Data buku kumpulan puisi
Judul : Odong-odong Fort de Kock
Penulis : Deddy Arsya
Cetakan : I, Mei 2013
Penerbit : Kabarita, Padang, Sumatera
Barat.
Tebal : x + 91 halaman (63 puisi)
ISBN : 978-602-18336-1-2
Desain sampul : Heru Firdaus
Tata letak : Kapatabang
Epilog : Afrizal Malna
Beberapa pilihan puisi Deddy Arsya dalam Odong-odong Fort de Kock
Sajak
untuk Haji Miskin
Haji
Miskin, aku rebut hati gadismu diam-diam
dulu kau
larang orang minum tuak, sekarang aku
rayakan
mabuk
tak
berkesudahan.
“Mabuk
dalam cinta, Engku!”
Tukang
Obat di Pasar Kambang
Kau kata ini belang harimau
Harimau datang nan dari Campa
Kau kata ini gelang pengikat
"mau"
Mau datang nan dari tiada
Aku kirim ini pantun
Pantun empunya Malin Karimun
Entah Nias entah Padang
Tapi tinggal di Lubuk Basung
Kau kata ini gajah sembarang gajah
Gajah datang nan dari Lampung
Kau kata ini rajah sembarang rajah
Rajah untuk penikam jantung
Ini rajah pekasih Malin Karimun
Aku tanam di dalam pantun
Boleh kau beli boleh tidak
Asal menawar berapa hendak
Dokter
Gigi
kita ke
dokter gigi hampir setiap minggu, mengganti
setiap
gigi yang rusak dengan emas ini, emas dari lautan
terdalam,
dari dasar belangabumi ini yang hitam.
emas
dari gigi penambangnya sendiri.
seperti
biji gigimu yang tanggal, sajak ini pun akan
dilupakan.
nasehat ibu dokter tidak pernah seruncing
mata
suntik, atau seberkilau emas. sajak ini tidak pernah
benar-benar
menjadi emas.
tanpa
gigi yang ditanggalkan, mulutmu akan semakin
kriting
hitam. kata-kata melompat lewat celah yang
ditinggalkan
– kau menyebutnya ompong.
mulutmu
akan selalu masam.
Rusa
Patah Kaki
Di Airbangis karang-karang tajam melandai.
Lunak lambung kapal – lambung hiu. Terdampar aku
Lunak lambung kapal – lambung hiu. Terdampar aku
jauh di Tiku, empat jam dari rumahmu, sebagai kopi
muda dalam goni celaka, ada aku terbawa, tapi tak
pernah sampai ke pekan raya.
Aku hijau kopi yang kayu-kayunya rebah arah ke Singkil,
ke pulau-pulau di tengah lautan, betapalah kecil. Jam
ke pulau-pulau di tengah lautan, betapalah kecil. Jam
malam di Natal
dan lagu tuak arah ke Barus,
terdengar sampai ke muara Ulakan
– seorang
syeh turun di situ.
Ke Pariaman ia berburu, ke yang datar kau berguru. Dari
Ke Pariaman ia berburu, ke yang datar kau berguru. Dari
jauh tampak saja jejaknya, dengan tanduk-tanduk patah
dan tumpul. Ke padang ajar, lepaskan tajam siasatmu.
Hai minyak kelapa dan beras baru, bersilanglah kayu,
memerah dalam baraku, berpercik air asam dari hulumu.
Tapi aku hanya kopi muda menguap di atas bara.
Tapi aku hanya kopi muda menguap di atas bara.
Rusa dengan mata tombak di mata kaki yang
terpanggang nyala api.
Ke Airbangis, kembali kami,
pecah lambung kapal selunak lambung hiu.
Kipas aku dalam abu, dalam tajam lidahmu.
Anak
Ayah
“ayahku
seorang petapa. di sebuah gua tersunyi ia
pernah
bernyanyi. di lain usia. ayah seorang ksatria
berpedang
panjang. mengalahkan puluhan orang dalam
sekali
tebasan.”
“kata
ibu, ayah telah memutuskan bunuh diri
di suatu
rembang”
“ayah
merasuki tubuh seekor anjing milik peburu itu. aku
membuka
jendela. aku sering melihat anjing itu. ia
menatapku
dengan matanya yang lembab. sementara
peburu
itu terus mengejar lembah dan gua dalam hutan
itu.”
“kini
ayah seekor naga merah pada lukisan di dinding
kamar
ibu. kini ayah layang-layang yang bergoyang-
goyang
di langit lapang. kini aku berusaha mencarinya di
rumah
ibu: pada doa-doa yang diucapkannya ke
telingaku
menjelang larut.”
“di
suatu perang yang lain. aku hidup dalam kematian
ayahku.
ibu telah lama mati dalam pikiranku. dulu ibu
sering
membisikkan sesuatu ke telingaku. seperti salak
anjing
peburu itu. ia seing meninggalkanku sendirian di
dipan.
di lemari baju yang terbuka lebar. di dasar belanga
yang
mendidih aroma lada.”
“hantu
hanya ada dalam perut. kata ibu pula. maka aku
tak
pernah takut. juga pada mata anjing itu. tapi dalam
tidur,
aku kadang harus berhadapan dngan bisikan ibu
lagi:
doa-doa seperti milik setan, jangan pernah
mengucapkan
keinginan!”
“kata ibu,
aku mewarisi mata ayah”
“diam-diam
aku duduk di dalam cermin. tetapi
menemukan
mata ibu yang bundar. sepasang mata anjing
yang
lembab itu terus bernyanyi pelan-pelan. tentang
sepasang
mata anjing lain yang mengawasiku dari balik
cermin.”
Ikan
Padang
Lobak
dan seledri kaki Merapi,
kain benang
emas Singgalang,
aku hanya
ikan Padang, ikan Padang, ikan asin dan lauk
kering,
bermalam-malam direbus api dan air mendidih
belanga besar
sekali. Aku tiba-tiba tua dan tak berdaya.
Bungkus
aku dengan tenun elok dan matahari lembutmu.
Kapas-kapas
diterbangkan angin hinggap di tubuhmu
menjadi kain.
Batangnya rebah ke kapal pulau lain.
Pantainya
jauh, ombaknya pauh. Umang-umang
berlarian
di kaki putih dan dan lubang-lubang pasir
digali dan
ditimbun. Bakau-bakau dan lumut di botol
limun tumbuh.
Kain-kain
tak bergiwang,
ke manakah
alamat dagang?
Aku
hanya ikan Padang, ikan Padang, anak-anak
pemburu udang
yang berak sambil berdiri. Ibuku pergi ke
pasar dengan
sepeda dan pulang berjalan kaki. Rantai
dan jari-jari,
ban botak dan tali rem, tergadai untuk satu
kilo
bawang dan empat buah tomat dari daratanmu
yang
mahal sekali
Sajak
Kehilangan Tali
Beratus
tahun aku berlagak seperti manekin.
Aku
kunjungi pasar demi pasar, jantungku dimasak
dalam belanga
besar sate kambing, hati dan paru-paru
dilapah seperti
cincau hitam yang bau.
Aku
cendol yang dikacau ketika langit runtuh,
orang-orang
bunuh diri di kandang sapi,
dan jalan
raya dipenuhi huru-hara hujan api.
Sekali,
aku pergi ke daratan yang jauh seorang diri,
berenang
di danau puncak bukit yang tinggi.
Aku
berjalan melingkar menuju kepundan gunung api,
dan
menemukan hantu kekasihku dengan seutas tali.
Odong-odong
Fort de Kock
:
untuk Faiz Kecil
Lihat paru-paruku ini, Ayah, sepasang
sayap rama-rama,
seperti harga tomat orang Alahanpanjang,
mengepak
naik turun. Ketika tidur, kau dengar,
bergemuruh seperti
siul seperti dengkur.
Aku memecahkan gelas kristal di Ramayana,
Ayah
gelas itu mirip susu ibu, berkilau seperti
matamu.
Aku menangis ingin naik odong-odong di Fork
de Kock
ibu memukulku dengan tangkai sapu sampai
tersudu.
"Perangaimu seperti perangai ayahmu.
Inginmu banyak, ini kau jangkau itu kau
tuju,
bunuh sajalah aku!"
Jagung manis dipanggang orang di bawah Jam
Gadang,
Ayah. Gadis Pandai Sikek menjual kacang
remang
di Lubang Jepang. Aku ingin lemang
hangat-hangat dari
Pariaman arah ke Sianok.
Lilitkan sarung ke leherku, Ayah, orang
darat tak tahan
angin dingin, syal di Pasar Bawah lebih
mahal dari sadel
sepeda roda tiga. Bawa aku ke Padang saja,
aku ingin sup
sirip hiu, dan rendang cumi. Kepala ikan
kerapu
barangkali lebih murah dari itik serati
orang Koto
Gadang.
Nama-nama
Kota dalam Sajak
Nama-nama kota dalam sajak seperti tali berbuhul sentak,
yang bisa bergeser antara lupa dan ingat.
Nama-nama kota dalam sajak seperti tali berbuhul sentak,
yang bisa bergeser antara lupa dan ingat.
Kami melepasnya untukmu yang jauh pergi begitu lama
dan pulang sekali saja,
menjelang senja hari, menjelang mati
Jika kota-kota berganti nama seperti berganti baju
sebelum tidur, kami akan tiap sebentar mencuci dan
melepas giwang seperti mengganti plang jalan,
gang dan kanal-kanal.
Maka sajak ini akan melepaskan maknanya
seperti kematian merenggut dirinya sendiri.
Nama-nama kota dalam sajak seperti riwayat yang
Nama-nama kota dalam sajak seperti riwayat yang
dipisahkan dari penuturnya:
seorang tua yang datang dari pantai dengan ombak yang
berpiuh dan berpilin-pilin. Sekali ia merentangkan tali
yang berbuhul sentak, riwayat kota ini akan terungkai
dalam
sekali renggut
sekali hentak.
Maka berapa lama nama-nama
Maka berapa lama nama-nama
kota itu bertahan dalam sajak?
Jika mereka simpul yang sentak,
Jika mereka simpul yang sentak,
barangkali usianya tak lebih dari
letih terbang bangau sebelum kembali ke kubangan.
Atau nama-nama kota dalam sajak seperti
Atau nama-nama kota dalam sajak seperti
gelembung dari mulut ikan
yang membubung ke permukaan sehabis kuat selam.
Usianya tak lebih lama menjelang meletup mereka
yang membubung ke permukaan sehabis kuat selam.
Usianya tak lebih lama menjelang meletup mereka
dalam sekali tarikan napas
sekali rentak.
Kedai Kelontong dan Tong Setan
Jika kau ke pasar pagi dan tak menemukan
jalan kembali
sampai malam hari, mungkin kedai kelontong
itu telah
membuka mulutnya untukmu.
Mengisi penuh baterai di punggungmu
dengan warna-warni pakaian, atau kepak
ikan-ikan
bernapas air garam. Mungkin ia telah
menjebakmu
seperti labirin.
Balok es turun dari mobil ambulan tepat
ketika kau
menemukan jalan, lalu kau seakan berada di
rumah sakit
dalam keadaan setengah mabuk setengah
pingsan. Tapi
tak akan ada siuman yang bisa menyembuhkanmu
dari
lupa abadi meskipun berkali-kali kau telah
pulang dan
selamat dari jebakan mematikan ini.
Kau akan mendapati gerbang kota masa
lalumu seperti
pintu pasar malam. Kau bisa memesan apa
saja dari
mimpi-mimpimu: memesan sepatu hitam dari
kulit sapi,
para gulali merah muda, topeng-topeng
kematian, celana
seperempat kaki, baju berkerah tinggi
dengan giwang
yang tak lengkap, atau menyilet-nyilet
kulit dagingmu
sendiri. Dari sebuah lubang di meja kasir
tanganmu bisa
terjulur menjangkau
selembar karcis yang sobek, yang siap
membawamu ke
bagian paling kau ingat, dan paling kau
ingin dari hidup
yang singkat.
Pasar malam dan pasar pagi seperti satu
pisau dengan
dua mata yang saling membelakangi. Kau dan
aku tidak
bisa saling melukai
sekalipun rindu tajam kita
merontokkan seluruh bulu mata.
Kita terus terjebak dalam labirin yang
berbeda,
kedai kelontong dan tong setan itu tidak
pernah bertemu
di tempat yang sama.
Sunting Nias
Cucunya yang paling tua menulis budak
Malaka,
angin samun, dan lanun-lanun dari pulau di
atas
Bangka.
Tapi tentang mereka aku hanya mendengar:
Setelah gerbong berbaris-baris pada ini
punggung, dan
denyut jantung diganti gemeretak roda
lokomotif,
kami jemput istri ke Emma Haven naik kapal
besi
maskapai.
Lalu dikorbankannya kerbau, ditebang
pinang &
direnggut-renggutnya akar sirih. Diberinya
makan orang
senegeri. Ditegakkannya batas tanah yang
luas itu, hutan
gambut dekat bandara, yang dilintasi rel
kereta yang
dibikin kaumnya.
Di atas kepala mereka di kemudian masa
pesawat-
pesawat menerbangkan kopra
dan turis-turis Eropa.
Adakah kau ingat, cucu yang ke sekian dari
pohon
riwayat, ditulisnya nama semua mereka di
plakat
dengan cap jempol dan tandatangan
(mungkin) Arab.
Huruf Latin hanya dipakai untuk kepala
surat:
Sluruhnja
Jang Dipeksa Bwat Ini Kota
Dan dibubuhinya stempel merah di sisi
kanan paling
bawah, itu, yang dipesan dari seorang
Turki di Pasar
Gadang.
Lalu mereka pakai sunting orang Padang,
mereka dendangkan indang dan selawat
dulang,
balanse madame, oh, balanse madame!
Serupa gulai pucuk ubi mendidih dalam
kuali,
Melanggak-lenggok mereka dengan ganih biru
lautan,
sampai pagi.
Mereka kunyah-kunyah sadah pengganti
candu.
Orang yang sesekali datang dari pulau
hanya bisa
berkata
Oh, Ama,
Ama, jalan dialih orang yang pergi!
Ikan Kolam
Ini ikan tidak datang dari Padang.
Tapi dari Payokumbuh
atau Suliki yang agak jauh.
Aku kirimi kau satu keranjang berbubung
penuh
untuk dipanggang. Sisiknya jangan kau
buang,
biar saja pada tampuknya,
tersangai bersama rukuruku dan bawang.
Kata orang ini ikan bisa dimakan sampai ke
tulang-
belulang. Kau hisap matanya kau hisap juga
daging di
pangkal kuduknya.
Ini ikan bukan pula ikan keramba.
Tapi ikan jinak air tawar rawa-rawa.
Aku kirimi kau seekor betina paling bulat
ekornya.
Jangan kau kata aku tidak suka dia yang
lamban.
Sebab diamnya menyimpan rahasia dangkal,
sampai di mana kau akan tahan menyelam,
dekat membayang tapi sesungguhnya dalam.
Kata orang ini ikan ekor dan kepala segala
sambal.
Letaknya dalam hidangan di ujung dan di
pangkal.
Kau boleh pandang tapi tidak untuk
menyentuhnya.
Sebab pada setiap sabar terletak siasat
sederhana.
Haji Miskin dan Istriku
Haji Miskin nyenyak tertidur dalam
kuburnya
aku datangi dia sebelum dia bangun dan
membakar
seluruh kota
aku bisikkan padanya suara dari rahim istriku:
“Wak, Wak, api yang membubung dalam dirimu
apakah sudah padam?”
Istriku membungkuskan nasi untukku
seolah-olah aku ini
pekerja keras, seperti seorang peladang
yang pagi-pagi
sekali pergi bekerja dan baru pulang hari
petang
padahal aku hanya pergi berziarah
– bermalas-malasan dengan waktu
“Tolong, Wak, Wak, tundalah dulu gerak
lajumu!”
Telah kusiapkan doa palsu itu
untuk sejenak menghentikan waktu
Padri miskin itu hanya akan
mengangguk-angguk
mendengar doamu.
“Doa celaka, bid’ah, bid’ah apa pula
yang kau telah susupkan ke dalam tidurku,
Cucu?”
Kami Membawa Seledri ke Pekanbaru
Kami membawa seledri ke Pekanbaru
kotamu ini ramai sekali, panas minyak pada
tungku api
kota kami dingin kabut merambat turun
senja hari
sekarang harga bawang sangat mahal
aku dan ayahku menyumpah-nyumpah di pasar
kenapa kita tidak menanam bawang sejak
semula?
tukang sate membiarkan gerobaknya masuk
jurang
tukang bakso bergelung tidur dalam
belanganya
apa yang akan kita masak tanpa bawang?
tapi kami tidak sedang menanam bawang
memang
kami menanam seledri yang murah
berapa mau ambil saja kami tak bakal
menegah
terung pirus juga sudah banyak yang masak
kau ingin aku buatkan segelas jus yang
bisa
buat lubang hidungmu mengucurkan darah?
Kami membawa seledri
dan terung ini ke kota kalian
kami bikin kalian harum
Kau tinggal senang duduk-duduk bekerja
melacak arah ke mana bis berhenti
mengukur panjang rel kereta api sambil
menjilat es krim
biar kami terbungkuk-bungkuk dalam dingin
suhu di tubuh kami lepas dari ukuran
temperatur
cuaca menampar pipi kami kiri dan kanan
hidup kami akan merah menyala seperti
bawang
– pucat pasi seperti bawang
Rosnida
Mencari Laki
Tidak berfaedah
kerjamu itu, Rosnida
ibunya memekik-mekik
di pangkal jenjang
Tapi dia berbedak juga
sore-sore hari
mencari laki
ke Pasar Atas
atau ke Pasar Bawah
Bukittinggi sempit sekali
menawar kuini
atau duku Sijunjung
harganya murah
Malam baru
dia pulang
membawa lagu
selamat pagi, Ibu
telah kutemu
simpul lukaku!
Iring-iringan Sepasang Belah Rotan
Di Natal,
rumahmu menelikung simpang empat arah ke
Karo.
Aku mendengar jerit meriam kompeni
aku mendengar nyiut mereka berjalan di
atas roda besi.
Aku teringat besar-besar rumpun padi di
Bonjol;
kini kami bawa ini yang berisi, kami bawa
ini lelaki.
Ini iring-iringan sepasang belah rotan.
Aku minta, jemput ia menjelang ke pintu.
Natal, menjelang ke perbatasan,
tangan hitam pemetik gambir melambai tepi
jalan,
rumahmu diselimuti dingin kabut
pegunungan,
entah berapa jauh lagi dari sini.
Aku akan ke mana pula kelak beristri?
Dibawa lepas tampuk. Dibawa jatuh jangkar.
Dan ini sepasang cincin belah rotan
menggelinding dari jari.
Di dadaku, kalian, bagai pecah berderak
langit hitam.
Bunga Lobak
Betapa hitam punggung belanga,
sehitam dasar bak mandi tak dikuras lama.
Betapa hitam jika kau menjadi asap yang
mengepul dari
dapur tetangga. Rumah tetangga seperti
cangkang kura-
kura. Aku mengenakan baju warna pelangi
hendak pergi
bergaya. Lengkung langit seperti lengkung
belanga.
Oh, betapa tak pantasnya
Aku bunga lobak, berenang dalam didih air
dan bara
Aku garam dari lautan tepi. Lautan dalam
adakah tiada
asin seperti keringat dingin?
Rumah kita kolam bagi lautan.
Asin, asin sepanjang waktu.
Rumah kita pipa perusahaan air minum.
Rumah tetangga, cangkang kura-kura,
baju warna-warni!
Tapi, betapa hitam cangkangmu
Betapa lama matangnya bunga lobak ini.
Sementara
punggung belanga betapa hitamnya. Ayah dan
ibu
sudah menunggu di meja makan kita.
Oh, betapa lamanya!
Tentang
Deddy Arsya
Deddy Arsya lahir di Bayang, Pantai Barat Sumatera,
15 Desember 1987. Menamatkan S1 di Jurusan Sejarah Islam di IAIN Imam Bonjol
Padang, S2 prodi Ilmu Sejarah, Pascasarjana UNAND Padang. Menulis lepas di
berbagai Koran, majalah dan jurnal. Odong-odong Fort de Kock merupakan kumpulan
puisinya yang pertama. Dipilih dari sekitar 200-an puisi yang ditulis sejak
tahun 2004-2013.
Catatan Lain
Afrizal Malna menulis “Puisi dan Kekinian yang Terus
Berlalu” yang diselesaikan di Yogyakarta, 21 Agustus 2011. Dan menghabiskan 13
halaman buku. Terus terang, esai itu sedikit banyak menuntun saya memilih
puisi-puisi di blog ini. Beberapa yang lain dapat ditemukan di media online,
dan cenderung saya hindari untuk tidak memproduksi pengulangan. Beberapa dengan
judul sama, ternyata berbeda secara redaksional dan tentu menghadirkan makna
berbeda pula.
Biodata penyair,
berikut fotonya, hadir di sampul belakang buku. Dengan pinggiran topi yang
lebar, penyair terlihat mengacungkan sapu lidi (sapu jalan). Di bagian atasnya,
ada kutipan esai Afrizal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar