Data buku kumpulan puisi
Judul: Kembang Tunjung
Penulis: Linus Suryadi AG
Pengantar: Faruk HT (Kembang
Tunjung: Suara dari Pinggiran)
Cetakan: 1, 1988
Penerbit: NUSA INDAH, Ende
Percetakan: ARNOLDUS
NI: 891407
Tebal: 112 halaman (50 puisi)
Beberapa
pilihan puisi karya Linus Suryadi AG
dalam Kembang Tunjung:
KEMBANG TUNJUNG
Kembang
Tunjung
Di
lembah Dagi
Mengorak
Agung
Di
jagad sunyi
Dan
bulan purnama
Di
langit tinggi
Tanpa
suara
Menyapa
bumi
Tidakkah
waktu
Mengalir
tenang
Lebur
di kalbu
Di
larut malam?
Pikiran
jalang
--
Angan-angan
Mengendap
diam
Tak
lagi bertualang
Purnama
kembang
Tunjung
Bulan
Saling
pandang
Di satu
alam!
AIR KAMANDANU
Galilah
aku
Galilah
aku
Sedalam
Engkau
mampu
Cangkullah
aku
Cangkullah
aku
Hingga
muncul
Air
Kamandanu
Tetes
bimbang
Rasa
matang
Padat
damai
O, buah
kasih sayang!
Ambillah
aku
Ambillah
aku
Sejumput
Engkau
mau
Bawalah
aku
Bawalah
aku
Sampai
tiba
Di
batas waktu
SABTU LEGI 30 APRIL 1983
Tubuh
terbujur tenang
Mata
tertutup rapat
Tangan
ngapu rancang
Diam,
muka pun pucat
Tiada
gelagat sadar
Tiada
isyarat gerak
Daya
hidup pun pudar
2 jagad hilang jarak
“Aku berlutut,
sayang
Di
pusat ubun-ubunmu
Kenapa
kantuk datang
Menyedotku,
menyedotku?”
Asal
bumi balik bumi
Asal
Bayang balik Bayang
Bagaikan
tatit kumedhap -- lap --
Atman
oncat dari badan
---------------------------------------------
oncat: meninggalkan seketika
SUMBER
Apakah
Perlindungan
Datang
Tak
diundang
Batin
Pasrah
Rela
Tengadah
Pusat
Daya
Hidup
Mengalir
Wahyu
Hadir
Turun
Berdesir
Sabda
Tuhan
Mukjizat
Pun bergulir?
SYDNEY
1
Kuinjakkan
kaki
Pertama
kali
Di
benua Selatan
Kenapa
heran?
Di kota
Sydney
Pagi
dan sore
Orang
mengayun
Kaki
bersantai
Kecuali
tamu
Tinggal
landas
Ah,
siapa kamu?
Yang
bergegas
Ketepatan
waktu
Janji
setia
Warga
baru
Benua
lama
Kalaupun
diam
Mencari
suara
Bising
kehidupan
Di luar
kota
2
Di
jembatan beton
Teluk
Sydney
Di
sambungan kota
Baru
dan lama
Ada
rumah-rumah
Mendaki
tebing
Ada
riak-riak
Biru
air bening
Dan
Ferry-Ferry
Silih
berganti
Para
penumpang
Nyebrang
dan kembali
Laju di
perairan
Keliling
bergalau
Hei!
Ada rumah kerang
Raksasa
putih kemilau!
Nun di
tengah
Kokoh
berdiri
Bekas
benteng
Penjara
yang sunyi
3
Kulepas
pandang
Ke
padang luas
Pintu
gerbang
Benua Bebas?
Gedung-gedung
Di
downtown
Bagaikan
rayap
Berumah
susun
Pada
skala
Setitik
embun
Satu:
barapa
Kau pun
maklum?
Ah, pohonan
saja
Pembatas
mata
Ada
sayup-sayup
Terdengar
gema:
“Orang buangan
Dilanda angin
Kaum gelandangan
Bangsa Aborigin!?”
TENGAH MALAM
Tanpa
angin
Habis
hujan
Malam
dingin
Masuk
ruang
Kita
catat
Pidato
& sambutan
Riuh-rendah
Jaman
pembangunan
Kegelisahan
Yang
bangkit
Menjelma
roman
Menahan
sakit
Timbul --
Tenggelam
Jiwa-jiwa
Gentayangan
Rep
sidhem:
Jagad
diam
Tanpa
gerak
Ini jam
12 malam
EQUILIBRIUM
Antara
dua benua
Dan dua
lautan
Batin
kita pun terdera
Oleh
angin taufan
BOROBUDUR
1
Di
Borobudur
Hampir
tak percaya
Arca-arca
Buddha
Tanpa
kepala
Tinggal
gembung
Di
tempatnya
Diam
terkungkung
Jagad
yang tua
Kau
menebak
Penuh
murka:
Ini
seloka
Atau
realita?
Kulihat
saja
Pedagang
Jawa
Kaum
turis
Berpariwisata
Warung
dan restaurant
Sedia
pula
Hotel
dan pasar
Di
bawahnya
2
Pegunungan
Di
selatan
Raksasa
pulas
Sepanjang
zaman
Apa
pula
Kau
jaga
Bila
napsu
Menghanyutkan
raga?
Jiwa
lena
Dalam
alpa
Nglumpruk
Di
pusarannya!
Arus
hidup
Tambah
deras
Kita
pun kuyup
Bisakah
bebas?
Mana
raga
Mana
jiwa
Sukma
terlindas
Di
jalan-jalan raya
3
Bukan
samadi
Atau
tafakur
Di
lembah Dagi
Kita
ngluyur
Ke mana
kau
Akan
mencari
Dalam
risau
Di
terik hari
Tatkala
rindang
Pohon
Boddhi
Rebah
& tumbang
Tak ada
ganti
Tidakkah
tinggal
Di
dalam diri
Di luar
khayal
Sebuah
candi
Kembang
Tunjung
Mekar
sekali
Harum
dan ranum
Suatu
pagi?
4
Ada
versi lain
Kecuali
pusat
Perbelanjaan
Barang
kerajinan
Ada
arti lain
Kecuali
hakikat
Bangunan
suci
Yang
diperdagangkan
Tempat
samadi,
Ritus
kerajaan,
Kraton
sejati,
Ataukah
makam?
Warisan
ganti
Ajang
penghiburan
Padamlah
api
Korban
pencucian
Ada tak
terpaut
Dalam
timbangan
Kecuali
perut
Penghasil
income
5
Jamur
& waktu
Bagai
benalu
Tumbuh
subur
Menggerogoti
batu
Kepalamu
Hatimu
Sikapmu
Pandanganmu
Yang
kaku
Terlepa
semen
Beton
bertulang
Tidakkah
kau tahu?
Coba
tunjukkan
Pohon
bujursangkar
Daun
trapesium
Bunga
limasan
Kecuali
bundar
Lonjong
panjang
Luwes
& lentur
Warna
bergantian
Benjolan-benjolan
Kepribadian
MANDI
Bukan
mandi
Ramai-ramai
Di
pantai
Laut
Tasman
Berjemur
diri
Santai-santai
Di
pasir
Tengkurap-telentang
Dalam
lepotan
Daki
& debu
Batin
lelah
Oleh
beban perjalanan
Maukah
mandi
Berduaan
Denganku
Polos
& telanjang?
Mari
mandi
Copot
pakaian
Membasuh
diri
Dalam
pengakuan!
JEMBATAN
Di
bawah jembatan
Tak
bernama
Kita
pun berpegang
Irama
jiwa
Mengalir
air
Mengalir
darah
Lembah
pasir
Banjir.
Basah
O,
siapakah
Yang
betah
Hidup
jauh
Lama
pisah?
Mengusut
sumber
Tanpa
kata
Diri
lumer
Dalam
arusnya
Di
celah semak
Padang
gerumbul
Kita
sibak
Wajah
terpantul
DON KISOT
1
Clurit
& klewang
Jubah
kebesaran
Sepatu
jengki
Ia
onggokkan
Di
pohon Nyamplung
Si
hewan jalang
Kuda
kepang
Ia
tambatkan
Sebab
apakah
Suka
nantang
Banyak
gugat
Oleh
rasa berang?
Pada
keadilan
Kemelaratan
Dan
kerakusan
Gepeng
pun kelelahan
Jatuh
tertidur
Di
tanah lapang
Babak-belur.
Berliur
Ingusnya
berleleran
2
Dalam
kerumunan
Penonton
pangling
Heran.
Lalu paham
Lalu
bergunjing:
+ “Pahlawan kita
Sedang ngaso
Kehabisan daya
Hatinya loyo”
- “Bisakah tidur
Berbantal sepi
Mimpinya
lebur
Di
embun pagi?”
+ “Mari kita beri
Sekedar hiburan
Dan Fatima nari
Kembang Jaipongan!”
Mereka
pun goyang
Diiringi
kendang
Hei!
Siapa telanjang
Mabok
pengharapan!?
3
Musuh
citraan
Angan
sendiri
Ribut
bergantungan
Membakar
hati
Hidup
terancam
Oleh
bayangan
Pikiran-pikiran
Sungsang
palang
Ah, Don
Kisot
Masihkah
tahan
Angin
pun gengsot
Menertawakan!
Mandang
diri
Kurus
kering
Menjotos
hari
Malam
bertebing
Waktu
bangun
Ia pun
asing
Nanti
dunia
Berobah
lain?
4
Sudah
pergi
Hantu
hitam
Berombongan
Dari
jagad angan-angan
Sarang
seram
Penuh
jaring
Daya
ingatan
Pun
tergiling
Ada
lagikah
Kamu
lawan
Hukum
Alam
Tak
terlawan?
Di
jalan-jalan
Lobang-lobang
Menunggu
setia
Penuh
kesabaran
Ah, Don
Kisot
Selamat
malam
Esok
pagi ada
Matahari
kehilangan
HADIAH
Pantai Lovina
Wanita
muda itu
asing
sendirian
Lenggang-lenggung
kehabisan
uang
Dua
rombongan
ombak
datang
Silih
berganti
mengulurkan
tangan
Siapa
terpana
dalam
pelukan
Mandi
cahaya
mentari
dan bulan?
Di
pasir
totok
kerang
Dihempas
air
sebagai
hadiah alam
Ia
pungut
sambil
bergumam
Jongkok
berlutut
di
pantai lengang
1984.
SELENDANG
Kau
sampirkan selendang
ke
samping kiri pundakmu
Kau sampirkan
menyilang
lipatan
dukacita hidupmu
Di
balik lipatan selendang
rindu
belaian pun tersimpan
Citra
harap menjelma roman
Wara
Sembadra dari Widarakandang
Lalu
kau pergi kondangan
angin
menolak ilusi guram
Ah, kau
sampirkan pundak
selendang
cintamu yang legan
1984
Tentang Linus Suryadi AG
Lahir di Kadisobo,
Yogyakarta, 3 Maret 1951. Pernah mengikuti kuliah di ABA dan di IKIB Sanata
Dharma Jurusan Bahasa Inggris, tapi tak selesai. Mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City, USA.
Menulis puisi dan esai
sejak 1970. Beberapa daripadanya telah dibukukan dan diterjemahkan ke bahasa
asing. Pernah menerima hadiah dari
Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 1984, menjadi anggota Dewan
Kesenian Yogyakarta sejak 1986. Sering menjadi juri lomba puisi,
menyelenggarakan program baca atau menulis puisi, dan sempat membaca puisi di
beberapa kota dan perguruan tinggi, baik di Indonesia maupun di luar negeri .
Catatan Lain
Seperti yang bisa dibaca di atas,
puisi-puisi Linus tersebut sepertinya mendapat pengaruh kuat dari syair-syair lama
(dilihat dari jumlah suku kata, jumlah larik dalam satu bait dan penggunaan
rima, meski tak semua bait menggunakan rima dan tak semua suku kata per larik
jumlahnya sama). O iya, ada yang membuat saya tertarik dengan paragraf awal
pada pembuka buku ini. Dalam paragraf itu Faruk berkata begini:
PENYAIR
Dia serahkan irama hidup antar desa dan
kotanya
Selama menyebrangi arus deras sungai ke
hilir
Selama jiwa di dalamnya membuka isarat
rahasia
Bahwa penyair berdiri dan bersaksi di
pinggir
1987
“Sajak Linus yang berasal dari kumpulan Rumah Panggung di atas saya kira
merupakan satu-satunya sajak Indonesia yang merumuskan dengan tepat posisi
penyair dalam masyarakat untuk abad ini. Sekitaar 10 tahun yang lalu Rendra
telah pula melakukan hal serupa. Akan tetapi, perumusan itu terlalu
berorientasi pada literatur 1), tidak berdasarkan pada kecenderungan posisi
penyair yang senyatanya ada dan terjadi. Penyair dalam masa sekarang ini sama
sekali berbeda dengan para empu yang hidup dalam masyarkat Indonesia pada
abad-abad yang lalu. Penyair sekarang sungguh-sungguh merupakan suku terpencil
dalam masyarakatnya, kelompok marginal, yang menatap kehidupan dari pinggiran.”
Sajak Penyair
sendiri tidak termasuk dalam isi buku ini (kecuali di pengantar tadi), tapi
cukup menarik bagi saya. Rupanya antara penyair satu dengan penyair lain
memiliki pandangan berbeda tentang seorang penyair. Sebagai penyair, Rendra
membayangkan dirinya adalah orang terpandang, namun Linus membayangkan bahwa
penyair adalah suku terpencil, golongan pinggiran.
Di cover belakang masih tertempel barcode
harga buku, yaitu Rp 5.700,-. Juga ada fotonya Linus, yang kalau saya
perhatikan wajahnya mirip ayah saya, hehehe (^ ^). Sedangkan lembar terakhir
buku diisi dengan iklan buku-buku puisi terbitan Nusa Indah.
------------------------------------------------------------------------------------------------
1) Rendra, dalam “Pidato Penerimaan
Penghargaan dari Akademi Jakarta” (1983) membayangkan posisinya sebagai empu
dari kerajaan-kerajaan lama. Empu dahulu mempunyai posisi sosial yang jelas
dalam masyarakat, sedangkan penyair sekarang tidak demikian.
(AHMAD FAUZY)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar