Data buku kumpulan puisi
Judul : Purnama Menyentuh Stupa
Penulis : Karsono H. Saputra
Cetakan : I, Juli 2004
Penerbit : Wedatama Widya Sastra, Jakarta.
Tebal : vi + 42 halaman (36 puisi)
ISBN :
979-3258-23-3
Rancangan sampul
: Soorjo Sani Santoso
Beberapa pilihan puisi Karsono H. Saputra dalam Purnama
Menyentuh Stupa
Penari
aku
ingin mengajakmu menari di atas pentas
tak usah
pakai bedak, tak usah pakai gincu
bahkan
busana pun apa adanya
keindahan
tari kita bukan semata karena bedak dan
gincu,
apalagi tata pentas, tetapi bagaimana kita
mengikuti
irama, mengisi panggung, dan melakukan
gerak
secara benar berdasar aturan.
sesekali
kita harus melompat tinggi-tinggi, kadang-
kadang
bergerak mendatar, atau bergulingan. sesekali
kita harus
berpencar karena tuntutan pola lantai, bahkan
sesekali
harus menyapa penari lain. yang pasti pentas
ini
milik kita, berdua, karena kita pemeran utama.
dan, kau
penari luar biasa, bukan semata setia mengikuti
tata
tari, namun imajinasi dan improvisasimu mengisi
ruang-ruang
kosong dan memperkaya matra. maka, aku
tak mau
penari pengganti.
Yang
Tak Wadag
suara
itu menghentikan langkahku agar berpaling ke langit
bukan
sekedar jeda
juga
untuk berhitung
sebab
hidup bukan hanya darah dan daging, tetapi juga roh
sebab
hidup bukan hanya perhitungan, tetapi juga pengendapan
sebab
hidup bukan hanya kemauan, tetapi juga kesadaran
suara
itu mengingatkan kebesaran hu sang alfa-omega,
yang
tiada awal tiada akhir, yang nyata meski tak wadag,
yang
maha
suara
itu menuntunku untuk tafakur
Kejujuran
aku
lebih banyak tinggal di kepala kanak-kanak atau
bahkan
orang bodoh
aku
tidak suka orang pintar karena mereka lebih sering
mengejekku
dengan manipulasi dan perekayasaan
aku
lebih dekat orang miskin dan orang sederhana
karena
mereka selalu menerima apa adanya
aku
berada bersama rakyat jelata karena mereka tidak
bicara
dengan mulut dan kepala tetapi bicara dengan rasa
aku
mengindari para penguasa karena mereka tak
sama
antara kata, rasa, kepala, dan cita
dulu
sekali
aku
sering menyelinap di hati nurani
tetapi,
kini, makin sedikit orang yang memilikinya
maka,
aku lebih banyak tersia-sia
Syak
buat apa
bicara cinta, jika
pelangi sudah tidak memantulkan warna
dan angin selalu menebarkan bau busuk ketidakpercayaan
bukankah
cinta itu panjang dan sabar dan setara
bukankah
cinta itu rentangan tali yang selalu bergetar
dan bergerak sementara kita berada di antara
kedua ujungnya
memang,
cinta tak selamanya putih. kadang jingga
kadang temaram kadang tawar. tapi kita
sepakat matahari tak harus membakar malam
dan bulan tak harus meniti pelangi
Nyanyian
Desa
gemericik
air, wangi lumpur sawah, lenguh kerbau
luruh
terbengkalai
kanak-kanak
telanjang
berlarian,
tanpa ada panggilan karena
emak
bapak mereka dipinang orang kota sebagai
pembantu
tumah tangga, penjaga pintu, atau
penyapu jalan
dan
orang-orang renta
sepi
menanti sisa-sisa hari
tak ada
lagi suara lesung, seperti juga parem dan
boreh yang diganti tahi mesin
nyanyian
desa kini sumbang tertelan zaman
Selamat
Pagi
selamat
pagi. sudahkan tuan baca koran hari ini?
apa
komentar tuan tentang banjir dan bah dan
tanah
longsor dan gempa bumi di seluruh negeri?
kuasa
alam, tuan bilang? dan musibah? alam
mahabijaksana,
tuan tahu itu. kemarahan alam
karena
semena-menaan. dan tuan selalu diam
karena
tuan juga punya kepentingan. jadi, kini
tuan mau
cuci tangan dan pura-pura jadi
pahlawan?
selamat
pagi. sudahkan tuan baca koran hari ini?
apa
pendapat tuan tentang penggusuran dan
penertiban,
yang selalu dengan penindasan? di
mana
kedudukan tuan? kepentingan apa dan siapa
yang
tuan pertahankan?
selamat
pagi. sudahkan tuan baca koran hari ini?
apa
pendapat tuan tentang pencurian dan
penipuan
dan penggelapan dan akal-akalan yang
dilakukan
kelompok tuan? tuan tidak tau? atau
pura-pura
tidak tahu? atau tuan malu karena diam-
diam
tuan juga berbuat begitu?
selamat
pagi. telalu banyak hal buruk yang
sebenarnya
tuan ketahui tetapi tuan tak melakukan
apa-apa
atau tak berani melakukan apa-apa
karena
kepala tuan dan kaki tuan dan tangan tuan
bahkan
juga kepala tuan tergadai oleh hasrat dan
keinginan
tuan bahkan juga tindakan anak dan istri
dan
keponakan tuan.
jadi?
apa yang harus aku katakan? masihkah tuan
diperlukan
di negeri ini
Prambanan
(2)
senyum
itu, seperti bukan yang pernah kulumat saat
bening
opak memeluk purnama
mata
itu, seperti bukan yang pernah kuseka saat
purnama
menyentuh stupa
rambut
itu, seperti bukan yang tergerai saat napas
terpaut
di ujung senja
kau dan
aku ternyata anak-anak bandung dan jonggrang
yang
tertimpa kutukan
Mimpiku
mimpiku
mengembara dari ujung malam ke ujung
malam
sesekali
mengusik nyenyak tidurmu
dan
membawamu ke angkasa memetik bintang-
bintang, di langit
mimpiku
menyusuri sepi, menjemputmu di batas
harapan
adakah
mimpiku bertaut dengan mimpimu
supaya
besok di ambang fajar ada lorong baru yang
kita lalu bersama
Pengakuan
cobalah
sejenak hening
luruhkan
hatimu, supaya tak selalu diharu biru desah
angin
langkah
kita sudah jauh ke depan
meninggalkan galur, jejak, dan tapak
sesekali
langkahku terantuk bintang, memang
tetapi masih dalam batas kesadaran
tak ada luka, apalagi hilang
rumahku
tetap di keteduhan matamu
dan
bahagiaku tetap di lapang dadamu
Ragu
rindu
yang kemarin kau kirim
terjuntai di ujung mimpi
ada
ragu, karena matamu menyimpan prasangka
mungkin
masih ada waktu tersisa
tetapi matahari sudah lelah menghela asa
bulan pun enggan berbagi rasa
cuma langit yang belum bicara
maka,
tak perlu berpura
angin
akan memilih:
menabur aroma atau jelaga
Puisi
Kasih
kutulis
puisi kasih di lengkung langit
agar kau bisa selalu melihat dan membaca
meski tak harus menerima
kutulis
puisi kasih di awan
agar selalu bergerak mengikuti ke mana pun
langkahmu terayun
kutulis
puisi kasih di bulan
agar pendar sinarnya menjaga nyenyak tidurmu
di sepi malam
kutulis
puisi kasih, untukmu
karena cuma itu yang aku bisa
Desember
aku
datang lagi, kali ini
tetapi
tak kurasakan getar di nadi-nadi darah
karena altar berubah menjadi pentas datar
dentang
lonceng sekedar penanda sekuen
pendar
lilin bukan lagi terang kasih yang menyelinap
di keresahan jiwa lelah termakan dunia dan
keinginan
firman
seperti tak lagi membasuh kepenatan
kucoba
menyeruak di antara amsal dan mazmur,
sendirian
sendiri!
sementara
suara di sekeliling seperti kumbang
mendengung tanpa roh dan tanpa makna
masihkan
aku harus datang lagi, lain kali?
Kasih
cinta
menggamit saat lenganmu melingkar ke
jantungku, menghangatkan tubuhku
kasih
menghela saat jari-jemarimu membelai keping
hatiku, meneduhkan jiwaku
maka
kutuang
senyum di bidang dadamu
sebagai
persembahan kasih, permadani kehidupan
kita, berdua
Tentang
Karsono
H. Saputra
Tak ada biodata penyair di buku ini. Silakan
bertanya ke mbah google. J
Catatan Lain
Di sampul belakang, ada kutipan puisi yang berjudul
“Syak”. Kecuali tiga baris pertama, puisi itu dikutip utuh. Buku kumpulan puisi
ini juga diapit oleh semacam “puisi”, yang baik depan maupun belakang dijuduli
dengan judul yang sama, yaitu Purwawacana.
Berikut yang bagian depan (hlm. 1)
Purwawacana
puisi, kata
orang,
merupakan dunia
kata;
tetapi kata bukan
dimaknai menurut
yang tersurat,
melainkan melampaui
makna primernya.
salah satu ciri puisi, kata
orang pula, tak
hanya ada
satu makna; maka
terserah
anda, para
pembaca,
memaknai puisi-
puisi dalam
buku ini
Ini yang bagian belakang (hlm. 41)
Purwawacana
terima kasih
untuk para
pembaca
dan siapa pun
yang
menghadirkan
ilham dalam
antologi ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar