya menjadi kenangan
sewaktu-waktu
ketika angin kering melintasi malam
kudengarkan
riak kali dari keheningan
Sajak
Mei
:
gm
dari sao
paulo yang jauh, kata-katamu terseret peluh
pada
ingatan rapuh, dan harapan angkat sauh
:
bukankah tanggal itu tentang orde yang makzul
sebelum
kita kubur dengan cacimaki di ujung telunjuk
dendam
penuh.
lalu
kita gawal!
angin
puting beliung
katakata
lolos baju,
bedak
dan gincu serentak bau kutu
rindu
darah dan mesiu
alaf
baru, matahari baru
desau
gelombang menderu
dari sao
paulo yang jauh,
mei yang
keruh,
kau
picing sekoci penuh debu.
Berjalan
di Atas Jembatan
sore
turun ketika kita berunding dengan waktu,
gagal
melukis, jejak tak terbaca,
barang
se-alif.
engkau
ingat bekal kita tertinggal entah
farras
menjemput mei-nya
alia
menatapi sajadah,
ketika
maghrib tinggal sepatah.
palka
besi sisakan senja
lampu
mercury tawarkan jeda
mendengar
tangisku mendesir dada
di
seberang tiang jembatan tua.
Malioboro
telah
kututup republik umbu di kerak lampu mercury.
Tanpa
tangis.
dari teteg sepur hingga longkangan keraton.
Pernah kita
menyusuri
bait-bait
di penghujung malam. Hidup hanyalah melawan
kesia-siaan.
seperti
malioboro yang selalu menakar umbu, mengolah
ainun,
mendapuk ashadi,
mencumbu
linus, seluruh kata-kata yang menggelandang
di
antara teplok dan
puntung
rokok pelacur. Sebelum mereka membuang
surjan
dan menggantinya
dengan
kamisol.
dari
puncak tugu, malioboro adalah perempuan yang
mengangkang
di atas
dingklik, mengundangmu berlama-lama dalam
lembab,
hingga
kita
tersentak: waktu tak pernah mencadangkan belas
kasihan.
Falseto
(1)
dia
menyeru-nyeru frank zappa
ketika
permukaan danau ganeva menjilat
mata
kakinya,
seharusnya
saat itulah suara-suara resah
meringkuk
pada pita kasetmu,
ada yang
mendatangi montreux,
saat
sebatang rokok dinyalakan
tetapi
mereka hanya menemukan asap pediangan
telah
padam,
bersama
cocain dan kondom terakhir.
Falseto
(2)
jangan
pedulikan, seorang perempuan
barangkali
usai menembak lakinya sendiri
sebab
itulah caranya hidup dirayakan.
tunggu
saja si fredie menjuntai manik-manik
kecilnya,
menunggang harley davidson mengganggu kota,
dan
berteriak sengau:
crazy little thing called love.
Tentang
Tulus Widjanarko
Tulus Widjanarko lahir di Sukoharjo, Jawa Tengah,
1966. Mempublikasikan puisinya di berbagai media cetak (salah satunya Horison) dan berbagai antologi puisi
bersama. Bersama sejumlah penyair, mendirikan Yayasan Multimedia Sastra (YMS)
dan mengasah proses kreatif di Komunitas Budaya Pangkalan Bambu (Bekasi).
Catatan Lain
Halaman persembahan buku puisi ini ditujukan hanya untuk
satu orang, “untuk: nir”. Tak ada pengantar, atau komentar teman. Saya hanya
mengunjungi blog penyair yang terakhir diisi tahun 2010 lalu dan menyukai
beberapa puisinya. Beberapa puisi ini tak ada dalam buku dan saya kutipkan
pula:
Berjalan-jalan
Digandeng Ibu
jika berlari jalanan mendadak sepi, pohon dan tiang listrik
serimpung kaki, (mendengus diburu ingatan yang pecah dalam benak).
Ibu wanti-wanti, setiap pagi hanyalah milik sendiri, lepas sore
engkau milik alam sejati.
ketika matahari sempurnakan siang, ibu melangkah tanpa bayangan
(jejaknya samar di jalan berdebu), keringatnya menetes-neteskan pesan
ibu sembab tetapi bukan tangis—jika tangisan manakah sedu sedan-
nya?
disampingnya sekian alamat di-iqra-kan
tanda-tanda dipasrahkan ke udara
jika berlari pelataran tak lagi milik kediaman
Ibu menggarisnya di cakrawala
secepat diam.
2008
jika berlari jalanan mendadak sepi, pohon dan tiang listrik
serimpung kaki, (mendengus diburu ingatan yang pecah dalam benak).
Ibu wanti-wanti, setiap pagi hanyalah milik sendiri, lepas sore
engkau milik alam sejati.
ketika matahari sempurnakan siang, ibu melangkah tanpa bayangan
(jejaknya samar di jalan berdebu), keringatnya menetes-neteskan pesan
ibu sembab tetapi bukan tangis—jika tangisan manakah sedu sedan-
nya?
disampingnya sekian alamat di-iqra-kan
tanda-tanda dipasrahkan ke udara
jika berlari pelataran tak lagi milik kediaman
Ibu menggarisnya di cakrawala
secepat diam.
2008
Bangku
Taman Izrail
apakah makna kepergian, jika masa lalu
merebut bayang-bayang kita hari ini,
sedang harapan hanya berarti melepas alamanak
pada hari yang berganti
merebut bayang-bayang kita hari ini,
sedang harapan hanya berarti melepas alamanak
pada hari yang berganti
:selembar demi selembar.
kita selalu cemas mencabut rambut yang
berubah keperakan, (hari itu kita menghitung neraca)
lalu membayangkan bangku taman
bakal menjadi teman setia
berubah keperakan, (hari itu kita menghitung neraca)
lalu membayangkan bangku taman
bakal menjadi teman setia
seraya termangu menunggu izrail
tunaikan undangan
tunaikan undangan
agustus2k
Di Pasar
Malam
Komidi memutar tangisan tanpa
ujung, menderam-deramkan harapan
dalam dengus tong setan.
Sesekali waktu terantuk gelombang
ombak-banyu, mengingatkan keputus asa-an
tak punya tempat di corong toa.
Malam kian regeng,
di pintu loket
hidup mulai dipertaruhkan.
02/08
Komidi memutar tangisan tanpa
ujung, menderam-deramkan harapan
dalam dengus tong setan.
Sesekali waktu terantuk gelombang
ombak-banyu, mengingatkan keputus asa-an
tak punya tempat di corong toa.
Malam kian regeng,
di pintu loket
hidup mulai dipertaruhkan.
02/08
Havana
larilah bersama saxopone, yang menghilang
dari kabaretmu, di El Tropico ketika asap cerutu Che
membentur mukamu: sebab tak kulihat percikan nyala revolusi,
barangkali telah tenggelam di gelas-gelas anggur orang berada
sepanjang malam yang hangat.
tetapi apakah revolusi, bahkan ketika dari podium sepasang
merpati menjauhi segala janji, dan tarian juga nyanyian
diayunkan tongkat komando begitu rapi?
Fidel, ya, Fidel,
telah kau sembunyikan kota Havana yang melewati malam
dari lantai-lantai dansa, gelak tawa borjuis di ketiak Batista,
dan sepotong cinta yang tersisa di keremangan El Tropico.
2008
larilah bersama saxopone, yang menghilang
dari kabaretmu, di El Tropico ketika asap cerutu Che
membentur mukamu: sebab tak kulihat percikan nyala revolusi,
barangkali telah tenggelam di gelas-gelas anggur orang berada
sepanjang malam yang hangat.
tetapi apakah revolusi, bahkan ketika dari podium sepasang
merpati menjauhi segala janji, dan tarian juga nyanyian
diayunkan tongkat komando begitu rapi?
Fidel, ya, Fidel,
telah kau sembunyikan kota Havana yang melewati malam
dari lantai-lantai dansa, gelak tawa borjuis di ketiak Batista,
dan sepotong cinta yang tersisa di keremangan El Tropico.
2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar