Data buku kumpulan puisi
Judul : Buton, Ibu dan Sekantong Luka
Penulis : Irianto Ibrahim
Cetakan : I, Mei 2010
Penerbit : Framepublising, Bantul,
Yogyakarta.
Tebal : 90 halaman (53 puisi)
ISBN : 978-979-16848-4-2
Penyunting : Raudal Tanjung Banua
Tata letak : Indrian Koto
Foto penyair : Arif Relano Oba
Desain cover : Nur Wahida Idris
Gambar cover : Indra Dodi, “Menanti Hujan
Emas”
180 x 150 cm, acrylic on canvas, 2009
(Bakaba, Sakato Art Community, 2010)
Beberapa pilihan puisi Irianto Ibrahim dalam Buton, Ibu dan Sekantong Luka
Tentang
Rumah Kecil dengan Jendela Bercat Biru
sebab
rumah kecil berdinding kayu di tepi pantai itu
tak
pernah benar-benar kau miliki
di sana,
depan jendela bercat biru
aku
selalu memandang keluasan horison
gambar
masa kecilku yang terserak
tentang
kesaksian palsu
kubuat
dari pecahan hayalan
yang
menjadikan kalian berjarak selamanya
tentang
rumah kecil dengan jendela bercat biru
sudah
kau abadikan dalam sebuah kartu pos
dan aku
tak pernah benar-benar memilikinya
sebab
butuh usia dewasa untuk memilah
: apakah
ini kejujuran atau kenyataan
Kendari,
29 November 2008
Tentang
Kunang-kunang
Ada
kunang-kunang terbang di atas unggunan api
Di sela
helai-helai azan
dan
pekat warna serumpun daun.
Serimbun
ide dan tawa, cerita lampau
para
perantau.
Kita ada
di pijar kunang-kunang itu.
Markas
Pisang, 21 September 2008
Sekantong
Luka dari Seorang Ibu
: kepada ibu ainun kasim
supaya dapat kau ceritakan pada mereka
perihal dada
yang terhimpit ini:
dada
seorang ibu yang tak sempat melihatmu menangis
atau
sekedar tersedu. sebab baginya kaki-kaki kursi yang
diinjakkan
pada kuku-kuku kaki suaminya tak pernah
benar-benar
mengenal rasa sakit: oleh luka maupun oleh
kepergian
yang dipaksakan. ia ingin mengutuki dirinya jadi
batu
atau serumpun pohonan bambu tempat putri tanah
ini
terlahir. ia ingin menjadi jembatan, tempat anak-anaknya
menyeberangi
cita-cita tanpa tangan kekar sang ayah,
namun
suara tertahan dari leher tercekik tak sempat
memandunya
berdoa.
di
sebelah sana: di ujung pantai jauh, ia melihat kapal-
kapal
mengibarkan layar dan memasang lampu-lampu. ia
ingat
putrinya yang minta kapal-kapalan. ia rabai riak selat
yang tak
sempat jadi gelombang: ia urungkan senyumnya.
dadanya
sesak. dada seorang ibu yang tak sanggup
memberi:
dada seorang ibu yang menyuruh anak-anaknya
mengatup
bibir mereka sebelum tersenyum. dada yang
menampung
sunyi nyanyian mantra pada tetua adat.
di
punggungnya, ribuan tanda tanya dipikulkan anak-
anaknya.
tanya yang melarangnya berbaring. tanya yang
dijawab
dengan tatapan mata berkilat-kilat. semacam
perisai
para tentara yagn disarungkan pada tangan
sebelah
kiri, ia menutup mukanya. ia sembunyi dari desakan
yang
menghimpit. nafasnya tersengal, isaknya sesegukan.
lalu
dibasuhnya muka merahnya dengan darah suaminya.
darah
yang dicecerkan dua belas kendi jampi-jampi. darah
dari
lipatan perih dan airmata yang sekarang menyerah.
darah
yang di kemudian hari akan ia larung ke laut banda.
laut
yang akan menenggelamkan suaranya.
bahkan
mungkin, bila kau betah menyimak perih:
mendefinisikan
penistaan. ia seorang ibu yang tak
dibolehkan
mengucap tahlil saat pemakaman suaminya.
yang
meronta dan menangis, sambil mengintip dari
kangkangan
kaki kekar penggali kubur tanpa rasa iba di
wajah
mereka. ia bicara pada tanah yang tak bisa
mendengar
suaranya sendiri. ia inginkan pelukan seorang
suami.
pelukan terakhir yang ingin ia bingkai dengan
pelepah
pisang atau patahan ranting pohon jarak dari
kuburan
itu. ia, seorang ibu yang hanya memiliki sebatang
pinsil untuk
sketsa keluarga, dengan wajah sang suami
yang
sengaja akan disamarkan. satu hari nanti, bila
mungkin
kau bisa bercerita pada seorang lain, jangan
bilang
ia tak sempat meneteskan embun untuk bunga-
bunga di
halaman rumahnya. sebab seusai sholat subuh,
saat
para nelayan telah kembali ke dada istri-istri mereka,
ia masih
khusyu menciumi sobekan kafan yang tak sempat
ia balut
pada tubuh suaminya.
Kendari,
2009
Buton
1969
begitu
tahun-tahun menjadi sepi
dan
malam bergegas menyibak riak waktu
kau tak
usah mendesak laut menyurut
atau
pohon-pohon mengemis angin
karena
darah lebih kental dari luka
lebih
sakit dari kenangan
mungkin
kau butuh semacam nestapa
atau
ruang khusus penampung berkarung sesal
sambil
bersiul menanti pisau waktu
yang
berjubah hitam, persis nenek sihir
bukan
tawar-menawar yang kau tunggu
karena
gagak tak pernah lupa alamat malam
dari
matanya yang menikam kelam
meski
berkali-kali kau menyebut ingin
ia tak
hinggap di sana
tidak di
deretan kata yang memuat namamu
pulanglah,
kembali ke bilik langit
sambil
bersiul sepanjang luka
sepanjang
kenangan yang menghanguskan
tahun-tahun
cerita
seperti
ketika kau melewati tanah perbatasan
tanah
yang dijaga para tentara yang selalu marah
adalah
peta yang sama kau jejaki
dari
ujung nadi terjauh
tempat
anjing-anjing kurus
dengan
liur yang tak pernah kering
mendesakmu
dengan seribu tuduhan
semacam
gua yang ditolak para pertapa
kau
khusyuk menulis nestapa
darah
lebih kental dari luka
lebih
sakit dari kenangan
Buton,
2007
Jalan
Pulang
mungkin
aku butuh semacam kantong ajaib
yang
membuatku tiba-tiba menjadi sajak
yang
tidak pernah sungguh-sunggu mencintai
sampai
baris terakhir
atau aku
butuh semacam topi pesulap
yang
membuatku lenyap seketika
kepergian
yang tak pernah kembali
yang tak
akan pernah datang lagi
mungkin
masih ada jejak senyum
atau
malam bisu di ranjang
karena
alamat hari masih tersimpan di saku bajuku
di dada
sebelah kiri
tempat
jantungku biasa memanggilmu
aku
tidak bicara pada kenangan
pada
laut yang menjelma ombak dalam dirimu
atau
lagu terakhir yang dinyanyikan para pemabuk
sudah
lama tak kupikirkan rimbun mawar
atau
kabut asap sepanjang penantian
sebab
kenangan bukan jalan pulang untuk kembali
bukan
isyarat hari yang mau berbagi
Kendari,
2007
Sungai
Sajak
:
Syaifuddin Gani
seluas apa
sungai sajakmu
sedalam
tatapan gerhana
atau
setetes embun?
mungkin
tajuk pinus itu
lebih
tajam dari rindumu
bahkan
lembah
tak
terukur sebagai rahim
kau pun
jadi setakzim ilalang
rebah
dan tegak
di
bilah-bilah subuh
yang
masih kau ragukan
apakah
iblis tak sungkan berkawan?
seluas
apa sungai sajakmu
mungkin
kau tak perlu
menunggu
angin terluka
sebab
gelombang lebih merdeka
dari
laut yang menampungnya
kaulah
sajak itu!
Kendari,
2008
Tiga
Alasan Pendulang Meninggalkan Bombana
pertama,
karena
polisi penjaga
lahan
bersiap
menembak
kepala
mereka
kalau
wajan atau linggis
tak
diserahkan bersama
sepuluh
duapuluh kaca
plus
pernyataan tak kembali
dengan
gaya persis
pembacaan
teks pancasila
setiap
upacara senin pagi
kedua,
karena
ada tiga
ekor buaya
berwarna
keemasan
ditemukan
di bekas galian
lalu
kejadian ini
dimaknai
sebagai
larangan
dan
kalau tak diindahkan
maka
biji-biji emas
akan
berubah menjadi
mulut
buaya
yang
akan mengoyak
tubuh
mereka
sampai
tak bersisa
dan
sudah pasti
juga
akan merontokkan
gigi
semua pendulang
ketiga,
karena
mereka
diberi buku p4
kata
pemberi buku:
tanah
dan air
beserta
isinya
dikuasai
oleh negara
pendulang
pulang dengan
dada lapang
Kendari,
Februari 2010
Malam
Pengantin
begini
dingin cuaca malam ini
di dalam
kamar, masih ranjang yang dulu juga
ia duduk
menghadap jendela
dengan
gaun yang sudah lama ia tanggalkan
sebelum
dini hari
ia
menoleh pada meja rias,
sebelah
kiri jendela
ia
melihat senyumnya
masih
ada lipstik dan perona pipi di kotak kayu
dekat
tusuk konde yang dulu pernah ia kenakan,
juga
peniti emas dan kalung gobang bergambar ratu
di tepi
ranjang ia terduduk
kedua
tangannya meremas seprei putih
wajahnya
menunggu
kedua
matanya hampa
dan
dingin cuaca malam itu tiba-tiba berubah
ranting
pohon akasia memukul-mukul kaca jendela
salak
anjing jauh dan perih
namun
pengantin laki-laki mungkin tak pernah tahu
malam
itu
di dalam
kamar pengantin
hanya
dingin tubuhnya
yang
sungguh-sungguh mengerti
mengapa
senyum para pelayat
lebih
kecut daripada kematian
Kendari,
2007
Mahakam
1/
bahkan
kukira kau tak ingin
menjelaskan
sedikit pun tentang kemarau
apalagi
ketika tanah dan daun meretak
burung-burung
merendah
kau
malah bicara tentang bahasa angin
dan
menafsir potongan senja
sebab
Mahakam telah merekam
segala
yang meriak dalam diriku
dan
badai sudah menggenang dalam matamu
maka
kumohon, jangan
pergi!
2/
berapa
kali sudah
kau
bersua sepi di sini
jalan-jalan
lengang
dan
suara-suara kau biarkan ebralalu
ada
cerita dan nada perih
yang
menganga
menunggumu
di sini
di balik
tirai
yang tak
pernah mengenal kata
mati
3/
mengapa
pada salak anjing kau titip perih
apakah
kabut bagimu hanya bermakna duka
sementara
embun telah kau lepuhkan
menjadi
lidah-lidah api?
berkali-kali
sudah aku bersua sepi di sini
menunggui
malam yang selalu karam
menandai
bandul waktu yang menggerutu
di
antara sayup senyap percakapan bintang
dan
desau nafas butir-butir angin
yang
memanggilku kembali.
ayo
pulang, katamu.
Samarinda,
2007
Suatu
Ketika di Kamar Kontrakan
1/
ketika
mengajakmu ke sana
berdiri
di antara pohon-pohon
yang
menjulang bagai hantu
aku
melihat langit
sangat
dekat dengan kita.
bintang-bintang
dan bulan
seperti
mengulur tangan.
dan
saat-saat seperti itu,
aku
ingin mengajakmu terbang
dan
menghuni awan-awan.
tempat
yang kelak akan kita sebut
sebagai
rumah impian.
2/
aku juga
ingin membicarakan laut
dan
ikan-ikan. perahu atau para nelayan.
tapi
mungkin kau hanya ingin kupeluk.
sebab
suara orang-orang yang saling serang
di luar
sana membuatmu menggigil ketakutan.
mereka
yang bertengkar soal tanah.
yang berperang
karena lahan,
dan kita
tetap duduk di kamar kontrakan
yang
mencekik setiap waktu
kita
yang tak punya tanah
tak usah
bikin sengketa.
kita
yang tak punya lahan
tak
perlu saling serang.
kaulah
tanah bagiku,
akulah
rumah bagimu.
Kendari,
2010
Kelak
Kau Akan Mengerti
mengapa
kepergian selalu lebih dingin dari puisi.
itulah
sebabnya aku tak memberimu lambaian tangan
atau
salam perpisahan. karena rumah dan
kenangan
sama-sama telah usang.
Kendari,
2009
Perahu
Kanak-kanak
:
arif oba – Once Upon a Time in Saponda
bila
laut atau matahari telah rampung menafsir gelisahmu,
masihkah
juga kau berharap menyimpan impian dalam
lipatan
baju, atau menyisipkannya di sela dinding jelaga?
begitu
kata ibu saaat menggenggam tanganku meniti
sebatang
kayu menyongsong sang ayah.
aku
melihat ayah tersenyum. memandangnya dengan
mata
kanak-kanakku sambil mengharapkan diriku menjadi
perahu
dalam riak percakapan mereka. ayah menisik
jaring,
ibu menyalakan tungku. aku tetap seperti semula,
membiarkan
diriku menjadi perahu. perahu kanak-kanak.
begitu
senja selesai, dan gemuruh ombak memanggilku
sebagai
perahu, ayah telah terlelap seperti sedang
menyelami
mimpi di kedalaman laut. namun ibu,
perempuan
yang selalu berhasil menerjemahkan suara
karang
dalam dadaku, masih terus menjahit saku bajuku
yang
sobek dengan jarum tangannya yang berkarat.
sebab
katanya, butir-butir pasir harus kusembunyikan
dalam
sakuku sebelum ia terbang menjelma bintang di langit.
aku
sangat bersungguh-sungguh menjadi perahu. sebab
kata
ibu, perahulah hidup kami. dan setiap kutanya pada
ayah ke
mana akan ia tambatkan perahu itu saat pulang
dari
mata senja, ia dengan pelan membisikkan di telinga
mungilku,
di hati ibumu, katanya.
Kendari,
6 Mei 2010
Di
Kendari Teater Kota Lama
mereka
hanya menyisakan potongan tiket dan bekas
jari-jarinya
di lenganku
sepasang
kursi dan daun pintu kembar yang dulu pernah
mencatat
mimpi-mimpi kami
tak
kutahu lagi ke mana pergi. yang ada tinggal
penggal-penggal
cerita dari tiang-tiang jembatan
yang
lebih kokoh dari tatapan.
dekat
kendari teater kota lama, ada sebuah toko cina
yang
menjual pentil sepeda,
di sana
kami pernah membicarakan rencana
bulan
madu sederhana
:
menyewa perahu sampan dan berkeliling
teluk
kendari sehari penuh
lalu
mampir sejenak di gerobak kacang rebus
sambil
mengupas-kupas harapan dari butir-butir asmara
yang
disemai cuaca bulan purnama
biasanya,
kami berpapasan dengan beberapa kuli
pelabuhan
yang baru selesai mandi,
aroma
minyak wangi yang menyengat dan darahku
yang
kian mendesak. aku mengingat semuanya.
terbayang
merah muda pada pipimu dan lengkung senyum
yang tak
pernah bisa membuatku terlelap selepas jalan
menuju
pulang.
tapi,
lembar-lembar rambutmu belum selesai kuhitung
dengan
nafasku. sebab tiket yang ada di tanganku kini,
tak
dapat lagi kupakai untuk menonton film kesukaanmu.
kendari
teater tak ada di sini, kecuali sebuah gardu
penyedia
tiket penyeberangan.
jembatan
yang menghubungkan adalah juga
yang
memutuskan kenangan.
Kendari,
2009
Rumah
Kecil di Pinggir Kali
dulu,
pernah kubangun sebuah rumah kecil di pinggir kali
dengan
pintu dan jendela yang sama-sama menghadap
ke
selatan.
bila
senja atau dini hari, aku mengharap burung-burung
beterbangan
dari dahan akasia
yang
kokoh berdiri tepat di belakang rumah kecil itu,
tempat
biasa kusembunyikan sisa luka
yang
masih segar darahnya.
kalau
malam buta atau siang mengambang tepat di atas kepala
aku
selalu bicara tentang remah-remah sepi
dan
bekas luka yang fasih bercerita tentang nyeri
tentang
nafas satu-satu yang sesak dalam dadaku
seperti
ketika hanya kuingat kesanmu
tapi tak
dapat kugerakkan bibirku.
dulu,
pernah kubangun sebuah rumah kecil di pinggir kali
dengan
pintu dan jendela yang sama-sama menghadap
ke
selatan.
bila
mengingatnya sekarang
serupa
memenjarakan waktu dalam tabung
dengan
darah luka yang selalu lebih sakit daripada khianat.
Kendari,
2009
Alamat
Maut
kau pun
tak akan melihat pantai itu dari jendela
meski
dengan bibir bergetar
dengan
mata nanar
terlalu
singkat sebagai derita
namun,
teramat panjang sebagai duka
ada nada
pilu tersendat
dasar
laut yang menandai maut
dan
lambaian penghabisan yang luput dari ingatan
lebih
dalam dari segala alasan
kata
yang tak dapat dipadankan dengan kelam
dengan
seribu malam yang mendekam
atau
deras arus yang mengancam
pilu
yang dalam dan suram
kau
hanya dapat menabur bunga dari jendela
dan
ombak akan terus menuju pantai
sementara
di langit
awan
kelabu bukan miliknya lagi
Buton,
2007
Perempuan
Pemanggil Burung
ia
membaca cuaca
– arah
angin dan berita perang di koran pagi
burung-burung
hitam hinggap di dahan
dan
lengannya
ada
bercak darah terserak
sisa
daging terkoyak dan seutas benang terselip
pesan
yang enggan terbaca
semacam
rindu yang tak sempat diucapkan
dari
gurun berdebu ia datang
dan
berita tentang orang-orang yang berteriak kesakitan
tertera
pada selonsong peluru di kaki sebelah kiri
persis
surat raja-raja jaman dahulu
perempuan
pemanggil burung berdiri di balik kabut
rambutnya
hitam kelam
gaunnya
putih bersayap
dan dari
matanya
:
matahari timbul tenggelam seperti dentum meriam
Kendari,
2009
Tentang
Irianto Ibrahim
Irianto Ibrahim lahir di Gu-Buton, 21 Oktober 1978.
Bergiat di Komunitas Arus Kendari, Sulawesi Tenggara. Penulis tetap pada rubrik
“Catatan Lepas” di Tabloid Oase. Puisi dan cerpennya tersebar di berbagai media
cetak dan kumpulan bersama. Buton, Ibu
dan Sekantong Luka adalah buku puisi tunggalnya
yang pertama.
Catatan Lain
Ada 6 paragraf catatan pengantar dari penerbit. Biasanya
sih, ditulis oleh Raudal. Tapi sebelumnya, di halaman yang lebih awal, ada
patahan-patahan komentar dari 6 orang, yaitu Syaifuddin Gani, Abd. Razak Abadi
(Adhy Rical), Bode Riswandi, Y. Thendra BP, Acep Zamzam Noor dan Saut
Situmorang. Syaifuddin Gani menyebut sajak Irianto Ibrahim sebagai sajak yang
liris-romantik yang getir dan muram, pembacaan Thendra menghadirkan sajak
Irianto sebagai sebuah narasi, dan Adhi Rical menulis ini: “Inilah penyair yang
fasih memahami kampung kelahiran dan restu ibunya, maka kelak kau akan mengerti
betapa seorang ibu melebihi sejuta puisi yang kau tulis.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar